Terdengar suara orang mengetuk pintu ketika mereka berdua sedang berdekapan mesra. Segera Roy melepas tangan yang tadi dilingkarkan di pinggang Clara. Mereka berdua agak kaget dan merasa tidak biasanya ada orang mengetuk pintu di siang hari.
Kecuali memang ada tamu yang menyampaikan hal penting. Roy dan Clara saling berpandangan, menerka siapa yang datang siang hari disaat orang sedang memanfaatkan waktu untuk istirahat.
Para tetangga Clara sudah paham jika bertamu yidak akan siang hari. Karena waktu seperti ini biasanya untuk santai atau tidur siang.
"Apakah kau mengunci pintu rumah ini, Roy?"
Clara bertanya dengan rasa penasaran. Setahu dia tadi waktu masuk ke dalam rumah pintu dibiarkan terbuka. Kok, sekarang ada yang mengetuk dan memang pintunya ditutup.
"Iya, tadi sebelum ke dapur aku menyempatkan untuk mengunci pintu," jawab Roy.
"Lalu, apa maksudnya kau lakukan itu?" Clara bertanya lagi, masih belum mengerti maksud Roy."Ahahaha, mengapa serius sekali bertanyanya sih? Kita kan cuma berdua, apa salahnya aku ambil kesempatan saat tidak ada yang mengganggu?" Roy berkata sambil beranjak dari duduknya dan kini berjalan menuju ruang tamu di mana pintu masuk akan segera dibuka.
"Assalamualaikum," sesorang yang tadi mengetuk pintu kini mengucap salam, sambil melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.
"Walaikumsalam," serentak Clara dan Roy menjawab salam orang itu.
"Clara, kamu baik-baik sajakan?"
Belum sempat duduk dia yang memberi salam tadi langsung tanya keadaan gadis itu.Roy sempat kaget saat orang itu langsung mencerca Clara dengan banyak pertanyaan. Bahkan langsung masuk ke ruang tengah tanpa ada yang mempersilahkannya. Setelah Clara memberitahu yang datang adalah bibinya barulah Roy mengerti.
"Aku baik-baik saja ," Clara menjawab pertanyaan bibinya.
"Syukurlah, kami sempat mencemaskanmu," ucap sang bibi.
"Memangnya apa yang bibi dengar? Hingga secemas itu?" tanya Clara.
"Aku melihat postingan Naira. Kamu habis dari kliniknya kan?" tanya bibi.
"Iya, aku memang habis berobat. Tetapi cuma luka kecil kok, tidak mengapa," Clara menjelaskan keadaanya.
"Syukurlah. Kami sempat cemas."
Clara terdiam saat sang bibi mengucap kata cemas. Clara tidak menyangka jika luka sekecil ini akan menjadi perhatian para saudaranya.Bahkan setelah adik papanya Clara ini datang, bertubi-tubi hingga rumah penuh sanak saudara yang hadir. Clara sungguh tak percaya dengan semua ini.
Penasaran saat para tamu bercengkerama dengan bibinya. Clara menyalakan hand phone yang disimpan sejak tadi di laci meja kamarnya.
Dengan jalan tertatih Clara membuka pintu dan segera menuju tempat phonselnya diletakkan. Sambil menuju keluar kamar, ia membuka status maupun postingan Tante Naira.
Masih dengan berjalan pelan menuju tempat duduk di dekat meja telephone. Sesekali Roy memperhatikan Clara yang sibuk dengan hand phonenya.
Sementara banyak tamu berdatangan diluar dugaan mereka. Ingin rasanya Roy menegur Clara agar menemui dan berada di ruang tamu membersamai karena mereka datang ingin melihat Clara.
Eh, malah Clara sibuk mengurus phonselnya. Clara melihat postingan Tante Naira yang mencemaskan. Foto luka yang menganga di lutut dan siku begitu lebar karena foto diperbesar. Belum lagi saat anestesi untuk mencabut kuku yang hampir lepas. Membuat Clara memaklumi kedatangan mereka yang mengagetkan itu.
"Clara, sini sayang. Temuilah para tamu dulu nak!" ucap sang bibi saat rumah semakin banyak orang.
"Oh, iya bi."
Meski merasa sedikit heran dengan semua ini.Clara mencoba berjalan pelan ke ruang tamu dan duduk dekat dengan bibinya. Semua yang datang merasa kasihan dan mendoakan Clara agar cepat sembuh. Sementara Clara merasa sangat canggung dengan semua ini. Ia merasa baik-baik saja tetapi para saudara mencemaskannya.
Bahkan Clara menggerutu sedikit menyesali sikap bibinya yang memosting hal dimana para saudara terpancing rasa cemas. Sempat ia katakan hal ini pada Roy. Dan Roy menghiburnya dengan mengatakan, jika mungkin Tante Naira ingin supaya mama dan papa Clara tahu kondisi sang anak.
Clara mencoba memahami maksud Tante Naira dan kini ia selalu berada di samping bibinya, untuk menemui para tamu. Bahkan Roy sempat keluar sebentar untuk membelikan air mineral untuk para tamu. Juga beberapa kue kering untuk menjamu mereka.
***
"Clara, kamu baik-baik sajakan?" Sebuah pertantanyaan yang sama kini terlontar dari lisang sang kakak yang juga ikut segera pulang. Kakaknya ini juga cemas setelah melihat postingan dari Tante Naira. Terlebih saat sampai di depan rumah dan banyak orang yang bertamu."Mbak Lira, aku tidak apa-apa kok. Tumben jam segini sudah pulang?" jawab Clara.
"Mama menyuruhku untuk ijin cepat pulang. Katanya kamu sakit dan banyak luka. Mama cemas akan hal ini," ucap sang kakak.
"Tenanglah mbak, lagian aku tidak apa-apa kok. Sampai sungkan rasanya saat banyak saudara ke sini," Clara berkata berkata sambil melirik ke ruang tamu.
"Aku juga segan dan tidak tahu jika banyak yang ke sini. Tapi tak apalah kita temui mereka dengan baik."
Baru saja Clara akan mendekat kembali ke samping bibinya. Para tamu beranjak dan pamit untuk segera pulang. Tak lupa mendoakan kesembuhan untuk Clara.
Dengan sopan dan ramah Clara menjabat tangan mereka satu persatu. Dan berucap terimakasih atas kedatangan mereka. Meski Clara agak segan karena merasa tidak sakit parah.
Hanya terluka sedikit saja sudah membuat banyak yang cemas. Namun para sanak saudara ini merasa lega, karena bisa silaturahmi ke tempat saudaranya itu.
Sudah cukup lama mereka tidak saling berkunjung. Kedatangan ke rumah Clara membuka hati mereka akan pentingnya kebersamaan. Serta saling suport bagi yang sakit agar termotivasi untuk sembuh meski hanya luka saja.
"Aku juga mohon diri untuk pulang ke rumah. Cepat sembuh dan selalu berhati-hati ya nak!" ucap bibinya yang masih ada di rumah Clara.
"Iya bibi. Terimakasih atas waktu luangnya untuk ke sini. Maaf jika merepotkan," ucap Clara sambil menjabat tangan bibinya.
"Baik-baik saja ya! Keponakan-keponakanku. Mampirlah sekali waktu ke rumah bibi! Pintu rumah selalu terbuka untuk kalian," sang bibi kembali berkata sebelum melangkahkan kaki keluar dari rumah Clara.
"Baiklah bibi. Kapan -kapan kami mampir kesana."
Lira menanggapi ucapan bibinya dengan senyum ramah. Sang bibi sangat senang bisa bertemu dengan kedua putri dari kakak laki-lakinya ini.
Sebelum melangkah keluar rumah bibi ini memberi Clara amplop sekedar untuk uang saku esok hari. Clara merasa segan dan sempat menolak pemberian itu. Namun bibinya tetap memaksa agar Clara bersedia menerima.
Karena Clara menolak, sang bibi memasukkan amplop tadi ke dalam tas Clara yang ada di ruang tengah. Clara dan sang kakak terdiam atas aksi ini. Mereka tidak bisa lagi mencegah keinginan adik papanya ini. Hingga bibinya berlalu dari kedua kakak beradik ini.
"Lima ratus ribu rupiah, sebanyak ini bibi member uang saku untukku?"
Clara berkata dalam hati, setelah membuka isi amplop tadi.Sejenak ia melirik ke arah Roy dan sang kakak yang sedang merapihkan ruang tamu dan membersihkan sampah bekas minuman dalam kemasan dan pembungkus snack ringan. Serta menyapu karpet yang banyak remahan kue kering itu.
Clara tersenyum dengan sikap Roy yang dengan santainya membersihkan ruang tamunya. Padahal belum tentu di rumahnya ia mengerjakan semua itu. Karena ia anak milyader, di rumahnya ada beberapa asistant rumah tangga. Sangat tidak mungkin Roy mau menyapu atau sekedar beres-beres seperti yang dilakukan sekarang.
Mau menyapu paling kalau ada kerja bakti di sekolah dan juga piket membersihkan kelas. Meski Roy sangat gaul dan kadang brutal, namun ia rajin mengerjakan tugas dan kegiatan sekolah.
Lelaki berwajah tampan nan manis bertinggi seratus enam puluh lima senti meter ini juga pintar dalam hal pelajaran. Ia pintar berhitung dalam pelajaran matematika, fisika, dan Kimia.
Sangat suka dengan pelajaran bahasa diantaranya bahasa Inggris dan Indonesia. Suka dengan sastra. Pandai membuat puisi dan pandai bersyair. Hanya tidak disalurkan, menjadi bakat terpendam saja. Sempat juara puisi waktu berseragam putih biru dongker. Dan kini di SMA lebih ke pergaulan sehingga malas ikut event sastra.
Ya, begitulah sikap Roy. Kadang impulsif, jika sedang suka dan ada mood dia lakukan. Kadang ia cuek dan angkuh serta malas beraktifitas.
Apalagi saat ini hidup Roy yang penuh dengan euforia. Glamour serba mewah, sehingga tak perlu ikut lomba-lomba yang hadiahnya tidak sebanding dengan tenaga dan pikiran yang dikerahkan. Begitu pikirnya.
"Roy, ini aku lunasi hutangku," ucap Clara sambil menyodorkan lima lembar uang merah.
"Aduh, nona manis ini kenapa sih? Sudah kubilang kalau tidak usah dipikir. Aku ikhlas kok, sudahlah yang penting kamu cepat sembuh. Oke.
Roy meminta Clara untuk menyimpan uang yang hendak diberikan tadi. Ia tidak berharap Clara mengganti uang yang dibayar untuk berobat tadi. Roy bilang ikhlas tapi sebenarnya ada pamrih.
Ia ingin Clara selalu siap menemani dan mendampingi ke mana Roy mengajak pergi, setelah sembuh nanti. Roy sempat mengatakan ini pada Clara. Dan Clara diam tak menanggapi ucapan Roy.
"Hmmm, sepertinya hari semakin menuju waktu sore. Sebaiknya aku pamit pulang dulu." Roy mohon diri dari hadapan Clara dan sang kakak.
Tak lupa mereka berdua mengucapkan banyak terimakasih. Segera Roy mengendarai sepedanya yang dari tadi diparkir di halaman rumah Clara.
Rumah Clara kembali sepi, hanya ada dia dan sang kakak. Pintu kembali ditutup seperti biasanya. Clara duduk di ruang tamu, sembari melihat lukanya. Sesekali ia menguap karena serangan kantuk yang membuatnya ingin segera membaringkan tubuhnya.
"Sudahkah kau minum obat duhai Clara?" tanya sang kakak.
*Bersambung*
"Aku sudah ingin istirahat mbak, nanti malam saja minum obatnya ya," ucap Clara."Apakah kamu ingin merasakan sakit terus? Sekarang makanlah dulu. Setelah itu obatnya diminum biar cepat sembuh." Sang kakak kembali memperingatkan Clara. Bahkan ia menggandeng tangan sang adik untuk diajak ke ruang makan."Aku ingin tidur mbak. Bukan mau makan." Clara berkata dengan wajah pucat dan mata menyipit. Lira bergegas ke dapur untuk mengambilkan roti bakar dan teh hangat juga segelas air putih."Kalau begitu makanlah roti ini!"Clara membuka matanya yang sudah mengantuk berat. Sang kakak sangat menyarankan untuk segera makan yang mau ditelan walau sekedar roti saja. Dan yang penting obatnya bisa masuk ke tubuh, untuk proses pengeringan dan penyembuhan luka.Awalnya Clara sempat menolak berulang kali, sang kakak terus membujuk hingga akhirnya Clara menerima tawaran untuk sekedar makan roti dan minum obat.Biar bagaimana juga rasa sakit h
"Clara, sudah sore. Bangunlah bersih diri segera!" Lira, sang kakak mendekati adiknya di kamar bernuansa merah muda ini. Ia membangunkan sang adik. "Nanti saja kak, aku masih mengantuk," Clara berucap sambil menggeliatkan tubuhnya, kemudian memejamkan matanya kembali. "Sejak kapan kamu jadi malasan begini, bangunlah kita makan dulu! Itu kakak sudah buatkan bubur kesukaanmu!" Lira sedikit memaksakan agar adiknya mau membuka mata. "Uuuhhh, baiklah." Clara meregangkan kedua tangannya. Sesekali ia menguap. Dipandanginya jam dinding di kamar yang ia gunakan untuk istirahat sehari-hari. Jarum panjangnya berada diangka tiga dan pendeknya diangka lima. Lima belas menit telah berlalu dari pukul lima sore.Dengan sedikit malas Clara turun dari ranjang dan membiarkan kasurnya berantakan. Segera menuju ke ruang wastafel, mencuci muka dengan sabun wajah merek terkenal. Clara sudah lupa dengan sakitnya. Tangannya sudah leluasa bergerak, bahka
Kembali ceria Sore ini tante Naira sengaja datang ke rumah Clara sang keponakan. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Saat tiba di depan pintu gerbang rumah Clara, sebenarnya ingin mengucap salam, namun karena mendengar suara kedua kakak beradik yang meninggi ini, Tante Naira cemas dan segera menghampiri Lira dan Clara. Rasa kaget dan penasaran juga menghiasi hati kedua anak putri yang masih saudaranya Tante Naira. Manakala sang tante mengucap salam, mereka berdua menjawab serentak juga seperti tadi saat mengucap sapaan untuk perawat klinik tempat Clara berobat tadi. Mereka berdua segera beranjak dari tempat duduknya dan mempersilahkan tante Naira untuk masuk ke rumah. Saudara kakak beradik ini sebenarnya tadi ingin pulang ke rumah. Namun dalam perjalanan, ia berjumpa dengan seseorang. Niat istirahat di rumah keluatga diurungkannya setelah sempat ke klinik lagi. Ada hal yang ingin meminta pertimbangan kepada keponakannya itu. Sekaligus nantinya ingin mengaj
Di ruang makan Tante Naira masih melanjutkan aktifitas di ruang makan. Sementara Clara sudah selesai dan kini kembali asyik melihat postingan teman-temanya di sebuah jejaring sosial. Karena sudah mau makan, Lira menyiapkan obat yang harus dikonsumsi oleh adiknya itu. Clara agak malasan untuk minum obat, karena itu sang kakak yang selalu memperhatikan. Sementara Lira menyiapkan obat, Clara malah asyik bermain handphone. Chatingan ria dengan beberapa teman termasuk salah satunya Roy. Ia lupa bahwa setelah makan masih ada tugas minum obat. Dalam chatinganya Roy sebenarnya ingin mengajak Clara ke club, malam minggu ini. Namun melihat kondisi temannya yang penuh luka rasanya tidak mungkin untuk bermalam mingguan. "Serius sekali menanggapi pesan para temanmu, duhai adikku?" tanya sang kakak yang kini sudah selesai aktifitas di ruang makan itu. "Iya mbak, penting sih." Clara menjawab dengan tenang dan santai, sambil meneruskan ketikan pesan untuk mem
Menolong Roy.Karena kondisi yang kurang sadar betul akibat banyak minum, Roy kehilangan kendali pada dirinya. Tidak bisa fokus saat mengendarai sepeda motornya hingga oleng dan menabrak trotoar, tubuhnya jatuh dan kepalanya membentur bagian tepi yang tidak rata bahkan ia berguling mengenai beberapa batu kasar yang ada didekat tempat pejalan kaki ini.Hendra yang berada di dekatnya jadi panik. Ketika tahu temanya ini jatuh terguling bahkan kepalanya terbentur benda kasar tanpa pelindung. Karena suasana malam hari dan lokasi tidak begitu jauh dari rumahnya. Roy tidak memakai helm warna hitam yang sempat dikenakan saat berangkat tadi.Pelindung kepala ini seharusnya tetap melekat di anggota tubuh bagian atas ini. Namun Roy merasa agak gerah dan lebih nyaman tanpa helm serta berpikir suasana malam jalanan lengang tidak semacet saat siang hari. Juga ingin merasakan semilir angin malam dan Roy pikir perjalanan tidak memakan waktu lama terlebih saat lengang bisa sedik
Di Klinik lagi.Roy mendapat pertolongan dengan segera dijahit luka pada kepalanya. Kebetulan jika malam hari, klinik tidak terlalu ramai pasien yang berobat. Hanya sesekali jika ada pasien baru yang membutuhkan pertolongan gawat darurat.Untuk pasien yang dirawat inap ada beberapa hingga hingga bangsal hampir penuh. Mereka tinggal dipantau infus dan penjagaan jika ada keluhan yang membutuhkan pertolongan perawat. Ketika Roy dan Hendra membutuhkan pertolongan. Segera bisa ditangani, kebetulan tante Naira sedang di klinik.Tante Naira bisa langsung menangani penjahitan dan lainnya. Dokternya sedang keluar sebentar dan sudah tahu jika tante Naira sudah terampil dan ahli menjahit luka. Sehingga untuk intruksi penanganan selanjutnya sudah selesai penjahitan luka. Hendra sendiri mendapat jahitan di kaki dan tangan, karena benturan dengan tepi trotoar yang kasar permukaannya.Karena Roy sampai pinsan akan ada rujukan untuk CT Scant di rumah sakit untuk Ro
Kesan dari Hendra."Roy, diakah tante?" Clara bertanya dengan nada cemas dan sedikit gemetar. Roy teman yang tadi siang menolongnya, kini berada di ruang perawatan. Sungguh kenyataan yang tak pernah disangkanya. Begitulah memang adanya kehidupan."Sepertinya iya, dari kartu identitas dan sekilas wajah yang masih tante ingat," jawab tante Naira."Dia kenapa tante?" Kali ini Clara bertanya dengan mata berkaca. Rasa penasaran semakin menghiasinya."Kepalanya ada beberapa luka dan orangnya masih belum sadarkan diri."Clara tak kuasa menahan air matanya agar tidak menetes. Sedih dan kasihan mendengar berita ini. Siapa sangka lelaki yang tadi siang membersamainya, menemaninya. Kini matanya terpejam dengan luka yang harus dijahit."Bolehkah aku menjenguknya Tante?" tanya Clara dengan suara yang semakin serak."Boleh. Itu di ruang sebelah. Dia bersama dua temanya. Yang satu sakit juga, mana keluarganya belum ada yang datang." Tante Naira memp
Pesan dari Roy."Kenapa kalian menangis sih? Aku baik-baik saja kok." Walau sebenarnya sedih karena ada luka serius di kaki dan membutuhkan perawatan lebih di rumah sakit, Hendra tetap berusaha menghibur kedua adiknya yang tampak bingung dan kecewa."Kakak bohong, kata dokter kaki kakak perlu di rongtsen, ada hal yang perlu ditangani lebih lanjut." Sang adik berkata sambil terisak. Hendra sempat kaget setelah mendengar ucapan adiknya."Hah, dari mana kalian tahu? Bukankah belum ketemu dokternya?" tanya Hendra"Iya sih kak, jangankan ketemu dokter, petugas jaga saja kita gak lihat," jawab adiknya Hendra."Terus kamu tahu dari mana?" Hendra bertanya lagi. Ia sangat tidak ingin adiknya larut dalam kesedihan serta berpikir keras dengan apa yang sedang ia alami."Tadi mamanya mas Roy sempat cerita saat di mobil," jawab adiknya lagi.Sejenak Hendra memandang ke arah Roy yang kini sedang diperhatikan oleh orang tuanya. Hendra paham betul jik