Share

Tamu tak terduga

"Tok..tok!" 

Terdengar suara orang mengetuk pintu ketika mereka berdua sedang berdekapan mesra. Segera Roy melepas tangan yang tadi dilingkarkan di pinggang Clara. Mereka berdua agak kaget dan merasa tidak biasanya ada orang mengetuk pintu di siang hari. 

Kecuali memang ada tamu yang menyampaikan hal penting. Roy dan Clara saling berpandangan, menerka siapa yang datang siang hari disaat orang sedang memanfaatkan waktu untuk istirahat.

Para tetangga Clara sudah paham jika bertamu yidak akan siang hari. Karena waktu seperti ini biasanya untuk santai atau tidur siang.

"Apakah kau mengunci pintu rumah ini, Roy?"

Clara bertanya dengan rasa penasaran. Setahu dia tadi waktu masuk ke dalam rumah pintu dibiarkan terbuka. Kok, sekarang ada yang mengetuk dan memang pintunya ditutup.

"Iya, tadi sebelum ke dapur aku menyempatkan untuk mengunci pintu," jawab Roy.

"Lalu, apa maksudnya kau lakukan itu?" Clara bertanya lagi, masih belum mengerti maksud Roy.

"Ahahaha, mengapa serius sekali bertanyanya sih? Kita kan cuma berdua, apa salahnya aku ambil kesempatan saat tidak ada yang mengganggu?" Roy berkata sambil beranjak dari duduknya dan kini berjalan menuju ruang tamu di mana pintu masuk akan segera dibuka.

"Assalamualaikum," sesorang yang tadi mengetuk pintu kini mengucap salam, sambil melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.

"Walaikumsalam," serentak Clara dan Roy menjawab salam orang itu.

"Clara, kamu baik-baik sajakan?"

Belum sempat duduk dia yang memberi salam tadi langsung tanya keadaan gadis itu.

Roy sempat kaget saat  orang itu langsung mencerca Clara dengan banyak pertanyaan. Bahkan langsung masuk ke ruang tengah tanpa ada yang mempersilahkannya. Setelah Clara memberitahu yang datang adalah bibinya barulah Roy mengerti.

"Aku baik-baik saja ," Clara menjawab pertanyaan bibinya.

"Syukurlah, kami sempat mencemaskanmu," ucap sang bibi.

"Memangnya apa yang bibi dengar? Hingga secemas itu?" tanya Clara.

"Aku melihat postingan Naira. Kamu habis dari kliniknya kan?" tanya bibi.

"Iya, aku memang habis berobat. Tetapi cuma luka kecil kok, tidak mengapa," Clara menjelaskan keadaanya.

"Syukurlah. Kami sempat cemas."

Clara terdiam saat sang bibi mengucap kata cemas. Clara tidak menyangka jika luka sekecil ini akan menjadi perhatian para saudaranya.

Bahkan setelah adik papanya Clara ini datang, bertubi-tubi hingga rumah penuh sanak saudara yang hadir. Clara sungguh tak percaya dengan semua ini.

Penasaran saat para tamu bercengkerama dengan bibinya. Clara menyalakan hand phone yang disimpan sejak tadi di laci meja kamarnya.

Dengan jalan tertatih Clara membuka pintu dan segera menuju tempat phonselnya diletakkan. Sambil menuju keluar kamar, ia membuka status maupun postingan Tante Naira.

Masih dengan berjalan pelan menuju tempat duduk di dekat meja telephone. Sesekali Roy memperhatikan Clara yang sibuk dengan hand phonenya.

Sementara banyak tamu berdatangan diluar dugaan mereka. Ingin rasanya Roy menegur Clara agar menemui dan berada di ruang tamu membersamai karena mereka datang ingin melihat Clara.

Eh, malah Clara sibuk mengurus phonselnya. Clara melihat postingan Tante Naira yang mencemaskan. Foto luka yang menganga di lutut dan siku begitu lebar karena foto diperbesar. Belum lagi saat anestesi untuk mencabut kuku yang hampir lepas. Membuat Clara memaklumi kedatangan mereka yang mengagetkan itu. 

"Clara, sini sayang. Temuilah para tamu dulu nak!" ucap sang bibi saat rumah semakin banyak orang.

"Oh, iya bi."

Meski merasa sedikit heran dengan semua ini.

Clara mencoba berjalan pelan ke ruang tamu dan duduk dekat dengan bibinya. Semua yang datang merasa kasihan dan mendoakan Clara agar cepat sembuh. Sementara Clara merasa sangat canggung dengan semua ini. Ia merasa baik-baik saja tetapi para saudara mencemaskannya.

Bahkan Clara menggerutu sedikit menyesali sikap bibinya yang memosting hal dimana para saudara terpancing rasa cemas. Sempat ia katakan hal ini pada Roy. Dan Roy menghiburnya dengan mengatakan, jika mungkin Tante Naira ingin supaya mama dan papa Clara tahu kondisi sang anak.

Clara mencoba memahami maksud Tante Naira dan kini ia selalu berada di samping bibinya, untuk menemui para tamu. Bahkan Roy sempat keluar sebentar untuk membelikan air mineral untuk para tamu. Juga beberapa kue kering untuk menjamu mereka.

***

"Clara, kamu baik-baik sajakan?" 

Sebuah pertantanyaan yang sama kini terlontar dari lisang sang kakak yang juga ikut segera pulang. Kakaknya ini juga cemas setelah melihat postingan dari Tante Naira. Terlebih saat sampai di depan rumah dan banyak orang yang bertamu.

"Mbak Lira, aku tidak apa-apa kok. Tumben jam segini sudah pulang?" jawab Clara.

"Mama menyuruhku untuk ijin cepat pulang. Katanya kamu sakit dan banyak luka. Mama cemas akan hal ini," ucap sang kakak.

"Tenanglah mbak, lagian aku tidak apa-apa kok. Sampai sungkan rasanya saat banyak saudara ke sini," Clara berkata berkata sambil melirik ke ruang tamu.

"Aku juga segan dan tidak tahu jika banyak yang ke sini. Tapi tak apalah kita temui mereka dengan baik."

Baru saja Clara akan mendekat kembali ke samping bibinya. Para tamu beranjak dan pamit untuk segera pulang. Tak lupa mendoakan kesembuhan untuk Clara.

Dengan sopan dan ramah Clara menjabat tangan mereka satu persatu. Dan berucap terimakasih atas kedatangan mereka. Meski Clara agak segan karena merasa tidak sakit parah. 

Hanya terluka sedikit saja sudah membuat banyak yang cemas. Namun para sanak saudara ini merasa lega, karena bisa silaturahmi ke tempat saudaranya itu.

Sudah cukup lama mereka tidak saling berkunjung. Kedatangan ke rumah Clara membuka hati mereka akan pentingnya kebersamaan. Serta saling suport bagi yang sakit agar termotivasi untuk sembuh meski hanya luka saja.

"Aku juga mohon diri untuk pulang ke rumah. Cepat sembuh dan selalu berhati-hati ya nak!" ucap bibinya yang masih ada di rumah Clara.

"Iya bibi. Terimakasih atas waktu luangnya untuk ke sini. Maaf jika merepotkan," ucap Clara sambil menjabat tangan bibinya.

"Baik-baik saja ya! Keponakan-keponakanku. Mampirlah sekali waktu ke rumah bibi! Pintu rumah selalu terbuka untuk kalian," sang bibi kembali berkata sebelum melangkahkan kaki keluar dari rumah Clara.

"Baiklah bibi. Kapan -kapan kami mampir kesana."

Lira menanggapi ucapan bibinya dengan senyum ramah. Sang bibi sangat senang bisa bertemu dengan kedua putri dari kakak laki-lakinya ini.

Sebelum melangkah keluar rumah bibi ini memberi Clara amplop sekedar untuk uang saku esok hari. Clara merasa segan dan sempat menolak pemberian itu. Namun bibinya tetap memaksa agar Clara bersedia menerima.

Karena Clara menolak, sang bibi memasukkan amplop tadi ke dalam tas Clara yang ada di ruang tengah. Clara dan sang kakak terdiam atas aksi ini. Mereka tidak bisa lagi mencegah keinginan adik papanya ini. Hingga bibinya berlalu dari kedua kakak beradik ini.

"Lima ratus ribu rupiah, sebanyak ini bibi member uang saku untukku?" 

Clara berkata dalam hati, setelah membuka isi amplop tadi.

Sejenak ia melirik ke arah Roy dan sang kakak yang sedang merapihkan ruang tamu dan membersihkan sampah bekas minuman dalam kemasan dan pembungkus snack ringan. Serta menyapu karpet yang banyak remahan kue kering itu.

Clara tersenyum dengan sikap Roy yang dengan santainya membersihkan ruang tamunya. Padahal belum tentu di rumahnya ia mengerjakan semua itu. Karena ia anak milyader, di rumahnya ada beberapa asistant rumah tangga. Sangat tidak mungkin Roy mau menyapu atau sekedar beres-beres seperti yang dilakukan sekarang.

Mau menyapu paling kalau ada kerja bakti di sekolah dan juga piket membersihkan kelas. Meski Roy sangat gaul dan kadang brutal, namun ia rajin mengerjakan tugas dan kegiatan sekolah.

Lelaki berwajah tampan nan manis bertinggi seratus enam puluh lima senti meter ini juga pintar dalam hal pelajaran. Ia pintar berhitung dalam pelajaran matematika, fisika, dan Kimia.

Sangat suka dengan pelajaran bahasa diantaranya bahasa Inggris dan Indonesia. Suka dengan sastra. Pandai membuat puisi dan pandai bersyair. Hanya tidak disalurkan, menjadi bakat terpendam saja. Sempat juara puisi waktu berseragam putih biru dongker. Dan kini di SMA lebih ke pergaulan sehingga malas ikut event sastra.

Ya, begitulah sikap Roy. Kadang impulsif, jika sedang suka dan ada mood dia lakukan. Kadang ia cuek dan angkuh serta malas beraktifitas.

Apalagi saat ini hidup Roy yang penuh dengan euforia. Glamour serba mewah, sehingga tak perlu ikut lomba-lomba yang hadiahnya tidak sebanding dengan tenaga dan pikiran yang dikerahkan. Begitu pikirnya.

"Roy, ini aku lunasi hutangku," ucap Clara sambil menyodorkan lima lembar uang merah.

"Aduh, nona manis ini kenapa sih? Sudah kubilang kalau tidak usah dipikir. Aku ikhlas kok, sudahlah yang penting kamu cepat sembuh. Oke.

Roy meminta Clara untuk menyimpan uang yang hendak diberikan tadi. Ia tidak berharap Clara mengganti uang yang dibayar untuk berobat tadi. Roy bilang ikhlas tapi sebenarnya ada pamrih.

Ia ingin Clara selalu siap menemani dan mendampingi ke mana Roy mengajak pergi, setelah sembuh nanti. Roy sempat mengatakan ini pada Clara. Dan Clara diam tak menanggapi ucapan Roy.

"Hmmm, sepertinya hari semakin menuju waktu sore. Sebaiknya aku pamit pulang dulu." Roy mohon diri dari hadapan Clara dan sang kakak.

Tak lupa mereka berdua mengucapkan banyak terimakasih. Segera Roy mengendarai sepedanya yang dari tadi diparkir di halaman rumah Clara.

Rumah Clara kembali sepi, hanya ada dia dan sang kakak. Pintu kembali ditutup seperti biasanya. Clara duduk di ruang tamu, sembari melihat lukanya. Sesekali ia menguap karena serangan kantuk yang membuatnya ingin segera membaringkan tubuhnya. 

"Sudahkah kau minum obat duhai Clara?" tanya sang kakak.

*Bersambung*

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status