ting tong ting tong
Suara bel berbunyi nyaring, menandakan ada seseorang di balik pintu. Cepat-cepat pintu itu dibuka, dan menampakkan sosok laki-laki tinggi tampan mengenakan kemeja maroon dan celana kain. Laki-laki itu tersenyum pada sang pembuka pintu, kemudian melangkah masuk.
“Allen! lo udah dateng?” Alina melonjak senang dan segera menghampiri sosok itu. Di hadapannya, Alina menggunakan dres merah beludru, benar-benar sangat serasi dipandang.
Alina menggandeng Allen dan mendampinginya ke dalam suatu ruangan. Di sana, sudah terdapat tiga orang yang duduk di meja makan persegi panjang. Tentu Lesmana di ujungnya, diikuti Trisia dan Seline di sisi timur. Sedang Alina dan Allen akan duduk di sisi barat.
Alina duduk di sebelah ayahnya, kemudian Allen berseberangan dengan Seline. Allen memandangi Seline yang sedang membuang muka, tak mau melihat ke arahnya.
“Oke, sepertinya semua sudah berkumpul, mari kita berdoa sebelum makan,” kepala keluarga itu memimpin doa, dan yang lainnya menunduk khidmat. Setelahnya, mereka mulai menyantap makanan yang sudah dihidangkan.
“Papa, ini temen yang Alina ceritakan ke papa, dia peraih nilai ujian tertinggi lo pa, di kelas!” Alina sangat antusias mengenalkan Allen pada Lesmana.
Lesmana berdehem dan tersenyum bersahaja kepada Allen. “Oh, ya? Hebat sekali kamu Allen. Apa orang tua kamu punya background hukum juga?”
“Enggak om, mereka semua dokter, baru saya yang hukum,” Allen menjawab Lesmana singkat. Sedangkan yang bertanya mengernyitkan dahi.
“Loh, kenapa gak ngelanjutin jadi dokter?” Lesmana semakin tertarik pada Allen. Tidak dapat dipungkiri, wajah tampan Allen, prestasi yang dibuat, dan background keluarga sangat penting bagi Lesmana untuk dapat memilah mana lawan dan mana kawan.
“Tuntutan nurani saja sih om,” Allen menjawab segan. Sudah beribu kali dirinya mendapat pertanyaan yang seperti ini. Pertanyaan tambahan dari Lesmana tidak membuatnya kikuk.
“Oh, begitu. Tidak apa berbeda, dunia hukum juga sama-sama membanggakan, toh?” Alina dan Allen mengangguk-angguk setuju.
Sepanjang makan malam itu diisi dengan candaan Lesmana, Alina dan Allen. Alina sangat terkejut ternyata Allen sangat aktif menanggapi umpan percakapannya. Pada makan malam ini, seluruh keluarga akhirnya tau, bahwa Allen adalah anak pemilik rumah sakit swasta yang tersebar di seluruh negeri ini.
Semuanya menikmati makan malam dengan riang. Namun tidak demikian dengan Seline dan Trisia. Trisia tau bahwa Allen adalah teman terdekat Seline, kemudian menyela “Allen, tante seneng kamu dekat dengan keluarga baru tante, kamu bener-bener bisa diandalkan, tante jadi nggak ragu kalau menitipkan Seline sama kamu,”
Alina kehilangan senyumnya, melihat seperti apa Trisia akan berdrama malam ini. “Dari dulu kamu sama-sama terus dengan Seline, sampe orang kira kamu pacarnya Seline, ya kan?” Trisia menyenggol lengan Seline untuk menanggapi.
Seline akhirnya sadar dari kemarahannya dan mengikuti drama Trisia. “Iya, makasih banyak ya, Allen. Lo bener-bener ngisi kasih sayang yang harusnya diberikan sosok ayah untuk gue. Gue beruntung banget temenan sama lo,”
“Lo, Seline dan Allen ternyata dekat sejak dulu, ya. Papa seneng kalau gitu, Alina dan Seline punya teman yang baik seperti Allen,” Lesmana tersenyum tenang.
Tiba-tiba, Seline menitikkan air mata. Trisia yang menyadari hal tersebut langsung memeluk Seline, berusaha agar semua perhatian tercurah pada Seline. Lesmana juga khawatir dan bertanya kenapa Seline menangis.
“Seline cuma punya temen Allen. Seline sama sekali enggak mudah berbaur. Tapi pagi ini tiba-tiba Alina bilang dia deket sama Allen. Apa itu berarti, Selina bakal ga punya temen?” sahut Seline dengan intonasi sedihnya.
Alina memutar bola matanya malas. Drama ini tidak akan berakhir tanpa Lesmana menyalahkannya. Selalu begitu, obsesi mereka adalah membuat Alina tidak memiliki siapapun yang berdiri di pihaknya.
Alina tersenyum, “Ga mungkin dong, Seline. Allen tetep temenan sama kamu kok, dia cuma nambah temen aja. Kan sebagai mahasiswa hukum, kita harus punya relasi, koneksi, dan kolega yang luas. Bener, kan pa?”.
Lesmana manggut-manggut setuju dengan Alina. Seline mengerutkan kening, bibirnya terkatup marah, tangannya menggenggam garpu, ingin melemparkannya pada Alina. Alina menatap balik dan tersenyum menang. Dirinya tidak akan kalah dari Seline.
Saline berdiri dan pamit undur diri dan segera pergi dari ruangan itu. Melihat hal itu, Allen iba dan mengejar Seline.
Sesampainya di taman, Allen melihat Seline menendang-nendang kursi taman. Allen meraih tangan Seline, dan memeluknya. Seline berontak marah, tangannya memukul dada Allen.
“Lo jahat, Allen! Gue benci sama lo! Kenapa lo harus deket sama musuh gue, Allen!” air mata Seline mulai bercucuran keluar. Dirinya merasa dikhianati oleh sahabatnya sendiri.
Pria itu tetap erat memeluknya, sampai emosinya reda. Kemudian Allen berkata pelan, “Gue minta maaf, Seline. Gue sedikit kasihan sama dia,”
Seline menatapnya nanar dan menganga tidak percaya, “Kasian? maksud lo apa sih kasian sama dia? Jelas-jelas lo tau sebenci apa gue!”
“Karena gue tau, lo yang fitnah dia dengan naruh surat di meja Mr. David,” Allen melepaskan pelukannya dan menatap dalam kedua mata Seline.
“Lo memang benci sama dia, tapi jangan pakai cara seperti ini. Ini juga bisa bahayain reputasi lo, Seline!” pria itu mengguncang kecil pundak wanita yang ada di depannya.
“Satu lagi, Mr. David sebenarnya tau kalau itu lo! tapi gue mohon ke dia buat lindungi lo. Dan lo tau, Alina jadi dapet imbas yang besar, mulai dari dibenci kating, ditampar ayahnya, sampai ga bisa buat surat rekom!” suara pria itu sedikit pelan, namun berintonasi tinggi.
“Gue cuma bantuin dia dikit, dan gue juga udah janji bakal nerima ucapan terima kasih dia. Jadi, lo ga perlu khawatir, Seline!”
Seline kemudian memeluk Allen erat. Dirinya merasa bersalah sekaligus berterima kasih pada Allen. Seline akan merasa sangat kehilangan kalau Allen sampai berpihak pada Alina.
Sementara itu, tidak jauh dari sana, ada sepasang telinga yang mendengar mereka.
Menginjak semester 2, Alina disibukkan dengan kegiatan perekrutan BEM. Dirinya memutuskan untuk gabung di organisasi tersebut untuk memperluas relasinya. Kalau-kalau rencana pelarian Alina berhasil, dirinya tidak akan kesusahan untuk menemukan kolega.“Oke, tahapan seleksi akan berjalan selama satu bulan penuh. Kalian akan melalui proses wawancara, magang divisi, dan evaluasi. Semua ketentuan dan syarat sudah tertera di juknis,” Ronald menatap satu persatu mahasiswa yang hadir dalam ruangan tersebut.Setelah semua rangkaian pertemuan selesai, ketua rekrutmen BEM tersebut menghampiri Alina. “Hai Al. Akhirnya lo gabung BEM ya, gue apresiasi kemauan lo untuk mengubah masa depan,”.Alina malas menanggapi Ronald. Entah mengapa, dirinya merasa Ronald punya maksud lain ketika menghampirinya. “
Drrt.. drt.. Ponsel Alina bergetar singkat, menampakkan pesan dari nomor tak dikenal. Sang pemilik sedang enggan membukanya. Dirinya sedang serius menorehkan cat ke kanvas. Menggambar lukisan abstrak, dengan gabungan warna-warna neon yang cerah. Saat melihat torehan cat itu, Alina membayangkan bentuk abstrak dari mimpi. Ketika seseorang berkata bahwa mereka memiliki mimpi, seperti apakah mimpi itu? Apakah berwarna cerah, atau pastel, bahkan abu-abu? Mungkin akan langsung tergambar situasi dan kondisi yang manusia itu harapkan. Alina tentu juga punya, mimpi yang diinginkannya. Warnanya cerah seperti tone cat yang berada di hadapannya sekarang. Setelah menjual beberapa lukisan kemarin, perasaan hatinya mulai ringa. Karena, berarti karyanya dapat dinikmati oleh orang lain. Kemudian, Alina teringat dengan salah satu lukisan yang menurutnya cukup kontroversial. Ada seorang anonim yang sengaja membeli lukisan itu darinya. Mungkinkah mereka berdua memiliki musuh yang sama? Atau malah, ka
“Papa dengar kalian berdua diminta untuk tampil di Law School Graduation, ya?” tanya Lesmana sembari mengunyah makanan kepada kedua putrinya. Alina dan Seline mengangguk. Pihak kemahasiswaan menghubungi mereka berdua untuk tampil solo dengan memainkan alat musik. Memang, kelulusan di Law School selalu memamerkan bakat para mahasiswanya secara besar-besaran. Karena, di sana hadir berbagai macam orang dengan berbagai macam latar profesi. Tentu, jika salah satu dari mereka tertarik, maka mahasiswa tersebut sudah pasti dapat menapaki masa depan yang gemilang. “Papa pasti nonton kan, ini perdana Seline bawain piano loh!” Seline menampilkan senyum termanisnya di depan sang ayah. Alina hanya dapat memutar kedua bola matanya, terganggu dengan Seline yang sangat bermuka dua. “Lo, Seline, bukannya kamu lebih ahli main biola, ya?” Lesmana sangat penasaran kepada kemampuan berpiano Seline. Bukankah anak ini baru belajar piano selama lima bulan? “Seline udah bisa main lagu yang rumit, kok p
“Gue benci banget sama Ronald!” Alina menggebrakkan tangannya ke meja kelas. Namira yang duduk di sebelahnya berjingkat kaget. “Lo apa-apaan sih, Al. Baru masuk kelas udah jelek aja mood lo!” Namira heran dengan kelakuan Alina. Biasanya Alina bersikap tanpa emosi dan cenderung datar. Entah setan mana yang merasuki dirinya hari ini. Alina menenggelamkan wajahnya ke dalam kedua tangannya. Ronald membuat perasaannya seperti di roller coaster. Setelah memberinya kehangatan yang nyaman, Ronald membawa hatinya pada puncak paling tinggi di lintasan. Namun layaknya roller coaster, perasaan tersebut cepat sekali terjun ke lintasan paling dasar. “Al? Lo gapapa kan? Emangnya Ronald ngapain lo lagi?” Namira memang mengetahui banyak hal tentang Alina. Karena saat ini, Alina sangat yakin Namira adalah satu-satunya orang yang berada di pihaknya. Namira tidak butuh keuntungan maupun pertolongan apapun dari Alina dan keluarganya. Keluarga Namira sudah cukup terpandang dan berpengaruh di negeri in
Setelah berlangsung beberapa lama, upacara kelulusan telah usai. MC kemudian memandu acara selanjutnya, yakni pertunjukkan dari mahasiswa aktif di Law School. Penampilan pertama dibuka oleh Seline dengan piano cantiknya. Seline memasuki panggung dan menunduk khidmat, tersenyum cerah kepada seluruh pasang mata yang menontonnya hari ini. Seline sangat percaya diri berjalan ke arah piano, kemudian duduk dengan anggun. Jari-jari lentiknya mulai menekan tuts dengan tempo yang cepat. Semua orang yang hadir adalah orang yang berada, mereka sering mendengarkan orkestra dan musik klasik lainnya. Mereka mengetahui lagu-lagu yang dibuat oleh pemusik profesional. Salah satunya adalah lagu yang dibawakan oleh Seline. Ketika sang piano mengeluarkan nada-nada yang mereka kenal, penonton terkejut bukan main. Mereka menganga takjub dengan kemampuan permainan Seline. Permainan piano tersebut adalah lagu yang terkenal, yakni La Campanella oleh Liszt. Permainan piano yang membutuhkan konsentrasi ekstr
Brak brak brak brak Pintu kamar Seline digebrak dengan sangat kuat. Seline terjingkat kaget, siapa yang menggebrak kamarnya. Seline hanya diam, dirinya sangat takut ada suatu hal terjadi padanya. Kemudian listrik tiba-tiba padam, sinyal pada ponselnya diblokir, Seline tidak bisa menelpon siapapun. Dirinya juga tidak bisa keluar dari kamar. Seline meringkuk takut. Brak brak brak Pintu digebrak sekali lagi, menambah rasa takut pada diri Seline. Beberapa detik kemudian, pintu didobrak oleh dua laki-laki bertubuh tinggi besar. Dua laki-laki itu masuk, Seline mulai menangis mengeluarkan air matanya. Dua pria yang mendobrak kamarnya kini telah berdiri di hadapan Seline. Mereka hanya diam memandangi Seline. Saking takutnya, Seline tidak berkata apa-apa, dirinya hanya menangis sambil menutupi kedua telinganya. Lalu masuk seorang wanita, yang kemudian berkata “Pegang dia!”. Kedua laki-laki itu menyeret Seline ke tembok dan memegangi tangan serta kakinya. Seline sama sekali tidak bisa b
Pagi itu, di ruang makan, Alina bersama Ali dan Gregor sesekali bersenda gurau. Mereka juga sering melemparkan interaksi kepada Lesmana. Gelak tawa dari Alina memenuhi ruangan. Ah, bahagia sekali saat ini. Apa tidak bisa begini saja setiap hari? Berbeda dengan Alina, Seline tidak berani menatap mereka. Kepalanya menunduk, bayangan perbuatan mereka tadi malam masih terpatri dalam diri Seline. Melihat hal itu, Alina sedikit merasa iba. Dalam hati kecilnya, sungguh ia ingin sedikit lebih akrab dengan Seline. Atau setidaknya, mereka tidak berusaha saling membunuh. Saat ini Alina merasa tenang karena ada Ali dan Gregor yang siap membela dirinya. Namun, mereka berdua juga harus pergi untuk mengurus hal lainnya. Tentu, Alina tidak bisa menahan mereka. Namuns etidaknya, Seline tidak akan bertindak gegabah sekarang, karena Alina juga tidak bodoh untuk mengetahui trik licik Seline. Setelah mengantar kepergian Ali dan Gregor, Alina menuju kamarnya lagi. Mengeluarkan alat-alat yang cukup lama
Mobil Ronald melaju dengan hening. Pengemudinya sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Sementara penumpang di sebelahnya, sibuk mengatur perasaannya. Kejadian beberapa saat lalu sangat tidak biasa dalam hidupnya. Alina tidak pernah sama sekali merasakan cinta terhadap lawan jenis, maupun berpacaran. Pun tidak ada yang mengajarkan Alina untuk merasakan semua itu. Alina kebingungan memproses rasa-rasa yang menurutnya asing.Deru nafas dari keduanya menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar. Mobil Ronald melaju pelan dan terhenti karena macet. Justri, ini menambah kecanggungan diantara mereka berdua. Sebenarnya, Alina tidak mengira keadaan akan sehening ini, mengingat Ronald mungkin pernah beberapa kali merasakan jatuh cinta dan berpacaran. Kejadian di Villa keluarga Ronald membuat Alina berpikiran yang tidak-tidak. Untung saja dirinya cepat-cepat berdiri dan mengalihkan pembicaraan, karena kalau tidak, mereka akan melakukan sesuatu. Lamunannya terjeda ketika mobil Ronald memasuki area