Menginjak semester 2, Alina disibukkan dengan kegiatan perekrutan BEM. Dirinya memutuskan untuk gabung di organisasi tersebut untuk memperluas relasinya. Kalau-kalau rencana pelarian Alina berhasil, dirinya tidak akan kesusahan untuk menemukan kolega.
“Oke, tahapan seleksi akan berjalan selama satu bulan penuh. Kalian akan melalui proses wawancara, magang divisi, dan evaluasi. Semua ketentuan dan syarat sudah tertera di juknis,” Ronald menatap satu persatu mahasiswa yang hadir dalam ruangan tersebut.
Setelah semua rangkaian pertemuan selesai, ketua rekrutmen BEM tersebut menghampiri Alina. “Hai Al. Akhirnya lo gabung BEM ya, gue apresiasi kemauan lo untuk mengubah masa depan,”.
Alina malas menanggapi Ronald. Entah mengapa, dirinya merasa Ronald punya maksud lain ketika menghampirinya. “Eh, hehehe. Iya kak, makasih yaa,” jawab Alina segan.
Sebelum Alina sempat menghindar, datang seorang laki-laki di belakangnya dan menggenggam tangan Alina. “Udah selesai?” tanyanya pada Alina.
Alina mengangguk ragu dan tak percaya. Sementara laki-laki itu mengangguk pada Ronald “Kita duluan ya, kak,”kemudian menaik tangan Alina untuk menjauh dari Ronald.
Setelah berjalan agak jauh, dirinya tidak melepaskan tangan Alina. Alina merasa tidak nyaman dan berhenti, “Berhenti, Allen. Lo kenapa, dah?” tanyanya pada laki-laki yang berhidung mancung itu.
“Jangan deket-deket dia. Dia bisa bahayain lo!” tukas Allen datar, menatap kedua mata Alina yang hitam mengkilat bak biji buah kenari.
“Trus, gue harus deket-deket lo? yang ternyata bantuin gue karena mau ngelindungin sahabat tercinta lo itu?” sentak Alina dengan wajah yang memerah marah.
Allen terkejut, ternyata Alina mendengarkan perkataan dirinya dan Seline tempo hari. Memang Allen melindungi Seline, tapi ketika membantu Alina, ia merasa tulus. Tapi, dirinya tidak bisa berkata lebih, kalau dia bicara sekarang, bisa-bisa ada kejadian yang diluar dugaannya.
Alina melihat bibir seseorang di hadapannya yang terkatup rapat. Tidak berbicara, bahkan tidak berniat menjelaskan apapun. Alina sedikit kecewa dan melangkah pergi dari hadapan Allen. Meski sebenarnya ia tahu, tidak seharusnya menyalahkan Allen. Karena Alina juga memanfaatkan Allen untuk mencapai tujuannya. Tapi, tetap saja terasa sakit. Mengapa semua orang di sekitarnya tidak ada yang dapat dipercaya.
***
now playing, La Campanella piano ver.
Jari-jari panjang nan lentik itu sedang menekan tuts-tuts piano dengan penuh penghayatan. Selama satu jam penuh ia berkonsentrasi mengulang-ulang lagu tersebut. Bukan karena harus sempurna, tetapi untuk menghilangkan beban pikirannya.
Lizt sungguh jenius menciptakan nada-nada cepat seperti ini. Siapapun yang memainkannya akan konsentrasi agar tidak melakukan kesalahan. Dan itu sungguh membuat para pianis melupakan sejenak beban pikirannya.
Jemari yang menekan tuts akhirnya berhenti setelah lagunya usai. Menenggak sebotol penuh minuman dan menghembuskan nafas berat yang seperti telah ditahan sejak satu jam lalu.
“Gue takut sama lu,” ujar perempuan yang duduk di sofa panjang sebelah jendela besar. Rambutnya tergerai memakai jepit pita kecil yang lucu. Perempuan itu sudah masuk ke ruangan sejak sepuluh menit yang lalu, kemudian berjalan menuju sang pianis.
“Lo serem banget, Alina. Lo pinter di akademik, lo juga jenius di bidang seni. Mulai sekarang jangan jadi temen gue, takut nyokap gue bandingin gue sama elo,” ujar perempuan itu sambil mempraktekkan gaya ngeri dan merinding.
“Hahahha bisa aja lo, Namira. Gue bisa piano karena gue emang suka. Dari kecil, gue uda difasilitasi hobi gue ini,” Alina tersenyum sambil sibuk membersihkan pianonya.
“Sebelum lo tanya, gue emang hobi bersihin piano sendiri. Gue ga nyuruh orang karena takut mereka salah, sabotase, atau ngelakuin kesalahan lain. Gua ga bisa, ini kesayangan gue,” tambahnya sembari mengelap piano custom warna peach-nya itu.
Bibir namira yang semula terbuka mengatup kembali, perkataan Alina barusan sangat tepat sasaran. Beralih menanyakan pertanyaan lain “Tadi sebelum gue masuk ruangan ini, bibi yang lewat bilang kalau lo udah main piano sejam. Dengan permainan kayak tadi, apa ga copot jari lo?” Namira keheranan dengan tingkah sahabatnya ini.
“Hahaha, itu memang cara gue untuk refreshing. Kalau neken tuts yang cepet kaya tadi, pikiran gue langsung fokus. Jadi melupakan sejenak masalah-masalah gue,” sahut Alina jujur.
Melihat hal itu, namira bertambah bingung, “Yah, refreshingnya anak Jenius seperti itu ternyata. Kalo gue sih pasti makan atau shopping. Yuk temenin gue belanja di Senala City, sekarang! Gue tungguin, gue maksa!”.
Alina tersenyum dan memberikan gestur hormat “Aye aye Captain Namira!”
***
“Hampir setengah tahun saya tidak mendengar nama Ranum Rampani, apa dia sudah membalas?” kacamata yang sejak tadi bertengger di wajahnya dilepas. Menampakkan mata merah yang sudah kelelahan bekerja.
“Belum, Bu Trisia. Sampai saat ini, Ranum Rampani sama sekali tidak memberikan tanda-tanda apapun,” asisten itu menunduk sopan. Ia tidak akan beresiko mengatakan apapun, karena melihat pemilik Trisia Art Gallery saat ini sedang tidak dalam suasana hati yang bagus.
Tiba-tiba pintu diketuk dengan sangat cepat dari luar. Sang asisten segera membukanya. Tampak seorang kurator galeri tergesa-gesa masuk. Dirinya terengah-engah sambil menunjuk-nunjuk ke arah luar pintu. “Bu Trisia, Ranum Rampani…”
Sebelum pria itu melanjutkan perkataannya, Trisia cepat melangkah keluar. Melihat ada apa gerangan, apakah Ranum Rampani tiba-tiba muncul?
Trisia setengah berlari menuju Aula utama yang berjudul “Intangible Art” di dalamnya, terdapat karya-karya pelukis terkenal yang tidak untuk dijual dan dijaga dengan sangat amat ketat. Namun, entah mengapa ada satu lukisan di tengah-tengah aula itu yang keberadaannya tidak dikenali olehnya, maupun staf lainnya.
Lukisan itu memuat sosok seorang wanita yang wajahnya abstrak dengan guratan-guratan kasar. Wanita itu membawa timbangan di tangan kanannya, dan pedang di tangan kirinya. Tubuh jenjangnya dibalut kain putih bersimbah darah dengan latar sebuah bangunan. Trisia mematung, dilihatnya tulisan di samping kanan bawah lukisan tersebut.
Ranum Rampani _ “Nemesis at The Trisia Art Gallery”
Drrt.. drt.. Ponsel Alina bergetar singkat, menampakkan pesan dari nomor tak dikenal. Sang pemilik sedang enggan membukanya. Dirinya sedang serius menorehkan cat ke kanvas. Menggambar lukisan abstrak, dengan gabungan warna-warna neon yang cerah. Saat melihat torehan cat itu, Alina membayangkan bentuk abstrak dari mimpi. Ketika seseorang berkata bahwa mereka memiliki mimpi, seperti apakah mimpi itu? Apakah berwarna cerah, atau pastel, bahkan abu-abu? Mungkin akan langsung tergambar situasi dan kondisi yang manusia itu harapkan. Alina tentu juga punya, mimpi yang diinginkannya. Warnanya cerah seperti tone cat yang berada di hadapannya sekarang. Setelah menjual beberapa lukisan kemarin, perasaan hatinya mulai ringa. Karena, berarti karyanya dapat dinikmati oleh orang lain. Kemudian, Alina teringat dengan salah satu lukisan yang menurutnya cukup kontroversial. Ada seorang anonim yang sengaja membeli lukisan itu darinya. Mungkinkah mereka berdua memiliki musuh yang sama? Atau malah, ka
“Papa dengar kalian berdua diminta untuk tampil di Law School Graduation, ya?” tanya Lesmana sembari mengunyah makanan kepada kedua putrinya. Alina dan Seline mengangguk. Pihak kemahasiswaan menghubungi mereka berdua untuk tampil solo dengan memainkan alat musik. Memang, kelulusan di Law School selalu memamerkan bakat para mahasiswanya secara besar-besaran. Karena, di sana hadir berbagai macam orang dengan berbagai macam latar profesi. Tentu, jika salah satu dari mereka tertarik, maka mahasiswa tersebut sudah pasti dapat menapaki masa depan yang gemilang. “Papa pasti nonton kan, ini perdana Seline bawain piano loh!” Seline menampilkan senyum termanisnya di depan sang ayah. Alina hanya dapat memutar kedua bola matanya, terganggu dengan Seline yang sangat bermuka dua. “Lo, Seline, bukannya kamu lebih ahli main biola, ya?” Lesmana sangat penasaran kepada kemampuan berpiano Seline. Bukankah anak ini baru belajar piano selama lima bulan? “Seline udah bisa main lagu yang rumit, kok p
“Gue benci banget sama Ronald!” Alina menggebrakkan tangannya ke meja kelas. Namira yang duduk di sebelahnya berjingkat kaget. “Lo apa-apaan sih, Al. Baru masuk kelas udah jelek aja mood lo!” Namira heran dengan kelakuan Alina. Biasanya Alina bersikap tanpa emosi dan cenderung datar. Entah setan mana yang merasuki dirinya hari ini. Alina menenggelamkan wajahnya ke dalam kedua tangannya. Ronald membuat perasaannya seperti di roller coaster. Setelah memberinya kehangatan yang nyaman, Ronald membawa hatinya pada puncak paling tinggi di lintasan. Namun layaknya roller coaster, perasaan tersebut cepat sekali terjun ke lintasan paling dasar. “Al? Lo gapapa kan? Emangnya Ronald ngapain lo lagi?” Namira memang mengetahui banyak hal tentang Alina. Karena saat ini, Alina sangat yakin Namira adalah satu-satunya orang yang berada di pihaknya. Namira tidak butuh keuntungan maupun pertolongan apapun dari Alina dan keluarganya. Keluarga Namira sudah cukup terpandang dan berpengaruh di negeri in
Setelah berlangsung beberapa lama, upacara kelulusan telah usai. MC kemudian memandu acara selanjutnya, yakni pertunjukkan dari mahasiswa aktif di Law School. Penampilan pertama dibuka oleh Seline dengan piano cantiknya. Seline memasuki panggung dan menunduk khidmat, tersenyum cerah kepada seluruh pasang mata yang menontonnya hari ini. Seline sangat percaya diri berjalan ke arah piano, kemudian duduk dengan anggun. Jari-jari lentiknya mulai menekan tuts dengan tempo yang cepat. Semua orang yang hadir adalah orang yang berada, mereka sering mendengarkan orkestra dan musik klasik lainnya. Mereka mengetahui lagu-lagu yang dibuat oleh pemusik profesional. Salah satunya adalah lagu yang dibawakan oleh Seline. Ketika sang piano mengeluarkan nada-nada yang mereka kenal, penonton terkejut bukan main. Mereka menganga takjub dengan kemampuan permainan Seline. Permainan piano tersebut adalah lagu yang terkenal, yakni La Campanella oleh Liszt. Permainan piano yang membutuhkan konsentrasi ekstr
Brak brak brak brak Pintu kamar Seline digebrak dengan sangat kuat. Seline terjingkat kaget, siapa yang menggebrak kamarnya. Seline hanya diam, dirinya sangat takut ada suatu hal terjadi padanya. Kemudian listrik tiba-tiba padam, sinyal pada ponselnya diblokir, Seline tidak bisa menelpon siapapun. Dirinya juga tidak bisa keluar dari kamar. Seline meringkuk takut. Brak brak brak Pintu digebrak sekali lagi, menambah rasa takut pada diri Seline. Beberapa detik kemudian, pintu didobrak oleh dua laki-laki bertubuh tinggi besar. Dua laki-laki itu masuk, Seline mulai menangis mengeluarkan air matanya. Dua pria yang mendobrak kamarnya kini telah berdiri di hadapan Seline. Mereka hanya diam memandangi Seline. Saking takutnya, Seline tidak berkata apa-apa, dirinya hanya menangis sambil menutupi kedua telinganya. Lalu masuk seorang wanita, yang kemudian berkata “Pegang dia!”. Kedua laki-laki itu menyeret Seline ke tembok dan memegangi tangan serta kakinya. Seline sama sekali tidak bisa b
Pagi itu, di ruang makan, Alina bersama Ali dan Gregor sesekali bersenda gurau. Mereka juga sering melemparkan interaksi kepada Lesmana. Gelak tawa dari Alina memenuhi ruangan. Ah, bahagia sekali saat ini. Apa tidak bisa begini saja setiap hari? Berbeda dengan Alina, Seline tidak berani menatap mereka. Kepalanya menunduk, bayangan perbuatan mereka tadi malam masih terpatri dalam diri Seline. Melihat hal itu, Alina sedikit merasa iba. Dalam hati kecilnya, sungguh ia ingin sedikit lebih akrab dengan Seline. Atau setidaknya, mereka tidak berusaha saling membunuh. Saat ini Alina merasa tenang karena ada Ali dan Gregor yang siap membela dirinya. Namun, mereka berdua juga harus pergi untuk mengurus hal lainnya. Tentu, Alina tidak bisa menahan mereka. Namuns etidaknya, Seline tidak akan bertindak gegabah sekarang, karena Alina juga tidak bodoh untuk mengetahui trik licik Seline. Setelah mengantar kepergian Ali dan Gregor, Alina menuju kamarnya lagi. Mengeluarkan alat-alat yang cukup lama
Mobil Ronald melaju dengan hening. Pengemudinya sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Sementara penumpang di sebelahnya, sibuk mengatur perasaannya. Kejadian beberapa saat lalu sangat tidak biasa dalam hidupnya. Alina tidak pernah sama sekali merasakan cinta terhadap lawan jenis, maupun berpacaran. Pun tidak ada yang mengajarkan Alina untuk merasakan semua itu. Alina kebingungan memproses rasa-rasa yang menurutnya asing.Deru nafas dari keduanya menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar. Mobil Ronald melaju pelan dan terhenti karena macet. Justri, ini menambah kecanggungan diantara mereka berdua. Sebenarnya, Alina tidak mengira keadaan akan sehening ini, mengingat Ronald mungkin pernah beberapa kali merasakan jatuh cinta dan berpacaran. Kejadian di Villa keluarga Ronald membuat Alina berpikiran yang tidak-tidak. Untung saja dirinya cepat-cepat berdiri dan mengalihkan pembicaraan, karena kalau tidak, mereka akan melakukan sesuatu. Lamunannya terjeda ketika mobil Ronald memasuki area
Ronald mengantarkan Alina pulang ke rumahnya. Sesampainya di depan gerbang, mereka diam beberapa saat, hening. Sampai Alina yang mengeluarkan suara, “Ronald, I had so much fun today, thank you!”. Ronald mengangguk dan tersenyum, “With Pleasure, my favorite Lady,” sembari mencium punggung tangan Alina. Setelah diam sebentar, Alina pamit dan membuka pintu mobil Ronald. Tiba-tiba tangannya ditarik kembali, secepat kilat Ronald menyatukan bibir mereka lagi. Ronald mengulum lembut bibir Alina, menarik pinggangnya mendekat ke tubuh Ronald. Ia sangat pandai memainkan bibir Alina, sehingga Alina tidak dapat menolaknya. Jika boleh jujur, ciuman ini sangat candu dan memabukkan. Ronald melepaskan bibirnya, dan membelai wajah Alina yang saat ini sedang cemberut karena ciumannya terhenti. Ronald terkekeh kecil, dan meminta Alina untuk segera masuk ke rumahnya. Alina menurut, dan masuk ke dalam rumahnya. Sungguh hari ini merupakan salah satu hari yang mengubah Alina. Ternyata, perasaan cinta bisa