Sampai pada suatu pagi, dimana langit cerah, matahari pun menampakkan senyumnya.
Aku yang duduk di tepi ranjang masih terasa enggan untuk keluar kamar. malas sekali rasanya kalau aku harus bertemu dengan Mas Nando pagi ini, membuat moodku yang tadinya sudah terkondisikan, bisa membuat mood kembali hancur.
Terdengar suara Bi Inah yang mengetuk pintu dan memanggilku untuk sarapan pagi, aku pun masih enggan membuka pintu itu, pasti di bawah sana ada Mas Nando yang tengah menungguku, kekesalanku saja belum hilang. aku harus tenangin dulu hatiku. baru siap menemuinya.
Terpaksa aku hiraukan panggilan dari Bi Inah. Namun, aku tetap berbicara dengannya.
"Iya, Bi, Nandini lagi nggak pengen keluar, nanti saja, bilang aja ke Mas Nando kalau Nandini masih males makan," ujarku masih di dalam kamar tanpa membukakan pintu.
"Jangan begitu, Mbak Nandini harus makan walaupun sedikit, 'kan Mbak Nandini sejak kemarin siang belum makan, nanti bisa sakit perutnya, itu sudah ditunggu sama Mas Nando, kasian dari semalam Mas Nando tidur di depan kamar Mbak Nandini," ujar Bi Inah mencoba membujukku untuk keluar kamar.
Akan tetapi yang membuat hatiku luluh saat Bi Inah mengatakan kalau Mas Nando tadi malam tidur di depan kamar ini. Benarkah begitu, aku pun langsung bergegas membukakan pintu kamar, agar Bi Inah bisa masuk. Aku ingin tahu informasi mengenai Mas Nando tadi malam.
"Alhamdulillah akhirnya Mbak Nandini mau keluar juga," ucap Bi Inah sembari melempar senyum di hadapanku.
"Bi Inah masuk dulu deh ya." Aku menyuruh Bi Inah untuk masuk ke kamarku dan bergegas kututup lagi pintu kamar, jangan sampai Mas Nando tahu hal ini, bisa marah lagi nanti dia.
"Ada apa ya Mba, kok Bibi disuruh masuk?" tanya Bi Inah penasaran.
"Apa benar yang Bi Inah katakan barusan, kalau Mas Nando tadi malam tidur di depan kamar ini?" tanyaku penasaran, apa benar Mas Nando lakukan itu, kalau memang benar, sungguh tega aku membiarkan suamiku tidur di lantai.
"Iya Mbak Dini, bener kok, Bi Inah melihat sendiri, tadi pagi 'kan Bi Inah mau nyapu dan ngepel lantai depan kamar Mbak Nandini, Bi Inah kaget melihat Mas Nando tidur di dekat tembok beralaskan selimut dan bantalnya pun Mas Nando bawa ke situ."
"Mas Nando masih terlelap tidur, jadi Bi Inah tidak berani membangunkannya, lalu Bi Inah mengambil kesimpulan kalau Mas Nando semalam tidur di lantai depan situ Mba," ujar Bi Inah sembari menunjuk ke arah luar kamarku di sebelah tembok, tempat di mana Mas Nando menghabiskan malamnya kemarin.
Terasa deg di hati mendengar informasi dari Bi Inah, Mas Nando itu sebenarnya lelaki yang seperti apa? Kadang dia baik, kadang ngeselin bikin sakit hati, tapi kalau dia telah berbuat seperti itu hatiku pun menjadi luluh, aku merasa kasihan dengan suamiku, pasti Mas Nando tadi malam kedinginan, dia pasti tidak terbiasa tidur di lantai. bagaimana kalau dia sampai masuk angin, ini semua salahku. kenapa aku tadi malam sangat egois tidak membukakan pintu kamar hanya karena ingin agar Mas Nando memahami rasa sakit di hatiku. Kalau jadinya begini itu sama saja aku seperti Mas Nando, kesalahan memang tidak bisa dibalas dengan kesalahan. Aku pun menyesal telah menuruti egoku hanya karena merasa cemburu terhadap kedekatan suamiku dengan perempuan lain. Api cemburu pun telah mempengaruhiku, seharusnya aku tidak seperti ini.
"Mas Nando." Aku pun bergegas keluar kamar dan lari menuju ruang makan, kudapati Mas Nando sedang menikmati makanannya. dia mendengar suaraku memanggil namanya pun langsung menatapku dengan pandangan yang serius. Kini aku sudah ada di depan matanya.
"Nandini, akhirnya kamu mau keluar kamar juga, pengantin baru itu nggak baik berada di kamar terus, sampai lupa makan begitu," ujar Mas Nando sembari langsung memasukkan roti ke mulutnya.
"Mas Nando," ucapku dengan nada sedih.
"Iya, kamu keluar kamar untuk makan kan? Duduk disini!" jawab Mas Nando lalu menyuruhku duduk.
"Ini cuman ada roti tawar sama selai aja, nanti kalau kamu masih lapar, kamu bilang aja ke Bi Inah, biar Bi Inah masakin makanan buat kamu," ujar Mas Nando sembari melirik ke arahku.
"Mas, maafin Nandini, ya," ucapku dengan lembut.
"Nandini, seharusnya saya yang meminta maaf, kamu nggak salah, yang salah itu saya, karena tidak bisa menghargai perasaan kamu," ucap Mas Nando dengan lembut dengan sesekali tersenyum.
"Tapi, Nandini juga salah, Mas, tidak seharusnya Nandini cemburu dan menuruti ego Nandini dengan mengurung diri di kamar," ucapku dengan lembut, kutatap lekat suamiku.
"Sudah hal ini tidak perlu dibahas lagi, nanti malah bikin mood kamu hilang lagi, kamu makan dulu, apa mau saya suapin?" ujar Mas Nando yang menawarkan diri untuk menyuapiku.
Aku pun tertunduk malu, ternyata sungguhan, Mas Nando pun mencoba menyuapi aku. Sudah seperti anak kecil saja aku ini, betapa malunya aku di hadapan suamiku. Perlakuan Mas Nando pagi ini sangat manis.
"Terima kasih, Mas," ucapku dengan lembut sembari melempar senyum semringah kearahnya.
"Nah gitu dong senyum, kamu itu kalau lagi senyum terlihat sangat manis," ucap Mas Nando berusaha menggodaku.
"Apa sih Mas Nando ini, masih pagi udah ngegombal," ujarku dengan tertunduk malu.
"Siapa yang gombalin kamu, saya itu berkata jujur dan juga tidak sedang berakting, ini sungguhan sayang," ucap Mas Nando yang mencoba meyakinkanku bahwa perlakuan manisnya kepadaku pagi ini ada sungguhan bukan sekadar aktingnya.
Aku tersentak kaget mendengar pengakuan itu, tapi mencoba untuk tetap terlihat tenang, aku tidak ingin besar kepala lagi seperti kemarin, karena sikap dan perilaku Mas Nando terhadapku bisa berubah-ubah, ya mungkin disesuaikan dengan kondisi hatinya.
"Mas, terima kasih ya, maafin Nandini yang tadi malam membiarkan Mas Nando tidur di depan kamar yang Nandini tempati, karena memang Nandini tidak tau kalau Mas Nando masih di depan pintu. Nandini pikir Mas Nando sudah beranjak ke kamarnya Mas Nando sendiri," ucapku meminta maaf.
"Iya, tidak apa-apa. Sudah jangan kamu pikirkan hal itu, saya juga tidak masalah kok kalau harus tidur di lantai, saya cuma memastikan kamu baik-baik saja di dalam kamar. Saya khawatir sekali sama kamu, hingga kekhawatiran itu membuat saya tidak bisa tidur, menyesali semua perbuatan saya kemarin, saya senang kamu telah memaafkan saya dan mau makan lagi, saya takut kamu sakit, Nandini. Maafkan kesalahan saya ya, saya tidak akan mengulanginya lagi," ujar Mas Nando menjelaskan.
"Mas Nando kenapa harus tidur di lantai? Nandini baik-baik saja kok, cuman hati Nandini saja yang lagi tidak baik," ucapku sembari menatap suamiku, merasa terharu dengan semua perlakuannya, dia tidak harus melakukan itu.
"Sudah jangan membahas hal itu lagi, nanti malah pagi kita ini jadi termehek-mehek," ucap Mas Nando sembari tersenyum dengan sangat manis.
"Oh ya, Nandini, hari ini saya sudah mulai masuk kerja. saya pulang kerjanya malam, kalau kamu perlu apa pun, kamu jangan sungkan untuk bilang ke Bi Inah ya, kamu jaga diri baik-baik. hari ini saya tidak lembur, mungkin selesai sholat Isya nanti saya sudah pulang," ujar Mas Nando pamit berangkat bekerja.
"Iya, Mas, Nandini juga minta izin, nanti Nandini akan pergi menemui sahabat Nandini," ucapku.
"Annisa ya?" tanya Mas Nando yang memang dia telah mengenal Annisa, kebetulan ayah angkat Annisa adalah arsitektur di Perusahan milik keluarga Mas Nando.
"Iya, Mas," jawabku singkat, tetapi dengan senyuman yang sangat manis.
"Iya, kamu hati-hati, apa mau diantar?" tanya Mas Nando menawarkan diri untuk mengantarku, tapi aku tidak ingin mengganggu jam kerjanya.
"Tidak perlu, Mas, nanti Nandini naik Grab saja, Mas Nando sebentar lagi harus berangkat kerja, lagian Nandini nanti keluar agak siangan kok," ucapku yang menolak untuk diantar, aku tidak ingin merepotkan suamiku.
"Ya sudah, kamu hati-hati ya, Nandini, aku pamit berangkat kerja dulu, jaga diri kamu baik-baik, jangan sedih lagi," ucap Mas Nando sembari beranjak dari tempat duduknya dan segera melangkahkan kakinya untuk keluar rumah. Aku pun menghentikan langkahnya.
"Mas Nando."
"Iya ada apa lagi, Nandini?" tanya Mas Nando penasaran.
"Aku salim." ucapku dengan lembut sembari mendekati suamiku.
"Oh iya lupa, maaf ya belum terbiasa," sahut Mas Nando sembari menyodorkan tangannya.
Dengan sigap aku pun langsung menerima tangannya dan mencium punggung tangan suamiku, Mas Nando pun dengan sigapnya langsung mencium keningku.
Deg ... hatiku terasa berdebar-debar. Ya begitulah yang kurasakan di kehidupan rumah tangga yang baru saja kujalani ini, terkadang aku merasa senang, merasakan hatiku bergejolak akan cinta yang aku rasakan, terkadang juga hati ini sangat terasa sakit. Entahlah kenapa sikap suamiku sering berubah begini. Aku mencoba mengambil hikmahnya saja, aku tidak akan menuruti egoku yang bisa membuat Mas Nando menjauhiku, aku menginginkan suamiku.
Hati yang mulai kembali membaik. Hatiku yang mulai merasa tenang, aku pun bersiap untuk pergi bertemu sahabatku Annisa, di sebuah restoran seefood tempat favorit kami, restoran Star Food yang menjadi pilihan kami sejak 5 tahun ini, bukan hanya karena harganya yang terjangkau. Namun, juga makanan di sana sangat enak, tempatnya juga sangat nyaman, terkadang mereka juga mengadakan diskon yang pasti banyak diminati oleh pengunjung.Aku pun berpamitan dulu dengan Bi Inah. "Bi, saya keluar dulu menemui teman saya, nanti juga sekalian mau mampir ke rumah orang tua saya, kemungkinan saya akan kembali ke rumah sore hari," ujarku dengan lembut seraya melempar senyum ke arah Bi Inah yang sedang mencuci piring."Iya, Mba, hati-hati ya, Mba Nandini naik apa kesananya?" tanya Bi Inah."Naik Grab car saja, Bi, saya sudah memesannya barusan," ucapku dengan lembut."Oh begitu, Mbak Nandini hati-hati ya.""Oh ya, mau dimasakin apa buat nanti makan malam Mbak?" tanya
"Gimana Nandini, sudah siap buat cerita?" tanya Annisa. "Iya, Nis. Aku memang harus siap menceritakan masalahku ini ke kamu," ucapku dengan nada sedih. "Iya jangan dipendam sendiri, Nandini, siapa tau saja aku bisa bantu kamu selesaikan masalah yang sedang kamu hadapin itu," ujar Annisa. "Iya, Nis. Makasih ya, kamu selalu bisa membuatku sedikit lebih tenang," ucapku "Iya, Nandini. Kita ini bukan sekadar sahabat, tapi kamu sudah aku anggap sebagai saudaraku, jadi masalah yang sedang kamu hadapi itu juga masalahku, sedangkan kebahagiaan yang kamu rasakan itu juga kebahagiaan yang aku rasakan. Aku nggak bisa lihat kamu sedih, Nandini. Kamu ini kan pengantin baru, seharusnya kamu bahagia, bukan malah sedih kayak gini," ucap Annisa yang mampu membuat hatiku sedikit lebih tenang. "Iya, Nis." "Apa kamu sedang bertengkar dengan Mas Nando, Nandini?" tanya Annisa. "Iya, Nis," jawabku dengan tertunduk, berusaha menata hati agar tidak samp
"Maksud kamu, aku harus perhatian gitu ke Mas Nando?""Iyalah, Keisya. Kamu masakin makanan kesukaan dia, atau kamu bisa rebusin air hangat untuk mandi saat dia pulang kerja, atau kamu cuci pakaiannya, memasangkan dasi, mengambilkan semua keperluannya saat kerja. hal sepele yang kamu lakukan itu pasti bisa meluluhkan hati suami kamu.""Apa kamu yakin hati Mas Nando bisa luluh, hanya karena diperhatikan seperti itu?" tanyaku sedikit ragu."Ya bisalah, asalkan kamu melakukannya dengan ikhlas." ujar Annisa mencoba meyakinkanku."Iya, Nis, kamu benar. Memang itulah yang seharusnya aku lakukan, tapi Mas Nando telah membuat kesepakatan, kalau aku dan dia akan terus menjadi seperti orang asing yang tidak saling kenal. Aku urusin keperluan dan kebutuhanku sendiri, begitu juga dengan dia. dan aku pun tidak berhak ikut campur urusan pribadinya," ucapku menjelaskan keraguanku tadi."Sudahlah, jangan mikirin kesepakatan, lagian 'kan Mas Nando yang membuat kese
Sesampai di rumah aku memberi salam dan tidak ada yang menjawabnya, mungkin Bi Inah sedang sibuk di belakang. Aku langsung masuk ke kamar dan merebahkan tubuhku di atas kasur, sembari memikirkan lagi tentang saran dari Annisa tadi.Apakah aku harus mengikuti saran dari Annisa dan mengabaikan semua kesepakatan yang dibuat oleh suamiku, ataukah aku harus tetap menuruti kesepakatan itu?"Kamu peduli padaku, tapi mencintai wanita lain."Mas Nando terlihat sangat memperdulikan aku, yang kulihat tiada kebencian yang dia rasakan. aku paham perasaanya, meski ego ini seakan menolak kebenaran yang nampak di mataku.Aku bingung dengan semua pikiran yang semakin membuatku kacau, ketakutan dan kegelisahan sering menghampiriku.Kali ini aku tidak akan tinggal diam, aku harus melakukan sesuatu yang membuat Mas Nando bisa melihatku yang sungguh-sungguh mencintainya. Aku pikirkan, aku cerna kembali setiap perkataan dan saran dari Annisa. Aku pikir saran
Aku hanya bisa diam, tak kusadari air mata ini pun terjatuh dan Mas Nando mengetahui hal itu, aku langsung mengusap air mataku. Saat aku mulai mengarahkan telapak tanganku tiba-tiba Mas Nando menghentikan tanganku lalu ia turunkan tangan ini di pangkuanku. Ia mengusap air mataku yang jatuh dengan tangannya, ia sapu lembut sampai tak tersisa lagi bekas air mata ini."Nandini, kenapa kamu menangis?" tanya Mas Nando lembut.Aku masih terdiam."Apa ada perkataanku yang melukai hatimu?" tanya Mas Nando sembari menatapku dengan lembut.Aku hanya menggelengkan kepala."Ngomong dong Kei, jangan buat aku khawatir, aku baru pulang kerja, aku kan juga ingin saat aku pulang kerja istriku bisa memanjakanku," ucapnya lembut sembari mengecup keningku.Mas Nando selalu bisa menenangkan hatiku saat dirinya menyakitiku. Bagaimana mungkin aku bisa membencinya. Sementara perlakuannya begitu manis di saat peduli dan mengkhawatirkanku, tapi dia terus saja membang
Rasa malu kesal dan tak berdaya campur jadi satu, aku ingin bisa lebih tenang dan bisa berpikir positif lagi, tanpa harus memikirkannya.Aku selalu disuruh mengerti, memaklumi, padahal jelas aku yang tertolak. Ingin rasanya diri ini memberontak. Namun, aku tak sanggup melakukan hal itu.Sangat tidak habis pikir kehidupan rumah tanggaku akan serumit ini, kupikir hidupku bisa jauh lebih baik. Namun, kenyataan memang terkadang berlainan dengan apa yang kita inginkan. Allah lebih mengetahui yang terbaik bagi hambanya.Aku merasa suntuk, hidupku hampa, cinta dan sakit yang kurasakan, sepertinya aku butuh untuk refreshing sejenak, tetapi ke mana, dengan siapa? Aku tidak ingin terus-terusan merepotkan Annisa. Dia sudah sangat baik kepadaku, mungkin yang dikatakan ayah kemarin itu benar juga, pengantin baru memang butuh bulan madu, tapi mana mungkin Mas Nando menyetujui hal itu. Bukankah dia akan lebih senang berkencan dengan Aleesha.Setelah melakukan adegan itu
Pagi yang cerah, Matahari menampakkan keceriaan. Begitu juga dengan diriku, aku harus tetap terlihat ceria. Jagan memperlihatkan kesedihan lagi. Orang lain dan Mas Nando hanya perlu tahu bahwa aku selalu bahagia. Aku harus bisa menyembunyikan kesedihanku.Pagi ini aku mulai beraktivitas di dapur, aku sengaja membantu Bi Inah memasak, aku memang ingin memasak makanan kesukaan Mas Nando, setelah masakan itu matang dan tercium baunya yang sangat menggugah selera aku pun meletakkan makanan itu di meja makan. Aku tidak peduli Mas Nando yang lagi diet karbo di pagi hari. Kalau dia memang bisa menghargai apa yang sudah aku lakukan untuknya pasti dia akan tetap memakan masakan buatanku.Mas Nando pun telah ke luar dari kamarnya, dengan pakaian yang rapi terlihat gagah dan sangat tampan."Nandini." Mas Aldo menatapku agak kaget."Iya, Mas, kenapa kaget gitu?""Ini kamu yang masak?""Iya, Mas. Makanan kesukaan kamu 'kan. Sup daging?""Kamu ngga
Setelah aku siap dengan baju gamis longgar dan hijab panjang yang terulur menutupi dada, aku pun siap untuk pergi berbelanja, tidak masalah belanja sendirian. Karena hal itu sudah sering aku lakukan, sejak masih kuliah dulu.Aku pun berpamitan dulu dengan Bi Inah."Bi Inah, saya mau keluar belanja dulu ya.""Iya Mbak Nandini, hati-hati ya, Mba," sahut Bi Inah yang masih sibuk dengan cucian yang numpuk."Iya, Bi'. Makasih ya.""Saya berangkat dulu ya, Bi, assalamualaikum.""Iya, Mbak. Wa'alaikumussalam."Aku bergegas ke luar rumah, sembari menunggu sopir grab carnya datang, supir yang sama dengan yang kemarin. Ya, Mas Aditia, entah dari kemarin kenapa bisa selalu menemukan sopir yang sama, padahal biasanya tidak pernah seperti ini."Mungkin karena Mas Aditia lagi berada di dekat sini," pikirku."Mbak Nandini," sapa Mas Aditia."Iya Mas, Adi," sapaku"Mau ke mana nih Mbak?" tanya Mas Aditia."Kan