Maafkan baru bisa update dua hari sekali ya. Semoga kalian selalu sabar menunggu.
Bu Suci menangis di kamarnya karena menyesali apa yang telah ia lakukan pada Dini. Sebuah tamparan di pipi gadis itu, hingga wajah Dini terlempar cukup kuat dan ada setitik darah di sudut bibirnya. Selama kurang lebih dua puluh tahun ia mengurus dan merawat Dini bagaikan anak sendiri, belum pernah sekali pun ia memarahi gadis itu, apalagi menamparnya dengan kuat seperti tadi. Bu Suci merasa kesal pada diri sendiri, sehingga memilih menangis di kamar. Puspa menekan kenop pintu kamar mamanya dengan perlahan. Lehernya memanjang untuk melihat keadaan mamanya yang ternyata belum tidur dan masih menangis. Di tangannya membawa satu cangkir susu putih khusus untuk tulang orang berusia senja. "Ma, pasti belum minum susu'kan? Ini susunya." Bu Suci bergeming. Ia sama sekali tidak menoleh pada Puspa. "Mama jangan khawatir, Dini sudah saya obati bibirnya. Sebentar lagi juga sembuh. Malam ini biarkan Dini berdamai dengan dirinya sendiri, besok baru Mama dan Dini berbicara baik-baik. Dini masih
"Semua, Om? Celana dalamnya juga?" tanya Dini dengan wajah panik. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi dahi dan juga lehernya. Pria dewasa itu tertawa pendek, lalu mengangguk. "Jangan canggung, biasa aja. Semua ini memang bagian dari ritual pemikat. Coba katakan pada Om, siapa nama lelaki itu?" Dini semakin terperangah. Ia belum menceritakan apapun pada ayah temannya ini, tetapi bagaimana bisa pria di depannya ini tahu?"Rian, Om." Dini menjawab sambil melepas kancing kemejanya satu per satu. Pria bernama Miko sedikit menjauh, lalu berjalan ke arah meja, seperti ingin mengambil sesuatu dari laci. "Bin nya kamu tahu tidak?" tanya Miko lagi. Gadis itu menggeleng jujur. "Ada fotonya?" tanya pria itu lagi. "Ada, Om, di dalam tas, sebentar." Tangannya gemetar untuk mengambil dompet di dalam tas ransel yang ia pakai. Di dalam dompet itu ada foto Rian yang sengaja ia potret saat pria itu berkunjung ke rumahnya. Jauh sebelum Teh Puspanya kembali ke rumah. "Ini, Om." Dini menyera
Puspa tidak berani meneruskan menguping. Ia memilih masuk ke kamar dengan berjuta tanya di kepala. Ada apa dengam Dini? Apa adiknya melakukan ...ah, ya ampun, Puspa. Ayolah, Dini sudah besar. Kamu gak boleh mencampuri urusan pribadinya.Sepanjang malam ia terjaga karena memikirkan Dini. Dia saja tidak berani melakukan masturbasi, ini Dini masih single dan perawan pula. Tidak, jangan sampai ia terobsesi pada Rian, sehingga ia menyentuh tubuhnya sendiri sambil memikirkan Rian yang menyentuhnya. Puspa merasa kepalanya semakin sakit. Lekas ia mengambil obat sakit kepala di laci lemari, lalu ia minum cepat. Ia harus seger tidur agar besok pagi tidak kesiangan lagi.Keesokan paginya, Dini tengah berbincang ramai dengan Bu Suci, menceritakan teman kampusnya yang gagal meneruskan kuliah karena belum bayaran. Sesekali suara tawa gadis itu terdengar sampai ke kamar Puspa, begitu juga dengan suara tawa Bu Suci.Tumben Dini belum berangkat. Pikir Puspa yang kebetulan baru juga keluar kamar. "La
"Apa, Ramon kecelakaan? Kamu yakin dia tidak sedang drama?""Mas, aku rasa kecelakaan tidak mungkin bisa dimasukkan kategori drama. Terlalu banyak uang yang dikeluarkan Ramon jika dia benar bersandiwara. Mas, tolong mengerti, aku hanya ingin menjenguk Ramon, itu pun karena Robi yang terus merengek." "Ya sudah, terserah kamu saja. Aku larang juga kamu tetap pergi.""Tentu saja, karena ini sifatnya aku memberitahu, bukan meminta ijin. Kita belum menikah dan aku tidak mau lebay meminta ijin untuk urusan yang berkaitan dengan Robi. Aku pergi besok pagi."Puspa menutup panggilannya. Ia meletakkan begitu saja ponselnya di atas kasur, lalu meraih tas ransel yang ada di atas lemari. Ia memasukkan beberapa potong pakaian Robi dan juga stel pakaian untuk pulang, dan juga daster terusan satu buah, tidak lupa juga dalaman. Jika kondisi Ramon tidak begitu payah, ia akan menginap satu malam saja di sana.Azan magrib pun tiba. Suara motor Dini terdengar nyaring saat kendaraan roda dua itu sudah ber
Pukul satu siang, Puspa sudah berada di rumah sakit tempat Ramon dirawat. Ia menanyakan pada salah satu perawat di sana, dimana kamar perawatan pasien atas nama Ramon yang dua hari lalu kecelakaan. VIP? Waw? Bukankah mantan suaminya itu orang yang termasuk perhitungan juga dalam mengeluarkan uang, tapi kenapa sekarang berubah? Apa baru saja mendapat warisan? Batin Puspa. Jemari mungil nan montok milik Robi menggenggam erat jemarinya. Tangan kanannya membawa aneka buah sebagai oleh-oleh. Walau ia sudah tidak lagi bersama, tidak mungkin juga ia melenggang santai menjenguk orang sakit. Ibu dan anak itu masuk ke dalam lift untuk naik ke lantai empat. Jika kamu dirawat di ruang VIP maka jam berapa saja tamu berkunjung akan dibebaskan, kecuali dalam jumlah yang banyak. "Permisi, Sus, mau ke kamar 412," sapa Puspa sambil tersenyum. "Silakan, paling ujung. Wah, anaknya Pak Ramon ya, mirip sekali," ujar perawat itu sambil memperhatikan Puspa dan Robi bergantian. Puspa hanya mengangguk ti
Gadis berusia dua puluh tahun itu sudah dibutakan oleh cinta. Ia rela melakukan apapun untuk mendapatkan perhatian dari Rian. Apalagi tetehnya sedang tidak ada di Bandung, maka kesempatan baginya semakin luas. Rian memang sedang keluar kota, tapi tawaran memikat Rian dari jarak jauh tentu sangat menggiurkan baginya. Dini pun semakin semangat menuntaskan pekerjaannya hari ini, sambil bolak-balik menatap jam di tangannya yang terus bergerak maju. Saat jam istirahat, Dini makan dengan banyak. Ia membeli makan di kantin kantor dan juga memesan satu gelas jus mangga. Ia harus kuat untuk menuntaskan pekerjaannya hari ini, disambung pekerjaan nanti malam memikat Rian. Sebelum naik kembali ke atas, Dini menyempatkan mencetak foto Rian kembali. Tentu saja ia tidak mencetaknya di dekat kantor, karena bisa saja menjadi bahan gosip jika ada yang menyadari wajah Rian. DestiJam berapa lo balik kerja? Dini tersenyum senang membaca pesan dari temannya. Jam lima, Des. Doakan gue gak dapat tugas
Dini sampai di rumahnya pukul setengah satu malam. Bu Suci sampai menunggu di depan teras dengan begitu cemas. Ia mencoba menghubungi nomor ponsel Dini, tetapi tidak juga tersambung. Syukurlah sinar motor di depan pagar membuat Bu Suci bisa bernapas lega. Ia berlari untuk membukakan pagar. "Ya Allah, Nak, kamu darimana saja? Ini sudah jam setengah satu," tanya Bu Suci penuh kekhawatiran. Dini memasukkan motornya ke dalam rumah, lalu mematikan mesin motor itu. Bu Suci pun bergegas mengunci pagar kembali, kemudian menyusul Dini ke dalam rumah. "Hari ini hari paling rempong, MaUntunglah tidak ada begal di jalan tadi. Mama, Dini langsung mandi dulu ya. Badan Dini lengket." Bu Suci mengangguk kaku. Ia menutup pintu, lalu menguncinya. Memandang punggung Dini yang perlahan menghilang di balik pintu kamar mandi. Ponsel putrinya terus saja berdering. Tentu Bu Suci penasaran, siapa yang sibuk menelepon putrinya tengah malam seperti ini? Namun, jika ia mengangkat panggilan itu, putrinya bisa
"Loh, Ma, mana Pak Rian?" tanya Dini yang sudah tampil sangat cantik pagi ini. Ia sengaja buru-buru berdandan agar bisa melihat Rian pagi hari. Namun, kini bosnya itu sudah melesat pergi, tidak ada lagi wujudnya di rumah. "Dini, Ria sepertinya salah paham dan wajar sih jika salah paham." Bu Suci duduk tanpa semangat di kursi ruang tamu. "Ada apa emangnya, Ma?""Tadi Mama diminta Rian untuk menelepon Puspa. Ia khawatir karena Puspa ponselnya gak aktif. Chargernya ketinggalan di kamar. Jadi Mama diminta untuk video call.""Terus, apa yang jadi masalahnya?" Dini masih tidak mengerti. Bu Suci hanya menghela napas berat karena ada rasa kecewa juga dengan Puspa. Jika ia memberitahu Dini, apakah akan baik-baik saja? "Eh, itulah, intinya Rian kecewa karena teteh kamu gak buru-buru pulang.""Oh, gitu, mau balikan kali," timpal Dini. "Ya gak bisa, udah tinggal nunggu surat cerai. Udah sah ditalak juga kemarin itu. Kalau mau nikah lagi, salah satunya harus menikah dengan orang lain dulu. Adu