"Om, mau jadi kekasihku?"
Dengan berani Zoya mengatakan hal tersebut di hadapan semua orang. Alih-alih malu atas tindakannya, gadis itu justru sengaja tersenyum manis pada pria itu—-targetnya."Mau, ya Om. Selain bisa mandi dan makan. Aku juga bisa cari uang sendiri, loh," terang Zoya bangga.Sayangnya, Danu tak acuh. Jangankan menanggapi, menatap saja tidak ia lakukan. Pria itu menganggap kehadiran Zoya bak makhluk tak mata."Sepertinya permintaan mereka bisa kita pertimbangkan," ujar pria lain yang duduk satu meja dengan Danu—memilih kembali ke topik awal mereka. Benar-benar mengabaikan keberadaan Zoya."Aku juga berpikir begitu," balas Danu seraya kembali menyesap minumannya.Sadar dirinya sengaja diabaikan, Zoya membungkukkan badan tepat di hadapan pria berambut panjang sebahu dengan model middle-parted itu. Lantas, melambaikan tangan, menarik perhatian pria tersebut. "Aku serius, Om. Pacaran yuk," ujar Zoya sekali lagi, dan seketika itu berubah gugup. Rupanya di balik rambut panjang klimis tersebut, tersimpan mata tajam sangat mengerikan. Spontan Zoya menarik kepalanya ke belakang."Pergilah, Nona. Kami sedang tidak ingin bermain-main." Mendengar pria lain yang bersama Danu bersuara, Zoya menggembungkan kedua pipi. "Aku tidak main-main. Aku serius." Baru setelah itu Danu menegakkan punggung, menatap intens Zoya dari atas hingga ujung kaki sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. "Pulanglah. Tunggu tiga atau empat tahun lagi. Mungkin aku bisa mempertimbangkanmu menjadi kekasihku.""Tiga atau empat tahun lagi?" Zoya menimang. "Lama sekali? Itu pun masih dipertimbangkan." Zoya seketika menggeleng tegas saat kembali menoleh pada pria di depannya. "Kenapa aku harus menunggu selama itu?""Kau harus dewasa dulu sebelum meminta seorang pria menjadi kekasihmu.""Usiaku sudah dua puluh tahun. Bahkan temanku saja sudah ada yang menikah dan memiliki anak." Setidaknya itu fakta. Teman kecilnya di kampung sudah banyak yang menikah saat usia mereka masih belasan. Bahkan sekarang saat pulang kampung, ada yang memanggil Zoya perawan tua. Lantas, apa kabar mereka wanita karir yang sudah kepala tiga tapi masih enggan memikirkan pernikahan?Danu menatap datar Zoya. Apa sebenarnya tujuan gadis itu mempermalukan dirinya? Mungkinkah ada niat terselubung yang direncanakan? Alih-alih berhenti sampai disitu, mendapati kediaman Danu, Zoya kembali maju satu langkah. Namun, saat hendak membuka mulut ia tersentak ketika Danu mengangkat tangan seraya berkata, "cukup. Sudahi kegilaanmu. Atau aku bisa saja melakukan yang lebih dari apa yang sudah kau lakukan sekarang."Benar saja, Zoya bergeming, tapi dengan benak menimang. Apakah harus menyerah dan pergi begitu saja setelah benar-benar ditolak? Sedangkan dirinya sudah terlanjur menjadi pusat perhatian banyak orang. Tidak. Sampai disini Zoya tidak boleh gentar. Sudah terlanjur basah, sekalian mandi saja. Percumah jika kembali tanpa hasil, sedangkan harus menahan malu seumur hidup."Aku tidak takut. Dengan begitu Om tidak punya pilihan lain selain menerima tawaranku, bukan?"Gadis itu benar-benar sinting. Kalau saja mereka hanya berdua, entah hal mengerikan apa yang sudah Danu lakukan padanya. "Kau sadar dengan permintaan konyolmu itu?" ujar Danu semakin kesal."Sangat sadar malah," balas Zoya ringan. Tidak menyadari seberapa muak Danu atas tindakannya. Detik berikutnya Zoya malah dengan berani duduk di sebelah Danu, menyerongkan posisi duduknya agar bisa menghadap pria itu."Seharusnya Om merasa beruntung, gadis secantik aku menawar diri menjadi kekasihmu.""Cih!" Danu membuang pandangan ke arah lain. Selain tidak mau beradu pandang dengan manik Zoya, ia merasa kepercayaan diri gadis itu mampu menggelitik ginjalnya."Selain itu aku juga baik hati, rajin menabung. Ya.. walaupun kadang jarang mandi tapi masih tetap wangi kok, suer." Disaat Tony—-pria yang bersama Danu tengah dibuat terheran-heran akan keberanian Zoya, lain halnya dengan Danu sendiri yang justru kembali mendesak nafas panjang. Ia benar-benar muak. Zoya telah kerusak ketenangannya siang itu."Aku banyak keunggulan yang pasti bisa jadi bahan pertimbangan Om," sambung Zoya tidak menyerah. "Pertama. Aku tidak suka main sosial media. Kedua. Om menjadi pacar pertamaku. Ketiga. Aku gadis yang penurut." Jeda sejenak, Zoya seperti sedang memikirkan sesuatu. "Tapi tak jarang aku bisa tantrum juga, dan saat itu terjadi Om jangan khawatir. Abaikan saja. Atau pergi tidur. Dengan begitu, moodku bisa berubah lebih cepat. Atau bisa juga—--"Zoya terperanjat. Secepat kilat bibirnya sudah mendarat tepat di sesuatu yang hangat dan kenyal. Dikala kesadaran belum sepenuhnya kembali, hanya baby eyes yang bisa Zoya lakukan saat wajah pria itu tiba-tiba berada sangat dekat dengannya. Suara sorakan serta tepuk tangan pengunjung lain menyadarkan Danu untuk segera mengakhiri aksi tak terduganya. "Dengar! Siapapun kau, dan dari mana asalmu!" Danu berbicara dingin setelah menjauhkan kepala, memperingatkan Zoya yang masih tercenung dengan mulut sedikit terbuka. "Tidak ada waktu bagiku menanggapi gadis tidak masuk akal sepertimu. Sekarang pergilah. Sebelum aku menciummu lagi.""Ta-tap—""----satu lagi, ingat!" sela Danu cepat. "Aku bukan orang yang tepat untuk kau jadikan sasaran permainan konyolmu, camkan itu!" Setelah memberikan ultimatum, Danu bangkit lantas pergi dengan langkah lebar diikuti pria yang bersamanya.Semakin cemas usahanya akan berakhir sia-sia, Zoya segera memutar otak—mencari cara agar bisa merubah keputusan pria itu. Naasnya, saat itu juga ia mendapati kedua sahabatnya dari kaca jendela yang juga sedang menatap ke arahnya.'Aku tidak boleh menyerah begitu saja. Aku harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Semangat Zoya!' serunya dalam hati.Mengetahui target sudah mendekati pintu, Zoya bergegas mengejar dan segera menahan lengan pria itu. "Apapun itu asal Om mau menjadikanku kekasih, katakan saja? Aku pasti akan melakukannya."Semakin geram, Danu merunduk—menatap gadis yang tingginya hanya sebatas bahunya itu dengan mata dipenuhi kilatan amarah. Namun, belum sempat Danu menyemburkan kemarahannya, suara dari arah belakang semakin membuat dadanya bergemuruh panas, dan rasanya ingin sekali ia menelan Zoya bulat-bulat. Kekacauan hari itu terjadi lantaran ulah gadis tengil di depannya."Terima saja Bang! Kasihan anak orang dianggurin, cantik ini!""Iya, Bang! Terima saja jarang-jarang loh! Cewek nembak duluan!"Zoya menyunggingkan senyum kemenangan."Bagaimana, Om? Bisa kita rundingkan sekarang?"Menyentak kasar tangan Zoya hingga terlepas, Danu berucap di sela-sela giginya yang merapat. "Jangan berani lagi kau menunjukan wajah jelekmu itu di hadapanku. Atau aku akan bertindak lebih tegas!""Tunggu Om. Jangan pergi dulu!" Alih-alih takut, Zoya justru berani merentangkan kedua tangan—-menghalangi langkah Danu yang sudah hampir melewati pintu."Minggir!" lirih Danu penuh penekanan. "Atau aku akan melakukan sesuatu yang bahkan tidak pernah terlintas di kepalamu." Pria itu benar-benar sangat kesal, sampai suara yang keluar dari mulutnya menyerupai desisan ular.Tidak ingin terjadi sesuatu pada Zoya, apalagi sampai pria berperawakan tinggi besar itu melakukan sesuatu yang pasti akan merugikan Zoya sendiri. Pria yang bersama Danu segera menarik pelan lengan Zoya agar tidak menghalangi jalan. "Sudah cukup kau mempermalukan diri, Nona. Tidak ada gunanya memaksakan sesuatu pada orang lain yang tidak menginginkannya." Mulut Zoya ternganga mendengar ucapan pria itu, bukan karena terkesan. Tapi belum sempat ia membela diri, keduanya sudah lebih dulu melenggang pergi. "Aku hanya ingin menjadi kekasihnya, apa itu salah?"Ada banyak pertanyaan di benak Lisa setelah mendengar cerita kedua putrinya kemarin, terselip juga harapan jika sosok tak bertanggung jawab yang sempat ia dengar itu, bukanlah orang yang sama dengan yang pernah menghancurkan kebahagiaannya dulu."Ibu disini rupanya?" Mendengar suara bariton Danu, Lisa yang sebelumnya melamun terhenyak dan segera menoleh ke belakang."Iya nak, ada apa?" "Ibu melamun? Apa ada sesuatu yang mengusik pikiran ibu, hm?" Tanya Danu setelah mendekat, dan mengambil alih selang yang masih teraliri air dari tangan ibunya."Tidak, ibu baik-baik saja. Apalagi yang ibu inginkan, jika Allah saja sudah mengebalikan putri ibu, bahkan sekarang ibu punya tiga putri sekaligus," ujar Lisa yang selalu berhasil menutupi kegundahan hatinya di hadapan Danu ataupun yang lain."Tapi kenapa ibu menyiram hanya satu tanaman, sampai airnya menggenang seperti ini," jelas Danu."Oh astaga! Ibu matikan dulu krannya." Melihat sang ibu buru-buru mematikan kran, Danu hanya menggeleng sama
"Kamu kenapa, bosan?" Walaupun tatapannya fokus ke layar laptop, tapi Danu tahu jika istrinya tidak sesemangat tadi ketika berangkat."Kemarin sebelum Abang berpenampilan seperti ini, bagaimana sikap wanita tadi?" "Ayu, maksudmu?""Ish menyebalkan, kenapa kembali menyebutnya Ayu!""Ya.. Karena memang itu namanya, lalu Abang harus memanggilnya apa? Sekretarisku, begitu?" Meski heran dengan sikap aneh Zoya, namun Danu tetap berusaha menyikapi dengan tenang. Zoya hanya diam tidak lagi menanggapi penjelasan suaminya, ia juga tidak paham kenapa hari itu begitu sensitif. Ada apa sebenarnya dengannya, apa mungkin akan kedatangan tamu bulanan yang membuatnya uring-uringan tidak jelas? Zoya simpan sendiri pertanyaan itu dalam hati, sebab apa yang dirasakan hari itu pertama kali ia rasakan.Bersikap acuh dan mengabaikannya mungkin lebih baik, pikirnya."Abang pikir dengan mengajakmu ke kantor akan lebih baik." Danu akhirnya bangkit dan duduk disamping Zoya."Abang kenapa melarangku ikut ke
"Pagi Pak.. Selamat datang Ibu."Zoya tersenyum canggung begitu hendak memasuki ruangan, mereka disambut sapaan lembut seorang wanita cantik."Terima kasih nyonya," balas Zoya tak kalah rama yang justru disertai anggukan kepala, dan itu sukses menarik perhatian Danu."Kenapa memanggilnya nyonya," tegas Danu melirik wanita yang berdiri kaku di balik meja."Haiiss tidak apa-apa.. Abang lihat! Nyonya ini cantik sekali, pakaiannya juga sangat rapi. Jelas dia bukan wanita sembarangan," bisik Zoya di ujung kalimat seraya terus menatap kagum sosok di depannya. Tanpa ia sadari jika tindakannya itu sukses membuat Danu menghela nafas dalam.'Mau heran, tapi ini istriku.' Batin Danu.'Cantik sekali nyonya ini, sesama perempuan saja aku kagum melihat kecantikannya. Apalagi para pria?' Batin Zoya yang masih menikmati keindahan di depannya, sehingga membuat objek merasa tidak nyaman karena mendapat tatapan kagum dari wanita yang jelas-jelas dia tahu apa statusnya."Ma-maaf Ibu Zoya, anda tidak perlu
"Jadi yang menemukan Melly ibu Mala, Zo?""Iya Vin," jawab Zoya lirih begitu nama wanita yang paling ia rindukan kembali disebut."Bukannya Mala mendiang ibumu sayang?" Lisa menyela ketika teringat nama itu tertulis di akta kelahiran Zoya yang dia baca sebelum hari pernikahan putranya dengan gadis itu."Iya bu," jawab Zoya memaksakan diri untuk tersenyum."Ya Allah, ibu berhutang jasa padanya. Beliau orang baik, semoga surga tempatnya.""Amin," ucap mereka serentak.Zoya kembali tersenyum menyadari tangan Danu merangkul pinggangnya dan menarik pelan sehingga tubuh mereka merapat sempurna. "Terima kasih," lirih Zoya walaupun jika ditanya untuk apa, dia sendiri pun tidak tahu. Hanya saja tidak tahu kenapa mulutnya ingin sekali mengucapkan kalimat itu."Abang yang seharusnya berterima kasih padamu juga ibu mertua sayang," bisik Danu tanpa canggung dan malu sedikitpun langsung menempelkan bibir keduanya."Abang ih, malu tau!" Zoya mendengus seraya mendorong pelan dada Danu agar menjauh.
"Kalian dari mana?" tanya Danu yang baru duduk di sofa kembali bangkit begitu melihat Zoya datang diikuti Vina di belakangnya."Dari kolam bang," jawab Zoya begitu sudah berdiri di hadapan Danu."Terima kasih, karena kamu abang bisa berkumpul lagi dengan Chika." sepertinya kali ini Zoya sudah mulai terbiasa saat Danu tiba-tiba memeluknya, hanya saja dia merasa canggung karena disana masih ada Lisa dan yang lain."I-iya bang.""Mel selamat ya, akhirnya kamu bisa bertemu ibu kandungmu." Vina memilih mendekati Melly dan duduk disampingnya."Makasih ya Vin, ini juga berkat kalian berdua." Tepat seperti yang Zoya katakan, Melly pun melakukan hal yang sama dengan Vina, dia langsung memeluk haru Vina yang awalnya enggan melakukannya lebih dulu."Terima kasih.."Hanya kalimat itu yang bisa Melly ucapkan dibalik punggung Vin, ia merasa kebahagiaan yang tengah dirasa saat itu begitu luar biasa sampai rasanya tidak cukup hanya dengan untaian kalimat."Sama-sama Mel," lirih Vina.Sebagai seorang
Mereka langsung berlari tergopoh menuju dapur, khawatir sesuatu terjadi dengan kedua wanita yang sebelumnya masuk ke tempat itu lebih dulu."Ada apa bu!" seru Danu terengah, namun seketika langkahnya membeku begitu melihat Lisa dan Melly tengah bersimpuh di atas lantai dengan tubuh saling berpelukan."Bu.." panggil Danu setelah dirinya berdiri cukup lama."Dia memang adikmu nak," ucap Lisa di sela tangisnya."Dia memang Chika," sambung Lisa semakin mengeratkan dekapannya pada Melly yang juga ikut terisak. Danu, Zoya juga Vina yang berdiri kaku akhirnya bisa bernafas lega. Melihat Danu mendekati keduanya, Zoya memilih pergi membiarkan keluarga itu meluapkan kerinduan mereka.***"Aku ikut bahagia untuk kebahagiaan Melly, tapi sekarang aku bingung harus memanggil dia apa?" Zoya menoleh dan tersenyum begitu melihat Vina ternyata menyusulnya."Mungkin aku akan tetap memanggilnya Mel-Mel, lidahku sudah terbiasa begitu." "Heem, mungkin aku pun sama.""Gak nyangka ya ternyata sahabat k