Karyo tersentak dari lamunannya. Bayangan Maya-kulit halusnya, desahannya melintas cepat. Dia menelan ludah. "Kesel, Bu, (Capek, Bu,) jawabnya, alasan yang sama seperti semalam di rumah Joko, tapi kini terasa lebih hampa. "Lakune adoh. (Perjalanan jauh.)"
Ratih memiringkan tubuhnya, menatap lekat wajah suaminya dalam keremangan. Cahaya lampu minyak menari di matanya, memperlihatkan kilatan terluka. "Biasane ora ngono, Pak. Aku kangen kowe. (Biasanya tidak begitu, Pak. Aku kangen kamu.) Tangannya bergerak ragu, menyentuh lengan Karyo.Karyo menarik lengannya perlahan. "Sesuk wae yo, Bu. Ngapurane aku. (Besok aja ya, Bu. Maafin aku.)" Durung iso, Tih. Bayangane Bu Maya isih nempel ning pikiranku. (Belum bisa, Tih. Bayangan Bu Maya masih menempel di pikiranku.)Ratih terdiam, tangannya terkulai lemas. Dia menarik napas panjang, lalu bangkit tanpa kata, berjalan menuju kamar mereka. Ditolak maneh. Sajake ono sing disimpen. (Ditolak lagi. Sepertinya ada yang diHujan rintik-rintik mulai turun di luar, menciptakan melodi halus di atap rumah mereka. Bunyi tetes air yang beradu dengan genteng keramik membentuk irama menenangkan, seperti musik pengiring pasca pergumulan mereka. Cahaya lampu tidur memberikan pendar keemasan pada kulit mereka yang basah oleh keringat.Mereka berbaring dalam keheningan beberapa saat, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Maya perlahan membuka mata, kembali ke kenyataan, sadar sepenuhnya bahwa yang baru saja terjadi adalah sesuatu yang sangat berbeda dalam pernikahan mereka.Butiran keringat mengalir di pelipis Maya. Matanya memandang langit-langit kamar, berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Rasanya seperti dia baru saja membuka kotak Pandora—sensasi yang tidak seharusnya dia rasakan, kenikmatan yang tidak seharusnya dia temukan dalam membayangkan pria lain saat bercinta dengan suaminya. Perasaan bersalah mulai menyelinap masuk, tapi begitu juga p
Kamar mereka yang biasanya tenang kini bergema dengan suara desahan Maya yang semakin intens. Jendela kamar berembun di bagian bawah, memantulkan bayangan samar tubuh mereka yang bergerak dalam ritme yang semakin cepat. Dari luar, hanya tampak siluet dua tubuh yang menyatu, tapi di dalam, Maya tenggelam dalam fantasi yang semakin nyata."Mas Karyo... ahh..." Maya terus memanggil nama itu, kini tanpa ragu. Setiap kali nama itu meluncur dari bibirnya, tubuhnya merespons dengan gelombang kenikmatan yang semakin intens. Kewanitaannya berdenyut kuat, mencengkeram Irwan di dalamnya. Puting Maya mengeras, sensitif terhadap gesekan dengan seprai di bawahnya.Irwan, terkejut dengan reaksi Maya, menemukan dirinya semakin bergairah. Dia belum pernah melihat Maya seperti ini—begitu lepas, begitu liar, begitu... terpuaskan. Ada sesuatu yang menyakitkan namun sekaligus memabukkan dalam melihat istrinya terangsang karena membayangkan pria lain.
Irwan tersenyum, mencium pundak Maya dengan lembut. "Tutup matamu. Bayangin sekarang Pak Karyo yang ada di belakangmu."Maya menarik napas dalam dan perlahan menutup matanya. Dia berusaha membayangkan bahwa tangan yang memegang pinggangnya bukan tangan Irwan yang halus dan terawat, melainkan tangan kasar penuh kapalan milik Pak Karyo—tangan yang telah menghabiskan bertahun-tahun bekerja keras di bawah terik matahari.Awalnya terasa sangat janggal. Sangat... salah. Bagaimana mungkin dia membayangkan pria lain saat bercinta dengan suaminya? Pikiran itu membuat perutnya serasa dililit. Namun ketika Irwan kembali bergerak di dalamnya, mendorong lebih dalam dari belakang, Maya berusaha melepaskan diri dari kenyataan."Rileks," bisik Irwan di telinganya dengan suara yang sengaja dibuat sedikit lebih berat. "Biarkan tubuhmu mengingat."Maya menelan ludah, mengangguk kecil. Dia membiarkan ingatannya melayang pada
Maya tetap belum yakin. Bayangan Pak Karyo sudah mulai muncul di benaknya, tapi dia menolaknya, karena takut menyakiti Irwan. "Say... aku cinta kamu, bukan dia.""Aku tau," Irwan mempercepat sedikit gerakannya, tangannya meremas lembut payudara Maya. "Ini bukan soal cinta. Ini soal tubuhmu. Tubuhmu udah merasakan sensasi yang berbeda dengan dia, dan itu normal kalau kamu ingin merasakannya lagi."Penjelasan Irwan yang terus terang itu memicu campuran perasaan di dada Maya—malu karena Irwan memahami begitu jelas apa yang terjadi pada tubuhnya, tapi juga lega karena dia tidak perlu lagi berpura-pura."Say... bagaimana kalau aku jadi ketagihan?" bisik Maya, suaranya bergetar. "Bagaimana kalau... ahh... kalau aku jadi nggak bisa klimaks tanpa bayangkan dia?"Jantung Irwan berdebar lebih kencang, tapi dia berusaha agar suaranya tetap tenang. "Itu masalah nanti," bisiknya. "Yang penting sekarang kamu nikmatin.
Jantung Maya berdebar kencang. Bagaimana mungkin dia bisa menerima permintaan itu? Membayangkan Pak Karyo saat bersama Irwan? Tubuhnya menegang, bukan karena gairah tapi karena kecemasan yang mendadak menyerangnya.Malu. Maya merasa malu luar biasa membayangkan Irwan tahu seperti apa dirinya saat bersama Pak Karyo—bagaimana dia mendesah tanpa kendali, memanggil nama Pak Karyo dengan nada memohon, atau bahkan kata-kata vulgar yang tak pernah dia ucapkan sebelumnya. Dia bahkan memanggil Pak Karyo dengan sebutan "Mas"—sesuatu yang tak pernah dia gunakan untuk Irwan. Bagaimana mungkin dia bisa menunjukkan sisi dirinya yang seperti itu pada suaminya?"Say, kamu nggak ngerti..." bisik Maya lirih. "Itu... itu terlalu..."Maya menelan ludah. Dia tak mungkin mengakui kalau tubuhnya mungkin akan bereaksi jauh lebih responsif jika dia membayangkan Pak Karyo—dan itu akan menyakiti Irwan lebih dalam. Cukup sudah rasa sa
Beberapa menit berlalu dalam usaha Irwan meniru gerakan yang Maya deskripsikan, tapi tetap saja ada sesuatu yang tidak tercapai. Irama yang salah, tekanan yang kurang tepat, atau mungkin... ukuran yang berbeda. Maya mencoba memejamkan mata, berusaha menikmati sentuhan suaminya. Bibirnya mengeluarkan desahan kecil, sebagian demi Irwan, sebagian karena memang ada kenikmatan di sana.Namun tubuhnya terasa kaku dan tidak sepenuhnya responsif. Pikirannya terbagi antara keinginan untuk menikmati momen ini bersama suami yang dicintainya, dan ingatan-ingatan tentang Pak Karyo yang tak bisa dia tepis—sentuhan kasar namun tepat sasaran, aroma maskulin yang berbeda, ukuran yang membuatnya merasa penuh.Irwan mengusap peluh di dahinya. Udara kamar terasa panas meski AC menyala. Kipas di langit-langit berputar pelan, mengirimkan semilir angin yang hampir tak terasa di kulit mereka yang lembab. Di luar terdengar deru mobil sesekali melintas di