Sasikirana
“Apa maksud kamu, Dek?” cetus Bang Vian ketika mobil berhenti mendadak.
Beruntung aku mengenakan sabuk pengaman, sehingga aman dari benturan ketika Bang Vian menginjak rem tiba-tiba.
“Emang saya barusan ngomong apa ya, Bang?” Aku tersenyum aneh.
Bang Vian kembali menginjak gas ketika gerbang dibuka oleh petugas. Mobil menepi setelah berada di luar area gedung. Dia membuka sabuk pengaman, kemudian memutar tubuh sedikit menghadapku. Mampus, suamiku curiga.
Lagian ini mulut kenapa sih bisa ngomong kayak tadi? Bisa fatal nih akibatnya.
“Tadi kamu bilang Kalila marah setiap kali bertemu dengan Vidya. Apa itu maksudnya? Apa kamu pernah berjumpa dengan Kalila sebelumny
Melviano Sasi bisa melihat makhluk halus? Lelucon apa yang sedang dilontarkannya sekarang? Aku benar-benar tidak percaya dengan hal semacam itu. Menurutku arwah orang yang sudah meninggal tidak akan lagi tinggal di dunia. Mereka semua sudah pergi ke tempat semestinya. “Abang nggak percaya, ‘kan?” lirihnya menundukkan kepala. “Udah saya duga Abang pasti nggak percaya.” Dia mendesah pelan sambil memegang pinggir tempat tidur. “Nggak ada orang di dunia ini yang bisa melihat makhluk halus, Dek,” tanggapku kemudian. “Mereka juga nggak ada.” Sasi menaikkan pandangan dan menatapku lekat. “Ada, Bang! Buktinya saya. Saya bisa merasakan dan melihat kehadiran mereka sejak usia sepuluh tahun.” Sesaat kemudia
SasikiranaSusah banget bikin Bang Vian percaya kalau aku bisa melihat mereka yang tak kasat mata. Orang seperti dirinya selalu mengedepankan logika, sehingga menyebut kelebihanku ini hal yang nggak masuk di akal. Hufh!Beruntung Papa Stanley masih ada di ruang kerja. Aku bisa membuktikan kepadanya apa yang baru saja dikatakan bukan bualan belaka.“Gimana? Abang udah percaya?” tanyaku keesokan pagi.Setelah berada di ruang kerja, Bang Vian lebih banyak diam sampai kami tertidur. Mungkin dia sedang menelaah apa yang kusampaikan tadi malam. Apalagi menurut cerita Papa Stanley, kejadian tersebut hanya diketahui mereka berdua. Itulah satu-satunya cara untuk meyakinkan suamiku, agar percaya dengan apa yang kukatakan.Bang Vian berhenti mema
MelvianoKenyataan Sasi bisa melihat makhluk halus benar-benar mengejutkan. Awalnya aku tidak percaya sampai dia menceritakan aib di masa kecilku yang hanya diketahui Papa.Ternyata kemampuan melihat makhluk astral itu juga menjadi alasan, kenapa dia diusir dari keluarganya. Ah, nasibnya sungguh tragis. Kehilangan Ibu sejak masih bayi, setelah sang Ayah meninggal, Sasi juga diusir oleh keluarga sendiri.Aku terdiam dalam waktu yang lama, larut dengan pikiran sendiri. Apakah harus menceritakan tentang Kalila dan Vidya kepadanya atau tidak? Mungkinkah Sasi pernah bertemu dengan roh Kalila?“Dek.” Aku memalingkan paras kepadanya.“Kenapa, Ba
SasikiranaEntah kenapa tiba-tiba dada terasa sedikit sesak ketika bertemu dengan wanita anggun yang berdiri di samping paman Bang Vian. Bulir bening tiba-tiba menetes di pipi begitu saja tanpa permisi. Diri ini tertegun ketika netra cokelat kehijauan kami bertemu beberapa saat.“Kamu nggak apa-apa, Dek?” tegur Bang Vian menyentakkan.Kepala ini langsung menoleh kepadanya seiringan dengan jari bergerak menyeka air mata. Sebuah senyum tipis terukir di bibirku.“Nggak kenapa-napa kok, Bang,” sahutku segera.“Oya, perkenalkan ini Om Jhonny, adik Papa. Ini istriku, Om. Namanya Sasikirana,” ujar Bang Vian memperkenalkan kami.Tangan ini terulur ke depan disambut oleh pria
MelvianoRoh di dalam tubuh Tante Diana? Yang benar saja. Itu tidak mungkin terjadi.“Jangan ngawur ah, Dek. Setahu saya, Tante Diana nggak kayak kamu deh,” ujarku dengan tangan masih berada di pinggang Sasi.Dia melihat ke plafon beberapa detik sebelum turun dari pangkuanku. “Mungkin saya salah lihat kali ya.”Aku mengangguk setuju. Bisa jadi dia salah lihat. Setahuku Tante Diana tidak memiliki kemampuan seperti Sasi. Mereka dulu pernah tinggal di rumah selama dua tahun sebelum pindah ke New York. Selama itu juga tidak ada yang mencurigakan dari beliau.“Kamu mau ke rumah Mbak Nisa sekarang nggak?” tawarku mengerling kepada Sasi yang tampak masih bingung.“Eh?
Sasikirana“Kamu pernah bertemu Kalila, Sasi?” tanya Bang Vian membuatku menelan ludah.Kalila melihatku dengan mata melotot sambil menggelengkan kepala. Dia menempelkan ujung jari telunjuk di bibir, memintaku untuk tutup mulut.Aku menggeleng dengan cepat sambil menggoyangkan kedua tangan di depan. “Nggak. Belum.”“Trus tadi kamu bilang Kalila marah saat bertemu Vidya,” kejar Bang Vian nggak mudah percaya begitu saja.“Oh itu. Saya asal ngomong aja, Bang. Kayaknya sih Mbak Kalila marah sama Mbak Vidya.” Aku tertawa aneh di ujung kalimat.Suasana menjadi hening saat Bang Vian nggak bicara lagi. Sekarang aku penasaran gimana Kalila meninggal? Kalau dilihat
MelvianoMama ternyata sangat merindukan kehadiran seorang cucu. Menurutku sangat wajar beliau selalu menyinggung tentang anak, karena usianya tidak lagi muda. Di penghujung enam puluh tahun, tentu ada kekhawatiran tersendiri jika tidak bisa melihat penerus keturunan keluarga Stanley hadir ke dunia ini.Sesaat aku mendesah ketika ingat dengan roh yang selalu mengganggu malam romantisku dengan Sasi. Sebenarnya bisa menjadi kesempatan untuk kami melakukannya tadi, karena menurut cerita istriku roh itu tidak ada di kamar. Arwah siapa itu? Kenapa bergentayangan di rumah ini?“Kami akan berusaha semaksimal mungkin, Ma,” tanggapku setelah saling berbagi pandang dengan Sasi.Istriku ikut mengangguk setuju dengan perkataanku. Memang begitulah kenyataannya. Berusaha maksimal untuk bisa mel
SasikiranaPagi ini aku masih kepikiran dengan Tante Diana. Saat membahas tentang Awera Resort, ada roh yang dipaksa keluar dari tubuhnya namun kembali lagi. Entah kenapa jadi penasaran dengan beliau. Ditambah lagi Tante Diana pernah bekerja di resort yang sama dengan Mama dan Papa.Ya, menurut cerita Papa, beliau dulu bertemu dengan Mama di resort tersebut. Papa bekerja sebagai chef sementara Mama sebagai resepsionis. Istilah kerennya sih cinlok alias cinta lokasi. Jika Mama dan Papa bekerja di waktu yang sama dengan Tante Diana, kemungkinan mereka saling kenal. Aku bisa bertanya juga kepadanya tentang kedua kedua orang tuaku, terutama wanita yang telah melahirkanku.“Lagi mikirin apa sih pagi-pagi?” gumam Bang Vian dengan suara serak khas