Angin di Antara Kita

Angin di Antara Kita

last updateLast Updated : 2025-09-23
By:  Elis Z. FaidaUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
15Chapters
7views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Cinta seharusnya sederhana, dua hati saling menemukan, lalu bersatu dalam restu. Tapi bagi Nayla dan Elhan, cinta justru menjadi ujian paling menyakitkan dalam hidup mereka. Nayla, gadis sederhana yang tumbuh dengan mimpi dan luka masa kecil, tak pernah menyangka pertemuannya dengan Elhan akan mengubah segalanya. Elhan adalah sosok yang penuh ketegasan namun diam-diam rapuh, seorang lelaki yang di balik senyumnya menyimpan tanggung jawab besar sebagai anak sulung dalam keluarga terpandang. Pertemuan mereka adalah kebetulan, tapi perasaan yang tumbuh di antara keduanya terlalu dalam untuk disebut sekadar kebetulan. Sayangnya, dunia tidak berpihak pada mereka. Mama Elhan, seorang wanita yang keras dan berpengaruh, menolak keras hubungan mereka. Bagi sang ibu, Nayla bukanlah perempuan yang pantas mendampingi putranya—entah karena status, latar belakang, atau alasan yang lebih gelap dari sekadar gengsi keluarga. Setiap langkah Nayla selalu diuji: cibiran, tekanan, bahkan ancaman halus yang membuatnya ragu. Di sisi lain, Elhan juga terjebak dalam dilema besar—antara memilih cintanya, atau mengorbankan kebahagiaan demi memelihara kedamaian keluarganya. Namun, cinta mereka bukan sekadar tentang restu. Di balik penolakan sang ibu, tersimpan rahasia masa lalu yang perlahan terungkap, mengaitkan keluarga mereka dengan luka lama, dendam, bahkan jejak yang tak pernah disangka. Semakin mereka berusaha mendekat, semakin besar badai yang menghalangi. Apakah cinta cukup kuat untuk melawan restu yang tak kunjung datang? Apakah mereka mampu bertahan, ketika setiap pilihan berarti kehilangan sesuatu yang lain?

View More

Chapter 1

Prolog

“Kalau cinta ini hanya akan jadi angin… semoga ia tetap singgah di antara kita.”

Angin malam berhembus, membawa rahasia yang tak pernah sempat mereka ucapkan.

Langit masih menyisakan jejak hujan—bau tanah basah menusuk indra, dingin menusuk tulang. Lampu jalanan berpendar redup, menciptakan bayangan panjang di jalanan yang lengang. Sesekali, tetesan air jatuh dari dedaunan, menimbulkan bunyi kecil yang justru menegaskan sepi.

Nayla berdiri di bawah cahaya itu. Tubuhnya gemetar, bukan semata karena udara yang menusuk, melainkan karena hatinya yang retak. Matanya buram, dadanya sesak, seolah udara pun enggan tinggal lebih lama di paru-parunya. Setiap napas seperti belati yang menusuk dari dalam.

“Elhan…” suaranya pecah, terhanyut dalam desiran angin yang liar. “Katakan kalau semua ini cuma mimpi. Katakan kalau kamu nggak benar-benar ninggalin aku.”

Kata-kata itu melayang, larut dalam gelap malam, seakan lebih cepat ditelan angin daripada sampai ke telinga lelaki di hadapannya.

Elhan hanya terdiam. Sorot matanya keras, tapi Nayla bisa membaca retakan halus di sana—retakan yang tak pernah dilihat orang lain. Jemarinya mengepal kuat, urat-urat tangannya menegang, seakan ada sesuatu yang terlalu sakit untuk diucapkan, terlalu berat untuk dibagi.

“Aku sudah coba, Nayla.” Suaranya rendah, bergetar, seperti pecahan kaca yang diseret di lantai. “Aku sudah lawan semuanya. Tapi kamu tahu sendiri… Mamaku nggak akan pernah merestui hubungan kita. Dan aku—” ia menunduk, menarik napas panjang yang terasa lebih seperti luka, “—aku nggak sanggup lagi lihat kamu terseret dalam kebencian yang bahkan bukan milikmu.”

Kata-kata itu jatuh, menghantam hati Nayla lebih keras dari apapun. Dadanya terasa diremukkan, matanya panas. Dunia seolah mengecil, hanya menyisakan jarak di antara mereka—jarak yang semakin lama semakin melebar.

“Jadi ini akhirnya?” bisiknya, lirih, nyaris kalah oleh suara angin. “Setelah semua yang kita lalui… cukup restu mamamu yang bisa memisahkan kita?”

Elhan memejamkan mata. Wajahnya pucat, seperti orang yang kehilangan arah. “Kalau suatu hari takdir mengizinkan…” ia berhenti, menahan napas, “mungkin kita akan bertemu lagi. Tapi sekarang—” suaranya pecah, terhempas seperti ranting kering, “—aku harus pergi.”

Satu langkah.

Dua langkah.

Perlahan ia menjauh.

Nayla tetap terpaku, tubuhnya membeku, sementara air mata jatuh tanpa henti. Setiap tetesnya terasa seperti serpihan kaca yang melukai pipinya. Angin berembus kencang, membawa suaranya yang tertahan, membawa segala yang tak sempat ia katakan.

Kenapa harus angin yang membawa pergi cintaku? Kenapa bukan aku yang bisa menahannya?

Di matanya, punggung Elhan semakin samar, semakin kabur, hingga akhirnya hilang ditelan gelap malam. Hanya sisa jejak langkahnya yang menguap bersama bau hujan.

Nayla terisak, menutup mulut dengan telapak tangan, seolah ingin menghentikan suara perih yang terus keluar. Namun semakin ia coba menahan, semakin keras tangis itu meledak dalam diam. Hatinya berteriak, tapi suaranya tertelan angin.

Malam itu, cinta mereka tak benar-benar berakhir, tapi juga tak bisa bertahan. Seperti lilin yang padam tertiup angin—meninggalkan sisa asap, samar, menggantung di udara.

Sejenak, langit menggeram. Kilatan samar petir menyambar jauh di horizon, meski hujan telah reda. Suara gemuruhnya seperti menyetujui perpisahan yang baru saja terjadi, seperti palu hakim yang mengetuk takdir.

Nayla menatap kosong ke arah jalan yang ditinggalkan Elhan. Bayangan itu sudah tak ada, hanya menyisakan kehampaan yang begitu pekat. Udara yang tadi dingin kini terasa menyesakkan, menekan dadanya hingga ia sulit bernapas.

Ia menggenggam ujung jaketnya, erat sekali, seakan dengan begitu ia bisa menahan dirinya agar tidak runtuh di tempat. Lututnya lemas, hampir saja ia jatuh berlutut di aspal yang masih basah. Namun ia bertahan, walau tubuhnya berguncang.

Di dalam hatinya, suara-suara bergaung. Potongan kenangan berkelebat—senyum Elhan, tatapannya yang hangat, janji-janji kecil yang pernah mereka ucapkan di antara tawa. Semua itu terasa seperti serpihan kaca yang kini berhamburan, menusuk ke segala arah.

Seandainya restu bukan halangan… seandainya cinta saja cukup… mungkin mereka tidak akan berdiri di titik ini.

Tapi dunia tidak selalu tunduk pada keinginan dua hati. Ada tembok besar yang berdiri di hadapan mereka—bukan jarak, bukan waktu, melainkan restu seorang ibu yang tak pernah mereka dapatkan.

Nayla menunduk. Air matanya jatuh ke tanah, menyatu dengan sisa hujan. Ia merasa kecil, rapuh, nyaris hancur. Dan entah kenapa, malam itu ia sadar: ada luka yang tidak bisa disembuhkan siapa pun, tidak juga oleh cinta yang sebesar apapun.

Jam terus berdetak, tapi malam seperti membeku di tempat. Lampu jalanan tetap redup, angin tetap berembus, seolah dunia menolak untuk ikut bergerak tanpa mereka berdua.

“Apa benar kita cuma bisa sampai di sini, Han?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. “Apa benar angin satu-satunya yang bisa menyimpan semua yang kita punya?”

Angin berdesir, menampar wajahnya dengan lembut, seakan menjawab. Tapi jawaban itu tak pernah cukup.

Mungkin suatu hari angin akan kembali, membawa jawaban.

Atau justru, membawa luka yang lebih dalam lagi.

Dan sejak malam itu, Nayla tahu—hidupnya tak akan lagi sama.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
15 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status