Sasikirana
“Sasi gawat!!” Terdengar suara yang nggak asing lagi di telinga beberapa hari belakangan. Siapa lagi jika bukan roh Kalila.
Dia datang tiba-tiba ketika aku mempersiapkan diri untuk menerima materi yang diberikan oleh instruktur. Sesuai dengan perkataan Bang Vian, aku disuruh ikut pelatihan manajemen sebelum diberikan jabatan strategis di Liburan.com.
“Kenapa sih Mbak? Ngagetin aja,” protesku mengelus dada. Beruntung instruktur sedang keluar sebentar, sehingga bisa berbicara dengan Kalila.
Paras Kalila tampak begitu panik. Dadanya naik turun bukan karena bernapas (roh nggak ada yang napas hahaha), tapi seperti menahan marah.
“Vidya coba godain Vian. Buruan naik ke lantai lima belas,” suruhnya nggak ten
Melviano Tak pernah kubayangkan akan berjumpa lagi dengan Kalila meski melalui perantara Sasi. Mendengar bagaimana cara bicaranya saat ini, sudah jelas almarhumah istriku yang berbicara sekarang. Terutama dari cara Sasi memanggilku ‘Vi’. Rasa rindu terhadap Kalila menjadi terobati meski tidak bisa melihat wajahnya. “Vidya … vidya.” Kalila yang berada di dalam tubuh Sasi berdecak berkali-kali. “Gue heran kenapa sih harus pendam cinta sekian lama, tanpa mengutarakannya?” “Bayangin lo jatuh cinta sama suami gue selama belasan tahun, tapi nggak berani mengatakannya.” Kalila menggigit bibir bawah Sasi. Dia sering begini semasa hidup, menggigit bibir sendiri sebelum meneruskan perkataan. Apa? Vidya sudah lama jatuh cinta denganku? Bahkan dua belas tahun memendamnya dalam hati?
Sasikirana “Aku membesarkanmu agar bisa bermanfaat suatu hari nanti, Kalila.” Terdengar suara serak seorang pria. Siapa itu? Pandanganku beralih melihat dua orang yang duduk di ruang tamu sebuah rumah mewah. Di mana aku sekarang berada? Rumah ini begitu asing bagiku. Mata menyipit ketika ingin fokus melihat pria dan wanita yang sedang berbicara di ruangan itu. Kalau nggak salah dengar tadi, pria tersebut menyebut nama Kalila. Seketika diri ini terkesiap saat melihat almarhumah istri suamiku duduk berhadapan dengan pria paruh baya, tapi masih tampak gagah. “Maaf, Pa. Kalila nggak bisa lagi meneruskan rencana Papa. Apalagi sekarang sedang hamil,” lirih Kalila dengan kepala tertunduk melihat perut sendiri. “Sudah berapa kali kuperingatkan. Janga
MelvianoSatu bulan kemudianRentetan kejadian bulan lalu membuatku tidak bisa bernapas lega. Bayangkan apa yang dihadapi tidaklah mudah. Mulai dari kenyataan Sasi bisa melihat makhluk halus, Tante Diana yang ternyata ibu kandung Sasi, hingga Kalila yang disuruh oleh Om Reino menjadi mata-mata. Belum lagi kematian Papa yang tidak wajar. Mungkin karena itulah roh beliau masih berada di rumah ini.“Kayaknya kita masih punya PR deh, Sayang,” kataku kepada Sasi ketika kami bersiap untuk tidur.“Apa, Bang?” Sasi membuka mata yang sempat terpejam sebentar.“Bantu Papa pergi ke tempat yang seharusnya.”Sasi tampak semringah, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. “Be
SasikiranaTiga pasang mata sedang menatapku sekarang. Nggak peduli seberapa kuat aku mengabaikan, namun tetap saja mereka masih betah duduk di sana. Sorot mata ketiganya pun beragam; marah, sedih dan harap. Gimana dengan rupa mereka? Jelas beda dong satu sama lain.“Aku nggak akan pergi sebelum kamu mau kabulkan permintaanku,” ujar salah satu dari mereka. Sosok roh wanita yang kerap memperlihatkan darah di parasnya.Aku memilih membalikkan tubuh yang terbaring di tempat tidur mengarah ke dinding. Tiba-tiba wajah yang baru saja kulihat tadi muncul di tembok berwarna kuning polos yang menghiasi kamar. Tampak samar, hanya terlihat warna kemerahan yang menghias wajah wanita itu.Apa kalian tahu dengan siapa aku berinteraksi sekarang? Bersiaplah untuk terkejut jika kukatakan mereka ad
MelvianoDua jam sudah aku berusaha mengingat kejadian tadi malam. Kenapa bisa berada di kamar hotel bersama dengan wanita tadi? Aku hanya pergi ke klub dengan Franky dan tidak minum alkohol dengan persentase tinggi, hanya lima persen. Bagaimana bisa tiba-tiba terbangun di sana?Oke, sekarang runut dulu kejadian dari awal. Begitu pulang dari kantor, aku ke klub bersama dengan Franky. Tidak ada siapa-siapa lagi di ruangan yang kami sewa, selain diriku dan sahabat yang sudah dikenal sejak SMA. Aku memesan bir dengan kadar alkohol tidak lebih dari lima persen. Setelah itu … kami berdua beranjak ke diskotik dan berdiri di sana beberapa saat.Sial! Aku baru ingat sesuatu. Setelah berada di dance floor, kami kembali lagi ke ruangan yang disewa. Franky
SasikiranaSebelum semua jadi runyam, aku langsung meninggalkan kamar hotel itu tanpa berkata apa-apa lagi sama si Om-om. Biarin aja dia pusing menghadapi wartawan. Eh, kenapa jadi ada wartawan di sana? Memangnya si Om itu artis? Kok nggak pernah lihat? Ah, bodoh amat.Ya ampun! Itu wartawan sempat ambil foto gue, batinku panik.Sesaat keresahan yang sempat hinggap sirna begitu saja, ketika melihat pantulan diri di cermin lemari berukuran besar. Aku menatap diri sendiri yang tampak begitu berbeda dari penampilan sehari-hari. Tawa kecil keluar begitu saja dari sela bibir. Nggak akan ada yang bisa mengenaliku dengan penampilan seperti ini.Roh sialan itu berhasil mengembalikan penampilanku ke wujud asli. Rambut lurus panjang, kulit wajah mulus, ma
Melviano“Selamat datang, Pak Melviano,” sambut Operation Manager bagian contact center service.Hanya anggukan kepala yang diberikan kepada pria berkepala botak tersebut. Pandangan mata mengitari ruangan yang luas, karena ada ratusan karyawan bekerja di sini. Mereka semua tampak duduk di kubikel dengan serius.Divisi ini yang memiliki peranan penting bagi perusahaan start up yang baru kubangun. Karyawan di bagian CCS menjadi tameng perusahaan dalam menghadapi pelanggan. Mereka juga yang menjadi pelampiasan kekesalan para pengguna jasa aplikasi, jika mendapatkan kendala.Jika ditanya divisi mana yang masuk daftar seleksi paling ketat, CCS-lah jawabannya. Tidak hanya kemampuan dalam menyerap mate
SasikiranaApa yang terjadi hari ini sungguh di luar dugaan. Pertama, aku terbangun bersama dengan pria asing. Kedua, pria yang bersamaku semalaman ternyata orang yang memiliki perusahaan tempat diri ini bekerja. Ketiga, dia memanggilku ke ruangan meeting. Awalnya berpikir si Om itu mau memecatku, karena dinilai salah handling pelanggan. Ternyata pikiranku salah, dia hanya menanyakan apakah kami pernah bertemu sebelumnya atau nggak.Tunggu! Dia nggak mengenaliku, ‘kan? Mustahil si Om-om itu tahu aku wanita yang bersamanya di kamar hotel tadi pagi. Benar, ‘kan?Sumpah, aku takut banget dipecat. Mau kerja di mana dengan penampilan kayak gini? Ya ampun, hidu