Laki-laki bernama Mergo itu adalah seorang pemimpin perampok gunung. Meski hidup sebagai perampok, di balik jubah lusuhnya itu dia adalah seorang pendekar gagah yang berkharisma, dan juga memiliki ambisi dan idealisme yang tinggi.
Sejak mendapatkan senjata iblis yang sudah lama dicari-carinya itu, dia langsung mengajak rekan-rekannya beralih profesi menjadi tentara bayaran. Meski lambat namun pasti, seiring waktu dia berhasil menaikan nama kelompoknya.
Diawali dengan ikut sertanya dia dan kelompoknya ke dalam peperangan antara dua kerajaan yang berdekatan. Tak ada satupun yang mengenal kelompok ini dan berada di posisi mana mereka berpihak. Namun keahlian mereka bertempur mengundang ketertarikan dari kedua kubu.
“Siapa mereka?” tanya salah seorang panglima perang yang mengamatinya dari kejauhan.
“Sabdo, segera cari tahu mengenai orang tersebut,” titahnya pada seorang ajudan.Di sebuah warung makan, seorang utusan dari salah satu kubu yang berperang menghampiri Mergo. Dia langsung melempar sekantong koin emas dan menawarkan Mergo dan kelompoknya untuk ikut memperkuat pasukan mereka.
“Kami sudah melihat kemampuanmu. Kami akui kau seorang pemimpin handal berkharisma dalam memimpin kelompokmu, dan semua pendekar di kelompokmu sangat bisa diandalkan. Panglima kami menawarkan itu sebagai ganti keikutsertaan kalian mendukung kami di perang selanjutnya. Sekantung lagi akan diberikan setelah perang,” pesan prajurit utusan tersebut.
Mergo langsung menerimanya tanpa pikir panjang. Uang bukan jadi alasannya, dan kemana dia berpihak juga tak penting baginya. Dia tak peduli siapa yang menang, karena motif utamanya hanyalah untuk menaikkan reputasi kelompoknya, pasukan Panji Keris Bertuah.
Namun sebelum pergi, prajurit utusan itu berhenti di depan warung dan menoleh sesaat ke arah Mergo dan rekan-rekannya. Perhatiannya tertuju pada satu orang remaja yang masih begitu muda. Meski urusannya datang ke situ hanya menyampaikan pesan, namun sekarang dia pun mulai meragukan kelompok tersebut.
“Apa kau yakin membawa seorang bocah ingusan untuk berperang?” tanya prajurit utusan tersebut pada Mergo.
Mergo tersenyum, masih sibuk mencongkel sedikit daging ayam yang terselip di giginya.
“Kau nilai saja sendiri nanti di pertempuran,” jawabnya.
Sebelum pertempuran dimulai, prajurit yang sama memang mendapati anak muda tersebut ikut dalam pasukannya. Anak itu duduk dengan tenang di atas kudanya, dengan ekspresi dingin memegangi satu pedang yang ukurannya bisa dikatakan terlalu besar untuk anak seukurannya.
Namun apa yang terjadi selama pertempuran adalah cerita yang berbeda. Anak muda itu dengan dingin membantai pasukan-pasukan musuh begitu sadis. Wajahnya sudah bersimbah darah dari prajurit-prajurit yang dibantainya. Namun tak ada sedikitpun kenaifan dan tak sedikitpun perubahan muncul di ekspresi wajahnya.
Beberapa kali pertempuran terulang, pemandangan yang sama kembali terlukis di wajah pemuda tersebut. Ini sudah pertempuran keenam yang dijalaninya mempertahankan benteng yang sama. Seiring waktu berjalan, kemampuannya selalu terlihat berkembang.
Apa lagi musuh yang mereka hadapi saat ini datang dari kerajaan yang berbeda dari sebelumnya. Mereka adalah pasukan dari kerajaan Gamawuruh yang terkenal cukup rapi dalam menjalani strategi perangnya.
Tetap saja anak muda itu tak nampak kesulitan barang sekalipun. Dia tetap bisa terus-menerus membantai musuh tanpa ampun. Hal itu lantas menarik minat dari panglima yang memimpin pasukan yang mereka bela.
“Siapa pemuda itu?” tanya sang Panglima pada ajudannya.
“Aku dengar, rekan-rekannya memanggilnya Rangkahasa, salah satu orang kepercayaannya Mergo,” jelas ajudan tersebut.
Sang Panglima nampak mengusap-usap dagunya, sama sekali tidak menyembunyikan kekagumannya.
“Tidak salah saat itu kita menyewa Mergo dan pasukan Panji Keris Bertuah yang dipimpinnya. Pertama kali aku melihat mereka muncul, aku memang merasakan potensi yang besar dalam diri mereka. Terutama Mergo, ada kharisma kuat di dalam dirinya hingga bisa memimpin pasukan yang berisikan pendekar-pendekar hebat itu dengan sangat baik,” jelas Sang Panglima.
“Tak sekalipun hamba meragukan penilaian Sang Panglima,” ujar sang ajudan menyanjung keputusan pimpinan perang tersebut menyewa Mergo dan kelompok Panji Keris Bertuah.
“Tidak, tidak! Yang ingin aku katakan, seorang pemimpin berkharisma seperti dirinya perlu diwaspadai,” lanjut Sang Panglima sebelum memutar haluan kudanya meninggalkan area pertempuran.
“Ingat pesanku Sabdo, Orang sepertinya tidak akan puas hanya menjadi pemimpin pasukan bayaran,” tutup Sang Panglima menasehati ajudannya tersebut.
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.