Sudah lebih dari satu minggu pertempuran di dekat Sungai Bhagawanta itu berlangsung. Pasukan musuh yang datang dari arah laut yang hendak menguasai Benteng Watukalis belum juga mampu merebutnya. Benteng Watukalis yang dipimpin oleh Panglima Adipati Labdajaya memang terkenal cukup kuat, karena menjadi titik penting untuk mempertahankan Kerajaan Cakradwipa dari arah selatan.
Namun musuh itu selalu kembali meski sudah berkali-kali berhasil dipukul mundur. Di pertempuran keenam setelah penyerangan pertama mereka, lagi-lagi mereka langsung mundur begitu melihat keadaan tidak berpihak. Padahal pasukan mereka masih cukup besar untuk melanjutkan pertempuran.
Prajurit-prajurit yang mempertahankan benteng bersorak gembira atas keberhasilan mereka mempertahankan Benteng Watukalis. Namun sang Panglima nampak tak senang. Dia terlihat sedikit gusar karena yakin pasukan itu akan datang lagi, sementara masih banyak dari mereka yang berhasil melarikan diri.
“Kenapa tidak kita kejar saja?” tanya sang ajudan.
“Tidak, terlalu beresiko,” jawab sang Panglima.
“Sudah jelas mereka ingin memancing kita menjauhi benteng. Segera tarik pasukan dan rawat prajurit yang terluka,” perintahnya.Dari kejauhan, Mergo memperhatikan reaksi gusar dari sang Panglima tersebut. Diapun datang menghampiri saat ajudannya pergi meninggalkan Panglima itu sendiri.
“Seperti biasa, pakaianmu masih saja rapi meski setelah perang yang panjang ini,” ujar sang Panglima menyambut kedatangan Mergo.
“Tuan terlalu tinggi menyanjung saya,” balasnya singkat, sedikit menundukkan kepalanya.
“Bagaimana dengan pasukan Panji Keris Bertuahmu?” tanya sang Panglima.
“Mereka masih terlihat bersemangat. Andai Tuan memerintahkan kami untuk memburu mereka, niscaya mereka akan memenuhi panggilan itu,” jelas Mergo.
“Tidak usah! Aku masih membutuhkan kalian di pertempuran berikutnya,” balas sang Panglima, memutar haluan kudanya untuk kembali menuju Benteng Watukalis.
“Maaf, Tuan!” ujar Mergo, memanggil Panglima tersebut sembari menyusulnya dengan kuda tunggangannya.
“Setidaknya izinkan kami pergi untuk mengintai mereka,” jelasnya.Panglima itu menoleh sesaat ke belakang dengan sedikit menaikkan salah satu alis matanya.
“Kau tahu kan resikonya?” tanya Sang Panglima masih terus mengarak kudanya membelakangi Mergo.
“Aku tak ingin kehilangan nyawa prajurit secara cuma-cuma,” tutupnya.“Kalau begitu, izinkan hamba sendiri yang pergi ke sana, Tuan,” jawab Mergo sedikit menundukkan kepalanya.
Panglima itu berhenti, dan berbalik menghadap ke arah Mergo. Mergo sendiri masih belum mengangkat wajahnya, masih menunggu jawaban dari Sang Panglima tersebut.
“Sepertinya kau serius dengan niat ini,” ujar Sang Panglima.
“Kalau begitu pergilah. Jika terjadi sesuatu padamu, aku berjanji akan memastikan kesejahteraan Panji Keris Bertuah di bawah naunganku,” jelas Sang Panglima.Setelah mendapatkan persetujuan dari Panglima, Mergo memacu kudanya ke arah selatan menuju muara sungai. Setelah hampir sampai di bibir pantai, dia memperlambat laju kudanya dan berbelok ke arah semak-semak. Di sana dia mengikatkan kuda tersebut, dan melanjutkan pengintaiannya dengan berjalan kaki.
Dari sebuah tempat yang agak tinggi, Mergo mengamati perkemahan pasukan musuh yang ada di bibir pantai. Dari kejauhan dia juga melihat satu kapal hendak menepi. Setelah cukup lama mengamati mereka, Mergo kembali pulang melaporkannya pada sang Panglima.
Menjelang senja Mergo sampai di Benteng Watukalis. Dia langsung turun dari kudanya dan membiarkan kuda itu tak tertambat. Dia langsung bergegas menemui Sang Panglima dengan ekspresi yang nampak gusar dan sedikit panik.
“Hey, kau tak bisa seenaknya masuk tan...”
“Maaf, aku harus segera menemui Sang Panglima. Ini sesuatu yang penting!” bentak Mergo masih dengan ekspresi gusarnya.
“Tapi Panglima sedang...”
“Pengawal! Biarkan dia masuk!” seru seseorang dari dalam ruangan yang hendak dimasuki Mergo.
Pengawal itu membukakan pintu dan nampak Sang Panglima baru saja selesai berdoa di depan tumpukan sesajen di salah satu dinding di dalam ruangan tersebut.
“Maafkan kelancangan hamba, Tuan,” ucap Mergo.
“Hamba khawatir benteng Tuan dalam keadaan terancam bahaya,” jelasnya.“Jelaskan, Mergo! Apa yang telah kamu temui di sana?” tanya Sang Panglima.
“Hamba rasa sejauh ini mereka terus melakukan serangan-serangan kecil untuk menyibukkan kita. Sementara musuh sedang mengumpulkan pasukan mereka yang datang dari arah laut. Jika dibiarkan seperti itu, dalam satu atau dua hari mereka akan menyerang dengan pasukan yang besar,” jelasnya.
“Hamba sarankan agar Tuan segera meminta bantuan dari Kerajaan Cakradwipa,” lanjutnya.Wajah Panglima itu langsung berubah menjadi serius menerima laporan tersebut. Mengirim utusan untuk meminta bantuan akan memakan waktu satu hari perjalanan. Belum lagi waktu yang akan mereka butuhkan untuk mempersiapkan pasukan dan perjalanan yang akan mereka tempuh menuju benteng tersebut.“Jika dua hari, mungkin kita masih sempat,” gumam Sang Panglima.Namun Mergo langsung menyela kata-kata Sang Panglima karena tahu betul betapa gentingnya situasi mereka saat ini.“Tapi jika musuh berhasil mengumpulkan pasukannya malam ini, kita akan kesulitan mempertahankan benteng ini, Tuan. Sebelum hamba pergi, dari kejauhan sudah ada satu kapal hendak menepi. Masih tidak jelas, bisa saja masih ada yang lainnya yang sedang mereka tunggu,” jelas Mergo, meyakinkan Panglima untuk segera membuat keputusan.“Bagaimanapun, kita tetap butuh bantuan,” jawab
Satu orang dari pasukan Panji Keris Bertuah yang terlihat sangat muda nampak berlarian ke arah gerbang. Dia adalah Rangkahasa, salah satu orang kepercayaan Mergo. Namun sepertinya Mergo tak berniat membawanya ikut serta bersama mereka. “Mergo, kenapa aku tidak diizinkan untuk ikut serta?” tanya Rangkahasa.“Apa kau masih meragukan kemampuanku?” lanjutnya bertanya. “Bukan begitu, Rangkahasa. Diantara kami, kau satu-satunya yang tak pernah ikut dalam misi perampokan, bukan?” jawab Mergo sedikit beretorika.“Aku tidak meragukan kemampuanmu dalam bertarung. Akan tetapi, misi kali ini bukan sesuatu yang sederhana. Kau masih terlalu muda untuk ini,” jelasnya. “Tapi Mergo, kau tahu sendiri kalau aku tak mungkin bisa jauh-jauh darimu kalau sudah malam begini. Jika kau pergi, benteng ini jauh lebih berbahaya bagiku dibandingkan musuh-musuh itu,” sanggah Rangkahasa.
Meski tidak bisa ditebas dengan pedang, roh-roh jahat itu juga tidak bisa melukai mereka. Beberapa roh jahat itu berhasil mendekati Rangkahasa, melayang begitu cepat dan menembus tubuhnya. Rangkahasa langsung bertekuk lutut menahan rasa sakit di kepalanya. Meski tak melukai secara fisik, roh-roh jahat itu mampu melukainya secara mental, memakan sari pati hidupnya sedikit demi sedikit.
Yasa yang berjalan tepat di belakangnya sedikit penasaran setelah menyadari bahwa sepertinya Mergo sedang menjinjing sesuatu yang dibungkus dengan kain. Dia bergegas menyusul Mergo hendak bertanya. Namun setelah melihat darah menetes-netes dari kain itu, dia pun seperti mulai menyadari apa yang sedang dibawa oleh pemimpinnya tersebut. Mereka berenam baru sampai di Benteng Watukalis setelah larut malam. Tak ada sedikitpun dari mereka yang terlihat terluka. Hanya Rangkahasa seorang yang tak sadarkan diri, digendong oleh Yodha di punggungnya. Para prajurit yang membukakan gerbang untuk mereka nampak berbisik-bisik. Mereka meragukan Mergo dan rekan-rekannya setelah melihat orang-orang tersebut kembali tanpa sedikitpun luka. Prajurit itu menyangsikan, entah Mergo benar-benar berbuat sesuatu pada musuh, atau hanya akal-akalannya saja mencari simpati sang Panglima. “Kenapa dengan anak
Panglima Adipati Labdajaya serta pasukannya tidak ikut dalam pertempuran tersebut. Mereka semua berdiam diri menjaga benteng. Terutama Mergo dan rekan-rekannya yang memang dibayar hanya untuk membantu mempertahankan benteng tersebut dari serangan musuh.Meski kalah jumlah, 700 pasukan yang dipimpin oleh dua orang Panglima yang diutus dari pusat Kerajaan Cakradwipa nampak dominan menguasai pertempuran. Sebagian besar dari mereka adalah pasukan berkuda, sementara hampir dari 1000 pasukan musuh itu semuanya adalah infanteri kelas rendah. Tak banyak dari mereka yang berkuda karena datang dengan kapal lewat jalur laut.Menjelang senja, mereka akhirnya berhasil memukul mundur pasukan musuh. Sebagian besar pasukan berkuda itu terus memburu mereka yang kabur hingga menuju bibir pantai. Banyak dari pasukan musuh yang melarikan diri itu dibantai selama di perjalanan.“Kejar terus, tanamkan ketakutkan pada para
Dalam satu hari, Mergo dan rekan-rekannya menjadi buah bibir di Benteng Watukalis. Cerita itu pun sampai ke telinga Panglima Abimana dan Panglima Kawiswara, dua orang panglima perang yang diutus dari pusat Kerajaan Cakradwipa.“Jadi benar Kangmas Adipati Labdajaya mempekerjakan pasukan prajurit bayaran?” tanya Panglima Kawiswara di saat jamuan makan bersama para petingi pasukan lainnya.“Aku tak menyangka seorang Kangmas Adipati Labdajaya sampai berbuat sejauh itu. Apa pasukan kita tidak cukup kuat?” tanyanya sedikit bernada menyindir.“Aku hanya tidak ingin pendekar-pendekar hebat seperti mereka justru membela pihak musuh,” jawab Adipati Labdajaya.“Aku yakin cerita soal reputasinya sudah sampai di telinga pejabat-pejabat yang ada sini,” jelasnya.“Tentu, tentu saja!” jawab Panglima Abimana, membalas penjelasa
Di sebuah padang rumput di tepi sebuah rimba, Rangkahasa bersama Yasa baru saja berhasil menangkap dua ekor rusa. Mereka menyeret masing-masing satu rusa hasil tangkapan itu menuju tepi hutan.Di pinggir hutan itu ada seorang lagi rekan mereka, Yodha, sedang berbaring di bawah sebuah pohon yang rindang. Yasa dan Rangkahasa langsung melemparkan kedua ekor rusa tersebut ke atas tubuh Yodha dan membuatnya terbangun.“Sudah, kita balik ke markas,” seru Yasa pada temannya tersebut.Yodha tersenyum hingga matanya nyaris tak kelihatan. Dia berdiri dan langsung memanggul kedua ekor rusa tersebut dan membawanya sendirian. Namun Yasa bergegas menghampiri Yodha, seperti terlupakan akan sesuatu.“Tunggu sebentar, Yodha,” serunya sebelum akhirnya memegang anak panah yang tertancap di leher rusa tersebut.Yasa meng
Orang yang selama ini membantunya bertahan hidup, dan menjadi alasan baginya untuk terus hidup, ternyata sedang mempersiapkan dirinya untuk menjadi tumbal. Sebagian dari dirinya ingin berteriak, memberontak ke arah Mergo. Namun kakinya malah membawanya keluar dari rumah tersebut. Karena sebagian besar dari dirinya masih ingin membuat Mergo bangga padanya.“Hey, kenapa denganmu?” tanya Yasa yang baru saja datang, menggoyang bahu Rangkahasa dan menyadarkan dia dari lamunannya.Rangkahasa terkejut, namun dia tak bisa bersuara. Mulutnya tersekat meski dia ingin berpura-pura menanggapi Yasa seperti biasanya.“Di mana Mergo? Ada hal penting yang ingin aku laporkan,” ujarnya sebelum memasuki rumah tersebut.Rangkahasa hanya diam saja, menoleh ke arah Yasa yang baru saja melewatinya masuk ke dalam rumah. Begitu dia melihat