Home / Pendekar / Keris Bunga Bangkai / 06 - Mengintai Musuh

Share

06 - Mengintai Musuh

Author: Rytíř
last update Last Updated: 2022-03-21 06:54:18

Sudah lebih dari satu minggu pertempuran di dekat Sungai Bhagawanta itu berlangsung. Pasukan musuh yang datang dari arah laut yang hendak menguasai Benteng Watukalis belum juga mampu merebutnya. Benteng Watukalis yang dipimpin oleh Panglima Adipati Labdajaya memang terkenal cukup kuat, karena menjadi titik penting untuk mempertahankan Kerajaan Cakradwipa dari arah selatan.

Namun musuh itu selalu kembali meski sudah berkali-kali berhasil dipukul mundur. Di pertempuran keenam setelah penyerangan pertama mereka, lagi-lagi mereka langsung mundur begitu melihat keadaan tidak berpihak. Padahal pasukan mereka masih cukup besar untuk melanjutkan pertempuran.

Prajurit-prajurit yang mempertahankan benteng bersorak gembira atas keberhasilan mereka mempertahankan Benteng Watukalis. Namun sang Panglima nampak tak senang. Dia terlihat sedikit gusar karena yakin pasukan itu akan datang lagi, sementara masih banyak dari mereka yang berhasil melarikan diri.

“Kenapa tidak kita kejar saja?” tanya sang ajudan.

“Tidak, terlalu beresiko,” jawab sang Panglima.

“Sudah jelas mereka ingin memancing kita menjauhi benteng. Segera tarik pasukan dan rawat prajurit yang terluka,” perintahnya.

Dari kejauhan, Mergo memperhatikan reaksi gusar dari sang Panglima tersebut. Diapun datang menghampiri saat ajudannya pergi meninggalkan Panglima itu sendiri.

“Seperti biasa, pakaianmu masih saja rapi meski setelah perang yang panjang ini,” ujar sang Panglima menyambut kedatangan Mergo.

“Tuan terlalu tinggi menyanjung saya,” balasnya singkat, sedikit menundukkan kepalanya.

“Bagaimana dengan pasukan Panji Keris Bertuahmu?” tanya sang Panglima.

“Mereka masih terlihat bersemangat. Andai Tuan memerintahkan kami untuk memburu mereka, niscaya mereka akan memenuhi panggilan itu,” jelas Mergo.

“Tidak usah! Aku masih membutuhkan kalian di pertempuran berikutnya,” balas sang Panglima, memutar haluan kudanya untuk kembali menuju Benteng Watukalis.

“Maaf, Tuan!” ujar Mergo, memanggil Panglima tersebut sembari menyusulnya dengan kuda tunggangannya.

“Setidaknya izinkan kami pergi untuk mengintai mereka,” jelasnya.

Panglima itu menoleh sesaat ke belakang dengan sedikit menaikkan salah satu alis matanya.

“Kau tahu kan resikonya?” tanya Sang Panglima masih terus mengarak kudanya membelakangi Mergo.

“Aku tak ingin kehilangan nyawa prajurit secara cuma-cuma,” tutupnya.

“Kalau begitu, izinkan hamba sendiri yang pergi ke sana, Tuan,” jawab Mergo sedikit menundukkan kepalanya.

Panglima itu berhenti, dan berbalik menghadap ke arah Mergo. Mergo sendiri masih belum mengangkat wajahnya, masih menunggu jawaban dari Sang Panglima tersebut.

“Sepertinya kau serius dengan niat ini,” ujar Sang Panglima.

“Kalau begitu pergilah. Jika terjadi sesuatu padamu, aku berjanji akan memastikan kesejahteraan Panji Keris Bertuah di bawah naunganku,” jelas Sang Panglima.

Setelah mendapatkan persetujuan dari Panglima, Mergo memacu kudanya ke arah selatan menuju muara sungai. Setelah hampir sampai di bibir pantai, dia memperlambat laju kudanya dan berbelok ke arah semak-semak. Di sana dia mengikatkan kuda tersebut, dan melanjutkan pengintaiannya dengan berjalan kaki.

Dari sebuah tempat yang agak tinggi, Mergo mengamati perkemahan pasukan musuh yang ada di bibir pantai. Dari kejauhan dia juga melihat satu kapal hendak menepi. Setelah cukup lama mengamati mereka, Mergo kembali pulang melaporkannya pada sang Panglima.

Menjelang senja Mergo sampai di Benteng Watukalis. Dia langsung turun dari kudanya dan membiarkan kuda itu tak tertambat. Dia langsung bergegas menemui Sang Panglima dengan ekspresi yang nampak gusar dan sedikit panik.

“Hey, kau tak bisa seenaknya masuk tan...”

“Maaf, aku harus segera menemui Sang Panglima. Ini sesuatu yang penting!” bentak Mergo masih dengan ekspresi gusarnya.

“Tapi Panglima sedang...”

“Pengawal! Biarkan dia masuk!” seru seseorang dari dalam ruangan yang hendak dimasuki Mergo.

Pengawal itu membukakan pintu dan nampak Sang Panglima baru saja selesai berdoa di depan tumpukan sesajen di salah satu dinding di dalam ruangan tersebut.

“Maafkan kelancangan hamba, Tuan,” ucap Mergo.

“Hamba khawatir benteng Tuan dalam keadaan terancam bahaya,” jelasnya.

“Jelaskan, Mergo! Apa yang telah kamu temui di sana?” tanya Sang Panglima.

“Hamba rasa sejauh ini mereka terus melakukan serangan-serangan kecil untuk menyibukkan kita. Sementara musuh sedang mengumpulkan pasukan mereka yang datang dari arah laut. Jika dibiarkan seperti itu, dalam satu atau dua hari mereka akan menyerang dengan pasukan yang besar,” jelasnya.

“Hamba sarankan agar Tuan segera meminta bantuan dari Kerajaan Cakradwipa,” lanjutnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Keris Bunga Bangkai   197 - Pendekar Misterius Di Daerah Perbatasan

    Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta

  • Keris Bunga Bangkai   196 - Ajian Peluruh Indra

    Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug

  • Keris Bunga Bangkai   195 - Keputusan Rangkahasa

    Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya

  • Keris Bunga Bangkai   194 - Perpisahan

    Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga

  • Keris Bunga Bangkai   193 - Melepaskan Beban

    Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu

  • Keris Bunga Bangkai   192 - Kudeta

    Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status