Rangkahasa hanya bisa menatapnya, tak berani mengintimidasi ataupun mengusirnya. Dia berjalan pelan ke arah kanan mencoba menghindar, dan harimau itu masih diam saja menatap ke mana dia berjalan.
Begitu sampai di bawah pohon itu, dia menuruni tanah yang sedikit miring dan tiba-tiba tubuhnya terhuyung dan tersandar pada batang pohon. Ada sedikit lubang yang menjorok ke dalam di bagian pangkal pohon tersebut. Rangkahasa pun merangkak ke sana dan kemudian tertidur di dalamnya.
Tanpa disadarinya, harimau itu datang menghampiri. Harimau itu berdiri di depannya, hanya diam saja. Sesaat kemudian, harimau itu mendekat dan menggulung tubuhnya di dalam lubang tersebut dan ikut tidur di sebelah Rangkahasa.
Esok paginya, prajurit dari kerajaan Telunggung keluar dari benteng mereka dan mulai sibuk membereskan mayat dari rekan mereka yang gugur.
“Apa-apaan ini?” tanya salah seorang dari m
Prajurit yang lainnya pun histeris karena orang yang mereka anggap hanya bocah gelandangan biasa tiba-tiba saja memotong tangan temannya. “Wisnu!” teriak salah seorang dari mereka datang menghampiri. Satu prajurit itu masih menjerit menangis memegangi tangannya yang terpotong, terduduk bersandar pada temannya yang baru saja datang menyambutnya. Sementara itu, empat prajurit lainnya terlihat murka. Mereka sama sekali tidak melihat dengan jelas apa yang baru saja dilakukan Rangkahasa. Namun kucuran darah di lengan teman mereka itu, sudah cukup menyulut kemarahan mereka. “Apa yang telah kau lakukan, bangsat?!” “Dasar, bocah setan!” Mereka langsung datang sembari mengangkat golok mereka. Namun tiba-tiba nyali mereka ciut karena merasakan hawa membunuh yang begitu kuat mengintimidasi keluar dari remaja tersebut. Meski begitu, Rangkahasa terlihat seperti belum sepenuhnya sadar. Belum lama dia terlelap sesaat sebelum tumpukan mayat itu membangunkannya. Sekarang tubuhnya sedikit berayun
Setelah beberapa lama Rangkahasa tertidur di tempat yang teduh, tiba-tiba satu berkas cahaya dari pintu yang baru terbuka menerpa matanya. Dia pun terbangun, dengan kepala sedikit pusing mencoba mengamati kondisi di sekelilingnya. Ketika dia hendak mengocek bola matanya, tahu-tahu kedua tangannya terikat. Begitu juga dengan kedua kakinya. Rangkahasa kaget dan bingung, mencoba bangkit dan mendapati dirinya berada dalam sebuah penjara berjeruji besi. “Di mana? Bagiamana aku bisa sampai di sini?” gumamnya. Dia mencoba menarik-narik rantai yang mengikat tangannya. Ketika sadar rantai itu tak mungkin bisa diputusnya, baru kemudian dia berteriak. “Hoi, siapa yang membawaku ke sini? Segera lepaskan aku!” bentaknya. Bam!!! Tiba-tiba sesuatu menghantam jeruji penjara tersebut.
Rangkahasa menjauhkan wajahnya, kemudian melirik ke sekeliling mencari pedang hitam Damaskus miliknya. Putri tersebut mulai sibuk mengikuti lirikan Rangkahasa ke sana ke mari. Hingga tiba-tiba perut Rangkahasa berbunyi karena belum makan seharian. Putri itu menutup mulutnya sembari tertawa. “Apa kau ingin makan?” tanyanya kembali mendekatkan wajahnya begitu dekat ke arah Rangkahasa. Rangkahasa mendorongnya menjauh, dan langsung beranjak dari dipan tersebut. “Di mana kalian sembunyikan pedangku?” tanyanya. Putri itu kembali memasang wajah polosnya, memperlihatkan gelagat kalau dia sama sekali tak tahu soal itu. Hal itu membuat Rangkahasa semakin jengkel, namun tak tahu juga harus berbuat apa. Putri itu berdiri, dan kembali mendekatkan dirinya. Lagi-lagi Rangkahasa menjauhkan wajahnya, mera
Namun Rangkahasa sama sekali tak begitu tertarik untuk berurusan dengan orang-orang yang berada di dalam tenda tersebut. Dia hanya memikirkan pedang hitam Damaskus miliknya.“Apa kau yang bernama Bhadra?” tanya Rangkasa pada laki-laki tersebut.Laki-laki itu mengernyitkan dahinya, sedikit terkejut melihat lantangnya cara Rangkahasa berbicara padanya.“Bukan. Aku adalah Senopati Bayantika. Aku dan Bhadra yang membawamu ke tempat ini. Tapi Bhadra saat ini sedang tidak ada di perkemahan. Ada apa kau mencari dia?” balas Senopati tersebut bertanya.“Aku hanya ingin mencari pedangku,” balas Rangkahasa.Namun sesaat kemudian, dia menemukan pedang hitam damaskusnya tersandar tak jauh dari tempat laki-laki itu duduk. Rangkahasa langsung bergegas mengambilnya. Seiring berjalan menghamp
Ganendra hanya mengusap-usap kepalanya mengikuti Panglima Danadyaksa dari belakang, sama sekali tak bisa membantah hal tersebut.“Pada hal aku tidak begitu keras menendangnya, tapi anak itu sama sekali tak bisa mengelak, tak juga kuat menahan tendanganku,” jelas Senopati Ganendra.Namun Senopati Bayantika tersenyum sembari menggelengkan kepalanya, seakan dia mengatakan bahwa Ganendra telah salah memahami sesuatu.“Apa kau tak sadar, dia sengaja menerima tendanganmu sembari melompat ke arah luar tenda,” sanggahnya.“Maksud Kangmas bagaimana? Apa dia bermaksud meremehkanku dan menganggap tendanganku bukan apa-apa?” tanya Ganendra bingung.Senopati Bayantika terus saja tersenyum hingga dia kembali duduk di dekat hamparan peta di dalam tenda tersebut.“
Lagi-lagi Panglina Danadyaksa mengerutkan keningnya, masih menyangsikan anak yang berdiri di depannya. Dia pun berdiri, menepuk bahu Rangkahasa dua kali dan mengajaknya keluar dari tenda sembari merangkul bahunya.“Ikutlah denganku anak muda,” serunya mengajak keluar.Sesampai di luar, Panglima Danadyaksa membawa Rangkahasa berjalan ke arah kanan dari tendanya, menuju ke sebuah tenda lain yang ukurannya lebih besar. Di sebelah tenda itu, ada beberapa orang pendekar. Mereka sama sekali tak menggunakan bentuk pakaian yang sama seperti prajurit lainnya.Sementara dari tenda yang besar itu ada juga beberapa pendekar lain yang keluar dari sana. Di bagian belakang tenda, terdapat beberapa pendekar seperti sedang berlatih, atau mungkin seperti sedang bergelut satu sama lainnya.“Kau lihat mereka? Mereka semua adalah prajurit bayaran. Mereka tidak m
Sore itu, prajurit-prajurit yang mempertahankan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung sedang sibuk mempersiapkan diri. Mereka tahu esok harinya pasukan dari Kerajaan Marajaya akan kembali menyerang benteng mereka. Sementara itu, permintaan untuk dikirimkannya pasukan bantuan tak kunjung datang. Sebagian dari mereka merasa bahwa kerajaan sudah tak terlalu optimis untuk mempertahankan benteng tersebut. Namun mereka masih tak ingin menelantarkannya. Karena tak jauh dari benteng itu di arah selatan, ada anak dan istri mereka yang harus mereka lindungi. Tak ada yang memberikan kepastian akan nasib mereka jika benteng itu berhasil direbut oleh musuh. Tidak dari Kerajaan Marajaya yang akan menyerang, tidak juga dari pusat Kerajaan Telunggung yang mereka bela. Karena mereka hanya orang-orang perbatasan yang dulunya juga hanya direbut oleh Kerajaan Telunggung di masa lalu. “Apa yang harus a
Pada akhirnya, menjelang sore Rangkahasa mendapatkan apa yang dicarinya. Prajurit-prajurit yang menjaga benteng itu terus saja menatapinya dari jauh. Entah terpana melihat lahapnya dia makan, atau karena masih penasaran dengan sosoknya yang masih belum ada bercerita apa-apa soal jati dirinya. “Le, apa itu pedang aneh yang kau ceritakan?” tanya seorang prajurit. “Iya, tapi sekarang tak keliatan jelas karena ditutup oleh kain seperti itu,” jawab si Tole, yang sejak kedatangan Rangkahasa masih belum menjauhkan tatapannya. Ketika Rangkahasa terlihat sudah tak lagi kuat menghabiskan sisa makanannya, Senopati Tadya mendatanginya. Dia datang membawakan satu kendi air minum baru dan meletekkannya di atas meja dan kemudian duduk tepat di depannya. “Jadi, siapa namamu? Dan dari mana kau berasal” tanya Senopati Tadya. &nb