"Di mana Candramaya?"
"Kami sudah mencarinya. Tapi Gusti Ayu hilang," ujar salah satu pelayan. Pria paruh baya yang selamat karna tidak menginap kini bersimpuh. Raut wajahnya terlihat cemas dan penuh penyesalan. Wismaya menunduk, perasaannya semakin kacau, Sorot matanya semakin meredup. Adik dan iparnya tewas. Dan sekarang keponakannya menghilang. Bagaimana ini? Tapi mana mungkin adiknya bisa terbunuh jika ada keris pelindung dari leluhurnya? "Yah!! Adikku sudah mewariskan keris itu pada putrinya," batin Wismaya. Wismaya langsung bangkit dari duduknya, saking lemasnya tubuh pria itu terhuyung. Dia tidak sabar, dia ingin memastikan sesuatu. "Candramaya masih hidup!" Batin Wismaya mengusap bulir bening yang membasahi wajahnya. Dia langsung berlari ke dalam rumah adiknya. Wismaya menatap getir pintu yang rusak bekas dobrakan. Dan darah yang mengering di atas lantai serta bau anyir yang menyeruak menusuk indera penciuman. Secara reflek Wismaya menutup hidungnya dengan punggung tangannya. Tujuan utamanya adalah kamar adiknya. Wismaya memasuki kamar yang porak-poranda. Tak! Tak! Candramaya melihat sepasang kaki melangkah memasuki kamar. Dia sudah sadar dan masih menggenggam keris pemberian Ibunya. Rasa takutnya kembali muncul, dia takut kedua orang jahat itu kembali. "Maya ...kamu di mana, Nak? Paman datang," Wismaya memanggil-manggil keponakannya, sambil memindai kamar yang kini penuh dengan jejak kekerasan dan darah kering yang berceceran. Wismaya duduk di sisi ranjang dengan perasaan suram. Dia tidak mencari Candramaya karna percuma. Selagi anak itu menggenggam keris itu dia tidak akan terlihat. "Keluar dari persembunyianmu, Nak. Ini Paman." Pergelangan Kaki Wismaya terasa dingin, seperti ada sesuatu menempel di kakinya. Dia cukup terperanjat. Namun saat dia melihat ke arah kakinya tidak ada siapapun. Namun seulas senyum menghiasai bibirnya, "Ini kau, Nak? Paman tidak bisa melihatmu. Sekarang lepaskan keris itu agar Paman bisa melihatmu." Candramaya melepaskan genggamannya lalu merangkak keluar, dia menatap sang Paman yang terlihat gelisah. Candramaya memilih duduk di sisi ranjang. Sadar ada seseorang yang duduk di sisinya karna ranjang mengeluarkan suara denyitan. Wismaya menoleh, "Lepaskan keris itu, Nak." Candramaya menurut, hingga tubuhnya muncul. Wajahnya terlihat lesu dan pucat, rambutnya berantakan serta tatapannya kosong. Wismaya menatap nanar keponakannya yang terlihat menyedihkan. Dulu dia sangat ceria, kini menjadi murung. Wismaya mengelus pucuk kepala Candramaya lalu memeluknya, rasa syukur dia panjatkan. Tubuh gadis ini sangat dingin, begitu juga dengan tatapannya. "Aku akan menuntut balas! Mata di bayar dengan mata, nyawa di bayar dengan nyawa," batin Wismaya, api dendam membara di hatinya. Tekadnya kuat, tujuan hidupnya sekarang adalah menuntut balas. Wismaya bertekad akan mengumpulkan para keluarga korban untuk meminta keadilan kepada raja Harsa Loka. *** Di sisi lain. Dua pria yang menjadi pembunuh dalam satu malam itu sampai di istana Harsa loka pagi hari. Dengan membawa pesanan Adi Wijaya sesuai apa yang ada di dalam isi surat. Di dalam surat itu tertulis, bahwa kepala keempat pembrotak itu harus di masukan ke dalam guci yang terbuat dari tanah liat dan di simpan di dalam ruang harta milik Adi Wijaya. Tentunya para eksekutor itu menemui tuannya dan melapor. Sekarang mereka sedang duduk bersama Adi Wijaya di gazebo taman yang berada di halaman kediaman pribadi sang Raja. "Apakah mereka menerima penawaranku?" Tanya Adi Wijaya, pria paruh baya itu sedang menikmati secangkir teh melati sambil di temani salah satu selirnya. "Mereka menolak Gusti. Jadi sesuai perintah, kami membawa pesanan Gusti," kata seorang pria bertubuh kecil yang tidak lain adalah Patih kerajaan Harsa Loka yang bernama Bima Reksa. "Hmm ...mereka keras kepala," Adi Wijaya menghela nafas. Dia cukup kecewa. "Sangat di sayangkan, tapi merampas harta dan tanah mereka itu tidak lah buruk, mereka pasti akan memohon. Memangnya siapa yang tahan hidup miskin," batin Adi Wijaya, suasana hatinya sedang baik hari ini. "Apakah Gusti ingin memeriksanya, sebelum kami menguburnya" tanya pria satunya yang bernama Danadyaksa, adik ipar sang Raja. "Hmm ...kenapa di kubur, biarkan saja," jawab Adi Wijaya santai. Danadyaksa dan Bima Reksa saling bertatapan. Mereka cukup kaget, bukankah kepala itu akan membusuk jika tidak segera di kuburkan. Sedangkan Adi Wijaya berfikir yang dibawa bawahannya adalah harta benda dari ke empat orang itu. "Tapi Gusti ...sebaiknya Gusti priksa saja dulu." "Pergilah! Kalian merusak suasana hatiku saja," perintah Adi Wijaya, dia ingin bersantai sejenak. Tapi mereka datang membawa kabar yang tidak enak untuk di dengar. "Bukan hanya keji dan gila kekuasaan, ternyata kakak iparku orang yang tidak waras. Menyimpan kepala manusia untuk apa? Pajangan? Dasar gila!" Batin Danadyaksa, kedua alisnya saling bertautan karna merasa heran. Danadyaksa dan Bima Reksa mengundurkan diri, mereka sebenarnya tidak habis pikir dengan pemikiran Raja. Tapi memilih untuk patuh dari pada berakhir dengan kehilangan kepala. *** Istana Harsa Loka terletak di bawah Gunung berapi yang aktif, tanahnya subur dengan sumber air yang melimpah. Membuat kerajaan Harsa Loka menjadi salah satu kerajaan yang makmur dan subur. Dua hari setelah malam berdarah di istana Harsa Loka. Raja yang berkuasa bernama Adi Wijaya duduk dengan gagah di singgasana. Di temani kedua permaisurinya yaitu Dewi Kamaratih duduk di sisi kanan dan Dewi Puspita Sari duduk di sisi kiri. Sedangkan Putra mahkota bernama Pangeran Dwi Narendra duduk di sisi ibundanya Dewi Puspita Sari. Sedangkan Putri sulung yang bernama Putri Asri Kemuning sedang terbaring lemah karna sakit yang dia derita sejak kecil sedang kambuh. Patih dan para punggawa juga duduk di tempat masing-masing. Setiap pagi pasti semua berkumpul di balai pertemuan untuk berdiskusi tentang urusan kerajaan. "Gusti Prabu ...Lurah dari desa A melapor bahwa banyak para gadis yang hilang secara misterius." "Desa B dan C juga mengalami hal sama." "Sampai saat ini Senopati Damarjati bahkan belum datang, padahal dia yang sedang menyelidiki perkara itu." "Masalah ini sudah tidak terkendali, Gusti!"Adhinatha mengerjabkan matanya. Sejak terakhir pemuda itu melukai saudara sepupunya. Tidak pernah Adhinatha menunjukan batang hidungnya ataupun menyapa pada Indrayana. Itu semua karena dia merasa malu. "Lepaskan! Aku juga ingin melakukan penebusan dosa." "Dengan bunuh diri maksudmu!" Ujar Indrayana tanpa melepas cekalannya, sebelah alisnya terangkat. "Ibuku tidak bunuh diri! Begitu pun aku!" ujar Adhinatha dingin. Indrayana melepas cekalannya, sudut bibirnya terangkat, "Nyawa memang harus di bayar dengan nyawa. Hukuman mati memang pantas untuk Ibumu. Tapi kamu tidak!" "Berhenti membuatku malu, Indrayana. Aku telah melukai dirimu dan berniat melenyapkanmu!" ujar Adhinatha dengan nada putus asa. Indrayana menatap lamat ke arah adik sepupunya lalu kembali berkata, "Kalau begitu aku yang berhak menghukummu. Maka hukumanmu adalah dengan menuruti permintaanku!" Pemuda itu melirik ke arah istrinya dengan senyum jahil. Candramaya yang sangat hafal dengan sifat Indrayana hanya bisa menden
Damayanti Citra merenung sepanjang malam, dia meringkuk di atas ranjang dengan perasaan bersalah. Semakin dia mengelak semakin merasa malu. "Aku akan melakukan penebusan dosa!" Gumamnya dengan penuh tekad. Wanita itu melakukan puasa mutih untuk membersihkan diri dan jiwanya dari segala dosa dan kepahitan. Hal sama juga di lakukan oleh Candramaya. Setelah satu pekan masa berkabung, Arya Balaaditya naik tahta menjadi raja pengganti Adi Wijaya. Karena stempel kerajaan ada di tangannya sekarang. Dan Asri Kemuning adalah pewaris yang sah. Namun karena negeri Harsa Loka harus di pimpin oleh laki-laki, maka suaminya-lah yang akan naik tahta. Upacara penobatannya di lakukan dengan hidmat di alun-alun di depan rakyat. Tugas pertama yang harus dilakukan oleh Arya Balaaditya adalah menghukum pelaku teror dan pembunuh Damarjati dan ketiga rekannya. Awalnya semua orang cukup terkejut dengan pakaian yang dikenakan oleh Damayanti Citra, pasalnya dia memakai pakaian yang membuat orang bertanya-t
Deg!Ucapan putranya telah menghancurkan keyakinan Damayanti Citra. Wanita itu mengerjabkan matanya yang mulai terasa panas. Genangan air mata itu telah tumpah. Kenyataan itu membuatnya sakit. "Narendra ... " gumamnya.Adhinatha mengerjabkan matanya yang mulai memanas, dia merasa sedih dan tidak tega. Pemuda itu berjalan mendekat ke arah sel. Kedua tangannya terangkat dan hendak memasukannya ke dalam celah besi.Damayanti Citra tetap bergeming saat Adhinatha memanggilnya, "Ibu ... kemarilah."Perubahan emosi Damayanti Citra sangat mudah berubah. Tadi dia menangis tersedu-sedu dan sekarang tertawa sinis, "Kenapa hanya aku yang terbakar? Kamu dan wanita sialan itu tidak. Kenapa?" tanyanya dengan nada putus asa."Karena aku telah membuang segala kepahitan dalam hatiku," jawab Adhinatha dengan lirih."Jadi kamu mau bilang kalau hati Ibumu ini penuh dengan kepahitan?" ucapan Damayanti Citra terhenti, wanita itu mengangkat sudut bibirnya lalu kembali tertawa sinis, "Heh! Mereka telah menyu
Damayanti Citra mendengkus kesal, kedua alisnya semakin menukik tajam. Asri Kemuning memegang jeruji besi dengan kuat, wajahnya yang lembut berubah dingin. Wanita itu mendekatkan wajahnya dan berkata dengan sedikit berteriak, "Aku berpenyakitan! Bahkan setiap detik aku takut mati. Aku takut tidak bisa melihat tumbuh kembang putraku. Sedangkan kamu? Kamu sehat Citra! Kamu sehat dan kamu bisa berada di sisinya setiap waktu. Jika masalah kasih sayang dan dukungan orang tua, kita sama Citra. Kamu tidak mendapatkan kasih sayang Ibumu dan aku Romoku. Hanya bedanya adalah Ibumu telah wafat saat melahirkanmu dan Romoku masih hidup dan terus mengabaikanku."Damayanti Citra juga ikut berteriak karena merasa tertohok. Namun tidak mau mengakuinya, "Tapi suamimu setia! Sedangkan aku tidak!"Asri Kemuning terperangah mendengar jawaban Iparnya lalu menggelengkan kepala. "Kenapa kamu membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain? Setia atau tidaknya seseorang itu pilihan. Bukan takdir atau nasib, Ci
"Hah!" Candramaya tersadar. Candramaya membuka matanya. Mata merah menyala itu kembali ke semula. "Indrayana ... " panggilnya dengan linglung.Indrayana tertawa lirih, "Kamu kembali!""Apa yang terjadi? Kenapa tanganku menyerangmu?" Candramaya memang tersadar tapi tubuhnya masih dikendalikan oleh sosok hitam Putri Tanjung Kidul. Gadis itu mendongak dan menatap sekitar dengan bingung. Candramaya mencoba mengangkat tangannya ke atas namun yang terjadi justru tangan itu semakin kuat menekan ke bawah. "Gunakan mustika itu, cepattt!!" pekiknya."Tapi aku akan melukaimu!" ujar Indrayana dengan perasaan gamang."Tidak akan!" Karena kedua tangan Indrayana sedang menahan serangan Candramaya. Pemuda itu akhirnya memukul punggung Candramaya dengan menggunakan lututnya dengan cukup keras.Bug!Akkhhh!Tubuh Candramaya oleng, keris itu terlempar cukup jauh. Indrayana mengambil kesempatan itu untuk memegangi kedua tangan Candramaya. Dan membalikkan keadaan dengan menduduki tubuh gadis itu yang ja
Arya Balaaditya menahan tubuh Istrinya yang hendak menghampiri putranya. Sedangkan Kumala, gadis itu meringsut di dalam pelukan kakeknya.Di bawah derasnya air hujan dan angin yang bertiup kencang. Indrayana bangun dan terduduk di tanah. Pemuda itu meringis saat melihat ekspresi dingin Candramaya.Candramaya berjalan mendekat sambil menggerak-gerakan kuku-kukunya yang panjang. Wajah datar dan menyeramkan itu menyeringai. Indrayana tidak berniat untuk kabur atau semacamnya. Dia hanya mengatur nafas dan menunggu Candramaya menghampirinya dengan pasrah. "Dewata ... " gumamnya.Tatapan Indrayana tertuju pada Mustika yang dia genggam. "Cik! Lemah," eram Candramaya. Tatapannya begitu liar dan beringas. Mendengar cibiran Candramaya, Indrayana tersenyum getir lalu bergumam, "Aku memang lemah!"Baladewa yang tidak tahan akhirnya hendak menyerang Candramaya namun Indrayana berteriak, "Jangan, Paman! Jangan ikut campur!"Indrayana langsung mengangkat tangannya dan membuat jarak dengan membuat
Ketiga orang itu akhirnya menajamkan telinganya, Kebo Ireng berkomentar, "Sepertinya ada yang sedang bertarung?""Benar Kakang! Ayo kita periksa!" imbuh Seno Aji.Wismaya memberi saran, "Tunggu! Sebaiknya kiita harus fokus. Kalian cari Pangeran Narendra dan Dewi Puspita Sari saja, sebelum orang itu pergi lebih jauh. Aku dan Aji Suteja yang akan memeriksa siapa yang sedang bertarung itu."Setelah menimbang-nimbang saran Wismaya yang masuk akal, mereka bertiga akhirnya mengangguk dan setuju.Kebo Ireng dan Seno Aji pergi menuju tempat kediaman Puspita Sari dan Narendra. Sedangkan Wismaya dan Aji Suteja pergi ke tempat pertarungan itu.Saat Wismaya dan Aji Suteja ke sumber suara, mereka berdua terperangah saat melihat Candramaya dan Indrayana sedang bahu hantam."Apa yang terjadi?" tanya Aji Suteja dengan wajah yang menegang.Wismaya merasakan kejanggalan pada sosok keponakannya. Tentu sosok berwujud Candramaya itu tidak dia kenal. Jantung Wismaya seketika bergemuruh, wajahnya pucat lalu
Alih-alih patuh, Candramaya justru semakin gila menyerang Danadyaksa yang terlihat kewalahan. Tubuh Danadyaksa penuh dengan sabetan keris.Tanpa pikir panjang, Indrayana masuk dalam pertarungan dan mencoba melerai. Dia bahkan tidak segan memukul pundak Candramaya guna menghentikan aksinya, "Hentikan kataku!"Bug!"Akhhh!!" Candramaya memekik kesakitan."Maaf!" ujar Indrayana. Pemuda itu memeluk tubuh Candramaya dari belakang. Perasaan bersalah muncul di hatinya setelah memukul istrinya. Candramaya menoleh, seringainya tampak mengerikan. Indrayana reflek langsung melerai pelukannya karena terkejut.Danadyaksa yang licik menggunakan kesempatan saat melihat pasangan itu lengah. Namun langkah pria itu terhenti saat Candramaya membuat gerakan yang membuat keris itu melesat dan menebas leher Danadyaksa dengan cepat. Secepat kedipan mata.Swwisss!Zrak!Bug!!Kepala Danadyaksa jatuh ke tanah lalu tubuh gempal itu tersungkur. Tubuh yang terpenggal itu mengejang dan menyemburkan banyak darah.
Prang!!Botol itu jatuh ke lantai dan pecah, namun ternyata hanya botol kosong. Arah mata semua orang kini tertuju pada pecahan botol itu. Narendra merasa terkejut sedangkan Asri Kemuning dan Arya Balaaditya merasa keheranan.Puspita Sari merasa malu sekarang, kedua tangannya saling meremas. Dia menyadari reaksinya menunjukan bahwa dia adalah wanita yang egois. "Kangmas mempermainkanku?!" eram Puspita Sari. Wanita itu mendelik karena merasa dipermainkan."Haha ... Ohok! Ohok!" Adi Wijaya tertawa di sela batuk berdarahnya. Nafasnya terengah dan dadanya mulai sesak. Keringat dingin kini bermunculan di kening pria itu seiring wajahnya yang memucat dan bibirnya yang mulai membiru. Dia menatap istri mudanya dengan tatapan nanar sambil menekan dadanya. Sekarang dia sadar, tidak ada yang benar-benar mencintainya. Tiba-tiba Asri Kemuning menangis, dia berhambur memeluk lengan ayahnya.Sedangkan Narendra dan Puspita Sari yang sudah tahu akhir dari pertarungan ini memilih untuk kabur meningga