Share

5. Masalah baru

last update Last Updated: 2024-03-03 20:20:02

Laporan para punggawa seperti rasa pahit yang memenuhi mulut Adi Wijaya, membuatnya terlihat kesal. Sepertinya pagi ini akan sangat menguras emosi, tenaga dan pikiran.

Adi Wijaya terdiam, dengan mata terpejam lalu memijit pelipisnya yang terasa pening dan kembali mengatur suasana hatinya.

Kesialan nyatanya menimpa hidup Adi Wijaya karena memiliki putra yang tidak berguna.

Sedangkan akar dari masalah ini adalah putranya sendiri. Tapi dia tidak mungkin menghukum putra tercintanya.

Sedangkan Pangeran Narendra, biang kerok dari segala masalah yang mengusik ketenangan Harsa Loka hanya bersikap biasa saja. Wajahnya tenang seperti tanpa beban. Padahal semua punggawa sedang menyinggung masalah yang dia ciptakan.

Karna sejatinya, sebaik-baiknya orang menyimpan bangkai pasti akan tercium juga! Dan bau busuk itu mulai menyeruak kepermukaan.

"Apakah Senopati Damarjati mengatakan sesuatu pada kalian?" Tanya Adi Wijaya. Pria tua itu cukup khawatir, terlihat dari tangannya yang meremas tangannya sendiri.

Para punggawa saling bertatapan, salah satu dari mereka memberanikan diri untuk menjawab, "Belum Gusti."

"Syukurlah!" Batin Adi Wijaya, hatinya merasa lega. Adi Wijaya bisa bernafas kali ini. Dan berpikir semua masih dalam kendalinya.

"Tapi, saat hamba bertemu dengan Senopati Damarjati dan ketiga rekannya keluar dari istana. Dia mengatakan bahwa sudah mengetahui semua kebenarannya. Dan akan membongkar segalanya saat rapat di istana, Gusti."

Wajah Adi Wijaya memucat begitu juga dengan Narendra. Tangan Narendra bahkan bergetar dan untuk menutupinya, dia meremas kuat tangannya sendiri.

Adi Wijaya mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha mengatur emosinya. Jangan sampai para punggawa melihat kegelisahannya. Mereka bisa curiga.

Sejenak suasana hening. Hingga tiba-tiba seorang pengawal masuk dengan tergesa-gesa, lalu bersimpuh di depan Raja.

Wajah Adi Wijaya semakin menegang saat melihat salah satu pengawal masuk dengan tergesa-gesa namun dengan cepat menyembunyikan rasa takutnya.

Dengan Wibawa dia berkata, "Ada yang mau di laporkan?"

"Ada segrombolan orang di luar ingin menghadap, Gusti Prabu."

"Persilahkan."

"Sendiko dawuh, Gusti."

Selang beberapa menit setelah prajurit itu keluar. Segerombolan orang berpakaian berkabung beriringan masuk. Wajah mereka terlihat muram dengan mata sembab.

Dahi Adi Wijaya mengernyit dan merasakan firasat buruk. "Ada apa lagi ini?" Batinnya.

Salah satunya adalah Adipati Wismaya yang datang dengan wajah lesu, namun dari pancaran matanya terlihat dendam dan kesedihan.

Dia menggendong seorang gadis kecil yang tidak lain adalah keponakannya. Mereka duduk di atas lantai, menghadap sang Prabu dengan hormat.

"Ampun beribu ampun, Gusti Prabu. Hamba Adipati Wismaya dari Waringin. Kami datang kesini meminta keadilan untuk keluarga kami," kata Wismaya, suaranya serak dan bergetar.

"Keadilan apa?" Tanya Adi Wijaya, jantungnya semakin berdebar. Apa mereka keluarga dari para gadis yang hilang. Dia melirik putranya yang keblingsatan.

"Kerabat kami dibantai, Gusti Prabu!"

"Putri kami menjadi janda, Gusti Prabu!"

"Lihat lah anak kecil ini menjadi yatim piatu hanya dalam satu malam, Gusti Prabu."

Tubuh Adi Wijaya basah dengan keringat dingin, perasaannya kembali kacau, saat mendengar berbagai macam keluhan.

Dengan susah payah Adi Wijaya membuka mulutnya "Apa ini perampokan?"

Dengan hati-hati Wismaya menyatukan tangan memberi hormat lalu berkata, "Ini pembantaian, Senopati Damarjati, Tumenggung Harya Murti, Aji Susongko dan Priyagada. Mereka tewas tadi malam di rumah mereka sendiri. Jika salah satu keluarga mereka ada yang masih hidup. Itu kemurahan hati para Dewata, Gusti."

"Bahkan setelah mereka semua di bantai, kepala mereka menghilang, Gusti! Hiks ...hiks," kata seorang wanita tua, tangisnya pecah dan terdengar sangat pilu.

"Apah! Mereka semua tewas!" Adi Wijaya memekik, dia sungguh terkejut dan langsung bangun dari kursinya.

Saking terkejutnya membuat tubuh gagahnya bergetar lalu perlahan duduk kembali di atas kursi singgasananya karna kakinya terasa lemas.

Seisi ruangan terkejut.

Mata Adi Wijaya terbelaklak dan mulutnya menganga, dia teringat sesuatu.

"Jangan-jangan yang kedua orang bodoh itu bawa bukan emas atau permata melainkan kepala manusia?" Batinnya.

Perut Adi Wijaya seperti di aduk-aduk, seiring wajahnya yang memucat, saat menyadari ada bangkai di gudang hartanya. Ini sudah dua hari pasti sudah membusuk.

Adi Wijaya mengangkat kepala, terlihat wajahnya memerah dengan rahang yang mengatup. "Siapa yang melakukannya!"

Suara Adi Wijaya menggelegar bagaikan petir yang mampu membelah langit. Tersirat kemarahan yang sangat besar. Hingga membuat siapapun yang mendengarnya merasa ketakutan.

Adi Wijaya melirik tajam Patih Bima Reksa dan Danadyaksa yang terlihat gelisah dan keblingsatan.

Dia memerintahkan Patih Bima Reksa dan Danadyksa, untuk menyakinkan dan mengiming-imingi Senopati dan ketiga rekannya dengan harta dan jabatan, bukan membunuh mereka.

Mereka orang-orang berbakat, Adi Wijaya butuh mereka untuk tetap berada di sisi putranya kelak.

Adi Wijaya merasa sangat geram! Ini di luar kendali dan mereka telah melanggar perintah. Mereka menciptakan masalah baru. Sial!!!

Patih Bima Reksa dan Danadyaksa saling bertatapan, mereka menyadari sesuatu yang salah telah terjadi. Terlihat dari wajah Adi Wijaya terlihat penuh amarah.

Suasana menjadi rame, orang yang sedang di tunggu ternyata telah tiada.

Intinya, keempat orang itu adalah utusan Adi Wijaya untuk menyelidiki misteri hilangnya para gadis di wilayah Harsa Loka.

Namun di luar dugaan Adi Wijaya sendiri yang memergoki Narendra sedang memperkosa gadis asing di dalam kamarnya.

Bahkan Narendra tidak segan-segan menganiaya korbannya.

Nasi telah menjadi bubur!

Andaikan Adi Wijaya tahu lebih awal, pasti tidak separah ini.

Banyak yang berpikir, dalang dari hilangnya para gadis itu bukanlah orang sembarangan. Dan mungkin orang yang berkuasa. Di tambah lagi dengan kematian para penyelidik.

Ini seperti berkaitan.

"Diam!" Suara Adi wijaya mengalun, seketika semua diam dan hening.

Adi Wijaya berharap tidak ada saksi jika ada, dia yang akan disalahkan. Dia mengirim titah lewat surat yang telah diberi stempel kerajaan. Dan stempel itu milik Raja yang berkuasa. Miliknya!

Dengan perasaan yang berkecambuk, Adi Wijaya berusaha mengontrol emosinya. Dia sesekali menyeka keringat dingin yang muncul di keningnya. Dengan suara lirih Adi Wijaya bertanya, "Apa ada saksi?"

"Tentu ada Gusti!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Keris Darah Candramaya   166. Arti Dari Kehidupan

    Adhinatha mengerjabkan matanya. Sejak terakhir pemuda itu melukai saudara sepupunya. Tidak pernah Adhinatha menunjukan batang hidungnya ataupun menyapa pada Indrayana. Itu semua karena dia merasa malu. "Lepaskan! Aku juga ingin melakukan penebusan dosa." "Dengan bunuh diri maksudmu!" Ujar Indrayana tanpa melepas cekalannya, sebelah alisnya terangkat. "Ibuku tidak bunuh diri! Begitu pun aku!" ujar Adhinatha dingin. Indrayana melepas cekalannya, sudut bibirnya terangkat, "Nyawa memang harus di bayar dengan nyawa. Hukuman mati memang pantas untuk Ibumu. Tapi kamu tidak!" "Berhenti membuatku malu, Indrayana. Aku telah melukai dirimu dan berniat melenyapkanmu!" ujar Adhinatha dengan nada putus asa. Indrayana menatap lamat ke arah adik sepupunya lalu kembali berkata, "Kalau begitu aku yang berhak menghukummu. Maka hukumanmu adalah dengan menuruti permintaanku!" Pemuda itu melirik ke arah istrinya dengan senyum jahil. Candramaya yang sangat hafal dengan sifat Indrayana hanya bisa menden

  • Keris Darah Candramaya   165. Pati Obong

    Damayanti Citra merenung sepanjang malam, dia meringkuk di atas ranjang dengan perasaan bersalah. Semakin dia mengelak semakin merasa malu. "Aku akan melakukan penebusan dosa!" Gumamnya dengan penuh tekad. Wanita itu melakukan puasa mutih untuk membersihkan diri dan jiwanya dari segala dosa dan kepahitan. Hal sama juga di lakukan oleh Candramaya. Setelah satu pekan masa berkabung, Arya Balaaditya naik tahta menjadi raja pengganti Adi Wijaya. Karena stempel kerajaan ada di tangannya sekarang. Dan Asri Kemuning adalah pewaris yang sah. Namun karena negeri Harsa Loka harus di pimpin oleh laki-laki, maka suaminya-lah yang akan naik tahta. Upacara penobatannya di lakukan dengan hidmat di alun-alun di depan rakyat. Tugas pertama yang harus dilakukan oleh Arya Balaaditya adalah menghukum pelaku teror dan pembunuh Damarjati dan ketiga rekannya. Awalnya semua orang cukup terkejut dengan pakaian yang dikenakan oleh Damayanti Citra, pasalnya dia memakai pakaian yang membuat orang bertanya-t

  • Keris Darah Candramaya   164. Hati seluas Samudra

    Deg!Ucapan putranya telah menghancurkan keyakinan Damayanti Citra. Wanita itu mengerjabkan matanya yang mulai terasa panas. Genangan air mata itu telah tumpah. Kenyataan itu membuatnya sakit. "Narendra ... " gumamnya.Adhinatha mengerjabkan matanya yang mulai memanas, dia merasa sedih dan tidak tega. Pemuda itu berjalan mendekat ke arah sel. Kedua tangannya terangkat dan hendak memasukannya ke dalam celah besi.Damayanti Citra tetap bergeming saat Adhinatha memanggilnya, "Ibu ... kemarilah."Perubahan emosi Damayanti Citra sangat mudah berubah. Tadi dia menangis tersedu-sedu dan sekarang tertawa sinis, "Kenapa hanya aku yang terbakar? Kamu dan wanita sialan itu tidak. Kenapa?" tanyanya dengan nada putus asa."Karena aku telah membuang segala kepahitan dalam hatiku," jawab Adhinatha dengan lirih."Jadi kamu mau bilang kalau hati Ibumu ini penuh dengan kepahitan?" ucapan Damayanti Citra terhenti, wanita itu mengangkat sudut bibirnya lalu kembali tertawa sinis, "Heh! Mereka telah menyu

  • Keris Darah Candramaya   163. Wanita Picik

    Damayanti Citra mendengkus kesal, kedua alisnya semakin menukik tajam. Asri Kemuning memegang jeruji besi dengan kuat, wajahnya yang lembut berubah dingin. Wanita itu mendekatkan wajahnya dan berkata dengan sedikit berteriak, "Aku berpenyakitan! Bahkan setiap detik aku takut mati. Aku takut tidak bisa melihat tumbuh kembang putraku. Sedangkan kamu? Kamu sehat Citra! Kamu sehat dan kamu bisa berada di sisinya setiap waktu. Jika masalah kasih sayang dan dukungan orang tua, kita sama Citra. Kamu tidak mendapatkan kasih sayang Ibumu dan aku Romoku. Hanya bedanya adalah Ibumu telah wafat saat melahirkanmu dan Romoku masih hidup dan terus mengabaikanku."Damayanti Citra juga ikut berteriak karena merasa tertohok. Namun tidak mau mengakuinya, "Tapi suamimu setia! Sedangkan aku tidak!"Asri Kemuning terperangah mendengar jawaban Iparnya lalu menggelengkan kepala. "Kenapa kamu membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain? Setia atau tidaknya seseorang itu pilihan. Bukan takdir atau nasib, Ci

  • Keris Darah Candramaya   162. Mantra Suci

    "Hah!" Candramaya tersadar. Candramaya membuka matanya. Mata merah menyala itu kembali ke semula. "Indrayana ... " panggilnya dengan linglung.Indrayana tertawa lirih, "Kamu kembali!""Apa yang terjadi? Kenapa tanganku menyerangmu?" Candramaya memang tersadar tapi tubuhnya masih dikendalikan oleh sosok hitam Putri Tanjung Kidul. Gadis itu mendongak dan menatap sekitar dengan bingung. Candramaya mencoba mengangkat tangannya ke atas namun yang terjadi justru tangan itu semakin kuat menekan ke bawah. "Gunakan mustika itu, cepattt!!" pekiknya."Tapi aku akan melukaimu!" ujar Indrayana dengan perasaan gamang."Tidak akan!" Karena kedua tangan Indrayana sedang menahan serangan Candramaya. Pemuda itu akhirnya memukul punggung Candramaya dengan menggunakan lututnya dengan cukup keras.Bug!Akkhhh!Tubuh Candramaya oleng, keris itu terlempar cukup jauh. Indrayana mengambil kesempatan itu untuk memegangi kedua tangan Candramaya. Dan membalikkan keadaan dengan menduduki tubuh gadis itu yang ja

  • Keris Darah Candramaya   161. Pertarungan Batin Candramaya

    Arya Balaaditya menahan tubuh Istrinya yang hendak menghampiri putranya. Sedangkan Kumala, gadis itu meringsut di dalam pelukan kakeknya.Di bawah derasnya air hujan dan angin yang bertiup kencang. Indrayana bangun dan terduduk di tanah. Pemuda itu meringis saat melihat ekspresi dingin Candramaya.Candramaya berjalan mendekat sambil menggerak-gerakan kuku-kukunya yang panjang. Wajah datar dan menyeramkan itu menyeringai. Indrayana tidak berniat untuk kabur atau semacamnya. Dia hanya mengatur nafas dan menunggu Candramaya menghampirinya dengan pasrah. "Dewata ... " gumamnya.Tatapan Indrayana tertuju pada Mustika yang dia genggam. "Cik! Lemah," eram Candramaya. Tatapannya begitu liar dan beringas. Mendengar cibiran Candramaya, Indrayana tersenyum getir lalu bergumam, "Aku memang lemah!"Baladewa yang tidak tahan akhirnya hendak menyerang Candramaya namun Indrayana berteriak, "Jangan, Paman! Jangan ikut campur!"Indrayana langsung mengangkat tangannya dan membuat jarak dengan membuat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status