Kakiku lemas, saat melihat bendera kuning bertengger di rumah Mami. Ada rasa nyeri yang tak bisa digambarkan, kehilangan itu baru terasa sekarang.Bukankah kamu kuat, Anne? Kenapa sekarang lemah tak berdaya? Kamu mati, hanya karena dokter meninggalkanmu.Untuk terakhir kalinya, aku memeluk jasad Anne. Mengguncang tubuhnya dengan air mata terurai, tak menyangka jika ia benar-benar akan pergi untuk selamanya.Bahkan kita belum mengucap kata maaf satu sama lain, tapi, kamu pergi seolah tak ingin lagi berjuang!"Simpan air mata palsumu itu, Anna. Pasti, kamu senang 'kan? Dasar anak bawa sial, karena keegoisanmu Anne mati dalam kondisi sedih berkepanjangan." Suara Mami mendominasi, membuat orang-orang
Dengan penuh pertimbangan, akhirnya aku dibawa pergi oleh suami menuju luar kota. Menurutnya, berada jauh dari Mami akan lebih baik. Tak ingin terus memupuk luka yang sama, bukankah aku juga berhak hidup bahagia dalam ketenangan?Bukan tak mau lagi peduli pada Mami, hanya saja keadaan tak lagi sama seperti dulu. Apalagi, semenjak Anne pergi dan takan kembali.Menatap rintikan hujan pada celah jendela, aku menangis tersedu. Sendiri, dalam kesedihan tak tertahankan.Mas Adi sudah mulai bekerja lagi, tentu tugasnyapun ikut berpindah. Melupakan masa lalu, memang bukan hal mudah. Tapi, pergi darinya mungkin saja akan jauh lebih baik.Rasa rindu terhadap Papi, juga makin mengiris kalbu. Apa
"Enak dong bersuamikan seorang dokter," seloroh Citra. Tetangga baru, dengan segala keramahan.Aku mengulas senyum, rasa rindu menyusup relung jiwa. Padahal, baru tadi pagi kami berpisah. Tapi, rasanya sudah ditinggal tahunan.Citra duduk lesehan di teras depan, sambil menungguiku yang tengah menyiram tanaman. Maklum, kami sama-sama pengantin baru belum ada anak. Banyak waktu senggang, untuk bisa dimanfaatkan."Enaknya kenapa, Cit?" tanyaku, masih sibuk dengan aktivitas baru-baru ini.Citra terkikik, "Ya enaklah, kalau sakit ada dokter yang rawat. Mana suami sendiri lagi."Ahh, dasar. Citra aneh, gitu aja dibilang enak. Walau sebenarnya memang aku tak menampik, Mas Adi lebih banyak merawat dibanding aku.Seiring berjalannya waktu, aku sudah mulai bisa menerima kepergian Anne. Sering mengirimkan doa, dan kata maaf yang bertubi-tubi.Mas Adi benar, aku harus bangkit. Ikhlas dengan
Hari berganti hari, selama itu pula aku terus menyembunyikan perihal wasiat dari Almarhumah Anne pada sang suami. Lebih tidak percaya, apalagi itu semua keluar dari mulut Mami.Ucapan Mami kuanggap sebagai angin lalu, yang disinyalir hanya gertakan semata. Entah apa yang ada dalam pikirannya? Begitu gencar memaksa diri, untuk berpisah dengan Mas Adi.Rupanya, kepergian Anne sama sekali tak membawa perubahan dalam hidup Mami. Malah semakin tak karuan, aku nggak tahu apa lagi yang akan dia lakukan.Jelas sudah aku dan Angga, hanya deretan masa lalu. Rasa itu sudah menguap sudah, terbawa oleh jutaan luka yang telah ia torehkan.Bukan tak ada rasa kemanusiaan, perbuatan Angga yang hampir merebut kegadisanku tentu bukan perkara sepele. Beda lagi, jika kami melakukan karena sama-sama ingin!"Ann, kamu masak apa?" tegur Citra, berbisik pada bilik yang telah dibuat untuk para peserta.Kursus me
Dua bulan berlalu, bagaimana kondisi perutmu? Apa sudah berisi?" cecar Papi, saat dirinya datang menyambangi seorang diri.Dahiku mengernyit bingung, saling melempar pandang dengan Mas Adi. Seharunya yang Papi tanyakan adalah kabar, bukan isi perut yang entah maksudnya."Hamil Anna, Adi. Itu yang Papi maksud, apa belum ada tanda-tanda jika istrimu akan segera mengandung?" tanya Papi, menelisik wajah kami lekat.Aku menyeringai, sama sekali tak tahu jika apa yang beliau maksudkan adalah perihal anak. Ahh, aku sendiri belum terpikirkan ke arah sana.Jiwaku belum sepenuhnya tenang, apalagi setelah pertemuan terakhir antara Mami beberapa minggu lalu. Tak ada ide, untuk memulai kejujuran dari mana pada kedua pria yang begitu berarti."Mungkin, belum waktunya, Pi." Mas Adi menjawab, dengan senyum tak lepas dari bibir.Selama menikah, kami memang belum pernah membicarakan perihal anak. Terlalu
"Jadi, kemarin Mamimu datang lagi?" tanya Citra, terlihat kepo tak berkesudahan.Tak henti-hentinya Citra mengumpat, seakan begitu membenci Mami seseorang yang bahkan baru dikenal."Begitulah, dia masih terus meneror. Agar aku mengabulkan wasiat mendiang Anne," sahutku masih ingat betul setiap tatapan tajam yang Mami layangkan.Kupikir kematian Anne, adalah ujung dari penderitaan yang selama ini kutanggung. Ternyata semua belum usai, masih ada Mami.Papi dan Mas Adi, juga merasakan keganjalan yang sama. Mereka tak lantas mau mengabulkan wasiat yang dibawa Mami, meskipun wanita itu mati-matian berjuang.Kisahku teramat pelik, tak bisakah Mami membiarkan diriku hidup bebas seperti burung di luaran sana?Aku dan Citra sedang duduk lesehan di teras depan, usai menyiram tanaman. Para suami sudah pergi bekerja, pada tempat masing-masing. Tinggallah kami yang sibuk dengan pikiran tentang Mami,
"Seharusnya kamu nggak usah bawa Mami ke rumah sakit! Percuma hidup, kalau tak ada lagi gairah dalam melanjutkannya." Beliau berucap dengan suara parau, netranya kembali meneteskan air mata.Miris sekali hidupmu Mi!Kehilangan Anne membawa dampak besar, bahkan berkali-kali mengucap kata mati seolah mendahului takdir Tuhan.Aku mendesah sedih, berkecamuk dalam pikiran. Apa mungkin dengan mengabulkan wasiat, akan membuatnya kembali bergairah?Namun, bagaimana dengan hati Mas Adi? Kami ... Tengah bahagia dalam biduk rumah tangga yang sedang dijalani. Tidak mungkin diakhiri, dengan cara menyedihkan."Mami belum bisa tenang, sebab kamu ... Masih saja ego. Mempertahankan dokter Adi padahal tahu, wasiat Anne harus segera dikabulkan." Ucapan Mami yang beruntun, seakan kembali merobek hati. Menambah gundah, yang entah akan berakhir kapan?"Mi." Aku berujar, sambil meraih tangan Mami lembut. "Coba kataka
"An-ne ... Itu, beneran kamu?" tanyaku, sambil berpegangan pada Citra. Lutut mendadak lemas, menyaksikan pemandangan di depan.Seringai tipis Anne berikan, membuat napas makin tak beraturan. Bukankah ia sudah mati, kenapa sekarang ada di rumahku? Dan mirisnya usai bercumbu dengan suamiku!"Kamu pikir aku apaaaa, hantu? Anne yang bangkit dari kuburan, begitu? Demi membalaskan dendamnya pada sang kakak." Bukannya malu atau paling tidak, ada sedikit saja rasa bersalah yang menyusup dalam hatinya. Anne bersikap sombong, sembari terus mengibaskan rambut.Netraku beralih pada Mas Adi, persis seperti patung. Ia hanya mampu berdiri tanpa kata, ditambah wajah pucat. Lidahnya seolah kelu, untuk berucap!Inikah pria yang telah menikah denganku? Sosoknya yang tampan jua menawan, tak lagi terpancar. Tertutup oleh keburukan yang ia tanam sendiri, jujur aku kecewa yang teramat dalam."Tega kamu Anne ... Pura-pura