"Bahkan pelayan pun terang-terangan tidak menghormatiku sebagai Duchess. Mereka tahu aku hanyalah cangkang kosong berlabel Duchess, tak lebih dari pajangan yang tak layak berdiri di sisi seorang Duke."
Menjadi istri seorang Duke seharusnya adalah kehormatan bagi wanita bangsawan. Tapi bagiku? Hanya lelucon.Begitulah ... Elena Ivor Carwyn....Pesta di kediaman Marquess Bernard."Duke Carwyn berhasil dalam investasi pengembangan kereta cepat bertenaga kristal aether.""Seperti yang diharapkan dari otak emas kerajaan.""Investasinya selalu sukses. Tak heran Carwyn Trade Consortium jadi perusahaan terbesar."Bisik-bisik kekaguman mengalir dari berbagai sudut aula pesta, mengarah pada satu sosok pria yang dikelilingi para bangsawan pria.Pria berambut hitam pekat yang ditata rapi ke belakang, dengan sedikit gelombang di ujungnya. Sorot matanya abu gelap, tajam seperti baja dingin. Tenang, tertata … mengintimidasi. Dia … Mervyn Dieter Carwyn.Di sisi lain, para wanita bangsawan berkumpul."Pria luar biasa yang tahun lalu menjadi rebutan para keluarga bangsawan ... siapa sangka, keluarga Boniface yang berhasil mendapatkannya," bisik salah satu wanita dengan senyum menyeringai."Benar, keluarga Baron Boniface yang nyaris bangkrut, justru menikahkan putrinya dengan Duke Carwyn. Bukankah itu menjadi berita utama kerajaan waktu itu?" Kalimat itu disambut tawa ringan."Waktu itu? Sampai sekarang pun masih ramai dibicarakan. Bukankah begitu, Duchess?" Ucapan itu ditekan, dengan mata menusuk dan senyum menghakimi.Semua kepala menoleh. Mata mereka kini menatap Elena.Elena menunduk, jemarinya saling menggenggam gugup. Wajahnya pucat. Tak ada sepatah kata pun terucap."Aku bahkan dimarahi ayahku karena gagal mendekati Duke Carwyn kala itu,"- keluh seorang wanita."Tapi apa boleh buat ... keputusan Duke Carwyn saat itu sungguh mengejutkan. Apalagi soal tunangannya yang dulu, Lady A-""Saya ... mohon izin undur diri. Sepertinya ... saya ti-tidak enak badan," Elena berdiri tergesa-gesa, membungkuk sedikit, lalu berjalan cepat meninggalkan ruangan.Tawa pelan terdengar."A-a-a ... dia melarikan diri lagi." Tawa itu pecah lebih jelas.Mereka tertawa bukan karena lucu. Mereka tertawa karena kemenangan. Sekali lagi, Elena Carwyn Duchees boneka berjalan pergi dengan kepala tertunduk.Elena mendengarnya dengan jelas. Wanita bangsawan itu melangkah cepat keluar aula dengan mencengkeram gaunnya. Ketukan sepatunya terdengar jelas di lantai marmer.Taman kediaman Marquess Bernard terasa begitu sunyi berbeda dengan aula pesta yang bising dan terang. “Mungkin ini memang tempatku seharusnya,” pikirnya.Ia duduk di bangku taman, melepas sepatu hak tingginya. Kakinya bengkak. Saat membungkuk untuk memeriksanya, tetesan air jatuh. Itu air matanya."Meski kalian tak mengatakannya, aku juga tau. Aku tahu aku tidak cocok dengannya," gumam Elena, menyeka air matanya perlahan."Kamu juga pasti berpikir begitu, kan, Mervyn ..." Suaranya terdengar lemah."Jika tidak, tak mungkin kamu mengabaikanku selama ini," Ucap Elena sedih.Srak ....Suara gemerisik terdengar dari balik semak-semak."Siapa di sana?" seru Elena cepat, menoleh ke arah asal suara.Dari kegelapan, sosok berpakaian hitam muncul. Wajahnya tertutup kain, pedang tergenggam erat di tangannya.....Sementara itu, di aula pesta suasana masih riuh. Taka da yang menyadari berkurangnya satu atau dua orang tamu dari pesta. Kecuali …,Mervyn melirik ke arah tempat para wanita berkumpul. Ekspresinya berubah, terkejut dan cemas. Ia segara memanggil seorang pelayan."Di mana istriku?" tanyanya tegas.Pelayan itu membungkuk sedikit dan menjawab cepat, "Tadi saya melihat Duchess berjalan keluar dengan tergesa-gesa."Mendengar itu, wajah Mervyn semakin cemas. Ia bergegas keluar dari aula sambil memanggil para kesatria."Temukan Duchess!" perintahnya tegas.Semua mata tertuju pada sang Duke yang kini tampak diliputi kegelisahan."Aakkkhhh ...!"Teriakan itu terdengar sangat kencang.Sang Duke yang mendengarnya langsung berlari cepat menuju arah datangnya suara. Para tamu di pesta pun tampak terkejut dan ikut menyusul ke sumber suara tersebut.Seorang wanita terduduk di tanah. Wanita itu perlahan memundurkan tubuhnya, matanya membelalak, tangannya gemetar tak terkendali.Di hadapannya. Seorang wanita lain tergeletak bersimbah darah, membasahi gaun mewah yang semula tampak indah. Salah satu sepatu berhak tinggi yang berkilau terlepas dan ikut berlumur darah.Gaun dan sepatu itu terasa sangat familiar bagi Mervyn."Tidak ... tidak ... kumohon … bukan dia," gumamnya dengan suara parau. Dadanya sesak, napasnya tercekat, tubuhnya mulai gemetar hebat. Ia melangkah mendekat, tertatih dan kehilangan keseimbangan.Ketika wajah wanita itu terlihat jelas di hadapannya, dunia Mervyn runtuh. Ia berlari, lalu berlutut dan mendekap tubuh yang bersimbah darah itu, wanita yang tadi ia mohon bukanlah dirinya. Sang Duchess kini terbaring di pelukannya.Para tamu berdatangan. Beberapa berteriak histeris, yang lain membeku. Tuan rumah pesta pun tampak tak kalah terkejut oleh pemandangan yang tersaji di hadapannya.Dengan tangan yang gemetar, Mervyn menyentuh wajah Elena. Dingin. Tak ada respon."Dokter ... panggil dokter! Cepat!" perintahnya keras, nadanya tercampur antara panik dan tak percaya.Marquess Bernard segera menyuruh kepala pelayan memanggil tabib pribadi keluarga. Tak butuh waktu lama, sang dokter tiba dan langsung memeriksa tubuh sang Duchess. Setelah beberapa saat, ia diam. Matanya terpejam, lalu ia menggeleng perlahan.Mervyn mengguncang tubuh Elena, seolah mencoba mengembalikannya. Napasnya tersenggal. Emosinya meledak. Ia marah. Ia hancur. "Panggil kereta kuda, sekarang. Aku tidak percaya ini. Panggil Alwen, Dia harus sudah bersiap sebelum aku tiba.” Mervyn memberi perintah dengan nada tajam. Orang-orang bisa merasakan kemarahan dari suaranya.Dengan penuh kehati-hatian, ia mengangkat tubuh Elena dalam pelukannya. Mervyn berdiri, matanya menatap lurus ke depan. Ia berjalan tanpa berkata apa pun, tanpa menoleh ke belakang, membawa Elena yang tak lagi bernyawa di pelukannya."Perintahkan seluruh kesatria di Ducy untuk menyelidiki. Sisanya yang ada di sini, mulai lakukan pencarian sekarang juga. Jangan biarkan satu pun detail terlewa.” Suaranya dingin, penuh pengendalian diri. Dan itu jauh lebih menakutkan.Ketegasannya membuat para kesatria bergidik. Tanpa berani membantah, mereka langsung bergerak. Marquess Bernard bergegas menyusul dan berkata, "Duke, kami pun akan membantu penyelidikan."Tak ada jawaban. Kereta kuda itu melaju, meninggalkan kediaman Marquess dalam keheningan yang mencekam.Di dalam kereta kuda ...."E-eh, itu kan ... tubuhku? Kenapa aku bisa melihat tubuhku sendiri?"Elena mengangkat kedua tangannya dan membolak-baliknya."Kenapa tanganku tembus pandang ...?"Ia terdiam sejenak. "Begitu, ya ... aku sudah mati."Elena termenung sedih. Tatapannya tertuju pada tubuhnya sendiri yang terbaring di pangkuan sang suami."Mervyn ... kenapa kamu terlihat begitu sedih? Bukankah kamu tidak pernah mempedulikanku?" tanya Elena lirih, suaranya lembut namun terasa pedih.Mervyn menatap ke luar jendela. Pandangannya kosong. Namun tangannya tetap menggenggam tubuh Elena erat. Air mata mulai mengalir dari matanya. Tangis Mervyn pecah. Elena refleks berdiri dan menghampirinya. Ia ingin menyeka air mata itu. Namun, tangannya menembus wajah Mervyn."Kenapa kamu menangis seperti ini ...? Apa yang sebenarnya kamu pikirkan tentangku? Berhentilah menangis ... kumohon ...," ucap Elena sambil terus mencoba menyentuh wajah pria itu.Air mata Elena mengalir ... ia memeluk Mervyn meskipun tahu sentuhannya tak akan pernah bisa sampai. Tubuhnya perlahan memudar ... dan mulai menghilang.Aakkhh ....Elena tersentak bangun, napasnya memburu, air mata masih menggenang di pelupuk mata. Dia hidup kembali.Tidak, ia mengulang kehidupan itu sekali lagi.
Malam itu terasa panjang. Angin berdesir melewati celah jendela, membuat tirai berayun pelan. Di ranjang, tubuh Elena mulai gelisah. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Jangan… jangan sentuh aku…!” gumamnya dalam tidur. Tubuhnya meronta hebat, wajahnya pucat disertai air mata yang mulai mengalir.Mervyn yang terjaga di kursi langsung kaget. Ia berdiri cepat, mendekat ke sisi ranjang. “Elena… tenang, ini aku,” ucapnya lembut, menggenggam pelan tangan istrinya.Namun Elena justru makin berontak. Jemarinya menepis, kakinya menendang selimut seolah hendak kabur dari sesuatu. Sorot matanya yang masih terpejam menggambarkan ketakutan yang tak bisa dijelaskan.“Elena…” Mervyn mencoba menahan tangannya, suaranya terdengar lirih dan hati-hati. Tapi semakin ia mencoba, Elena semakin histeris. Dalam tidurnya, ia seperti mengira Mervyn adalah para pria mabuk yang hampir menodainya.Mervyn terdiam sesaat, lalu menghela napas berat. Ia sadar, kata-kata tak cukup. Maka ia langsu
Elena tersentak ketika tubuhnya ditarik kasar. Ia berbalik, dan pandangannya langsung bertabrakan dengan mata tajam Mervyn. Sorot mata pria itu menyala marah, rahangnya mengeras seolah menahan sesuatu yang hampir meledak.Untungnya, lengan yang ditarik bukan lengan Elena yang terluka. Meski begitu, genggaman Mervyn terasa sangat kuat, jauh lebih kuat dibanding pria mabuk tadi begitu kuat hingga Elena merasakan dinginnya amarah yang mengalir lewat sentuhan itu.“T-Tuan…” suara Myra tercekat, tubuhnya kaku di tempat. Wajahnya pucat pasi, ketakutan jauh lebih dalam daripada saat dikepung pria mabuk tadi. Aura Mervyn jelas berbeda ia bukan sekadar mengancam, ia menelan udara di sekitarnya hingga mencekik.“Berani sekali kau keluar tanpa izin.” Nada suaranya datar, rendah, namun setiap kata menampar seperti cambuk. Matanya menyapu Elena dari ujung kepala sampai kaki, berhenti pada balutan perban di lengan yang tampak rusak dan berdarah kembali. Rahangnya mengencang.Elena meringis pelan, w
Lampion-lampion masih berayun tertiup angin, menebarkan cahaya hangat di sepanjang jalan festival. Elena dan Myra berjalan beriringan sambil menenteng beberapa kertas pembungkus berisi makanan. Mulut mereka sibuk mengunyah, tangan sibuk menyeimbangkan kudapan lain agar tidak jatuh.“Hm—enak sekali!” ujar Elena dengan mulut setengah penuh, tawanya kecil tapi riang.Myra mengangguk cepat, bahkan kedua pipinya menggembung seperti tupai. “Aku tak tahu harus makan yang mana dulu… semuanya menggoda!”Mereka berdua tampak begitu berbeda dari kehidupan sehari-hari di mansion. Namun langkah riang itu mendadak terhenti ketika segerombolan pria dengan langkah sempoyongan mendekat. Bau alkohol menusuk dari napas mereka, suara tawa mereka keras dan tidak mengenakkan.“Hei, nona manis…” salah satu dari mereka menyeringai, matanya liar. “Kenapa wajah secantik itu berkeliaran sendirian di malam begini, mau ditemani?”Elena menegang, Myra langsung merapat padanya. Mereka mencoba melangkah ke sisi lai
Malam semakin larut, dentuman kembang api terus terdengar bersahut-sahutan, mewarnai langit Duchy Carwyn dengan cahaya merah, biru, dan emas. Elena berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun malamnya yang berat segera ia lepaskan, berganti dengan pakaian sederhana berwarna gelap gaun polos tanpa hiasan, jauh dari kemewahan seorang Duchess.Myra, yang gugup setengah mati, membantunya mengencangkan selendang tipis dan menutupi rambut Elena dengan tudung kain. “Duchess, ini sungguh… gila apalagi anda sedang terluka bagaimana jika Duke mengetahui—”Elena menoleh, senyum jahilnya kembali muncul. “Itulah kenapa kita tidak boleh ketahuan.”Dengan langkah hati-hati, mereka menyelinap keluar melalui koridor samping yang lebih sepi. Para pelayan sibuk menyiapkan jamuan malam, sementara para penjaga banyak yang ditempatkan di menara luar untuk mengawasi perayaan di kota. Kesempatan itu dimanfaatkan Elena dengan cerdik.Beberapa kali mereka bersembunyi di balik pilar, menunggu prajur
Pagi hari di Duchy Carwyn dimulai dengan hiruk-pikuk yang teratur. Burung-burung berkiacau di taman, pelayan berlarian dengan langkah teratur, dan cahaya matahari menembus jendela kamar Elena dengan lembut.Ketukan pelan terdengar di pintu."Duchess, tuan Alwen sudah tiba," ucap salah seorang pelayan wanita.Elena sempat tertegun "Secepat ini?" gumamnya dalam hati. Meski begitu, ia tetap mengangguk pelan, memberi izin untuk mempersilakannya masuk.Pintu terbuka, memperlihatkan seorang pria berusia muda, mungkin pertengahan dua puluhan. Rambut campuran hijau tua dan hitamnya terikat rapi ke belakang, wajahnya bersih tanpa janggut, dan mata abu-abunya jernih. Tubuhnya terlihat bugar, ramping namun tegap, langkahnya mantap saat ia masuk membawa tas kecil berisi peralatannya."Selamat pagi, Duchess," sapanya sopan. Suaranya tenang berwibawa. Dialah Alwen, Dokter pribadi Mervyn, sekaligus salah satu orang kepercayaannya.Elena menatapnya sejenak sebelum berucap pelan, “Bukankah ini terlalu
Kereta kuda kembali melaju, roda berderit di atas jalan berbatu yang panjang. Matahari condong ke barat, menyinari atap-atap rumah pedesaan dan ladang gandum yang mulai menguning. Di dalam, Elena duduk bersandar, tubuhnya masih terasa pegal setelah kejadian di gudang.Ia melirik keluar jendela kecil, melihat barisan kesatria Carwyn yang mengawal ketat. Sudah beberapa kali kereta berhenti di depan tempat-tempat penting lumbung penyimpanan biji-bijian, tempat distribusi rempah, juga rumah perwakilan pedagang namun Mervyn selalu turun sendirian.“Myra…” bisiknya pelan, menahan helaan napas panjang. “Berapa lama lagi ia akan kembali?”Myra menunduk sopan. “Saya tidak tahu, Duchess. Tuan Duke sedang memastikan laporan di setiap tempat.”Elena mengerutkan kening. Rasa bosan merayap, apalagi setiap kali Mervyn pergi, ia harus duduk berjam-jam menunggu di dalam kereta. Ia menahan diri, tapi pada kunjungan ketiga ia tak kuasa lagi.Begitu pintu kereta terbuka dan Mervyn kembali, Elena langsung