Share

Kebangkitan

Auteur: KazSil
last update Dernière mise à jour: 2025-08-12 13:29:42

Elena sontak bangkit dari tidurnya. Matanya membelalak, tubuhnya dibasahi keringat, dan napasnya tersenggal.

“Apa Anda tidak apa-apa, Nyonya?” Suara pelayan terdengar dari balik pintu kamar.

Brakk!

Pintu kamar terbuka dengan paksa. Seorang pelayan menerobos masuk tanpa menunggu izin. Wajahnya panik.

“Maafkan ketidaksopanan saya! Apakah anda baik-baik saja, Nyonya?” tanyanya cepat.

Elena tidak segera menjawab. Matanya masih kebingungan, pikirannya kacau. Ia memandang kosong sebelum akhirnya bersuara cepat, “Tanggal berapa sekarang?” Mata hijaunya yang berkilau seperti zamrud menatap tajam ke pelayan itu.

“Sekarang tanggal enam belas, bulan ketiga ... menurut kalender kerajaan,” jawab pelayan dengan gugup.

Elena membeku sejenak. Napasnya tercekat.

“Satu tahun sebelum pesta keluarga Marquess Bernard. Jadi ini artinya ... aku kembali ke masa lalu? Tapi, bagaimana bisa ...?” Suaranya lirih, nyaris seperti gumaman yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

Elena terlihat kebingungan, bibirnya terus bergumam pelan. Sikapnya yang aneh membuat pelayan itu gentar. Tanpa menunggu lagi, pelayan tersebut segera berlari keluar kamar. Sementara itu, Elena masih terperangkap dalam pikirannya yang kacau, mencoba memahami kenyataan tak masuk akal yang baru saja ia alami.

....

Ruang kerja Mervyn

“Tuan!” seru pelayan terburu-buru, ia bahkan lupa untuk mengetuk pintu.

Melirik seseorang yang baru saja masuk dengan tidak sopan, Mervyn memberinya tatapan tajam. “Ada apa?” Balasnya.

Pelayan berkeringa t... “saya mendapat kabar, nyonya bertingkah aneh.”

Ruangan seketika tampak hening. Tatapan tajam Mervyn berubah seketik. Ia terlihat kebingungan dan khawatir. Kertas dan alat tulis yang ia pegang langsung diletakkan Ia berdiri dari duduknya dan berlari keluar.

...

Kamar Elena

“Ahh ... benar-benar menyejukkan,ujarnya sambil tersenyum bahagia.

Sinar matahari pagi yang tidak terlalu panas menyentuh Elena seperti memeluknya dengan kehangatan, aroma bunga di taman terbawa oleh angin hingga bisa dicium oleh Elena. Ia duduk di atas balkon, menggoyangkan kedua kakinya sambil tersenyum bahagia.

Brakk!

“Nyonya .Pelayan yang tadi keluar dari kamar Elena datang kembali sambil membawa Dokter, kedua orang itu sangat terkejut dengan apa yang mereka lihat.

Tak ... takk  ...

Suara langkah itu sangat cepat, Mervyn masuk ke kamar Elena, napasnya sedikit tidak teratur, ia langsung mencari Elena, alangkah terkejutnya dengan apa yang dia lihat, tanpa sadar ia memanggilnya dengan keras.

“Elenaa ....

Elena sangat kaget. “Mervyn?

Ia menatap Mervyn yang kini berdiri di hadapannya. Dulu, pria itu tak pernah sekalipun memanggil namanya dengan nada panik seperti tadi. Hatinya terasa hangat, sekaligus getir.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Mervyn?” tanya Elena. Alisnya mengernyit bingung. Ia menoleh ke sekeliling, menyadari kehadiran para pelayan dan seorang pria tua yang tampak seperti dokter. Lalu ia turun dari balkon dan melangkah mendekat.

Mervyn mengembuskan napas panjang, menutupi sebagian wajahnya dengan tangan seolah baru saja terlepas dari mimpi buruk. Sorot matanya yang tegang perlahan melunak. Ia menoleh ke arah sang dokter, memberi isyarat halus agar segera memeriksa kondisi istrinya.

Tanpa menunda, dokter itu bergerak cepat menghampiri Elena.

Meski masih dipenuhi kebingungan, Elena menuruti dengan patuh. Diam-diam ia mencoba mencerna semua yang terjadi sambil membiarkan sang dokter memeriksa dirinya.

“Kenapa kau tidak memanggil Alwen?” tegur Mervyn dengan nada tajam pada pelayan di depannya.

Pelayan itu langsung menegang. Tangannya gemetar hebat, wajahnya pucat pasi. Ia tidak sanggup menjawab, bibirnya bahkan tak mampu membentuk sepatah kata pun.

Mervyn menghela napas berat, jelas terlihat kesal. Sorot matanya tajam menusuk, lalu ia memalingkan pandangannya.

“Alwen? Bukankah itu dokter pribadi Mervyn .... Mana mungkin pelayan itu bersusah payah memanggilakannya untukku,” batin Elena, getir.

Setelah dokter memastikan kondisi Elena baik-baik saja, Mervyn berbalik tanpa sepatah kata pun dan meninggalkan kamar. Sang dokter dan pelayan pun ikut pamit, setelah Elena sendiri yang menyuruh mereka pergi.

Elena duduk diam. Tapi pikirannya terus berputar. “Aku harus mulai menyusun langkah. Pertama-tama, para pelayan itu harus dibereskan. Dan aku harus bersiap menghadapi para bangsawan. Untuk itu, aku harus berubah.”

Waktu makan pun tiba.

Seperti biasa, Elena duduk di dalam kamarnya. Para pelayan selalu mengatakan bahwa Duke tidak ingin makan bersamanya, dan ia sudah terlalu sering mempercayainya begitu saja.

Beberapa pelayan masuk membawa makanan tanpa sedikit pun menunjukkan rasa hormat. Mereka bahkan tidak mengetuk pintu.

Elena mengerutkan kening, matanya menyapu seluruh ruangan dengan waspada.

“Ini makanan Anda,” ujar salah satu pelayan sambil menyodorkan nampan dengan kasar. Piring nyaris tergelincir, sup di dalamnya hampir tumpah.

Elena menatap isi piring itu. “Seperti biasa, makanan ini tak layak. Sayurnya busuk, kuahnya encer dan berbau. Bahkan air yang mereka bawa pun keruh, seperti diambil dari genangan kotor,” gerutunya dalam hati.

Tawa mencemooh keluar dari mulut para pelayan, tanpa rasa takut, tanpa rasa malu tepat di hadapan Elena.

Elena meletakkan sendoknya perlahan, lalu bertanya datar, “Apa Duke ada di ruang makan?”

Para pelayan tampak saling berpandangan, sejenak ragu, namun salah satu dari mereka menjawab, “Tentu saja.”

Elena mengangguk. “Kalau begitu, aku akan ke sana.” Ia bangkit berdiri, gaunnya menyapu lantai dengan anggun saat melangkah keluar kamar.

Para pelayan sontak panik, mencoba menghentikannya seolah Elena tidak berhak ke ruang makan. Namun Elena tidak menggubris. Langkahnya tetap tegap dan tenang.

Ruang makan

Suara kegaduhan samar terdengar dari balik pintu, sebelum pintu itu terbuka dengan kasar

Elena masuk tanpa menunggu izin. Semua mata tertuju padanya, termasuk Mervyn yang duduk di ujung meja. Tatapan mereka bertemu sejenak sebelum Elena mengalihkan pandangannya dan duduk tepat di sebelah pria itu.

Mervyn masih menatapnya, alisnya sedikit berkerut.

“Kenapa kamu ke sini?” tanyanya datar.

Elena menoleh cepat padanya, lalu kembali menatap piring kosong di hadapannya. “Aku hanya mencari makanan yang layak.”

“Makanan layak?” Mervyn mengulang dengan bingung, namun Elena tidak menanggapi lebih lanjut.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Elena mulai menyantap hidangannya dengan tenang. Mervyn memperhatikannya sejenak sebelum kembali melanjutkan makannya sendiri.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang aneh, sebelum akhirnya Mervyn kembali bicara. “Tumben sekali kamu mau makan bersamaku.”

Elena menoleh, matanya menusuk. “Bukannya kamu yang selalu menolak makan bersamaku? Itu yang selama ini kudengar.”

Mervyn menoleh pelan. Ada kerutan samar di antara alisnya. Tatapannya tak lagi tenang. Seolah ia sedang menghubungkan titik-titik dalam pikirannya.

Namun Elena tidak peduli. Ia melanjutkan makannya, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdegup cepat.Apa dia sedang mengujiku? Atau hanya ingin melihat reaksiku sekarang? pikirnya.

Mervyn telah selesai makan, tapi tidak juga beranjak dari kursinya. Ia hanya duduk diam, memperhatikan Elena yang masih sibuk menyuap makanannya.

Elena berusaha bersikap biasa, walau pipinya mulai memerah. Ia mempercepat suapan terakhirnya. “Tanpa sadar aku makan banyak sekali” dalam batinnya

Mereka masih tidak bergerak dari tempat duduk masing-masing. Ruangan terasa kaku. Para pelayan yang berdiri rapi di sepanjang dinding hanya bisa saling melirik, kebingungan. Butiran keringat mulai muncul di pelipis mereka karena atmosfer yang mencekam.

Elena akhirnya mendorong kursinya dan berdiri. Wajahnya masih memerah, matanya menghindari pandangan siapa pun.

“Ka-kalau begitu ... aku pergi dulu,” ucapnya gugup, buru-buru berjalan keluar tanpa menoleh.

Mervyn menatap punggung Elena yang menjauh. Sudut bibirnya terangkat tipis. Ia berdiri, lalu menyusul keluar dari ruang makan.

Taman

Langkah Elena terdengar cepat di koridor batu menuju taman belakang. Wajahnya masih merah, matanya sibuk menunduk menatap rerumputan.

Tanpa sadar, ia sudah tiba di dekat air mancur taman.

“Wa ... wah . Bukankah ini Duchess?” Sebuah suara lembut namun menyengat memecah lamunannya.

Elena mengangkat wajah. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan gaun mahal penuh perhiasan. Riasannya nyaris sempurna, tapi senyumnya terlalu manis untuk dianggap tulus.

Ekspresi Elena berubah seketika. Matanya menajam, dagunya sedikit terangkat.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Bayangan Dalam Mimpi

    Malam itu terasa panjang. Angin berdesir melewati celah jendela, membuat tirai berayun pelan. Di ranjang, tubuh Elena mulai gelisah. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Jangan… jangan sentuh aku…!” gumamnya dalam tidur. Tubuhnya meronta hebat, wajahnya pucat disertai air mata yang mulai mengalir.Mervyn yang terjaga di kursi langsung kaget. Ia berdiri cepat, mendekat ke sisi ranjang. “Elena… tenang, ini aku,” ucapnya lembut, menggenggam pelan tangan istrinya.Namun Elena justru makin berontak. Jemarinya menepis, kakinya menendang selimut seolah hendak kabur dari sesuatu. Sorot matanya yang masih terpejam menggambarkan ketakutan yang tak bisa dijelaskan.“Elena…” Mervyn mencoba menahan tangannya, suaranya terdengar lirih dan hati-hati. Tapi semakin ia mencoba, Elena semakin histeris. Dalam tidurnya, ia seperti mengira Mervyn adalah para pria mabuk yang hampir menodainya.Mervyn terdiam sesaat, lalu menghela napas berat. Ia sadar, kata-kata tak cukup. Maka ia langsu

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Kembali

    Elena tersentak ketika tubuhnya ditarik kasar. Ia berbalik, dan pandangannya langsung bertabrakan dengan mata tajam Mervyn. Sorot mata pria itu menyala marah, rahangnya mengeras seolah menahan sesuatu yang hampir meledak.Untungnya, lengan yang ditarik bukan lengan Elena yang terluka. Meski begitu, genggaman Mervyn terasa sangat kuat, jauh lebih kuat dibanding pria mabuk tadi begitu kuat hingga Elena merasakan dinginnya amarah yang mengalir lewat sentuhan itu.“T-Tuan…” suara Myra tercekat, tubuhnya kaku di tempat. Wajahnya pucat pasi, ketakutan jauh lebih dalam daripada saat dikepung pria mabuk tadi. Aura Mervyn jelas berbeda ia bukan sekadar mengancam, ia menelan udara di sekitarnya hingga mencekik.“Berani sekali kau keluar tanpa izin.” Nada suaranya datar, rendah, namun setiap kata menampar seperti cambuk. Matanya menyapu Elena dari ujung kepala sampai kaki, berhenti pada balutan perban di lengan yang tampak rusak dan berdarah kembali. Rahangnya mengencang.Elena meringis pelan, w

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Pria Dengan Tongkat Kayu

    Lampion-lampion masih berayun tertiup angin, menebarkan cahaya hangat di sepanjang jalan festival. Elena dan Myra berjalan beriringan sambil menenteng beberapa kertas pembungkus berisi makanan. Mulut mereka sibuk mengunyah, tangan sibuk menyeimbangkan kudapan lain agar tidak jatuh.“Hm—enak sekali!” ujar Elena dengan mulut setengah penuh, tawanya kecil tapi riang.Myra mengangguk cepat, bahkan kedua pipinya menggembung seperti tupai. “Aku tak tahu harus makan yang mana dulu… semuanya menggoda!”Mereka berdua tampak begitu berbeda dari kehidupan sehari-hari di mansion. Namun langkah riang itu mendadak terhenti ketika segerombolan pria dengan langkah sempoyongan mendekat. Bau alkohol menusuk dari napas mereka, suara tawa mereka keras dan tidak mengenakkan.“Hei, nona manis…” salah satu dari mereka menyeringai, matanya liar. “Kenapa wajah secantik itu berkeliaran sendirian di malam begini, mau ditemani?”Elena menegang, Myra langsung merapat padanya. Mereka mencoba melangkah ke sisi lai

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Festival

    Malam semakin larut, dentuman kembang api terus terdengar bersahut-sahutan, mewarnai langit Duchy Carwyn dengan cahaya merah, biru, dan emas. Elena berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun malamnya yang berat segera ia lepaskan, berganti dengan pakaian sederhana berwarna gelap gaun polos tanpa hiasan, jauh dari kemewahan seorang Duchess.Myra, yang gugup setengah mati, membantunya mengencangkan selendang tipis dan menutupi rambut Elena dengan tudung kain. “Duchess, ini sungguh… gila apalagi anda sedang terluka bagaimana jika Duke mengetahui—”Elena menoleh, senyum jahilnya kembali muncul. “Itulah kenapa kita tidak boleh ketahuan.”Dengan langkah hati-hati, mereka menyelinap keluar melalui koridor samping yang lebih sepi. Para pelayan sibuk menyiapkan jamuan malam, sementara para penjaga banyak yang ditempatkan di menara luar untuk mengawasi perayaan di kota. Kesempatan itu dimanfaatkan Elena dengan cerdik.Beberapa kali mereka bersembunyi di balik pilar, menunggu prajur

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Tamu Tak Diundang

    Pagi hari di Duchy Carwyn dimulai dengan hiruk-pikuk yang teratur. Burung-burung berkiacau di taman, pelayan berlarian dengan langkah teratur, dan cahaya matahari menembus jendela kamar Elena dengan lembut.Ketukan pelan terdengar di pintu."Duchess, tuan Alwen sudah tiba," ucap salah seorang pelayan wanita.Elena sempat tertegun "Secepat ini?" gumamnya dalam hati. Meski begitu, ia tetap mengangguk pelan, memberi izin untuk mempersilakannya masuk.Pintu terbuka, memperlihatkan seorang pria berusia muda, mungkin pertengahan dua puluhan. Rambut campuran hijau tua dan hitamnya terikat rapi ke belakang, wajahnya bersih tanpa janggut, dan mata abu-abunya jernih. Tubuhnya terlihat bugar, ramping namun tegap, langkahnya mantap saat ia masuk membawa tas kecil berisi peralatannya."Selamat pagi, Duchess," sapanya sopan. Suaranya tenang berwibawa. Dialah Alwen, Dokter pribadi Mervyn, sekaligus salah satu orang kepercayaannya.Elena menatapnya sejenak sebelum berucap pelan, “Bukankah ini terlalu

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Tatapan yang Mengusik

    Kereta kuda kembali melaju, roda berderit di atas jalan berbatu yang panjang. Matahari condong ke barat, menyinari atap-atap rumah pedesaan dan ladang gandum yang mulai menguning. Di dalam, Elena duduk bersandar, tubuhnya masih terasa pegal setelah kejadian di gudang.Ia melirik keluar jendela kecil, melihat barisan kesatria Carwyn yang mengawal ketat. Sudah beberapa kali kereta berhenti di depan tempat-tempat penting lumbung penyimpanan biji-bijian, tempat distribusi rempah, juga rumah perwakilan pedagang namun Mervyn selalu turun sendirian.“Myra…” bisiknya pelan, menahan helaan napas panjang. “Berapa lama lagi ia akan kembali?”Myra menunduk sopan. “Saya tidak tahu, Duchess. Tuan Duke sedang memastikan laporan di setiap tempat.”Elena mengerutkan kening. Rasa bosan merayap, apalagi setiap kali Mervyn pergi, ia harus duduk berjam-jam menunggu di dalam kereta. Ia menahan diri, tapi pada kunjungan ketiga ia tak kuasa lagi.Begitu pintu kereta terbuka dan Mervyn kembali, Elena langsung

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status