Elena sontak bangkit dari tidurnya. Matanya membelalak, tubuhnya dibasahi keringat, dan napasnya tersenggal.
“Apa Anda tidak apa-apa, Nyonya?” Suara pelayan terdengar dari balik pintu kamar.
Brakk!
Pintu kamar terbuka dengan paksa. Seorang pelayan menerobos masuk tanpa menunggu izin. Wajahnya panik.
“Maafkan ketidaksopanan saya! Apakah anda baik-baik saja, Nyonya?” tanyanya cepat.
Elena tidak segera menjawab. Matanya masih kebingungan, pikirannya kacau. Ia memandang kosong sebelum akhirnya bersuara cepat, “Tanggal berapa sekarang?” Mata hijaunya yang berkilau seperti zamrud menatap tajam ke pelayan itu.
“Sekarang tanggal enam belas, bulan ketiga ... menurut kalender kerajaan,” jawab pelayan dengan gugup.
Elena membeku sejenak. Napasnya tercekat.
“Satu tahun sebelum pesta keluarga Marquess Bernard. Jadi ini artinya ... aku kembali ke masa lalu? Tapi, bagaimana bisa ...?” Suaranya lirih, nyaris seperti gumaman yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
Elena terlihat kebingungan, bibirnya terus bergumam pelan. Sikapnya yang aneh membuat pelayan itu gentar. Tanpa menunggu lagi, pelayan tersebut segera berlari keluar kamar. Sementara itu, Elena masih terperangkap dalam pikirannya yang kacau, mencoba memahami kenyataan tak masuk akal yang baru saja ia alami.
....
Ruang kerja Mervyn
“Tuan!” seru pelayan terburu-buru, ia bahkan lupa untuk mengetuk pintu.
Melirik seseorang yang baru saja masuk dengan tidak sopan, Mervyn memberinya tatapan tajam. “Ada apa?” Balasnya.
Pelayan berkeringa t... “saya mendapat kabar, nyonya bertingkah aneh.”
Ruangan seketika tampak hening. Tatapan tajam Mervyn berubah seketik. Ia terlihat kebingungan dan khawatir. Kertas dan alat tulis yang ia pegang langsung diletakkan Ia berdiri dari duduknya dan berlari keluar.
...
Kamar Elena
“Ahh ... benar-benar menyejukkan,” ujarnya sambil tersenyum bahagia.
Sinar matahari pagi yang tidak terlalu panas menyentuh Elena seperti memeluknya dengan kehangatan, aroma bunga di taman terbawa oleh angin hingga bisa dicium oleh Elena. Ia duduk di atas balkon, menggoyangkan kedua kakinya sambil tersenyum bahagia.
Brakk!
“Nyonya ….” Pelayan yang tadi keluar dari kamar Elena datang kembali sambil membawa Dokter, kedua orang itu sangat terkejut dengan apa yang mereka lihat.
Tak ... takk ...
Suara langkah itu sangat cepat, Mervyn masuk ke kamar Elena, napasnya sedikit tidak teratur, ia langsung mencari Elena, alangkah terkejutnya dengan apa yang dia lihat, tanpa sadar ia memanggilnya dengan keras.
“Elenaa ....“
Elena sangat kaget. “Mervyn?”
Ia menatap Mervyn yang kini berdiri di hadapannya. Dulu, pria itu tak pernah sekalipun memanggil namanya dengan nada panik seperti tadi. Hatinya terasa hangat, sekaligus getir.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Mervyn?” tanya Elena. Alisnya mengernyit bingung. Ia menoleh ke sekeliling, menyadari kehadiran para pelayan dan seorang pria tua yang tampak seperti dokter. Lalu ia turun dari balkon dan melangkah mendekat.
Mervyn mengembuskan napas panjang, menutupi sebagian wajahnya dengan tangan seolah baru saja terlepas dari mimpi buruk. Sorot matanya yang tegang perlahan melunak. Ia menoleh ke arah sang dokter, memberi isyarat halus agar segera memeriksa kondisi istrinya.
Tanpa menunda, dokter itu bergerak cepat menghampiri Elena.
Meski masih dipenuhi kebingungan, Elena menuruti dengan patuh. Diam-diam ia mencoba mencerna semua yang terjadi sambil membiarkan sang dokter memeriksa dirinya.
“Kenapa kau tidak memanggil Alwen?” tegur Mervyn dengan nada tajam pada pelayan di depannya.Pelayan itu langsung menegang. Tangannya gemetar hebat, wajahnya pucat pasi. Ia tidak sanggup menjawab, bibirnya bahkan tak mampu membentuk sepatah kata pun.
Mervyn menghela napas berat, jelas terlihat kesal. Sorot matanya tajam menusuk, lalu ia memalingkan pandangannya.
“Alwen? Bukankah itu dokter pribadi Mervyn .... Mana mungkin pelayan itu bersusah payah memanggilakannya untukku,” batin Elena, getir.
Setelah dokter memastikan kondisi Elena baik-baik saja, Mervyn berbalik tanpa sepatah kata pun dan meninggalkan kamar. Sang dokter dan pelayan pun ikut pamit, setelah Elena sendiri yang menyuruh mereka pergi.
Elena duduk diam. Tapi pikirannya terus berputar. “Aku harus mulai menyusun langkah. Pertama-tama, para pelayan itu harus dibereskan. Dan aku harus bersiap menghadapi para bangsawan. Untuk itu, aku harus berubah.”
Waktu makan pun tiba.
Seperti biasa, Elena duduk di dalam kamarnya. Para pelayan selalu mengatakan bahwa Duke tidak ingin makan bersamanya, dan ia sudah terlalu sering mempercayainya begitu saja.
Beberapa pelayan masuk membawa makanan tanpa sedikit pun menunjukkan rasa hormat. Mereka bahkan tidak mengetuk pintu.
Elena mengerutkan kening, matanya menyapu seluruh ruangan dengan waspada.
“Ini makanan Anda,” ujar salah satu pelayan sambil menyodorkan nampan dengan kasar. Piring nyaris tergelincir, sup di dalamnya hampir tumpah.
Elena menatap isi piring itu. “Seperti biasa, makanan ini tak layak. Sayurnya busuk, kuahnya encer dan berbau. Bahkan air yang mereka bawa pun keruh, seperti diambil dari genangan kotor,” gerutunya dalam hati.
Tawa mencemooh keluar dari mulut para pelayan, tanpa rasa takut, tanpa rasa malu tepat di hadapan Elena.
Elena meletakkan sendoknya perlahan, lalu bertanya datar, “Apa Duke ada di ruang makan?”
Para pelayan tampak saling berpandangan, sejenak ragu, namun salah satu dari mereka menjawab, “Tentu saja.”
Elena mengangguk. “Kalau begitu, aku akan ke sana.” Ia bangkit berdiri, gaunnya menyapu lantai dengan anggun saat melangkah keluar kamar.
Para pelayan sontak panik, mencoba menghentikannya seolah Elena tidak berhak ke ruang makan. Namun Elena tidak menggubris. Langkahnya tetap tegap dan tenang.
Ruang makan
Suara kegaduhan samar terdengar dari balik pintu, sebelum pintu itu terbuka dengan kasar
Elena masuk tanpa menunggu izin. Semua mata tertuju padanya, termasuk Mervyn yang duduk di ujung meja. Tatapan mereka bertemu sejenak sebelum Elena mengalihkan pandangannya dan duduk tepat di sebelah pria itu.
Mervyn masih menatapnya, alisnya sedikit berkerut.
“Kenapa kamu ke sini?” tanyanya datar.
Elena menoleh cepat padanya, lalu kembali menatap piring kosong di hadapannya. “Aku hanya mencari makanan yang layak.”
“Makanan layak?” Mervyn mengulang dengan bingung, namun Elena tidak menanggapi lebih lanjut.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Elena mulai menyantap hidangannya dengan tenang. Mervyn memperhatikannya sejenak sebelum kembali melanjutkan makannya sendiri.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang aneh, sebelum akhirnya Mervyn kembali bicara. “Tumben sekali kamu mau makan bersamaku.”
Elena menoleh, matanya menusuk. “Bukannya kamu yang selalu menolak makan bersamaku? Itu yang selama ini kudengar.”
Mervyn menoleh pelan. Ada kerutan samar di antara alisnya. Tatapannya tak lagi tenang. Seolah ia sedang menghubungkan titik-titik dalam pikirannya.
Namun Elena tidak peduli. Ia melanjutkan makannya, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdegup cepat. “Apa dia sedang mengujiku? Atau hanya ingin melihat reaksiku sekarang?” pikirnya.
Mervyn telah selesai makan, tapi tidak juga beranjak dari kursinya. Ia hanya duduk diam, memperhatikan Elena yang masih sibuk menyuap makanannya.
Elena berusaha bersikap biasa, walau pipinya mulai memerah. Ia mempercepat suapan terakhirnya. “Tanpa sadar aku makan banyak sekali” dalam batinnya
Mereka masih tidak bergerak dari tempat duduk masing-masing. Ruangan terasa kaku. Para pelayan yang berdiri rapi di sepanjang dinding hanya bisa saling melirik, kebingungan. Butiran keringat mulai muncul di pelipis mereka karena atmosfer yang mencekam.
Elena akhirnya mendorong kursinya dan berdiri. Wajahnya masih memerah, matanya menghindari pandangan siapa pun.
“Ka-kalau begitu ... aku pergi dulu,” ucapnya gugup, buru-buru berjalan keluar tanpa menoleh.
Mervyn menatap punggung Elena yang menjauh. Sudut bibirnya terangkat tipis. Ia berdiri, lalu menyusul keluar dari ruang makan.
Taman
Langkah Elena terdengar cepat di koridor batu menuju taman belakang. Wajahnya masih merah, matanya sibuk menunduk menatap rerumputan.
Tanpa sadar, ia sudah tiba di dekat air mancur taman.
“Wa ... wah …. Bukankah ini Duchess?” Sebuah suara lembut namun menyengat memecah lamunannya.
Elena mengangkat wajah. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik dengan gaun mahal penuh perhiasan. Riasannya nyaris sempurna, tapi senyumnya terlalu manis untuk dianggap tulus.
Ekspresi Elena berubah seketika. Matanya menajam, dagunya sedikit terangkat.
Perubahan di Duchy Carwyn menjadi perbincangan hangat dalam lingkaran aristokrat. Tak ada yang menyangka, wanita yang dulu dikenal pendiam dan patuh kini memecat puluhan pelayan, mengganti hampir seluruh staf kastil, dan memimpin sendiri proses seleksi. Semua mata tertuju padanya. Para bangsawan mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada Elena Carwyn? Namun bagi Elena, ini hanyalah langkah awal.Setelah kejadian itu, Mervyn selalu mengajak Elena makan bersamanya. Bahkan setelah proses seleksi perekrutan pelayan baru yang dipimpin Elena, Mervyn diam-diam menyeleksi ulang orang-orang yang telah ia pilih. Di kamarnya, Elena duduk santai di kursi dekat jendela, memandangi taman samping yang dibasuh cahaya sore. Di meja di hadapannya, tersaji aneka kue kecil yang sudah setengah ia santap. Ketukan pintu terdengar. Elena menjawab lembut, “Masuklah.” Pintu terbuka perlahan. Myra melangkah masuk dengan sopan, kedua tangannya memegang sebuah amplop bersegel rapi. “Ada undangan
Elena tidak segera merespons. Ia hanya menatap Myra dalam-dalam, seakan sedang mempertimbangkan berbagai hal bukan hanya sekedar sebuah keputusan.Suara-suara pelayan lain yang masih merutuk di sudut ruangan mulai memudar di telinganya. Hanya satu yang menarik perhatiannya sekarang.“Mulai hari ini,” Elena akhirnya angkat suara, tenang namun memancarkan kekuasaan, “Kau akan menjadi pelayan pribadiku.”Myra tampak terkejut, namun ia segera menundukkan kepala dengan sopan. “Sesuai perintah Anda, Duchess.”Suara-suara protes di sudut kamar mendadak berubah menjadi bisik-bisik panik. Beberapa pelayan yang tersisa saling memandang, seolah bertanya-tanya apa istimewanya gadis bernama Myra itu, seorang pelayan yang selama ini nyaris tak terlihat.Elena menoleh ke arah pelayan wanita senior yang berdiri tak jauh dari pintu.“Beritahu kepala pelayan untuk mengurusi surat pemecatan mereka hari ini juga. Dan pastikan barang-barang mereka keluar dari rumah ini sebelum matahari tenggelam.”“Baik,
“Mengapa anda terlihat begitu terburu-buru, Duchess?” tanya wanita itu. Matanya menyapu Elena dari atas ke bawah tanpa sopan santun.Elena tidak menjawab. Ia hanya memandangi wanita itu dengan tenang, tapi tatapannya mengeras, menyiratkan ketidaksenangan yang tak perlu diucapkan.“Taman di Duchy Carwyn masih secantik dulu.” Matanya menyapu bunga-bunga yang bermekaran. “Seindah pemiliknya, bukan begitu, Duchess?”Nada suaranya terdengar hangat, tapi matanya tak menatap Elena melainkan pada sebuah jendela besar yang berada di sisi lain bangunan, itu ruang kerja Mervyn.“Sayang sekali,” ia melanjutkan, jemarinya menyentuh kelopak mawar merah muda, “Di balik keindahan itu ... ada noda yang tak juga hilang. Banyak yang ingin membersihkannya, bukan begitu Duchess?”Elena menoleh perlahan, tatapannya tenang namun tajam. Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat.“Benar sekali,” ujarnya pelan, seolah menyetujui. “Dan mereka yang ingin membersihkannya ... tak lebih dari sekumpulan lalat. Benarkan L
Elena sontak bangkit dari tidurnya. Matanya membelalak, tubuhnya dibasahi keringat, dan napasnya tersenggal.“Apa Anda tidak apa-apa, Nyonya?” Suara pelayan terdengar dari balik pintu kamar.Brakk!Pintu kamar terbuka dengan paksa. Seorang pelayan menerobos masuk tanpa menunggu izin. Wajahnya panik.“Maafkan ketidaksopanan saya! Apakah anda baik-baik saja, Nyonya?” tanyanya cepat.Elena tidak segera menjawab. Matanya masih kebingungan, pikirannya kacau. Ia memandang kosong sebelum akhirnya bersuara cepat, “Tanggal berapa sekarang?” Mata hijaunya yang berkilau seperti zamrud menatap tajam ke pelayan itu.“Sekarang tanggal enam belas, bulan ketiga ... menurut kalender kerajaan,” jawab pelayan dengan gugup.Elena membeku sejenak. Napasnya tercekat.“Satu tahun sebelum pesta keluarga Marquess Bernard. Jadi ini artinya ... aku kembali ke masa lalu? Tapi, bagaimana bisa ...?” Suaranya lirih, nyaris seperti gumaman yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.Elena terlihat kebingungan, bi
"Bahkan pelayan pun terang-terangan tidak menghormatiku sebagai Duchess. Mereka tahu aku hanyalah cangkang kosong berlabel Duchess, tak lebih dari pajangan yang tak layak berdiri di sisi seorang Duke." Menjadi istri seorang Duke seharusnya adalah kehormatan bagi wanita bangsawan. Tapi bagiku? Hanya lelucon. Begitulah ... Elena Ivor Carwyn .... Pesta di kediaman Marquess Bernard. "Duke Carwyn berhasil dalam investasi pengembangan kereta cepat bertenaga kristal aether.""Seperti yang diharapkan dari otak emas kerajaan." "Investasinya selalu sukses. Tak heran Carwyn Trade Consortium jadi perusahaan terbesar." Bisik-bisik kekaguman mengalir dari berbagai sudut aula pesta, mengarah pada satu sosok pria yang dikelilingi para bangsawan pria. Pria berambut hitam pekat yang ditata rapi ke belakang, dengan sedikit gelombang di ujungnya. Sorot matanya abu gelap, tajam seperti baja dingin. Tenang, tertata … mengintimidasi. Dia … Mervyn Dieter Carwyn. Di sisi lain, para wanita bangsawan