Myra, yang berdiri sedikit di belakang, menyelipkan satu langkah maju. “Duchess tidak memerlukan-“
Selene menoleh perlahan, senyumnya tak berubah namun matanya berkilat seperti bilah tipis pisau. “Ah ... dan itu pasti pendamping setia anda. Sungguh mengagumkan memiliki seseorang yang berani bicara tanpa diundang. Mungkin suatu hari saya bisa membuatkan gaun ... yang cukup sederhana agar sesuai dengan sikap itu.”
Sejenak udara di butik itu menegang. Myra menahan napas, sementara Elena hanya menutup katalog perlahan dan meletakkannya di meja. Tatapannya menusuk, namun bibirnya tetap tenang, seolah menimbang setiap kata yang keluar.
“Lucu sekali,” katanya tenang. Nada suaranya ringan, namun menyimpan ancaman samar yang membuat beberapa pelanggan terdiam. “Saya kira butik ini menjual gaun, bukan penilaian.”
Selene terdiam sepersekian detik, lalu tertawa kecil suara yang terdengar lebih seperti ejekan. Namun sebelum ia sempat membalas, bunyi hentakan sepatu terdengar dari arah pintu.
Cring… cring…
Lonceng butik berdenting lagi. Semua kepala menoleh, keheningan merayap perlahan, seakan udara di ruangan membeku tanpa alasan yang jelas.
Seorang pria tinggi dengan jas hitam rapi memasuki ruangan, langkahnya mantap dan berwibawa. Sorot matanya dingin, namun cukup untuk membuat pelayan terdiam dan Selene kehilangan senyumnya sesaat.
Itu adalah Duke Mervyn Dieter Carwyn.
Perubahan di Duchy Carwyn menjadi perbincangan hangat dalam lingkaran aristokrat. Tak ada yang menyangka, wanita yang dulu dikenal pendiam dan patuh kini memecat puluhan pelayan, mengganti hampir seluruh staf kastil, dan memimpin sendiri proses seleksi. Semua mata tertuju padanya. Para bangsawan mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada Elena Carwyn? Namun bagi Elena, ini hanyalah langkah awal.Setelah kejadian itu, Mervyn selalu mengajak Elena makan bersamanya. Bahkan setelah proses seleksi perekrutan pelayan baru yang dipimpin Elena, Mervyn diam-diam menyeleksi ulang orang-orang yang telah ia pilih. Di kamarnya, Elena duduk santai di kursi dekat jendela, memandangi taman samping yang dibasuh cahaya sore. Di meja di hadapannya, tersaji aneka kue kecil yang sudah setengah ia santap. Ketukan pintu terdengar. Elena menjawab lembut, “Masuklah.” Pintu terbuka perlahan. Myra melangkah masuk dengan sopan, kedua tangannya memegang sebuah amplop bersegel rapi. “Ada undangan
Elena tidak segera merespons. Ia hanya menatap Myra dalam-dalam, seakan sedang mempertimbangkan berbagai hal bukan hanya sekedar sebuah keputusan.Suara-suara pelayan lain yang masih merutuk di sudut ruangan mulai memudar di telinganya. Hanya satu yang menarik perhatiannya sekarang.“Mulai hari ini,” Elena akhirnya angkat suara, tenang namun memancarkan kekuasaan, “Kau akan menjadi pelayan pribadiku.”Myra tampak terkejut, namun ia segera menundukkan kepala dengan sopan. “Sesuai perintah Anda, Duchess.”Suara-suara protes di sudut kamar mendadak berubah menjadi bisik-bisik panik. Beberapa pelayan yang tersisa saling memandang, seolah bertanya-tanya apa istimewanya gadis bernama Myra itu, seorang pelayan yang selama ini nyaris tak terlihat.Elena menoleh ke arah pelayan wanita senior yang berdiri tak jauh dari pintu.“Beritahu kepala pelayan untuk mengurusi surat pemecatan mereka hari ini juga. Dan pastikan barang-barang mereka keluar dari rumah ini sebelum matahari tenggelam.”“Baik,
“Mengapa anda terlihat begitu terburu-buru, Duchess?” tanya wanita itu. Matanya menyapu Elena dari atas ke bawah tanpa sopan santun.Elena tidak menjawab. Ia hanya memandangi wanita itu dengan tenang, tapi tatapannya mengeras, menyiratkan ketidaksenangan yang tak perlu diucapkan.“Taman di Duchy Carwyn masih secantik dulu.” Matanya menyapu bunga-bunga yang bermekaran. “Seindah pemiliknya, bukan begitu, Duchess?”Nada suaranya terdengar hangat, tapi matanya tak menatap Elena melainkan pada sebuah jendela besar yang berada di sisi lain bangunan, itu ruang kerja Mervyn.“Sayang sekali,” ia melanjutkan, jemarinya menyentuh kelopak mawar merah muda, “Di balik keindahan itu ... ada noda yang tak juga hilang. Banyak yang ingin membersihkannya, bukan begitu Duchess?”Elena menoleh perlahan, tatapannya tenang namun tajam. Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat.“Benar sekali,” ujarnya pelan, seolah menyetujui. “Dan mereka yang ingin membersihkannya ... tak lebih dari sekumpulan lalat. Benarkan L
Elena sontak bangkit dari tidurnya. Matanya membelalak, tubuhnya dibasahi keringat, dan napasnya tersenggal.“Apa Anda tidak apa-apa, Nyonya?” Suara pelayan terdengar dari balik pintu kamar.Brakk!Pintu kamar terbuka dengan paksa. Seorang pelayan menerobos masuk tanpa menunggu izin. Wajahnya panik.“Maafkan ketidaksopanan saya! Apakah anda baik-baik saja, Nyonya?” tanyanya cepat.Elena tidak segera menjawab. Matanya masih kebingungan, pikirannya kacau. Ia memandang kosong sebelum akhirnya bersuara cepat, “Tanggal berapa sekarang?” Mata hijaunya yang berkilau seperti zamrud menatap tajam ke pelayan itu.“Sekarang tanggal enam belas, bulan ketiga ... menurut kalender kerajaan,” jawab pelayan dengan gugup.Elena membeku sejenak. Napasnya tercekat.“Satu tahun sebelum pesta keluarga Marquess Bernard. Jadi ini artinya ... aku kembali ke masa lalu? Tapi, bagaimana bisa ...?” Suaranya lirih, nyaris seperti gumaman yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.Elena terlihat kebingungan, bi
"Bahkan pelayan pun terang-terangan tidak menghormatiku sebagai Duchess. Mereka tahu aku hanyalah cangkang kosong berlabel Duchess, tak lebih dari pajangan yang tak layak berdiri di sisi seorang Duke." Menjadi istri seorang Duke seharusnya adalah kehormatan bagi wanita bangsawan. Tapi bagiku? Hanya lelucon. Begitulah ... Elena Ivor Carwyn .... Pesta di kediaman Marquess Bernard. "Duke Carwyn berhasil dalam investasi pengembangan kereta cepat bertenaga kristal aether.""Seperti yang diharapkan dari otak emas kerajaan." "Investasinya selalu sukses. Tak heran Carwyn Trade Consortium jadi perusahaan terbesar." Bisik-bisik kekaguman mengalir dari berbagai sudut aula pesta, mengarah pada satu sosok pria yang dikelilingi para bangsawan pria. Pria berambut hitam pekat yang ditata rapi ke belakang, dengan sedikit gelombang di ujungnya. Sorot matanya abu gelap, tajam seperti baja dingin. Tenang, tertata … mengintimidasi. Dia … Mervyn Dieter Carwyn. Di sisi lain, para wanita bangsawan