Home / Historical / Kesempatan Kedua Sang Duchess / Undangan untuk Sang Duchess

Share

Undangan untuk Sang Duchess

Author: KazSil
last update Last Updated: 2025-08-13 06:58:09

Perubahan di Duchy Carwyn menjadi perbincangan hangat dalam lingkaran aristokrat. Tak ada yang menyangka, wanita yang dulu dikenal pendiam dan patuh kini memecat puluhan pelayan, mengganti hampir seluruh staf kastil, dan memimpin sendiri proses seleksi. Semua mata tertuju padanya. Para bangsawan mulai bertanya-tanya, apa yang

sebenarnya terjadi pada Elena Carwyn?

Namun bagi Elena, ini hanyalah langkah awal.

Setelah kejadian itu, Mervyn selalu mengajak Elena makan bersamanya. Bahkan setelah proses seleksi perekrutan pelayan baru yang dipimpin Elena, Mervyn diam-diam menyeleksi ulang orang-orang yang telah ia pilih.

Di kamarnya, Elena duduk santai di kursi dekat jendela, memandangi taman samping yang dibasuh cahaya sore. Di meja di hadapannya, tersaji aneka kue kecil yang sudah setengah ia santap.

Ketukan pintu terdengar. Elena menjawab lembut, “Masuklah.”

Pintu terbuka perlahan. Myra melangkah masuk dengan sopan, kedua tangannya memegang sebuah amplop bersegel rapi. “Ada undangan dari Keluarga Valens, Duchess. Pesta tahunan, seperti biasa.”

Elena tak menoleh pada surat itu. “Aku tidak pernah menghadiri pesta itu, dulu.”

Myra menatapnya, lalu tersenyum samar. “Dulu ... Anda juga tidak pernah memecat setengah staf Duchy, mengganti dekorasi aula utama, atau memeriksa dokumen keuangan dengan teliti.”

Tatapan Elena beralih padanya, bibirnya melengkung tipis. “Kau menyindirku?”

“Aku hanya memastikan wanita di hadapanku ini benar-benar Elena Carwyn.” Myra menatap balik tanpa gentar. “Kadang aku bertanya-tanya ... siapa sebenarnya Anda sekarang?”

Elena terdiam sejenak, pandangannya kembali pada taman di luar. “Mungkin ... aku baru saja mulai menjadi diriku sendiri.”

Myra menunduk sedikit. “Kalau begitu, mungkin sudah saatnya menghadiri pesta itu. Biarkan semua orang melihat Duchess Carwyn yang sekarang.”

Hening sesaat, lalu Elena mengangguk pelan. “Terima undangan itu ... dan bersiaplah. Kita akan keluar sore ini.”

Halaman depan Duchy Carwyn

Sebuah kereta kuda berwarna hitam mengilap dengan lambang keluarga Carwyn terpatri di sisinya sudah menunggu. Kuda-kuda besar dan gagah berdiri tenang, sementara kusir memberi salam sopan saat melihat sang Duchess keluar.

Elena melangkah menuju kereta, gaun biru tua yang ia kenakan bergoyang lembut mengikuti langkahnya. Potongannya sederhana namun elegan, dipadukan dengan sepatu hak rendah yang memancarkan kesan anggun tanpa berlebihan.

Myra berjalan setengah langkah di belakangnya. Saat hendak naik, Elena menoleh. “Myra, ikutlah bersamaku.”

Myra ragu sejenak. “Saya ... sebaiknya—”

“Masuk.” Nada Elena datar, namun mengandung perintah yang tak bisa dibantah.

Akhirnya Myra menurut, duduk di hadapan Elena di dalam kereta. Kusir mengibaskan tali, dan kereta mulai bergerak, meninggalkan halaman Duchy Carwyn, hentakan langkah kuda mengiringi perjalanan mereka.

Hentakan langkah kuda terhenti di depan sebuah butik mewah di pusat kota. Kusir segera turun, membuka pintu. Elena bersama Myra melangkah keluar.

Lonceng kecil di atas pintu berdenting saat Myra membukanya. Aroma lembut kain baru dan parfum mahal menyambut mereka.

Di dalam, deretan gaun berkilau tertata rapi di sepanjang dinding, beberapa dipajang di manekin dengan detail sulaman yang memukau.

Seorang pelayan butik mendekat sambil membungkuk sopan.

“Selamat datang. Apakah Anda ingin memesan gaun, Nyonya?” Ia menyodorkan sebuah buku katalog tebal yang berisi koleksi terbaru.

Elena menerimanya dengan tenang, jemarinya membalik halaman sambil sesekali mengamati detail gaun yang terlukis di sana.

Pelayan itu sempat meliriknya sekilas, seperti mencoba memastikan sesuatu. Pandangannya berulang kali naik turun, hingga akhirnya sorot matanya melebar menyadari siapa yang duduk di hadapannya.

“Duchess Carwyn ,” gumamnya nyaris tak terdengar. Seketika, sikapnya berubah total. Suaranya menjadi lebih manis, gerakannya lebih hati-hati. Ia mulai merekomendasikan model-model terbaik, bahkan menawarkan kain impor yang jarang diperlihatkan kepada pelanggan biasa.

Elena hanya mengangguk singkat, mulai merasa sedikit nyaman dengan sambutan itu.

Suara langkah sepatu hak tinggi menggema di lantai marmer. Pelayan butik itu segera menegakkan tubuh, ekspresinya berubah gugup.

Seorang wanita memasuki ruangan dengan gaya yang sulit diabaikan gaun hitam ketat berkilau, rambut disanggul tinggi, bibir merah menyala. Kalung berlian melingkar di lehernya, memantulkan cahaya lampu.

Ia berjalan dengan langkah anggun namun penuh kepemilikan, seperti ruangan itu adalah panggung pribadinya. Tatapannya menyapu Elena dari ujung kepala hingga kaki, lalu berhenti sejenak di gaun biru sederhana yang dikenakan sang Duchess.

Senyum tipis muncul di sudut bibirnya senyum yang manis di permukaan, namun menyimpan nada merendahkan. “Oh … bukankah ini Duchess Carwyn. Jarang sekali melihat Anda … di tempat seperti ini.” Nada suaranya mengalun lembut, tapi setiap kata seperti menggores.

Pelayan butik buru-buru memperkenalkan, “Duchess, ini adalah Madam Selene, pemilik butik ini.”

Madam Selene tak menunggu jawaban. Ia melangkah lebih dekat, matanya berkilat penuh penilaian. “Saya selalu mendengar Anda jarang memesan gaun baru. Hmm … tampaknya sekarang banyak hal berubah, ya?”

Madam Selene menatap Elena lebih lama, lalu tersenyum miring. “Hanya saja … butik saya biasanya membuat gaun untuk mereka yang mampu ‘membawa’ gaun itu di tengah sorotan. Sayang sekali … beberapa orang terlihat seperti sedang membiarkan gaun yang memakainya, bukan sebaliknya.” Nada suaranya terdengar ringan, namun cukup tajam untuk menusuk ego siapa pun yang mendengarnya.

Beberapa pelanggan yang tengah memilih kain melirik ke arah mereka, pura-pura sibuk namun jelas menguping. Selene berbalik ke pelayannya, suaranya cukup keras untuk didengar semua orang. “Pastikan ia melihat koleksi lama di ruang belakang. Kita harus mulai dari yang sederhana, sebelum melangkah ke sesuatu yang … terlalu tinggi untuk digapai.”

Myra, yang berdiri sedikit di belakang, menyelipkan satu langkah maju. “Duchess tidak memerlukan-“

Selene menoleh perlahan, senyumnya tak berubah namun matanya berkilat seperti bilah tipis pisau. “Ah ... dan itu pasti pendamping setia anda. Sungguh mengagumkan memiliki seseorang yang berani bicara tanpa diundang. Mungkin suatu hari saya bisa membuatkan gaun ... yang cukup sederhana agar sesuai dengan sikap itu.”

Sejenak udara di butik itu menegang. Myra menahan napas, sementara Elena hanya menutup katalog perlahan dan meletakkannya di meja. Tatapannya menusuk, namun bibirnya tetap tenang, seolah menimbang setiap kata yang keluar.

“Lucu sekali,” katanya tenang. Nada suaranya ringan, namun menyimpan ancaman samar yang membuat beberapa pelanggan terdiam. “Saya kira butik ini menjual gaun, bukan penilaian.”

Selene terdiam sepersekian detik, lalu tertawa kecil suara yang terdengar lebih seperti ejekan. Namun sebelum ia sempat membalas, bunyi hentakan sepatu terdengar dari arah pintu.

Cring… cring…

Lonceng butik berdenting lagi. Semua kepala menoleh, keheningan merayap perlahan, seakan udara di ruangan membeku tanpa alasan yang jelas.

Seorang pria tinggi dengan jas hitam rapi memasuki ruangan, langkahnya mantap dan berwibawa. Sorot matanya dingin, namun cukup untuk membuat pelayan terdiam dan Selene kehilangan senyumnya sesaat.

Itu adalah Duke Mervyn Dieter Carwyn.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Undangan untuk Sang Duchess

    Perubahan di Duchy Carwyn menjadi perbincangan hangat dalam lingkaran aristokrat. Tak ada yang menyangka, wanita yang dulu dikenal pendiam dan patuh kini memecat puluhan pelayan, mengganti hampir seluruh staf kastil, dan memimpin sendiri proses seleksi. Semua mata tertuju padanya. Para bangsawan mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada Elena Carwyn? Namun bagi Elena, ini hanyalah langkah awal.Setelah kejadian itu, Mervyn selalu mengajak Elena makan bersamanya. Bahkan setelah proses seleksi perekrutan pelayan baru yang dipimpin Elena, Mervyn diam-diam menyeleksi ulang orang-orang yang telah ia pilih. Di kamarnya, Elena duduk santai di kursi dekat jendela, memandangi taman samping yang dibasuh cahaya sore. Di meja di hadapannya, tersaji aneka kue kecil yang sudah setengah ia santap. Ketukan pintu terdengar. Elena menjawab lembut, “Masuklah.” Pintu terbuka perlahan. Myra melangkah masuk dengan sopan, kedua tangannya memegang sebuah amplop bersegel rapi. “Ada undangan

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Bisikan Para Bangsawan

    Elena tidak segera merespons. Ia hanya menatap Myra dalam-dalam, seakan sedang mempertimbangkan berbagai hal bukan hanya sekedar sebuah keputusan.Suara-suara pelayan lain yang masih merutuk di sudut ruangan mulai memudar di telinganya. Hanya satu yang menarik perhatiannya sekarang.“Mulai hari ini,” Elena akhirnya angkat suara, tenang namun memancarkan kekuasaan, “Kau akan menjadi pelayan pribadiku.”Myra tampak terkejut, namun ia segera menundukkan kepala dengan sopan. “Sesuai perintah Anda, Duchess.”Suara-suara protes di sudut kamar mendadak berubah menjadi bisik-bisik panik. Beberapa pelayan yang tersisa saling memandang, seolah bertanya-tanya apa istimewanya gadis bernama Myra itu, seorang pelayan yang selama ini nyaris tak terlihat.Elena menoleh ke arah pelayan wanita senior yang berdiri tak jauh dari pintu.“Beritahu kepala pelayan untuk mengurusi surat pemecatan mereka hari ini juga. Dan pastikan barang-barang mereka keluar dari rumah ini sebelum matahari tenggelam.”“Baik,

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Perubahan

    “Mengapa anda terlihat begitu terburu-buru, Duchess?” tanya wanita itu. Matanya menyapu Elena dari atas ke bawah tanpa sopan santun.Elena tidak menjawab. Ia hanya memandangi wanita itu dengan tenang, tapi tatapannya mengeras, menyiratkan ketidaksenangan yang tak perlu diucapkan.“Taman di Duchy Carwyn masih secantik dulu.” Matanya menyapu bunga-bunga yang bermekaran. “Seindah pemiliknya, bukan begitu, Duchess?”Nada suaranya terdengar hangat, tapi matanya tak menatap Elena melainkan pada sebuah jendela besar yang berada di sisi lain bangunan, itu ruang kerja Mervyn.“Sayang sekali,” ia melanjutkan, jemarinya menyentuh kelopak mawar merah muda, “Di balik keindahan itu ... ada noda yang tak juga hilang. Banyak yang ingin membersihkannya, bukan begitu Duchess?”Elena menoleh perlahan, tatapannya tenang namun tajam. Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat.“Benar sekali,” ujarnya pelan, seolah menyetujui. “Dan mereka yang ingin membersihkannya ... tak lebih dari sekumpulan lalat. Benarkan L

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Kebangkitan

    Elena sontak bangkit dari tidurnya. Matanya membelalak, tubuhnya dibasahi keringat, dan napasnya tersenggal.“Apa Anda tidak apa-apa, Nyonya?” Suara pelayan terdengar dari balik pintu kamar.Brakk!Pintu kamar terbuka dengan paksa. Seorang pelayan menerobos masuk tanpa menunggu izin. Wajahnya panik.“Maafkan ketidaksopanan saya! Apakah anda baik-baik saja, Nyonya?” tanyanya cepat.Elena tidak segera menjawab. Matanya masih kebingungan, pikirannya kacau. Ia memandang kosong sebelum akhirnya bersuara cepat, “Tanggal berapa sekarang?” Mata hijaunya yang berkilau seperti zamrud menatap tajam ke pelayan itu.“Sekarang tanggal enam belas, bulan ketiga ... menurut kalender kerajaan,” jawab pelayan dengan gugup.Elena membeku sejenak. Napasnya tercekat.“Satu tahun sebelum pesta keluarga Marquess Bernard. Jadi ini artinya ... aku kembali ke masa lalu? Tapi, bagaimana bisa ...?” Suaranya lirih, nyaris seperti gumaman yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.Elena terlihat kebingungan, bi

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Hidup dan Mati

    "Bahkan pelayan pun terang-terangan tidak menghormatiku sebagai Duchess. Mereka tahu aku hanyalah cangkang kosong berlabel Duchess, tak lebih dari pajangan yang tak layak berdiri di sisi seorang Duke." Menjadi istri seorang Duke seharusnya adalah kehormatan bagi wanita bangsawan. Tapi bagiku? Hanya lelucon. Begitulah ... Elena Ivor Carwyn .... Pesta di kediaman Marquess Bernard. "Duke Carwyn berhasil dalam investasi pengembangan kereta cepat bertenaga kristal aether.""Seperti yang diharapkan dari otak emas kerajaan." "Investasinya selalu sukses. Tak heran Carwyn Trade Consortium jadi perusahaan terbesar." Bisik-bisik kekaguman mengalir dari berbagai sudut aula pesta, mengarah pada satu sosok pria yang dikelilingi para bangsawan pria. Pria berambut hitam pekat yang ditata rapi ke belakang, dengan sedikit gelombang di ujungnya. Sorot matanya abu gelap, tajam seperti baja dingin. Tenang, tertata … mengintimidasi. Dia … Mervyn Dieter Carwyn. Di sisi lain, para wanita bangsawan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status