Share

Bisikan Para Bangsawan

Penulis: KazSil
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-12 13:31:53

Elena tidak segera merespons. Ia hanya menatap Myra dalam-dalam, seakan sedang mempertimbangkan berbagai hal bukan hanya sekedar sebuah keputusan.

Suara-suara pelayan lain yang masih merutuk di sudut ruangan mulai memudar di telinganya. Hanya satu yang menarik perhatiannya sekarang.

“Mulai hari ini,” Elena akhirnya angkat suara, tenang namun memancarkan kekuasaan, “Kau akan menjadi pelayan pribadiku.”

Myra tampak terkejut, namun ia segera menundukkan kepala dengan sopan. “Sesuai perintah Anda, Duchess.”

Suara-suara protes di sudut kamar mendadak berubah menjadi bisik-bisik panik. Beberapa pelayan yang tersisa saling memandang, seolah bertanya-tanya apa istimewanya gadis bernama Myra itu, seorang pelayan yang selama ini nyaris tak terlihat.

Elena menoleh ke arah pelayan wanita senior yang berdiri tak jauh dari pintu.

“Beritahu kepala pelayan untuk mengurusi surat pemecatan mereka hari ini juga. Dan pastikan barang-barang mereka keluar dari rumah ini sebelum matahari tenggelam.”

“Baik, Duchess.” Pelayan wanita senior itu membungkuk dalam ia langsung pergi dari sana, wajahnya kaku menahan syok.

Mendengar hal itu para pelayan masih tidak terima, karena tersulut emosi panik satu persatu dari mereka membuka suara, mengucapkan berbagai kalimat keluhan dan protes.

“Apa salah kami?!”

“Anda tidak bisa seperti ini meskipun anda seorang Duchess, tidak bisa memecat tanpa alasan.”

“Memangnya Anda memiliki kuasa? Anda hanya orang yang memiliki gelar tanpa kuasa.”

“Duke tidak akan membiarkannya.”

Semuanya bersahut-sahut setuju akan hal itu.

Elena tampak sangat kesal akan semua hal itu, ia menatap mereka satu persatu, lalu melangkah maju. Derit sepatu hak tingginya menggema di ruangan.

“Alasan?” suaranya rendah dan dingin. “Biar kuberi tahu.”

Tangannya terangkat, menunjuk pelayan demi pelayan. “Kau dan kau memberiku makanan basi, air kotor. Setiap hari.

Kau mengotori pakaianku, merusak barang-barangku. Kalian menumpahkan air kotor padaku dan tertawa.

Elena menarik napas sejenak. “Dan kalian ... kalian semua selalu menyindir, berbisik-bisik tentangku.”

Matanya menyipit. “Apakah kalian pernah menganggapku Duchess? Tidak! Bahkan sekedar manusia pun, kalian gagal memperlakukanku.”

Mereka bungkam. Bahkan napas pun terdengar terlalu keras di ruangan itu.

“Kalau memang melayaniku membuat kalian muak, maka biar kupercepat penderitaan kalian. Pergi. Sekarang!

Beberapa pelayan mencoba protes lagi. Tapi Elena mengangkat tangan dan menunjuk pintu. “Keluar sebelum aku menyeret kalian sendiri.”

Di ruang kerja yang tenang dan redup, Mervyn duduk di balik mejanya. Di sampingnya berdiri sekertarisnya Rowen dan kepala pelayan yang baru saja ia panggil.

Dengan sopan ia membungkuk “Anda memanggil saya, tuan?”

“Elena bilang ... ‘makanan layak’,” ucapnya pelan. “Apa kalian tahu maksudnya?”

Kepala pelayan tampak bingung. “Maaf, Tuan. Saya baru dengar tentang hal itu.”

Mervyn menghela napas. “Dan apakah aku pernah bilang aku tidak ingin makan bersamanya?”

Tak sempat dijawab, ketukan terdengar dari pintu.

“Permisi.Seorang penjaga masuk. “Pelayan senior, Berta, ingin berbicara pada kepala pelayan. Katanya atas perintas langsung Duchess.”

“Biarkan dia masuk,” ujar Mervyn tanpa ragu.

Berta masuk, wajahnya tegang namun mencoba tetap tenang. Ia membungkuk hormat.

“Duchess memerintahkan saya menyampaikan agar kepala pelayan segera mengurus surat pemecatan beberapa pelayan wanita.”

Kepala pelayan terbelalak. Mervyn tampak tak bereaksi.

“Tuan, terkait hal tadi bagaimana jika menanyakan langsung pada Berta?” saran kepala pelayan.

Mervyn mengangguk.

Berta akhirnya membuka suara. Ia menceritakan semua tentang pelecehan verbal para pelayan, perlakuan buruk terhadap Duchess, makanan basi, barang yang dirusak, dan penyiksaan diam-diam yang dialami Elena setiap hari, dan memberi tahu hal yang sedang terjadi di kamar Elena saat ini. Ia berbicara pelan, tapi setiap kata terasa seperti batu dilemparkan ke kaca.

Ruangan menjadi hening.

Kepala pelayan, Rowen, dan bahkan Mervyn sendiri tampak terdiam lama.

“... Jadi ini maksudnya,” gumam Mervyn, tatapannya kosong menatap meja kayu di hadapannya.

“Maafkan saya, Tuan. Saya gagal menjalankan tugas saya.” Kepala pelayan dan Berta membungkuk bersamaan.

Ketukan terdengar di pintu.

“Para pelayan wanita ingin menghadap anda, Tuan,” lapor penjaga dari luar.

Semua orang di dalam ruangan menegang.

Mervyn menoleh. “Biarkan mereka masuk.”

Para pelayan yang dimaksud masuk dalam barisan berantakan, wajah mereka antara marah dan putus asa. Mereka mulai mengeluh dan memprotes keputusan Duchess.

“Dia semena-mena!” “Dia mempermalukan kami!” “Dia menghancurkan kami!”

Mervyn hanya duduk diam, mendengarkan semuanya.

Setelah mereka selesai, ia berbicara pelan, nyaris tanpa emosi.

Mervyn mengatakan semua yang diucapkan Berta. “Apa kalian melakukan semua hal itu?”

Mereka diam. Beberapa menunduk. Beberapa tampak menyadari kebodohan mereka baru sekarang.

Mervyn memejamkan mata dan menghela napas panjang, menekan dahi dengan ujung jari.

“Elena meminta pengurusan surat pemecatan bukan? Usir mereka sekarang. Tanpa gaji, tanpa surat rekomendasi!

“Tuan, tolong”

“Maafkan kami ....”

Namun, tak satu pun dari permohonan mereka dijawab. Para kesatria masuk dan menarik mereka pergi.

Ruangan kembali hening. Kepala pelayan dan Berta menunduk dalam-dalam.

“Saya akan pastikan ini tak akan terjadi lagi,” janji kepala pelayan. Suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.

“Keluar!” Suara Mervyn penuh penekanan.

Mereka segera keluar, meninggalkan Mervyn sendiri di ruangan.

Ia duduk diam, tatapan kosong, pikirannya entah ke mana.

***

Segala kejadian yang terjadi di kediaman Carwyn terutama pemecatan besar-besaran para pelayan wanita, disusul dengan perekrutan staf baru secara terbuka segera menimbulkan kegaduhan di kalangan aristokrat.

Bisik-bisik mulai menyebar di balik pesta teh para nyonya bangsawan hingga lorong-lorong istana kecil di ujung utara. Semuanya berbicara tentang satu hal yang sama.

“Duchess Carwyn telah berubah,” begitu bunyi pernyataan yang kini menggema di antara rumor dan spekulasi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Bayangan Dalam Mimpi

    Malam itu terasa panjang. Angin berdesir melewati celah jendela, membuat tirai berayun pelan. Di ranjang, tubuh Elena mulai gelisah. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Jangan… jangan sentuh aku…!” gumamnya dalam tidur. Tubuhnya meronta hebat, wajahnya pucat disertai air mata yang mulai mengalir.Mervyn yang terjaga di kursi langsung kaget. Ia berdiri cepat, mendekat ke sisi ranjang. “Elena… tenang, ini aku,” ucapnya lembut, menggenggam pelan tangan istrinya.Namun Elena justru makin berontak. Jemarinya menepis, kakinya menendang selimut seolah hendak kabur dari sesuatu. Sorot matanya yang masih terpejam menggambarkan ketakutan yang tak bisa dijelaskan.“Elena…” Mervyn mencoba menahan tangannya, suaranya terdengar lirih dan hati-hati. Tapi semakin ia mencoba, Elena semakin histeris. Dalam tidurnya, ia seperti mengira Mervyn adalah para pria mabuk yang hampir menodainya.Mervyn terdiam sesaat, lalu menghela napas berat. Ia sadar, kata-kata tak cukup. Maka ia langsu

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Kembali

    Elena tersentak ketika tubuhnya ditarik kasar. Ia berbalik, dan pandangannya langsung bertabrakan dengan mata tajam Mervyn. Sorot mata pria itu menyala marah, rahangnya mengeras seolah menahan sesuatu yang hampir meledak.Untungnya, lengan yang ditarik bukan lengan Elena yang terluka. Meski begitu, genggaman Mervyn terasa sangat kuat, jauh lebih kuat dibanding pria mabuk tadi begitu kuat hingga Elena merasakan dinginnya amarah yang mengalir lewat sentuhan itu.“T-Tuan…” suara Myra tercekat, tubuhnya kaku di tempat. Wajahnya pucat pasi, ketakutan jauh lebih dalam daripada saat dikepung pria mabuk tadi. Aura Mervyn jelas berbeda ia bukan sekadar mengancam, ia menelan udara di sekitarnya hingga mencekik.“Berani sekali kau keluar tanpa izin.” Nada suaranya datar, rendah, namun setiap kata menampar seperti cambuk. Matanya menyapu Elena dari ujung kepala sampai kaki, berhenti pada balutan perban di lengan yang tampak rusak dan berdarah kembali. Rahangnya mengencang.Elena meringis pelan, w

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Pria Dengan Tongkat Kayu

    Lampion-lampion masih berayun tertiup angin, menebarkan cahaya hangat di sepanjang jalan festival. Elena dan Myra berjalan beriringan sambil menenteng beberapa kertas pembungkus berisi makanan. Mulut mereka sibuk mengunyah, tangan sibuk menyeimbangkan kudapan lain agar tidak jatuh.“Hm—enak sekali!” ujar Elena dengan mulut setengah penuh, tawanya kecil tapi riang.Myra mengangguk cepat, bahkan kedua pipinya menggembung seperti tupai. “Aku tak tahu harus makan yang mana dulu… semuanya menggoda!”Mereka berdua tampak begitu berbeda dari kehidupan sehari-hari di mansion. Namun langkah riang itu mendadak terhenti ketika segerombolan pria dengan langkah sempoyongan mendekat. Bau alkohol menusuk dari napas mereka, suara tawa mereka keras dan tidak mengenakkan.“Hei, nona manis…” salah satu dari mereka menyeringai, matanya liar. “Kenapa wajah secantik itu berkeliaran sendirian di malam begini, mau ditemani?”Elena menegang, Myra langsung merapat padanya. Mereka mencoba melangkah ke sisi lai

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Festival

    Malam semakin larut, dentuman kembang api terus terdengar bersahut-sahutan, mewarnai langit Duchy Carwyn dengan cahaya merah, biru, dan emas. Elena berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun malamnya yang berat segera ia lepaskan, berganti dengan pakaian sederhana berwarna gelap gaun polos tanpa hiasan, jauh dari kemewahan seorang Duchess.Myra, yang gugup setengah mati, membantunya mengencangkan selendang tipis dan menutupi rambut Elena dengan tudung kain. “Duchess, ini sungguh… gila apalagi anda sedang terluka bagaimana jika Duke mengetahui—”Elena menoleh, senyum jahilnya kembali muncul. “Itulah kenapa kita tidak boleh ketahuan.”Dengan langkah hati-hati, mereka menyelinap keluar melalui koridor samping yang lebih sepi. Para pelayan sibuk menyiapkan jamuan malam, sementara para penjaga banyak yang ditempatkan di menara luar untuk mengawasi perayaan di kota. Kesempatan itu dimanfaatkan Elena dengan cerdik.Beberapa kali mereka bersembunyi di balik pilar, menunggu prajur

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Tamu Tak Diundang

    Pagi hari di Duchy Carwyn dimulai dengan hiruk-pikuk yang teratur. Burung-burung berkiacau di taman, pelayan berlarian dengan langkah teratur, dan cahaya matahari menembus jendela kamar Elena dengan lembut.Ketukan pelan terdengar di pintu."Duchess, tuan Alwen sudah tiba," ucap salah seorang pelayan wanita.Elena sempat tertegun "Secepat ini?" gumamnya dalam hati. Meski begitu, ia tetap mengangguk pelan, memberi izin untuk mempersilakannya masuk.Pintu terbuka, memperlihatkan seorang pria berusia muda, mungkin pertengahan dua puluhan. Rambut campuran hijau tua dan hitamnya terikat rapi ke belakang, wajahnya bersih tanpa janggut, dan mata abu-abunya jernih. Tubuhnya terlihat bugar, ramping namun tegap, langkahnya mantap saat ia masuk membawa tas kecil berisi peralatannya."Selamat pagi, Duchess," sapanya sopan. Suaranya tenang berwibawa. Dialah Alwen, Dokter pribadi Mervyn, sekaligus salah satu orang kepercayaannya.Elena menatapnya sejenak sebelum berucap pelan, “Bukankah ini terlalu

  • Kesempatan Kedua Sang Duchess   Tatapan yang Mengusik

    Kereta kuda kembali melaju, roda berderit di atas jalan berbatu yang panjang. Matahari condong ke barat, menyinari atap-atap rumah pedesaan dan ladang gandum yang mulai menguning. Di dalam, Elena duduk bersandar, tubuhnya masih terasa pegal setelah kejadian di gudang.Ia melirik keluar jendela kecil, melihat barisan kesatria Carwyn yang mengawal ketat. Sudah beberapa kali kereta berhenti di depan tempat-tempat penting lumbung penyimpanan biji-bijian, tempat distribusi rempah, juga rumah perwakilan pedagang namun Mervyn selalu turun sendirian.“Myra…” bisiknya pelan, menahan helaan napas panjang. “Berapa lama lagi ia akan kembali?”Myra menunduk sopan. “Saya tidak tahu, Duchess. Tuan Duke sedang memastikan laporan di setiap tempat.”Elena mengerutkan kening. Rasa bosan merayap, apalagi setiap kali Mervyn pergi, ia harus duduk berjam-jam menunggu di dalam kereta. Ia menahan diri, tapi pada kunjungan ketiga ia tak kuasa lagi.Begitu pintu kereta terbuka dan Mervyn kembali, Elena langsung

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status