Dua tahun kemudian.
Hari masih sangat pagi, bahkan matahari pun masih malu-malu untuk menunjukkan wujudnya. Kesunyian masih membayangi rumah minimalis bercat putih, bergaya American klasik dengan hamparan taman yang indah itu.
Para penghuni rumah masih nyaman berteman dengan bantal dan selimut. Namun, tidak demikian dengan seorang Wanita cantik bertubuh mungil, yang tengah berkutat dengan bahan makanan di dapur mini miliknya.
Agni yang tengah menikmati aktifitasnya di depan penggorengan, dikejutkan dengan suara kursi bar yang ditarik.
“Pagi, Tha.” Sapaan dari Sherly sabatnya, membuat Agni mengalihkan pandangan.
“Pagi Sher, tumben jam segini udah bangun,” Ucap Agni sembari melihat jam dinding yang tergantung di dinding dapur.
Agni merasa sedikit heran, pasalnya sahabatnya itu sangat jarang bangun sepagi ini. Apalagi saat ini, waktu bahkan belum menunjukkan pukul 6 pagi. Merupakan sebuah keajaiban jika sahabatnya itu sudah terbangun.
“Gue kan kemarin udah janji mau nganterin Aska. Makanya gue bangun lebih pagi,” Ucap Sherly.
Agni yang mendengar perkataan Sahabatnya itu tidak mampu menahan senyuman.“Makasih ya, Sher.”
“Nggak perlu terima kasih Tha, kita kan keluarga. Kita udah pernah bahas hal ini, loh." Agni menganggukkan kepalanya untuk menanggapi perkataan Sherly, dengan senyum yang semakin mengembang.
Sahabatnya itu memang berjanji untuk mengantarkan sang Putra, pasalnya Mbok Inem—ART Agni, tengah pulang ke kampung halamannya. Sejak perpisahannya dengan Andi, Sherly adalah orang yang selalu ada untuk dirinya dan Aska. Sherly jugalah yang membawa mereka pergi dari Ibu Kota dan memulai kehidupan yang baru di Kota ini.
....
Terhitung sudah dua tahun, sejak Agni menghadiri pernikahan Andi dan Laras.
Tiga hari setelah kejadian itu, Andi dan kedua orang tuanya serta Laras datang ke kediaman mereka. Permintaan maaf dan raut penyesalam sangat nampak pada wajah senja ayah mertuanya. Berbanding terbalik dengan sang ibu mertua yang menunjukan raut sinis pada Agni.
Terjadi drama kecil waktu itu, dimana Laras masi menjadi pemeran utamanya. Beribu kata maaf yang terdengar tidak tulus, serta keinginan untuk berlutut di depan Agni menjadi pemanis drama Laras waktu itu. Hal yang membuat ibu mertuanya dan Andi bersimpati pada Laras, dan memandang Agni dengan raut ketidak sukaan.
Akhir dari perdebatan mereka waktu itu adalah, Andi yang menceraikan Agni dengan alasan tidak ingin kehilangan bayi yang dikandung Laras, dan tidak ingin membuat mental Putrinya—Laura terganggu karena memiliki ibu tiri.
Hal yang membuat Agni tidak habis pikir dengan Andi dan Rani, suami dan ibu mertuanya itu memikirkan mental Laura, tapi melupakan mental Aska yang mungkin saja ikut terpengaruh karena masalah ini.
Karena keegoisan mereka itulah, yang membuat tekad Agni untuk pergi jauh dari kehidupan keluarga Pramono semakin bulat. Agni bahkan menutup akses keluarga Pramono dari Aska.
Dan disinilah mereka, di kota yang jauh dari jangkauan Andi dan keluarganya. Agni yang sempat bingung menentukan tujuannya, seolah mendapat oasis di Padang gurun, saat Sherly mengajaknya untuk meninggalkan ibu kota.
Pernah terbersit niat untuk balas dendam pada Andi dan Laras, namun pemikiran itu segera ia tepis. Dendam hanya akan membuat dendam yang baru timbul, dan tidak akan ada ujungnya. Karena itulah Agni lebih memilih mengikhlaskan semuanya. Ia hanya ingin memupuk karma baik untuk putranya dengan memaafkan Andi dan Laras.
“Ya sudah, aku bangunin Aska dulua ya, Sher." Agni kemudian melpas apron yang tengah menggantung pada tubuhnya.
“Bentar Tha, sebelum Lo bangunin Aska, ada hal penting yang mau gue kasih tau sama Lo." Sherly menahan kepergian Agni, dengan memegang sebelah tangan Agni.
"Gue nggak tau ini kabar bahagia, atau sedih buat Lo, kalau buat gue sih, ini kabar bahagia,” Ucap Sherly. Mendengar ucapan Sherly yang terdengar sedikit serius, Agni mengurungkan niatnya untuk membangunkan Aska.
“Kabar apa Sher? Kayaknya penting banget,” tanya Agni sambil menarik salah satu kursi Bar. Raut penasaran sangat nampak di wajah cantik Agni.
Sherly diam beberapa saat, mencoba menyusun kalimat agar tidak menyinggung Agni. “Emm... ini ada hubungannya sama mantan Lo sih, Tha."
"Maksud kamu?" Agni mengangkat sebelah alisnya.
Sherly membuang nafas berat. "Jadi gini Tha, gue denger dari teman gue yang kerja di kantor-nya Andi. Ka-kalo si Laras baru aja keguguran."
"Katanya lagi, ini bukan pertama kalinya. Dalam dua tahun terakhir udah dua kali dia keguguran.” lanjut Sherly.
DEG
Melihat perubahan pada raut wajah Agni, Sherly buru-buru menjelaskan. "Gu-gue nggak ada maksud buat buka luka lama Lo ya Tha. Gue Cuma mau nunjukin, kalo Tuhan nggak pernah tidur. Lo nggak menderita sendirian kok, jadi jangan patah semangat,” pungkas Sherly.
Agni tercekat mendengar ucapan Sherly. Informasi penting yang ingin disampaikan oleh sahabatnya itu ternyata tentang kemalangan yang menimpa mantan suaminya. Sherly yang melihat perubahan pada wajah Agni segera berucap, "Maaf ya, Tha. Gue bener bener nggak ada maksud buka luka lama Lo, gue cuman mau berbagi aja kok, serius," Ucap Sherly sembari mengangkat dua jarinya membentuk huruf 'V'. Agni hanya membalasnya dengan senyum. Ada rasa iba yang menyusup ke dalam hati Agni, tetapi segera ia tepis. Mereka telah memiliki jalannya sendiri. Andi dan Laras yang memilih jalan ini, Agni tidak harus peduli tentang hal apapun tentang mereka. “Ekhm.. Aku nggak apa-apa kok Sher, cuman kaget aja tadi. Aku turut prihatin sama keadaan mereka. Cuma, mau gimana lagi, kami sudah punya jalan masing-masing." Agni mencoba menenangkan Sherly. "Mmm, ya udah, aku bangunin Aska dulu ya, Sher.” lanjut Agni. Kemudian berlalu dari sana. Saat sampai di depan
“Maaf..” Agni kembali mengucapkan kata itu sembari sedikit membungkuk. Karena tidak mendapatkan respon dari Pria itu, Agni langsung memutar troli miliknya, bermaksud untuk melanjutkan kegiatan belanja. Namun, troli itu di pegang dengan erat oleh sebuah tangan kekar. Agni mengehentikan langkahnya, lalu melihat kearah tangan itu. Sebuah jam bermerek dengan harga fantastis melingkar di pergelangan tangan Pria itu. Mata Agni melihat ke lengan kekar itu, terlihat jas yang di jahit khusus tengah membungkus tubuh atletis milik Pria itu. Saat Agni semakin mengangkat wajahnya, matanya bertemu pandang dengan tatapan dingin yang sangat familiar baginya. "Lili putih," gumam pria itu. Terdengar sedikit tidak jelas, karena itu Agni mengangkat sebelah alisnya. "Maaf?" Tapi tidak ada jawaban, pria itu masih berdiri seperti arca hidup didepan Agni. “Maafkan Aku, Tuan. Aku tidak sengaja tadi," ucap Agni lagi. Namun, seperti tadi,
Agni yang tengah berkutat dengan adonan tepung, dikejutkan dengan keributan yang berasal dari arah kafe. Sepertinya seseorang tengah marah, entah karena apa. Tanpa membuang waktu lagi, Agni bergegas ke depan. Bahkan tanpa melepas apron yang menggantung di tubuhnya. Dari jauh, samar Agni mendengar suara keras seorang wanita yang menyebut-nyebut pelayanan dan cheesecake. Tidak ingin terus menebak, Agni mempercepat langkahnya. Saat memasuki area kafe, ia melihat seorang wanita berbadan tambun tengah marah sembari memukul counter kasir. Anisa yang berada dibalik counter kasir terlihat sangat ketakutan. “Ada apa ini?” Tanya Agni. Suara Agni membuat perhatian semua orang yang tengah menonton kejadian itu, tertuju padanya. Seolah mendapat ‘mangsa’, wanita berbadan tambun itu bergegas kearah Agni sembari mengarahkan telunjuknya. Membuat Alen yang kebetulan berada di samping Agni menjadi siaga. “Akhirnya keluar juga kamu. Kamu kan, pemilik tempat ini?” mendapa
Agni masih terpaku di tempatnya, ia membutuhkan banyak waktu untuk dapat memahami semua yang baru saja terjadi. ‘Siapa orang-orang ini, dari mana mereka berasal?’ Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, yang sejak tadi muncul di kepalanya. Agni yang terlalu larut dalam lamunannya tentang identitas Pria-pria asing itu, tidak menyadari kedatangan Sherly. Hingga tepukan di bahunya membuat ia terkejut, “kenapa bengong, Tha? Lagi mikirin apa?” Tanya Sherly. Agni hanya menggelengkan kepalanya. “Nggak lagi mikirin apa-apa kok, Sher.” Sherly yang mendengar perkataan Agni, hanya menganggukkan kepalanya. “Ya udah, kalo gitu.” “Eh iya, Tha. Tadi pas gue sampai depan Kafe, Gue denger ada keributan ya, keributan apa?” Tanya Sherly mengalihkan pembicaraan. Agni mengangguk, “iya, tadi ada orang iseng yang bilang kalo Cake yang dia beli disini itu busuk,” ucap Agni. “Terus? Udah di laporin ke polisi?” Tanya Sherly lagi, dan d jawab dengan gelengan kepala o
Setelah mendengar apa yang dikatakan bawahannya, sudut bibir Samudera terangkat membentuk seringai tipis, “Menarik.” Hal yang membuat Jonatan—Asisten pribadi Samudera bergidik. Sebagai orang yang telah mengikuti Samudera sejak usia muda, bahkan mereka tumbuh bersama sejak kecil, Jo bisa menebak maksud dari seringai tuannya itu. Jonatan dan Samudera telah bersahabat sejak kecil, Selama beberapa generasi keluarga Jo mengabdi pada keluarga Aditama. Sampai saat inipun, Ayahnya masih menjadi penasihat hukum keluarga Aditama. Bisa dibilang Jo dan sang Ayah adalah tangan kanan dan kiri Samudera. “Jo....” Jonatan yang telah mengerti maksud Tuannya, segera meminta para Pria berbadan kekar itu untuk meninggalkan ruangan. Setelah memastikan ruangan telah kosong, Jo segera menyampaikan laporannya, “Saya telah menyelidikinya, Tuan. Wanita itu bukan berasal dari sini. Bisa dipastikan bahwa ia sengaja datang ke kota ini hanya untuk me
Malampun tiba. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga puluh menit dari villa pribadi miliknya, Samudra akhirnya sampai pada kediaman kedua orang tuanya. Sebuah mansion mewah bergaya Timur Tengah menyambut kedatangannya. Kedua orang tuannya memang sangat menyukai budaya Timur Tengah. Terlihat dari eksterior rumah ini yang tiap jendela dan lorong berbentuk kubah berornamen. Juga terdapat motif berwarna pada kaca patri yang menghias bingkai jendela tersebut, semakin menambah kentalnya unsur Timur Tengah pada rumah itu. Saat keluar dari mobilnya, Samudra sedikit mengerutkan kening, ketika mendapati dua mobil yang terlihat asing baginya. Apa orang tuanya sedang kedatngan tamu, atau mobil itu adalah koleksi terbaru adik laki-lakinya? Samudra mengendikan bahu tidak peduli, kemudian melangkahkan kakinya kearah pintu utama. Dia disambut oleh kepala pelayan tua yang telah mengabdi selama puluhan tahun pada keluarga mereka. “Selamat datang Tuan muda,” uca
Suara denting sendok menjadi pengiring makan malam keluarga saat itu. Ah, bukan keluarga, karena ada orang luar yang turut bergabung. Sudah menjadi peraturan tidak tertulis dalam keluarga Aditama, bahwa saat makan tidak ada yang diijinkan untuk berbicara. Karena itulah suasana sunyi yang sedikit mencekam mengiringi makan malam mereka saat ini. Bahkan si kembar Mario dan Marcelline yang biasanya banyak bicara, tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Aura sang kakek benar-benar membuat mereka tercekik. Orang yang terlihat biasa-biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa adalah Samudra. Ia sudah biasa dengan acara makan ala militer seperti ini. Saat para pelayan menyingkirkan makanan berat dan diganti dengan dessert, barulah kedua remaja itu bisa menarik nafas lega. Karena itu berarti, saat ini mereka bisa berbicara sesuka hati mereka di meja makan. "Celline ingin buah, kak. Kak Sam bisa bantu kupasin?" Celline mulai menunjukkan sikap manjanya pa
“Cucuku bukan pemandu wisata!” Suara tegas dari Ratna Aditama berhasil melunturkan senyum di bibir Tasya. Suara Ratna memberikan efek yang lebih besar daripada sikap Samudra tadi, ruang makan itu mendadak hening. “Aku tidak bermaksud seperti itu, Bu,” Ucap Lautan, setelah mendapatkan kembali suaranya. Melalui matanya ia mengucapkan maaf tanpa suara pada keluarga Lorens. Ia tidak punya maksud apa-apa, hanya memenuhi keinginan putri dari sahabatnya yang ingin berkeliling bersama putranya. Namun, melihat respon sang ibu, Lautan menelan kembali semua keinginannya itu. “Kalau Sam nggak bisa, nggak apa-apa kok Om. Nanti aku minta tolong sama teman lamaku saja,” ucap Tasya. Dia masih menyunggingkan senyum, namun jauh di bawah meja, kuku jarinya tengah menekan kuat telapak tangannya. Menahan geram karena Ratna menggagalkan rencananya. “Harusnya memang seperti itu, kamu itu bukan bagian dari keluarga ini. Apa kata orang nanti, jika melihat kepala keluarga Adit