Amir menghentikan langkahnya ketika merasa mereka akan segera sampai, dengn cepat tangannya meraih pergelangan tangan Ina membuat wanita itu sontak menghentikan langkahnya dan berbalik. "Kenapa, ai?" tanyanya."Sebentar," kata Amir memberi kode untuk berhenti."Tutup mata ya," lanjutnya."Kok tutup mata?" tanya Ina menaikkan sebelah alisnya."Udah tutup mata aja.""Nanti kalo jatuh gimana?""Kan ada aku yang jagain kamu, masa kamu tutup mata aku tinggal gitu aja," kekeh Amir geli."Oke, tutup mata." Kata Ina mulai menutup matanya dan mulai memegang tangan Amir dengan erat.Amir menuntun Ina perlahan, keduanya jalan penuh kehati-hatian menuju tempat untuk dinner. Di sana, semua sudah ditata sedemikian rupa. Lampion-lampion untuk penerang tertata rapi, berjajaran. Bibir pantai menyala biru di tengah gelapnya pantai. Amir menghentikan langkahnya, "Jangan buka mata dulu ya." katanya.Amir menarik kursi, dan menuntun Ina untuk duduk di kursi. "Udah boleh buka mata?" tanya Ina."Udah boleh,
“Stop bikin muka kayak gitu, bikin gemes tahu nggak.” Amir menangkup wajah Ina, membuat mereka berhadapan dengan manik mata yang saling mengunci satu sama lain. Amir menjepit pipi gembul istrinya itu hingga bibir Ina terbentuk seperti bibir Donald Duck. Lalu, tangannya menggoyang-goyangkan kepala Ina. “Lucu... lucu... lucunya istri aku....”Ina memicingkan matanya, “Apa-apaan,” gumamnya terbata. “Jangan digituin, nanti kamu makin cinta sama aku.”“Nggak perlu ngomong gitu aku juga udah makin cinta sama kamu,” balas Amir terkekeh melepaskan tangannya pada pipi istrinya itu.Ina mengusap pipinya, “Pasti merah nih.”“Iya merah, merah karena malu kan kamu,” Amir terkekeh membuat Ina memutar bola matanya.“Nggak karena malu, tapi sakit!” balas Ina kesal.Amir tidak menanggapi kalimat Ina lagi, memilih untuk menarik tubuh istrinya itu mendekat–membawanya pada pelukan. “Karena hari ini, hari terakhir kita di sini harus dimanfatin dengan baik,” Amir menarik kepala Ina agar menghadap ke arahn
Ina menundukkan kepalanya, “Malu aja sama kamu. Pemikirannya dewasa, sedangkan kadang aja aku masih kekanak-kanakan.”“Kenapa harus malu?”“Ya malu aja. Nggak bisa ngimbangin kamu, jadi ngerasa gagal sebagai istri kamu.”“Ssst, nggak boleh ngomong gitu,” kata Amir. “Siapa bilang kamu gagal jadi istri aku?”“Aku yang bilang,” balas Ina.“Nggak, bagi aku kamu nggak gagal. Justru di mata aku itu kamu istri yang sempurna. Dan aku beruntung punya kamu.”“Ai, lihat aku,” lanjut Amir memegang bahu Ina, membuat wanita itu mendongak.Pandangan mereka mengunci satu sama lain.“Ketika dua manusia dipersatukan dalam ikatan suci, itu nggak peduli kekurangan satu sama lain. Dua manusia yang saling mencintai itu dipertemukan untuk saling melengkapi satu sama lain. Ibaratnya, jika pasangan kita tidak bisa melihat, kita yang bisa melihat itu sebagai matanya. Jika tidak bisa mendengar, ada telinga kita yang masih normal untuk mendengarkan.”“Ini bukan tentang dewasa atau tidaknya kita. Ini tentang apak
Pagi ini adalah keberangkatan Amir ke luar kota. Mereka sudah berada di bandara, sambil menunggu pemberitahuan keberangkatan, baik Ina maupun Amir memilih menunggu di salah satu sofa yang sudah disediakan. “Nanti pokoknya kamu harus telepon aku ya, setiap saat. Kasih kabar,” kata Ina yang bersandar pada bahu Amir.Amir mengusap bahu istrinya, “Pasti. Biar istri aku bahagia dan nggak khawatir. Apasih yang enggak buat kamu.”“Ai, tapi bisa nggak semisal semua selesai cepet di luar rencana terus langsung pulang?”“Bisa aja. Asal pak bos juga ngijinin.”“Masalahnya berarti cuma satu ya, di bos kamu.”Amir mengangguk, membenarkan kalimat Ina. “Tahu sendiri kan, bos aku kayak gimana.”Ina memang tahu dan paham perihal bagaimana atasan dari suaminya itu. Tegas tapi jika sedang baik, baik sekali. “Semoga aja boleh,” gumam Ina membuat Amir menganggukkan kepalanya. Mereka berbincang-bincang ringan, membahas perihal apa pun itu hingga suara pemberitahuan untuk keberangkatan terdengar. “Amir, ay
Berulang kali Ina menghela napasnya. Ia menatap luar melalui jendela kamar, menyanggah kepalanya pada kedua tangannya yang ia letakkan di atas meja. Sekarang sudah malam, begitu Ina sampai di Bogor ia langsung menutup pintu, jendela dan mengunci semuanya. Lalu mematikan semua lampu, setelahnya ia membersihkan diri. Dan sekarang, ia bingung ingin melakukan apa. Ingin menonton drakor pun sepertinya bukanlah waktu yang tepat karena ia sedang tidak memiliki gairah saat ini. Rasanya ingin melalukan sesuatu saja sangat malas. Hingga ponselnya di atas meja bergetar, Ina melirik melalui sudut matanya. Di sana ada panggilan masuk tanpa nama. Dan membuat Ina membiarkannya, enggan mengangkatnya. Mungkin telepon salah sambung. Batinnya. Satu, dua, tiga, hingga empat kali ponselnya masih berdering dengan nomor yang sama. Dengan sedikit ragu, Ina meraih ponselnya dan mengangkat telepon itu.Tidak ada suara. Hening. Ina menghembuskan napasnya, sebelum membuka suara. “Halo....”Diam tidak ada jaw
Selama menunggu Ina, Amir hanya menatap kamera layar ponselnya dengan pasrah. Ah, dirinya jadi butuh pelampiasan malam ini. Sepertinya ia harus mandi malam. Sedangkan di sisi lain, Ina yang masih berada di depan lemari tersenyum miring. Sepertinya ia bisa menggoda suaminya itu dengan sedikit pakaian nakal, lagipula ia memiliki beberapa lingeria. Batinnya. Setelah mengambil salah satu lingeria berwarna hitam yang menggantung di dalam lemari, Ina langsung membawanya ke kamar mandi. Ina terkikik, menyadari betapa nakalnya ia malam ini. Baru membayangkan wajah suaminya itu saja sudah membuat Ina tertawa terbahak dalam hati. Dan tidak sabar untuk menjalankan aksinya. Ina menatap dirinya pada cermin, dan menarik karet kuncirnya–membiarkan surai hitamnya tergerai bebas. Tangan kanannya meraih sebuah pelembab bibir, lalu mengoleskannya sedikit, agar bibirnya terlihat berkilau. Setelah selesai, dirasa dirinya cukup cantik, Ina berjalan pelan menuju meja yang berada di dekat jendela. Ina se
Percintaan panas yang terjadi kini telah usai sejak beberapa menit yang lalu. Sekarang, baik Ina maupun Amir tidak ada yang membuka suara. Keduanya menenggelamkan tubuhnya di balik selimut sampai leher, keduanya berhadapan dengan memberikan sedikit jarak. Amir mengangkat tangannya, meletakkan tepat di atas surai Ina lalu menyingkirkan beberapa anak rambut yang menutupi wajah cantiknya. “Capek?” tanya Amir pelan.Ina menggerakkan sedikit tubuhnya, mengangguk. “Kamu kayak orang kelaperan nggak dikasih makan satu minggu tahu nggak.”“Lah kan memang,” kekeh Amir tersenyum menggoda membuat Ina memutar bola matanya.“Untung aku bisa ngimbangin kamu.” “Kamu kan memang yang terbaik,” puji Amir mengusap pipi Ina. “Ai, ada yang mau aku ceritain ke kamu.” “Apa?” tanya Ina menaikkan sebelah alisnya. Amir menghembuskan napasnya, “Janji tapi jangan marah ya?”“Memangnya apa sih? Penasaran aku, sampe harus janji segala,” balas Ina mengerutkan kening.“Ya pokoknya. Janji dulu jangan marah,” kata A
Ina memeluk lengan tangan Amir, keduanya baru saja turun dari mobil–melangkahkan kakinya memasuki rumah. Tapi langkah Amir terhenti, ketika sorot matanya menangkap sebuah kotak coklat di dekat pintu, sontak Ina pun ikut berhenti melangkahkan kakinya, mengikuti arah pandang Amir. “Paket,” gumam Ina mulai mendekat, tapi Amir menahannya.“Bentar, kamu pesen sesuatu?” tanya Amir menatap Ina. Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Yaudah kalo gitu, aku aja yang lihat. Kamu diem di sini,” lanjutnya membuat Ina mengangguk patuh.Amir berjongkok, lalu meraih kotak coklat itu. “Aneh, nggak ada nama pengirimnya. Atau apa pun itu.”“Coba buka, ai,” kata Ina.“Kita masuk dulu aja, buka di dalem.”“Tapi kalo isinya aneh-aneh gimana. Udah di luar aja,” kata Ina takut.“Kalem, ada aku,” balas Amir mengedipkan sebelah matanya–berniat untuk mencairkan suasana.“Tapi....”“Nggak ada yang perlu ditakutin,” balas Amir dengan cepat–menarik pergelangan tangan Ina mengajaknya masuk.Mereka duduk di atas sofa,