Nomor ini kan tidak ada yang tahu selain Om Sahid? Dan ternyata benar, tampak di layar nama Om Sahid. "Riana, Liana sakit, Run. Kondisinya memburuk. Tadi Om ke rumahnya dan ternyata mereka semua sedang ke rumah sakit mengantar Liana.""Ya Allah, rumah sakit mana, Om?" Mataku memanas lagi. "Medika Permata."Tanpa menutup panggilan dari Om Sahid, aku langsung bergegas ke rumah sakit malam itu juga. ***Transportasi online yang kunaiki melaju cepat membelah suasana malam jakarta. Beruntung saat itu kondisi jalanan sedang sepi. Hanya dalam waktu kurang dari satu jam aku sudah tiba di tempat Liana dirawat. Gedung berlantai tiga dengan dinding didominasi warna hijau tosca itu berdiri angkuh menyambut kedatanganku. Aroma cairan antiseptik seketika merasuk ke penciuman. Suasana yang sepi semakin menambah riak perasaanku semakin bergejolak. Kuhirup napas dalam beberapa kali lalu menghembuskanya perlahan. Tenanglah Riana. Liana pasti baik-baik saja. ***"Maaf, Sus. Boleh saya tanya mengena
Selamat membaca. Semoga suka, ya. ***Tak ada lagi sebutan mama padanya seperti yang selama ini kulakukan. Rasa seganku padanya tiba-tiba saja hilang tanpa bekas. "Ingat Nyonya, suatu hari nanti, saya akan kembali untuk merebut Liana dan Mas Daffi lagi. Saya akan membuat anda menyesal karena telah memperlakukan saya seperti ini!" ucapku tajam tepat di depan wajah Mama Juwita. Mama Juwita terus mengeluarkan sumpah serapah sambil terus berteriak."Friska, cepat usir wanita monster ini dari sini! Dan jangan biarkan ia datang lagi!""Sudah cepat sana pergi Riana! Jangan sampai kau membuat Liana terbangun! Untung saja tadi suster baru memberikan dia obat tidur karena dia mengeluh tidak bisa tidur seharian ini." Friska menarik kasar tanganku sambil mendorongku keluar. "Iya, Fris, kau tidak perlu mengusirku. Ini aku juga udah mau pergi!"Kusempatkan untuk memandangi wajah Liana yang masih tertidur. Liana, ibu janji, suatu saat nanti, ibu akan merebutmu dari tangan mereka! ***"Kau sudah
"Trus nanti kalau dia lihat Riana di sini gimana, Om? Riana masih belum siap ketemu dia." Om Sahid seketika mematikan panggilan. Ia lalu menyandarkan tubuh di atas kursi kerja dengan kepala beralas tangan. "Kamu itu harus berani menghadapi dia, dong, Ri. Jangan sembunyi terus kayak gini." Iya Om, Riana tau. Riana cuma masih butuh waktu, entah sampai kapan. ***"Hebat lo, Ri. Jarang, lho, ada siswa yang bisa dapat nilai sempurna dari pengacara Sahid Anwar. Dia itu kan terkenal susah kalau ngasih nilai." Ginting, sesama siswa PKPA menghampiri. Aku tersenyum kecil menanggapi kalimat Ginting barusan. Fakta tersebut memang sudah lama kuketahui. Hal yang malah membuatku merasa tertantang untuk bisa menaklukkan soal yang akan Om Sahid keluarkan. "Biasa aja, kok, Gin. Banyak yang lebih hebat."Tak lama kemudian, Om Sahid tiba-tiba menghampiri aku dan Ginting yang saat itu sedang berada di lobby hotel tempat diselenggarakannya PKPA. "Ri, yuk! Om nanti masih ada sidang lagi," ajak Om Sahid
"Ri, kau sudah mau pulang? Kalau iya, pulang saja duluan, Om masih ada meeting sama Mentri KumHam.""Iya, Om, sebentar lagi. Masih ada kasus yang harus dipelajari untuk sidang besok."Sejak lulus dari PKPA dan memperoleh sertifikasi sebagai pengacara aku kembali diminta Om Sahid untuk masuk menjadi salah satu timnya. Awalnya aku menolak, ingin bekerja di tempat yang lain saja. Karena kalau terlalu sering berada di kantor Om Sahid, kan, kemungkinan untuk bertemu Mas Daffi jadi semakin besar. Yah, sampai sekarang aku masih belum siap jika suatu hari nanti aku bertemu dengannya, padahal urusan perceraian kami juga belum selesai. Hatiku masih terluka karena perlakuannya dulu. Selama ini aku hanya bisa diam-diam mengamati Liana dari jauh saja tanpa sepengetahuan dari Mas Daffi. "Kasus apa? Ada yang perlu Om bantu?" keryitnya. "Biasa, Om. Kasus perceraian selebriti.""Oh, kalau itu, bisa lah kau tangani sendiri. Ya sudah, om duluan ya.""Iya, Om."Tak lama setelahnya, terdengar suara seseo
"Eh, Ri, jadinya si Daffi udah nanda tangani surat cerai? Kapan kalian mulai sidang?""Belum, Fif. Ga tau tuh, padahal udah lewat setahun, trus katanya si, dia juga udah nikah lagi sama Friska.""Hah, kok bisa?" Rafif mengalihkan pandangan ke arahku. Aku mengendikkan bahu. "Om Sahid bilang, nunggu surat itu ditandatangani Mas Daffi dulu, baru daftar ke pengadilan agama. Kayaknya si dia memang sengaja nunda prosesnya, biar gue sama Mas Daffi ga jadi cerai."Rafif mengangguk paham. "Tapi kalau elo-nya sendiri gimana? Memangnya beneran lo mau cerai sama Daffi? Nanti anak lo gimana?""Ga tau, ah, Fif. Udah ya, kita ga usah bahas itu terus," ucapku lalu mengerucutkan mulut. Jujur, membicarakan Mas Daffi dan Liana membuat perasaanku gerimis lagi. Aku tidak ingin kalau Rafif sampai melihatku menangis. "Lagian katanya tadi elo mau konsultasi, kok malah gue sih yang diinterogasi."Rafif tertawa lagi. Kelihatannya dia sedang bahagia. Kuperhatikan sejak tadi, ia sering sekali tersenyum. ***Kam
Selamat membaca. Ditunggu vote dan komennya ya Sahabat. Terima kasih. ***"Apa? Jadi dulu aku bebas, karena bantuan kamu, Ri? Dan karena aku juga, wajahmu jadi seperti itu!" seru Mas Daffi yang tiba-tiba sudah berada di dalam ruangan Om Sahid. "Daffi? Kenapa tiba-tiba bisa ada di sini? Katamu nanti sore baru kau bisa datang?" tanya Om Sahid yang juga tampak sangat terkejut akan kehadiran Mas Daffi di ruangannya. "Iya, Om. Rapat pagi ini dibatalkan. Jadi kuputuskan untuk langsung ke sini. Yah, niatnya sih memberi sedikit kejutan pada, Om. Eh, malah aku yang mendapat kejutan." Sambil bicara, manik mata Mas Daffi terus menatap tajam ke arahku. Baru kusadari bahwa selama tujuh tahun kami menikah, baru kali ini ia sudi untuk menatap wajahku lebih dari lima menit. "Sebelumnya maaf, Om. Aku, ga, kasih kabar dulu. Aku yakin sih, Om pasti belum ada acara sepagi ini, makanya aku PD pasti ketemu sama, om."Om Sahid menghela napasnya. "Sini, Kau! Duduk sini! Ri, tolong kau sediakan minum untuk
Selamat membaca. Semoga suka ya. Ditunggu komentarnya. ***Hah? Apa katanya tadi? Dia itu sedang mengigau atau apa? Kenapa tiba-tiba sikapnya berubah 180 derajat begitu? Baru juga setahun kami tidak bertemu. "Kamu ... gimana kabarnya, Ri? Kenapa selama ini tidak pernah menghubungiku? Setahun kemarin hampir setiap hari aku mencarimu kemana-mana, tapi ternyata kita malah ketemu di kantor Om Sahid. Perasaan setiap satu bulan sekali aku berkunjung ke sana, tapi tidak pernah sekalipun melihatmu," ocehnya panjang lebar. Ya jelas saja kau tidak pernah melihatku, karena setiap kali kau datang aku akan sembunyi atau pergi dari kantor. Lagian untuk apa dia mencariku, bukankah seharusnya dia senang kalau aku pergi? "Baik, kabarku baik. Yah, beginilah. Seperti yang Mas bisa lihat sendiri.""Syukurlah. Oh iya, Ri, kok, aku baru tau kalau sekarang kamu jadi pengacara? Memangnya kapan kamu kuliah hukum?"Yah, Mas. Apa si, yang kamu tau tentang aku? Aku sudah bergelar sarjana hukum sebelum menikah
"Apa? Kamu tau dari mana, Ri?""Waktu kemarin aku menjenguk Liana di rumah sakit, Friska sendiri yang mengatakannya padaku."Mata Mas Daffi membulat. Tiba-tiba tangannya memegangi kepala. "Mas, Mas Daffi kenapa?"Ia hanya diam dan terus mengerang kesakitan. Pasti sakit kepalanya kambuh lagi. "Ayo, Mas, Riana bantu jalan ke mobil. Kita ke apartemen saja. Mas butuh istirahat." Mas Daffi tetap tidak menjawab, ia hanya menuruti semua perlakuanku. ***"Ini, Mas diminum dulu obatnya." Kuberikan sebutir obat berwarna hijau dan segelas air kepada Mas Daffi, kemudian membantunya untuk minum. Mas Daffi yang berbaring di sofa ruang tamu apartementku mencoba bangun. "Makasi, ya, Ri. Kamu memang yang paling tau apa yang kubutuhkan saat sakit kepalaku sedang kambuh."Mas Daffi lalu berbaring kembali. "Mas pasti kurang tidur. Pasti makan makanan yang asin-asin terus, makanya sakit kepalanya tiba-tiba dateng lagi."Mas Daffi hanya diam, lalu tersenyum. "Jadi waktu itu, kau sempat datang menjengu