Kasih Lembayung diminta Aziz, Abah dari suaminya menandatangani surat izin poligami untuk suaminya Faiq Hamzah. Bagaimana ia menjalani harinya saat dibandingkan dengan Zahratun Nahda, gadis cerdas, terpelajar dan hafidzah yang terikat perjodohan sepuluh tahun lalu dengan Faiq, suaminya. Walaupun Faiq menyatakan cintanya hanya untuk Kasih seorang. Namun saat sosok sesempurna Zahra menjadi madunya. Akankah hal itu, tetap akan sama?
View More"Maaf, Dek," ucap Faiq dengan suara pelan, tangannya terulur menyentuh pundak istrinya.
Mata Kasih terpejam, mencoba menahan perasaan yang menyakitkan. Kata-kata Faiq, alih-alih menenangkan, yang ada malah memperdalam luka di hatinya. "Aku mencintaimu, dan itu tidak akan pernah berubah, Sayang," bisik Faiq mendekat untuk merengkuh tubuh istrinya. Pelukannya membuat hati Kasih semakin lemah. Dipelukan pemilik segenap jiwanya tangisnya kian tersedu. Begitu dalam kesedihan yang ia rasakan. "Menangislah, Dek. Marahi suamimu yang pengecut ini ... tapi, jangan pernah meminta Mas pergi darimu. Mas enggak akan sanggup," pinta Faiq dengan suara bergetar. Penuh rasa bersalah. Tangis Kasih pecah, dan mereka menangis bersama, terjebak dalam pelukan yang menyayat hati. Bayangan hari-hari yang tak lagi sama menghantui mereka. Rasa yang dulu utuh, sebentar lagi harus terbagi. Tuhan, bersalahkah kami, kalau hanya ingin saling mencintai dan memiliki? . . Satu jam sebelumnya Hati Kasih berbunga-bunga saat melihat kedua orang tua Faiq datang berkunjung ke rumah kontrakan mereka. Sudah setahun kepulangan mereka dari Yaman, baru sekarang mereka berkunjung. Padahal kedua mertuanya tinggal di Jombang sementara Faiq mengontrak di Pare. Seingat Kasih, dirinya diajak berkunjung ke rumah mertuanya tiga kali. Pertama, ketika ia resmi menyandang status sebagai istri Faiq. Kasih diajak berkunjung sekalian pamitan ikut ke Yaman mendampingi Faiq melanjutkan studinya di negara tersebut tiga tahun lalu. Kunjungan kedua saat mereka tiba dari Yaman. Dan yang ketiga kalinya momens lebaran tiga bulan yang lalu. Kasih berfikir kehadiran Umar, putra mereka bisa disambut baik oleh bapak mertuanya, Aziz. Nyatanya tidak. . . Kasih menyambut kedua mertuanya dengan penuh hormat, lalu menyajikan hidangan yang sudah dipersiapkan sejak pagi. Faiq telah memberitahukan bahwa orang tuanya akan datang hari ini, dan Kasih merasa sangat bahagia. Mungkin ini adalah jawaban dari doa-doanya selama ini, kedua mertuanya menerima dirinya sebagai bagian dari keluarga Hamzah. Namun, harapan itu seketika sirna ketika bapak mertua mengajukan permintaan yang menghancurkan asanya. "Langsung saja, tanda tangani surat izin poligami untuk Faiq. Kamu harus ikhlas, Faiq menikah lagi, dengan wanita pilihan kami," ucap Aziz dengan tegas, tanpa sedikit pun rasa iba ia menyodorkan map yang berisi surat pernyataan kesediaan Kasih menerima pernikahan kedua suaminya nanti. Kasih merasakan tubuhnya bergetar hebat, seolah tersambar petir. Pandangannya berpindah dari bapak mertua, ibu suaminya hingga Faiq, mencari jawaban yang tak pernah ia harapkan. "Perjodohan mereka sudah kami rencanakan sepuluh tahun lalu, sebelum Faiq ingkar dan menikahimu," lanjut Aziz tanpa belas kasihan. Kata-katanya semakin menambah luka di hati Kasih. Ia tahu sejak awal bahwa bapak mertuanya adalah yang paling menentang hubungan mereka. Kasih berusaha menahan tangis, namun kalimat Aziz begitu keras menusuk. "Kami tidak pernah menghalangi kebahagiaan kalian, meski kami tidak menyukaimu ...." Gamblang dan jelas, seolah menegaskan bahwa Kasih tak pernah diinginkan dalam keluarga mereka. "Faiq harus menjalani takdirnya, menikah dengan Zahra," ucap Aziz dingin. Nama itu, Zahra, berputar-putar di kepala Kasih. Siapa Zahra? Nama yang cantik dan terdengar begitu sempurna. Aziz melanjutkan, "Dia putri bibinya Faiq, hafidzah, alumni Muqadasah Gontor, dan sedang menyelesaikan tesisnya. Begitu selesai, pernikahan mereka akan segera dilaksanakan." Kebanggaan yang tersirat di setiap kata bapak Faiq membuat Kasih merasa semakin kerdil. "Kamu tentu tahu, Faiq juga alumni Gontor hingga kemudian mendapat beasiswa kuliah di Yaman. Sejatinya mereka berdua sudah kami persiapkan sedemikian rupa. Supaya bisa saling membahu membangun pondok di Lampung. Namun, Faiq memilihmu di tengah jalan." Kasih hanya bisa terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Hatinya kebas, tak ada lagi yang bisa ia andalkan untuk membela dirinya, apalagi menolak permintaan itu. "Kami sudah membicarakan hal ini dengan Faiq. Dia hanya butuh persetujuanmu," ujar Afiah dengan suara lebih lembut, mencoba memberi pengertian. Namun, hati Kasih sudah terlanjur terluka. "Aku tak memintamu meninggalkan Faiq, apa itu tidak cukup?" sergah Aziz terlihat jengkel melihat Kasih hanya menangis tanpa menjawab. Faiq beranjak berdiri menghampiri Kasih yang duduk di sebelah umminya. "Abah, beri Kasih waktu. Jangan memaksanya seperti ini." Suaranya tegas, dan setidaknya untuk sesaat, Kasih merasakan dukungan dari suaminya. Tetapi nyatanya tangis Kasih tidak membuat Aziz mengurungkan maksud kedatangannya ke kontrakan putra sulungnya tersebut. Apa yang telah ia siapkan dan inginkan. Itulah yang terjadi. Tangis Kasih semakin dalam. Doa dan air matanya takkan bisa mengubah garis takdir. Jika memang takdirnya harus dimadu, Kasih hanya bisa memohon agar hatinya dilapangkan. Di kamar, Faiq duduk di tepi ranjang, memandang tempat itu yang menjadi saksi bisu kebahagiaan mereka. "Ini berat juga buat Mas, Sayang," ucapnya penuh kesedihan. Kasih terisak lagi, membayangkan akan ada ranjang lain yang harus ditempati oleh suaminya. Faiq mulai bercerita tentang latar belakang keluarganya, tentang bagaimana keluarganya dulu hidup dalam kesulitan, hingga akhirnya datang bantuan dari bibinya (Aini sepupu Aziz). Aini bersuamikan orang terpandang, dermawan yang di mana sedang merintis pesantren di Lampung. Perjodohan dengan Zahra adalah bentuk balas budi, dan Faiq merasa tidak punya pilihan lain. Air mata Kasih terus mengalir. Rupanya segala sesuatunya sudah direncanakan, jauh sebelum kehadirannya dalam hidup Faiq. Dan, sekarang Kasih melihat dirinya tak lebih hanya menjadi penghalang harapan dan bersatunya keluarga besar suaminya. Akhirnya dengan hati yang dipaksa ikhlas, Kasih Lembayung menandatangani surat persetujuan poligami untuk suaminya, Faiq Hamzah.Sampai salam ketiga tidak juga ada jawaban, Faiq Hamzah memutuskan membuka pintu, ternyata tidak terkunci. Suasana tampak lengang, beberapa mainan Umar berserakan, sebuah sapu teronggok di pojok dinding. Pertanda bersih-bersih rumah belum tuntas. Melihat kamar tertutup rapat, dapur nampak terang. Ia segera ke dapur. Ada rajangan buncis di wadah, bawang merah-putih yang telah dikupas, potongan wortel masih berada di atas talenan, dan tiga potong tahu terendam di mangkok. Sepertinya mau masak sayur, pikir Faiq. "Kasih kemana?" gumamnya. Faiq bergegas ke halaman belakang, karena pintu dapur terbuka. Siapa tahu, sedang memetik daun salam. Namun, ia tidak juga menemukan istrinya. Tiba-tiba terdengar langkah berat, tampak Kasih sedang berjalan terhuyung. Tangannya meräba dinding samping pintu kamar, supaya tidak limbung. Faiq segera menghampirinya. "Dek," panggilnya, meraih tubuh Kasih yang mulai ke
"Assalamualaikum, Abah, Umi," sapa Kasih dengan suara bergetar begitu mendapati kedua mertuanya berdiri di teras."Waalaikum salam," balas Afiah sementara Aziz hanya menggumam."Mari masuk, saya baru dari tempat Mbah Mi untuk memijatkan Umar." Kasih memutar kunci, membuka pintu, mempersilakan kedua mertuanya masuk."Biar umi yang gendong Umar, Sih.""Nggih Mi, agak demam Umar dari kemarin," ujar Kasih seraya melepaskan simpul selendang di punggungnya. Sedangkan Afiah memegang tubuh cucunya."Innalillahi... Sudah ke dokter, Sih?" Afiah meräba kening Umar."Belum sempat Mi, semalam saya kompres.""Sudah tahu, demam malah dipijet! Mau bilang pendidikan tinggi itu, enggak penting. Nyatanya hal sepele seperti ini saja, kamu enggak tahu," sengah Aziz dengan suara datar namun begitu menusuk Kasih."Sebentar nggih, Mi. Saya ke belakang dulu ... oh, iya Abah dan Umi mau minum teh atau kopi?""Enggak usah repot, kita
Sekarang, di tengah malam yang dingin, Faiq merindukan Kasih dan anak mereka, Umar. Ia membuka galeri di ponselnya, menelusuri foto-foto keluarga kecilnya. Ia mencari kedamaian di antara kegundahan hatinya.Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Faiq menemukan pesan di aplikasi WhatsApp yang menunjukkan bahwa nomor Kasih telah dikirim ke kontak Abahnya.“Kok bisa?” Faiq merasa curiga.Pertanyaan demi pertanyaan terus berkelindang dalam pikiran Faiq. Ia segera menelepon Mutia, adiknya, untuk mencari tahu. Diliriknya jarum jam di angka satu, panggilan berulang ia lakukan.Panggilan keempat kalinya, baru dijawab Mutia. Faiq langsung melontarkan pertanyaan tajam, "Mutia, selama acara ponsel Mas Faiq kamu yang pegang. Apakah kamu yang kirim nomor Kasih ke Abah?" tanya Faiq penuh penekanan."Maaf, Mas ... Abah yang minta nomer Kasih," jawab Mutia dengan suara ragu."Untuk apa?" Faiq merasa cemas."A-Abah ....""Iya, Abah m
Malam itu, setelah Umar tertidur, Kasih membereskan mainan yang berserakan di kamar, memeriksa pintu dan jendela, dan mematikan lampu ruang tamu. Ketika hendak beristirahat, ponselnya berbunyi.Ting... Ting...Beberapa pesan dari nomor tak dikenal masuk. Ada satu video dan beberapa foto. Dengan rasa penasaran, Kasih membuka satu per satu file yang dikirim.Foto pertama menampilkan pesta pernikahan. Keluarga besar Faiq berdiri rapi, tersenyum bahagia bersama Faiq dan Zahra yang tampak sebagai mempelai. Pandangan Kasih tertuju pada Zahra, mempelai wanita yang mengenakan gaun mewah terlihat sangat anggun.Foto berikutnya memperlihatkan Zahra dan Faiq memamerkan buku nikah mereka. Wajah Kasih memucat, namun ia terus membuka foto demi foto.Kasih mendowload video yang sebenarnya bisa ia perkirakan isinya. Benar saja, saat terputar video tersebut berisi ijab kabul. Faiq tampak mantap mengucapkannya. Doa dan restu dari para tamu undangan terdeng
Kasih terisak sambil menyeka air matanya yang tak kunjung reda. Tangan kecil Umar mencoba meraih wajahnya, seolah ingin memberikan penghiburan dengan sentuhan lembutnya.Kasih mencium tangan mungil itu berkali-kali, menahan gejolak hatinya. "Maafkan ibu, Nak," bisiknya.Keadaan psikis Kasih benar-benar berada di titik terendah, memengaruhi produksi ASI yang ia berikan untuk Umar. Walau sudah dikenalkan MPASI untuk putranya yang berumur delapan bulan itu. Namun, tetap ASI ibunya yang dicari setiap lapar maupun haus.Karena menyadari hal itulah, Kasih bergegas ke dapur, mencoba mengalihkan segala hal yang menjadi beban pikirannya. Perempuan yang dipersunting Faiq tiga tahun lalu itu, mengayunkan langkah menuju kulkas yang berseberangan dengan kompor di dapurnya.Kasih mengambil sayur segar yang masih tersisa dalam box kulkas paling bawah. Ia mengambil sayur pare, tempe yang tinggal separuh. Kasih mulai mengiris tipis tempe, merajang pare d
"Maaf, Dek," ucap Faiq dengan suara pelan, tangannya terulur menyentuh pundak istrinya.Mata Kasih terpejam, mencoba menahan perasaan yang menyakitkan. Kata-kata Faiq, alih-alih menenangkan, yang ada malah memperdalam luka di hatinya."Aku mencintaimu, dan itu tidak akan pernah berubah, Sayang," bisik Faiq mendekat untuk merengkuh tubuh istrinya.Pelukannya membuat hati Kasih semakin lemah. Dipelukan pemilik segenap jiwanya tangisnya kian tersedu. Begitu dalam kesedihan yang ia rasakan."Menangislah, Dek. Marahi suamimu yang pengecut ini ... tapi, jangan pernah meminta Mas pergi darimu. Mas enggak akan sanggup," pinta Faiq dengan suara bergetar. Penuh rasa bersalah.Tangis Kasih pecah, dan mereka menangis bersama, terjebak dalam pelukan yang menyayat hati.Bayangan hari-hari yang tak lagi sama menghantui mereka. Rasa yang dulu utuh, sebentar lagi harus terbagi.Tuhan, bersalahkah kami, kalau hanya ingin saling mencintai dan memiliki?..Satu jam sebelumnyaHati Kasih berbunga-bunga s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments