Home / Rumah Tangga / Ketika Hati Lelaki Mendua / Part 6 Hati Seorang Perempuan

Share

Part 6 Hati Seorang Perempuan

last update Last Updated: 2022-05-26 19:14:57

"Andra sudah balik, ya?" tanya Lia pada Marina, ketika wanita itu bertemu saat menjemput anak-anak pulang sekolah. Mereka duduk di halte depan sekolahan.

"Sudah."

"Kapan?"

"Kemarin."

"Kamu ini bisanya anteng begini jauhan sama suami. Nggak takut suami nyabang sama yang lain? Yang ditunggui aja bisa belok arah apalagi yang berjauhan."

Marina menggeleng sambil tersenyum. "Nggak mungkin Mas Andra melakukan itu. Dia mau nyari yang kayak gimana lagi."

"Jangan ngremehin laki-laki. Sejelek apapun dia, pasti laku. Apalagi kayak Andra. Tampan, gagah, dan karirnya juga bagus. Kalau aku jadi kamu, kuikuti terus ke mana dia pergi."

Marina termenung. Ada yang membuat hatinya tersentil. Hati kecilnya mulai risau mendengar ucapan temannya. Selama ini dia tidak kepikiran sampai ke situ. Bahkan nasehat mertuanya juga di abaikan. Dia percaya diri bahwa semua akan baik-baik saja. Dia cantik, kaya, dan Andra mesti berpikir berulang kali untuk mendua. Apa tidak takut, jika label menjadi menantu orang kaya lepas begitu saja.

"Lakimu itu masih muda. Apa mungkin bisa tahan nggak begituan dalam waktu berbulan-bulan. Bulsyit itu, Rin. Laki butuh pendamping yang bisa berbagi dengannya. Nggak melulu soal ranjang. Dia butuh teman yang setiap saat mau berbagi cerita dengannya. Apalagi kalau kerjaannya menguras pikiran. Jangan sampai nyesel kalau dia tergoda oleh perhatian perempuan lain. Nangis darah juga percuma kalau hati suamimu terlanjur mendua."

Marina memandang sahabat yang duduk di sebelahnya. "Kamu jangan nakut-nakutin aku deh, Lia."

"Helloooo, siapa yang nakutin. Kita bicara secara realistis sajalah, Rin. Kalau Andra gila harta, sudah lama dia gabung sama bisnis keluarga kamu. Buktinya dia merintis sendiri kariernya. Dia lelaki yang punya harga diri." Lia memberikan penekanan pada kalimat terakhir. Sebab wanita itu sangat paham bagaimana keluarga Marina meremehkan Andra. Mereka bertiga berteman cukup lama. Jadi sudah banyak paham kehidupan mereka. Ibunya Lia juga teman baik mamanya Marina. Wanita sosialita itu sering membicarakan tentang kehidupan menantunya. Bahkan sempat bilang, jika dulu tidak begitu setuju memiliki menantu dari kalangan kelas bawah. Tapi papanya Marina meyakinkan istrinya, bahwa Andra bisa di manfaatkan karena memiliki kemampuan di atas rata-rata. Nyatanya Andra tidak mudah di pengaruhi. Pria itu bisa membaca gelagat mertua setelah menjadi menantunya. Makanya mereka melarang Marina ikut dengan suaminya.

"Kamu udah pernah kan nyusul Andra waktu dia sakit itu?"

Marina mengangguk.

"Apa tempat tinggalnya menyeramkan? Di tengah hutan? Nggak kan? Jadi menurutku salah kalau kamu menolak ikut. Gaji suamimu cukup buat menghidupi kalian. Pikirkan lagi sebelum kamu menyesal. Bagaimana kalau dia 'jajan' di luar? Atau malah menikah lagi?"

Pembicaraan mereka terhenti saat terdengar bunyi bel dan sebentar kemudian anak-anak kelas satu berhamburan keluar kelas. Kiki yang sudah hafal di mana biasanya sang mama menjemput berlari ke arah Marina. Bersama seorang anak lelaki, anaknya Lia. Nanti Amel pulang jam dua belas siang dan yang menjemput biasanya sopir.

Dalam perjalanan pulang sambil nyetir mobil, Marina kepikiran dengan ucapan sahabatnya. Padahal tidak kali ini saja Lia mengingatkannya. Sering malah. Tapi baru kali ini benar-benar mengena di benaknya. Ada rasa takut kehilangan, tapi di sisi lain enggan untuk tinggal di sana.

Sesampainya di rumah segera diambilnya ponsel yang tadi sengaja di tinggal. Di aplikasi pesan, suaminya terakhir online sepuluh menit yang lalu. Marina segera melakukan panggilan. Tidak menunggu lama, Andra menjawabnya. "Halo, Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam. Mas, lagi di kantor ini?"

"Iya. Mas lagi persiapan mau meeting sepuluh menit lagi. Ada apa? Kiki sudah pulang?"

"Sudah, barusan kujemput. Mas, sudah bicara dengan Pak Yusa? Bisa pindah kerja, nggak?"

"Belum sempat Mas bicara sama beliau. Kita harus membicarakan hal ini dengan serius. Mas akan pulang saat Amel ulang tahun bulan depan."

"Baiklah, aku tunggu."

"Mas meeting dulu, ya. Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam."

Marina meletakkan kembali ponselnya di atas meja rias. Orang tuanya pasti tetap pada larangan agar dirinya tidak boleh ikut suaminya. Sekarang bagaimana caranya agar Andra bisa pindah sesuai kemauannya. Kata-kata Lia tadi masih terngiang jelas di telinganya. Dia mengingat-ingat apa yang janggal pada Andra akhir-akhir ini. Ya, Andra tak lagi getol mengajaknya pindah. Kecuali kemarin, masih sempat bilang kalau misalnya Andra bisa pindah, apakah dirinya mau tinggal di rumah mereka?

💐💐💐

Inaya membuka bekalnya dari rumah. Tati pun sama, hari ini dia juga membawa bekal. Wanita itu memperhatikan wajah sahabatnya yang muram, padahal Andra sudah pulang. "Kamu kenapa?" tanya Tati.

"Nggak ada apa-apa."

"Nggak usah bohong. Wajahmu itu nggak bisa menipuku, Naya. Kita tuh berteman sejak lahir ke dunia. Aku paham kamu tuh bagaimana. Kamu ada masalah sama Mas Andra?"

"Nggak ada. Ayo, makanlah dulu. Nanti aku cerita." Inaya mulai menyuap nasinya. Pun begitu dengan Tati. Mereka tidak makan di kantin, tapi di dekat gudang belakang. Di sana juga ada beberapa pekerja yang sedang makan siang. Hanya saja duduk mereka berjarak. Mencari tempat nyaman masing-masing.

Setelah meneguk air putih di botol, Inaya menceritakan rencana kedatangan mama dari suaminya. Tentang kemarahan wanita itu pada putranya, juga keinginan untuk bertemu langsung dengan Inaya.

"Kamu takut?"

"Aku siap kok bertemu beliau. Apapun itu, aku tetap harus menghadapinya."

"Ya, kamu memang harus siap. Seorang ibu pasti kecewa anaknya menikah lagi diam-diam. Tapi jangan khawatir, meski aku dulu menentang keras keputusanmu menikah dengan Mas Andra, tapi aku selalu ada untukmu. Kamu jangan takut sendirian."

Inaya tersenyum dan terbaru. "Terima kasih, Ta," kata Inaya sambil memandang teman yang duduk berhadapan di tikar dengannya. Dia ingat saat Tati marah bahkan tidak menegurnya hampir sebulan gara-gara Inaya memutuskan menikah dengan Andra.

Dia teringat kata-kata sahabatnya itu. "Kamu masih muda, cantik, dan pintar. Menikahlah dengan pria yang masih single. Bukan menikah diam-diam dengan pria beristri, meski alasan kalian karena cinta setengah mati." Inaya juga teringat saat orang tuanya menentang keras, tapi ... sudahlah, tak perlu lagi mengingat hal itu. Sekarang yang harus di pikirkan adalah menghadapi badai yang siap menerjang. Sekarang mamanya Andra yang tahu, esok atau lusa bisa saja Marina dan keluarga besarnya yang tahu.

Bahkan dia harus siap ditinggalkan saat suaminya lebih memilih istri pertama dan anak-anaknya. Antara dirinya dan Andra hanya menikah siri, tak ada kekuatan hukum yang bisa membelanya. Inaya menarik napas dalam-dalam. Semua itu tidak luput dari perhatian Tati yang pura-pura sibuk menyimak ponselnya. Sungguh, dia iba dengan Inaya. Sahabatnya itu berhak bahagia dengan menjadi satu-satunya ratu di hati pria yang menikahinya. Bukan menjadi perempuan simpanan begini.

Penyesalan memang selalu datang belakangan. Walaupun mereka saling mencintai, tapi tidak bisa menjamin kalau mereka akan kekal bersama-sama.

"Naya, ayo kita sekalian Salat Zhuhur dulu. Masih ada waktu ini," ajak Tati sambil menepuk bahu sahabatnya. Inaya mengangguk dan mereka melangkah menuju mushola.

Next ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Julee
Setuju bangetttt
goodnovel comment avatar
Uci Jauhari
trnyta aq g kuat baca ny. bagi q wanita kedua ttp salah apapun alasan nya.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ketika Hati Lelaki Mendua    Part 65

    Malam itu langit bertabur bintang. Berkelipan di angkasa yang membentang luas. Cuaca agak gerah, khas hawa ibukota karena kepadatan penduduknya. Andra mengajak Inaya dan Amel makan malam di luar. Di sebuah restoran pinggiran kota yang menjadikan nasi liwet sebagai menu khasnya.Mereka menikmati makan malam dengan lahap. Nasi liwet berlaukkan sambal balado, pindang ikan kembung goreng, dan cumi asin petai. Amel sudah mulai bisa beradaptasi dan nyaman tinggal serumah dengan ibu tirinya yang sekarang di panggilnya dengan sebutan bunda. Wanita itu bisa menjadi pendengar yang baik bagi Amel. Inaya juga sangat berhati-hati bicara dan bersikap dengan putri tirinya, bagaimanapun juga mereka baru sekarang ini tinggal serumah. Dan tidak kesulitan buat wanita itu untuk dekat dengan Amel.Senyaman-nyamannya tinggal dengan ibu tiri, sudah pasti lebih nyaman tinggal dengan ibu kandung. Namun kehadiran putri dari Om Haris yang membuat Amel tidak selesa dan lebih memilih tinggal dengan sang papa. Wa

  • Ketika Hati Lelaki Mendua    Part 64 Forgive and Forget

    Malam merangkak naik. Rintik hujan mewarnai malam yang kian hening. Suara detak jam dinding mengiringi setiap embus napas dua insan yang sedang menciptakan nikmat yang bertahun-tahun tak pernah lagi di kecap. Sensasi luar biasa menjalar di seluruh aliran darah, menyatu dengan rasa yang tertumpah. Delapan tahun lalu, tubuh itu menjadi miliknya. Hanya Andra yang menyentuhnya. Ternyata masih juga terjaga hingga kembali di miliki."I love you," bisik Andra di tengah aktivitas mereka. Kalimat yang baru kali ini di ucapkan pria itu untuk Inaya. Kebersamaannya di pernikahan dulu, tak pernah pria itu mengumbar kalimat romantis untuknya. Justru di hadapannya, Andra sering menelepon Marina dengan ucapan mesra.Bahkan dirinya pernah sempat berpikir kalau hanya jadi sampingan saat Andra jauh dari istri pertamanya, jadi pelampiasan seks ketika sedang dibutuhkan. Namun tak pernah dia memprotesnya. Sejak memutuskan mau dinikahi, dia menempatkan diri menjadi orang ketiga yang harus nerimo.Inaya men

  • Ketika Hati Lelaki Mendua    Part 63

    Angin semribit menjelang sore menyambut rombongan pengantin pria saat turun dari kendaraan. Suasana rumah Pak Redjo lumayan ramai dengan kehadiran kerabat mereka dan para warga desa. Satu tenda ukuran besar berdiri megah di halaman rumah. Debar dada Andra makin terasa saat berpasang-pasang mata memandang ke arahnya. Disertai kasak-kusuk, entah bicara apa. Pasti tentang perjalanan hidupnya dengan Inaya. Biar saja, semua orang berhak berkomentar sesuai penilaiannya.Mereka di jamu masuk ke ruang tamu yang sudah di sulap dengan dekorasi yang sederhana. Karpet warna hijau terbentang dengan meja kecil di tengahnya. Andra menyalami petugas KUA yang sudah menunggunya dan siap melaksanakan tugasnya.Anak-anak berkumpul jadi satu di salah satu sudut ruangan setelah menyalami dan mencium tangan Pak Redjo dan Bu Siti. Amel, Kiki, dan Amir berangkulan penuh haru. Kemudian duduk bersama dengan sepupu dan anak-anaknya Tony.Seluruh perhatian yang hadir tertuju pada Inaya yang muncul dari ruang dala

  • Ketika Hati Lelaki Mendua    Part 62 Malam

    Amelia Side's StoryAmel berbaring menatap langit-langit kamarnya. Air mata haru mengalir dari sudut netra ingat saat di kabari kalau papanya akan menikah lagi.Tidak ada anak yang menginginkan orang tuanya berpisah. Tapi jika semuanya sudah terjadi, dia sebagai anak hanya bisa ridho menerima. Tidak ada anak yang ingin memiliki ayah tiri atau ibu tiri, tapi dia juga sadar, selain sebagai orang tua bagi anak-anaknya, mereka adalah manusia dewasa dan individu yang memiliki keinginan personal yang tidak bisa diberikan oleh seorang anak pada orang tuanya.Dia yang paling besar di antara kedua saudaranya, ketika perceraian papa dan mamanya terjadi. Jadi dia yang paling mengerti meski umurnya saat itu baru menginjak usia dua belas tahun.Apakah dia harus membenci papanya karena telah mendua, atau membenci mamanya dengan sikap egoisnya, atau membenci Inaya yang masuk menjadi orang ketiga? Jika terus mengingat peristiwa bertahun-tahun lalu itu hanya membuat pusaran dendam tak ada habisnya dal

  • Ketika Hati Lelaki Mendua    Part 61

    "Saya calon suaminya," sahut Andra cepat. Tidak peduli para karyawan dan beberapa pengunjung fokus memandangnya. Dahi Pak Halim mengernyit antara heran dan tidak percaya. Inaya juga tak kalah kagetnya. "Benar dia calon suamimu?" Inaya menjawabnya dengan semyum samar. Kemudian membantu pelayan memasukkan kaos ke dalam paper bag. "Maaf, Pak Halim. Saya harus pergi!" Jujur saja Inaya sebenarnya lebih was-was berhadapan dengan laki-laki berwajah timur tengah itu daripada berhadapan dengan pria lain yang berusaha mendekatinya. Pak Halim ini karakternya suka memaksa dan tak peduli dengan situasi di sekitarnya. Inaya bicara sejenak dengan karyawannya kemudian meraih tali tas yang di letakkannya di kursi, lantas bergegas menghampiri Andra.Pria itu paham dengan raut cemas yang ditunjukkan mantan istrinya. Andra bergegas membuka pintu kaca dan mereka keluar toko. Mobil melaju di tengah keramaian kota. Cuaca begitu cepat berubah, siang tadi mendung tapi sore ini langit lumayan cerah. "Laki-la

  • Ketika Hati Lelaki Mendua    Part 60 Lamaran di Suatu Senja

    Pagi itu Andra memesan kopi hitam pahit dan kental pada room service untuk mengusir rasa kantuknya. Sebab semalaman dia hanya bisa tidur beberapa jam saja. Entah pukul berapa dia mengirimkan pesan pada Inaya, tapi hanya di jawab, "Kita bicarakan besok saja, Mas." Padahal dirinya sudah tidak sabar menunggu esok hari.Sepiring nasi goreng di atas meja kamar hanya di makan sebagian. Ada bimbang yang melanda dalam dada. Sekarang Inaya sudah sukses secara finansial, tokonya berkembang, usaha konveksi ibunya juga berjalan baik. Tentunya dia sudah sangat nyaman dengan kondisinya. Apa mungkin kembali bersedia mengarungi hidup bersamanya? Bersama mantan yang dulu gagal membahagiakannya.Andra ingat perkataan mamanya tadi malam ketika ia di perjalanan pulang. Pria itu memberitahu kalau akan melamar kembali Inaya. Suara wanita di seberang terdengar bahagia, ketika sang putra mau kembali berumah tangga meski rujuk dengan mantan istrinya. "Kamu memang harus memikirkan perasaan anak-anak, tapi kamu

  • Ketika Hati Lelaki Mendua    Part 59

    "Siapa Halim?" tanya Andra cepat. Perasaannya mulai tak enak."Kekasih kamu?" Andra tidak sabar menunggu jawaban."Bukan. Hanya kenalan. Dia pemilik toko onderdil mobil depan itu." Inaya menunjuk toko besar yang kini sudah tertutup rapat."Perhatian sekali sampai ngirim-ngirim barang kayak gitu.""Ini cuma kue lapis. Sudah biasa dia bagi makanan buat karyawan toko.""Termasuk untuk bosnya, 'kan? Untuk menarik perhatian bos, biasanya akan mendekati anak buahnya lebih dulu." Andra benar-benar gusar, ketika Inaya tampak santai menjawab pertanyaannya. Pria itu mengajak Inaya masuk sebuah kafe yang sepi pengunjung, dengan harapan bisa segera di layani. Setelah mengambil tempat duduk, Andra mengirimkan pesan pada Muhlisin agar laki-laki itu tahu keberadaannya."Mau pesan apa, Mas?" Inaya menyodorkan buku menu pada Andra. Seorang pelayan sudah menunggu dengan sebuah nota di tangan."Chicken steak tanpa nasi sama jeruk hangat." "Saya juga sama, Mas." Inaya bicara pada pramusaji yang sedang m

  • Ketika Hati Lelaki Mendua    Part 58 Menunggu Hari Esok

    Siang itu Marina baru selesai makan siang dan minum obat. Kemarin sore dia keluar dari klinik. Sekarang di rumah di temani Amel dan seorang ART, karena mamanya kemarin langsung pulang. Sejak papanya terkena stroke, tidak bisa di tinggal lama-lama oleh sang mama. Tidak seperti dulu waktu masih sehat, bahkan tidak peduli Bu Cakra menginap hingga hitungan bulan di rumah anak-anaknya.Begitulah, semua baru terasa saat sedang membutuhkan atau di saat terkena musibah. Marina ingat bagaimana dulu Andra minta maaf dan memohonnya untuk bertahan. Dia juga ingat permintaan tulus dari seorang perempuan yang telah masuk dalam kehidupan dirinya dan Andra. Wanita yang mengalah karena sadar kalau dirinya hanya pihak ketiga. Namun dirinya malah ingin melihat mereka hancur.Kemarahannya memuncak setelah dia tahu kalau Inaya sedang hamil anak keduanya dengan Andra, padahal jarang sekali suaminya mendatangi madunya. Namun Tuhan menganugerahkan bayi di rahim perempuan itu sedangkan dia yang sebenarnya sa

  • Ketika Hati Lelaki Mendua    Part 57

    Muhlisin yang baru dari kamar mandi menghampiri Andra. Pria itu memberi kesempatan istirahat kepada sopirnya.Kesempatan itu Inaya menanyakan kabar tentang Bu Safitri dan keluarga Andra yang lain. Mereka berbincang hingga hampir jam tiga. Perutnya yang terasa perih membuatnya tersadar kalau belum makan siang."Kita makan siang dulu, kamu juga belum makan," kata Andra pada Inaya. "Sudah hampir jam tiga. Kita makan bakso di depan sana saja. Mau, nggak?" Andra menunjuk sebuah kedai bakso di seberang jalan depan masjid.Inaya mengangguk. "Terserah Mas Andra saja."Mereka bertiga melangkah menyeberang jalan. Mobil di tinggalkan di parkiran masjid. Andra mengajak Inaya dan Muhlisin mengambil tempat duduk lesehan luar. Pria itu memesang dua bakso untuk dirinya dan Inaya, satu mangkuk mie ayam untuk Muhlisin. Minumnya memesan tiga es jeruk. Muhlisin memilih duduk terpisah di pojok teras sambil bersandar pada tiang. Laki-laki itu sengaja membiarkan bos dan mantan istrinya punya kesempatan unt

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status