"Andra sudah balik, ya?" tanya Lia pada Marina, ketika wanita itu bertemu saat menjemput anak-anak pulang sekolah. Mereka duduk di halte depan sekolahan.
"Sudah.""Kapan?""Kemarin.""Kamu ini bisanya anteng begini jauhan sama suami. Nggak takut suami nyabang sama yang lain? Yang ditunggui aja bisa belok arah apalagi yang berjauhan."Marina menggeleng sambil tersenyum. "Nggak mungkin Mas Andra melakukan itu. Dia mau nyari yang kayak gimana lagi.""Jangan ngremehin laki-laki. Sejelek apapun dia, pasti laku. Apalagi kayak Andra. Tampan, gagah, dan karirnya juga bagus. Kalau aku jadi kamu, kuikuti terus ke mana dia pergi."Marina termenung. Ada yang membuat hatinya tersentil. Hati kecilnya mulai risau mendengar ucapan temannya. Selama ini dia tidak kepikiran sampai ke situ. Bahkan nasehat mertuanya juga di abaikan. Dia percaya diri bahwa semua akan baik-baik saja. Dia cantik, kaya, dan Andra mesti berpikir berulang kali untuk mendua. Apa tidak takut, jika label menjadi menantu orang kaya lepas begitu saja."Lakimu itu masih muda. Apa mungkin bisa tahan nggak begituan dalam waktu berbulan-bulan. Bulsyit itu, Rin. Laki butuh pendamping yang bisa berbagi dengannya. Nggak melulu soal ranjang. Dia butuh teman yang setiap saat mau berbagi cerita dengannya. Apalagi kalau kerjaannya menguras pikiran. Jangan sampai nyesel kalau dia tergoda oleh perhatian perempuan lain. Nangis darah juga percuma kalau hati suamimu terlanjur mendua."Marina memandang sahabat yang duduk di sebelahnya. "Kamu jangan nakut-nakutin aku deh, Lia.""Helloooo, siapa yang nakutin. Kita bicara secara realistis sajalah, Rin. Kalau Andra gila harta, sudah lama dia gabung sama bisnis keluarga kamu. Buktinya dia merintis sendiri kariernya. Dia lelaki yang punya harga diri." Lia memberikan penekanan pada kalimat terakhir. Sebab wanita itu sangat paham bagaimana keluarga Marina meremehkan Andra. Mereka bertiga berteman cukup lama. Jadi sudah banyak paham kehidupan mereka. Ibunya Lia juga teman baik mamanya Marina. Wanita sosialita itu sering membicarakan tentang kehidupan menantunya. Bahkan sempat bilang, jika dulu tidak begitu setuju memiliki menantu dari kalangan kelas bawah. Tapi papanya Marina meyakinkan istrinya, bahwa Andra bisa di manfaatkan karena memiliki kemampuan di atas rata-rata. Nyatanya Andra tidak mudah di pengaruhi. Pria itu bisa membaca gelagat mertua setelah menjadi menantunya. Makanya mereka melarang Marina ikut dengan suaminya."Kamu udah pernah kan nyusul Andra waktu dia sakit itu?"Marina mengangguk."Apa tempat tinggalnya menyeramkan? Di tengah hutan? Nggak kan? Jadi menurutku salah kalau kamu menolak ikut. Gaji suamimu cukup buat menghidupi kalian. Pikirkan lagi sebelum kamu menyesal. Bagaimana kalau dia 'jajan' di luar? Atau malah menikah lagi?"Pembicaraan mereka terhenti saat terdengar bunyi bel dan sebentar kemudian anak-anak kelas satu berhamburan keluar kelas. Kiki yang sudah hafal di mana biasanya sang mama menjemput berlari ke arah Marina. Bersama seorang anak lelaki, anaknya Lia. Nanti Amel pulang jam dua belas siang dan yang menjemput biasanya sopir.Dalam perjalanan pulang sambil nyetir mobil, Marina kepikiran dengan ucapan sahabatnya. Padahal tidak kali ini saja Lia mengingatkannya. Sering malah. Tapi baru kali ini benar-benar mengena di benaknya. Ada rasa takut kehilangan, tapi di sisi lain enggan untuk tinggal di sana.Sesampainya di rumah segera diambilnya ponsel yang tadi sengaja di tinggal. Di aplikasi pesan, suaminya terakhir online sepuluh menit yang lalu. Marina segera melakukan panggilan. Tidak menunggu lama, Andra menjawabnya. "Halo, Assalamu'alaikum.""W*'alaikumsalam. Mas, lagi di kantor ini?""Iya. Mas lagi persiapan mau meeting sepuluh menit lagi. Ada apa? Kiki sudah pulang?""Sudah, barusan kujemput. Mas, sudah bicara dengan Pak Yusa? Bisa pindah kerja, nggak?""Belum sempat Mas bicara sama beliau. Kita harus membicarakan hal ini dengan serius. Mas akan pulang saat Amel ulang tahun bulan depan.""Baiklah, aku tunggu.""Mas meeting dulu, ya. Assalamu'alaikum.""W*'alaikumsalam."Marina meletakkan kembali ponselnya di atas meja rias. Orang tuanya pasti tetap pada larangan agar dirinya tidak boleh ikut suaminya. Sekarang bagaimana caranya agar Andra bisa pindah sesuai kemauannya. Kata-kata Lia tadi masih terngiang jelas di telinganya. Dia mengingat-ingat apa yang janggal pada Andra akhir-akhir ini. Ya, Andra tak lagi getol mengajaknya pindah. Kecuali kemarin, masih sempat bilang kalau misalnya Andra bisa pindah, apakah dirinya mau tinggal di rumah mereka?💐💐💐Inaya membuka bekalnya dari rumah. Tati pun sama, hari ini dia juga membawa bekal. Wanita itu memperhatikan wajah sahabatnya yang muram, padahal Andra sudah pulang. "Kamu kenapa?" tanya Tati."Nggak ada apa-apa.""Nggak usah bohong. Wajahmu itu nggak bisa menipuku, Naya. Kita tuh berteman sejak lahir ke dunia. Aku paham kamu tuh bagaimana. Kamu ada masalah sama Mas Andra?""Nggak ada. Ayo, makanlah dulu. Nanti aku cerita." Inaya mulai menyuap nasinya. Pun begitu dengan Tati. Mereka tidak makan di kantin, tapi di dekat gudang belakang. Di sana juga ada beberapa pekerja yang sedang makan siang. Hanya saja duduk mereka berjarak. Mencari tempat nyaman masing-masing.Setelah meneguk air putih di botol, Inaya menceritakan rencana kedatangan mama dari suaminya. Tentang kemarahan wanita itu pada putranya, juga keinginan untuk bertemu langsung dengan Inaya."Kamu takut?""Aku siap kok bertemu beliau. Apapun itu, aku tetap harus menghadapinya.""Ya, kamu memang harus siap. Seorang ibu pasti kecewa anaknya menikah lagi diam-diam. Tapi jangan khawatir, meski aku dulu menentang keras keputusanmu menikah dengan Mas Andra, tapi aku selalu ada untukmu. Kamu jangan takut sendirian."Inaya tersenyum dan terbaru. "Terima kasih, Ta," kata Inaya sambil memandang teman yang duduk berhadapan di tikar dengannya. Dia ingat saat Tati marah bahkan tidak menegurnya hampir sebulan gara-gara Inaya memutuskan menikah dengan Andra.Dia teringat kata-kata sahabatnya itu. "Kamu masih muda, cantik, dan pintar. Menikahlah dengan pria yang masih single. Bukan menikah diam-diam dengan pria beristri, meski alasan kalian karena cinta setengah mati." Inaya juga teringat saat orang tuanya menentang keras, tapi ... sudahlah, tak perlu lagi mengingat hal itu. Sekarang yang harus di pikirkan adalah menghadapi badai yang siap menerjang. Sekarang mamanya Andra yang tahu, esok atau lusa bisa saja Marina dan keluarga besarnya yang tahu.Bahkan dia harus siap ditinggalkan saat suaminya lebih memilih istri pertama dan anak-anaknya. Antara dirinya dan Andra hanya menikah siri, tak ada kekuatan hukum yang bisa membelanya. Inaya menarik napas dalam-dalam. Semua itu tidak luput dari perhatian Tati yang pura-pura sibuk menyimak ponselnya. Sungguh, dia iba dengan Inaya. Sahabatnya itu berhak bahagia dengan menjadi satu-satunya ratu di hati pria yang menikahinya. Bukan menjadi perempuan simpanan begini.Penyesalan memang selalu datang belakangan. Walaupun mereka saling mencintai, tapi tidak bisa menjamin kalau mereka akan kekal bersama-sama."Naya, ayo kita sekalian Salat Zhuhur dulu. Masih ada waktu ini," ajak Tati sambil menepuk bahu sahabatnya. Inaya mengangguk dan mereka melangkah menuju mushola.Next ....Matahari sudah tergelincir ke barat saat Andra keluar dari ruang meeting. Banyak yang harus di cover setelah ditinggal hampir sepuluh hari. Satu asistennya sedang sakit pula, membuatnya harus meng-handle pekerjaan dobel.Di ambilnya ponsel dari saku celana. Ada pesan dari Inaya yang menanyakan apakah dirinya sudah makan siang? Andra melihat arlojinya, sudah pukul dua. Pasti istrinya itu sudah kembali masuk kerja. Di balasnya pesan itu, bahwa dia tadi break makan bersama-sama dengan peserta meeting.Andra masuk ke ruangannya. Membuka lagi laptop dan hasil evaluasi meeting tadi. Sebagai Chief Engineer sudah semestinya dia melakukan kerjasama dengan bagian Engineering, Quantity Surveyor dan Bar Bending Schedule untuk dapat mencapai sasaran dan target proyek yang sedang dikerjakan. Dan itu sangat menguras pikiran. Belum lagi membicarakan lagi program kerja dengan beberapa asistennya, membuat perencanaan kegiatan operasional, dan membuat dokumen kontrak. Sementara ini dia tidak ingin memi
Andra gelisah duduk di ruang tunggu. Pesawat mamanya delay tiga puluh menit dari jadwal semula. Hari ini dia juga mendapatkan kabar kalau Amel juara tiga lomba lari di sekolahnya. Gadis kecilnya sangat antusias memberitahunya saat Andra masih di perjalanan tadi. Dia juga mengirimkan pesan pada Inaya kalau akan telat sampai di rumah. Sambil menunggu, Andra memantau perkerjaannya dengan menelepon Tony. Dengan begini rasa cemasnya sedikit teralihkan. Padahal kalau cuti tidak perlu ngurusi pekerjaan di kantor, bukankah ada asistennya yang di percaya?"Andra," panggilan itu membuat Andra kaget dan mendongak. Wanita berjilbab lebar warna cokelat itu tersenyum padanya."Mama. Aduh sorry, Ma. Andra tidak tahu Mama sudah datang." Pria itu tidak menyadari kalau waktu sangat pantas berlalu karena dia terlalu asyik dengan ponselnya. Di salami dan diciumnya tangan Bu Safitri. Kemudian meraih travel bag mini dari tangan sang mama."Kalau mama tinggal begini, siapa yang jagain Amy, Ma?" tanya Andr
"Waktu Mas tinggal tadi apa Mama memarahimu?" tanya Andra pada Inaya yang tidur di lengannya malam itu."Nggak, Mas. Ibu sangat baik, beliau hanya menasehatiku.""Mama bilang apa?""Wanita yang akan selalu dirugikan dalam sebuah pernikahan bawah tangan."Andra merapatkan dekapan. Mencium aroma wangi rambut tebal Inaya. Dia yang telah membawa Inaya dalam hidupnya, maka dari itu dia akan bertanggung jawab sepenuhnya."Ibu benar, Mas. Kita harus jujur pada Mbak Marina. Aku akan meminta maaf, walaupun mungkin nggak akan pernah dimaafkan. Kita cari waktu yang tepat, ya." Inaya berkata sambil mendongak, memandang wajah suaminya. Andra mengangguk kemudian mendekap lagi. Dia sangat paham apa yang bakalan terjadi setelah ini. Hanya satu yang ditakutkan Andra, papanya Marina bisa menempuh banyak cara untuk menyingkirkan Inaya.Pria itu ingat bagaimana rapinya orang suruhannya saat menyingkirkan saingan bisnisnya. Juga menyingkirkan jauh-jauh perempuan simpanannya sebelum di ketahui mamanya Mari
Andra baru saja berdiskusi dengan Tony siang itu. Dia merasa tidak enak hati kalau harus izin pulang lagi di hari ulang tahunnya Amel, sedangkan itu jatahnya Tony untuk cuti. Namun rupanya lelaki itu telah sepakat dengan istrinya kalau tidak akan pulang kali ini. Nanti saja pas sekalian anaknya sudah libur sekolah. "Kamu tinggal pulang saja nggak apa-apa, Ndra. Pasti Amel kecewa kalau kamu nggak pulang," saran Tony tadi.Setelah ulang tahun putrinya, dia juga harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kemarahan Marina dan segala kemungkinan buruk yang bakal terjadi saat dia jujur nanti. Bahkan berhadapan dengan mertua yang bisa nekat berbuat apa saja.Di raihnya ponsel di atas meja. Ada pesan dari Inaya yang menawarinya makan siang. Tidak ada pesan masuk dari Marina. Dia hanya menghubunginya jika sedang butuh membicarakan sesuatu. Kalau Andra tak memulai, Marina tidak akan berinisiatif untuk mengirimkan pesan lebih dulu.Di sentuhnya nomer Marina. Cukup lama menunggu agar panggilannya
Pintu rumah kembali di buka. Mereka masuk. Inaya cepat-cepat masuk kamar dan mandi, agar tidak ketinggalan waktu salat Maghrib. Sementara Andra ke dapur untuk membuatkan teh untuk istrinya."Mas, nggak usah repot-repot. Lain kali biar aku buat sendiri," protes Inaya sambil duduk di ruang keluarga, di samping suaminya. Setelah menyesap teh, Inaya berdiri. "Akan ku siapkan makan malam dulu, Mas."Andra mengekori istrinya ke belakang. Inaya mengeluarkan lauk dari lemari kaca. Ada kare ayam dan kering tempe. Mereka langsung makan malam tanpa menghangatkan lauk terlebih dahulu. Andra tidak suka lauk yang dipanaskan. "Mas, makan sedikit banget. Mau kutambahi." Inaya mengambil centong nasi dan hendak membuka magic jar. Namun Arya mencegahnya. "Tidak usah, Naya. Perut Mas lagi tak enak.""Nah, pasti gara-gara Mas telat makan. Sebentar aku ambilkan obat." Inaya bergegas ke kotak P3K yang menempel di dinding dekat kulkas. Dia sudah hafal kebiasaan Andra. Kalau banyak pikiran dan telat makan, m
Ponsel di dasbor berdering, segera Andra menyambarnya. Berharap ada kabar mengenai Inaya. Rupanya Tony yang sedang menelepon."Halo.""Kamu di mana? Inaya nggak ada di rumah sakit. Kutanyakan pada petugas, mereka bilang sudah di bawa pulang keluarganya?""Ya, aku sudah tahu. Tapi di rumahnya juga nggak ada. Aku mau nemui temannya dulu, barangkali dia tahu.""Pulang saja dulu, urusi Marina. Biar kucarikan kabar mengenai Inaya. Aku yakin orang tuanya punya alasan yang kuat untuk membawa Inaya pergi. Padahal dia dalam keadaan butuh perawatan.""Ton, kamu yang ngabari orang tua Inaya tadi?""Bukan. Mesi panik dan menghubungi Tita. Kurasa Tita yang ngabari bapak dan ibunya Naya. Sudahlah kamu pulang dulu. Biar aku cari info di mana Inaya. Tenangkan dulu Marina, dia bisa nekat berbuat apa saja.""Ya, aku harus tahu kalau Inaya baik-baik saja. Kata perawat Inaya sedang hamil.""Memangnya kamu belum tahu?""Inaya belum memberitahuku.""Kemungkinan dia baru hamil sekitar sebulan, kata dokter y
Kembali ditariknya napas panjang, lantas melanjutkan bicara. "Kamu pikir aku hanya butuh urusan ranjang saja? Aku butuh teman bicara, aku butuh ada orang yang bisa mendampingiku di sini. Kita pernah duduk berdua membahas ini dua tahun yang lalu. Bahkan sejak dulu aku sering mengajakmu bicara untuk mencari solusi agar kita tak lagi satu atap dengan orang tuamu. Tapi kamu selalu menjawab 'gampang.' Sepuluh tahun kita bersama. Ini pencapaian yang luar biasa dalam pernikahan kita yang selalu beriak. Kita pernah sangat bahagia saat lahir anak-anak kita. Aku pernah bilang, jika pulang kerja ingin bertemu anak-anak dan bercanda dengan kalian. Saat kupinta kalian tinggal di kota ini, apa jawabanmu. 'Kamu bisa nelepon kan, Mas'. Kamu tidak berusaha memahami bagaimana perasaanku. Apakah ini yang di namakan cinta?"Mereka saling pandang. "Maafkan aku. Aku memang salah, Rin. Tapi dari cara yang salah ini aku bisa merasakan bagaimana menjadi suami yang dihargai dan di butuhkan." Andra tidak lagi m
Andra menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu berplitur cokelat, dengan permukaan berukiran klasik. Pintu ruang kerja setinggi tiga meter dengan pegangan kuning keemasan. Dua kali ketukan, terdengar papa mertua menyuruhnya masuk.Pintu terdorong, di kursi kebesarannya lelaki berusia enam puluh lima tahun itu duduk dengan angkuhnya. Andra melangkah dengan tenang menghampiri mertuanya."Duduklah!" perintah lelaki yang di kenal dengan nama Cakra Kusuma. Andra menarik kursi dan duduk."Bagaimana pekerjaanmu?""Alhamdulillah, lancar, Pa.""Kapan rencana pindah ke kantor pusat?""Saya tidak tahu."Pak Cakra manggut-manggut. Lebih baik Andra menahan diri agar tidak banyak bicara. Dengan begitu dia bisa membaca gelagat mertuanya. Dia juga tidak ingin berurusan dengan hal yang rumit dengan mertua. Terlebih jika akan berakhibat fatal pada Inaya."Apa dulu antara kamu dan Pak Yusa nggak ada perjanjian mengenai tugas kamu di sana? Misalnya hanya beberapa tahun saja gitu.""Tidak ada, Pa.