Share

Part 6 Hati Seorang Perempuan

"Andra sudah balik, ya?" tanya Lia pada Marina, ketika wanita itu bertemu saat menjemput anak-anak pulang sekolah. Mereka duduk di halte depan sekolahan.

"Sudah."

"Kapan?"

"Kemarin."

"Kamu ini bisanya anteng begini jauhan sama suami. Nggak takut suami nyabang sama yang lain? Yang ditunggui aja bisa belok arah apalagi yang berjauhan."

Marina menggeleng sambil tersenyum. "Nggak mungkin Mas Andra melakukan itu. Dia mau nyari yang kayak gimana lagi."

"Jangan ngremehin laki-laki. Sejelek apapun dia, pasti laku. Apalagi kayak Andra. Tampan, gagah, dan karirnya juga bagus. Kalau aku jadi kamu, kuikuti terus ke mana dia pergi."

Marina termenung. Ada yang membuat hatinya tersentil. Hati kecilnya mulai risau mendengar ucapan temannya. Selama ini dia tidak kepikiran sampai ke situ. Bahkan nasehat mertuanya juga di abaikan. Dia percaya diri bahwa semua akan baik-baik saja. Dia cantik, kaya, dan Andra mesti berpikir berulang kali untuk mendua. Apa tidak takut, jika label menjadi menantu orang kaya lepas begitu saja.

"Lakimu itu masih muda. Apa mungkin bisa tahan nggak begituan dalam waktu berbulan-bulan. Bulsyit itu, Rin. Laki butuh pendamping yang bisa berbagi dengannya. Nggak melulu soal ranjang. Dia butuh teman yang setiap saat mau berbagi cerita dengannya. Apalagi kalau kerjaannya menguras pikiran. Jangan sampai nyesel kalau dia tergoda oleh perhatian perempuan lain. Nangis darah juga percuma kalau hati suamimu terlanjur mendua."

Marina memandang sahabat yang duduk di sebelahnya. "Kamu jangan nakut-nakutin aku deh, Lia."

"Helloooo, siapa yang nakutin. Kita bicara secara realistis sajalah, Rin. Kalau Andra gila harta, sudah lama dia gabung sama bisnis keluarga kamu. Buktinya dia merintis sendiri kariernya. Dia lelaki yang punya harga diri." Lia memberikan penekanan pada kalimat terakhir. Sebab wanita itu sangat paham bagaimana keluarga Marina meremehkan Andra. Mereka bertiga berteman cukup lama. Jadi sudah banyak paham kehidupan mereka. Ibunya Lia juga teman baik mamanya Marina. Wanita sosialita itu sering membicarakan tentang kehidupan menantunya. Bahkan sempat bilang, jika dulu tidak begitu setuju memiliki menantu dari kalangan kelas bawah. Tapi papanya Marina meyakinkan istrinya, bahwa Andra bisa di manfaatkan karena memiliki kemampuan di atas rata-rata. Nyatanya Andra tidak mudah di pengaruhi. Pria itu bisa membaca gelagat mertua setelah menjadi menantunya. Makanya mereka melarang Marina ikut dengan suaminya.

"Kamu udah pernah kan nyusul Andra waktu dia sakit itu?"

Marina mengangguk.

"Apa tempat tinggalnya menyeramkan? Di tengah hutan? Nggak kan? Jadi menurutku salah kalau kamu menolak ikut. Gaji suamimu cukup buat menghidupi kalian. Pikirkan lagi sebelum kamu menyesal. Bagaimana kalau dia 'jajan' di luar? Atau malah menikah lagi?"

Pembicaraan mereka terhenti saat terdengar bunyi bel dan sebentar kemudian anak-anak kelas satu berhamburan keluar kelas. Kiki yang sudah hafal di mana biasanya sang mama menjemput berlari ke arah Marina. Bersama seorang anak lelaki, anaknya Lia. Nanti Amel pulang jam dua belas siang dan yang menjemput biasanya sopir.

Dalam perjalanan pulang sambil nyetir mobil, Marina kepikiran dengan ucapan sahabatnya. Padahal tidak kali ini saja Lia mengingatkannya. Sering malah. Tapi baru kali ini benar-benar mengena di benaknya. Ada rasa takut kehilangan, tapi di sisi lain enggan untuk tinggal di sana.

Sesampainya di rumah segera diambilnya ponsel yang tadi sengaja di tinggal. Di aplikasi pesan, suaminya terakhir online sepuluh menit yang lalu. Marina segera melakukan panggilan. Tidak menunggu lama, Andra menjawabnya. "Halo, Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam. Mas, lagi di kantor ini?"

"Iya. Mas lagi persiapan mau meeting sepuluh menit lagi. Ada apa? Kiki sudah pulang?"

"Sudah, barusan kujemput. Mas, sudah bicara dengan Pak Yusa? Bisa pindah kerja, nggak?"

"Belum sempat Mas bicara sama beliau. Kita harus membicarakan hal ini dengan serius. Mas akan pulang saat Amel ulang tahun bulan depan."

"Baiklah, aku tunggu."

"Mas meeting dulu, ya. Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumsalam."

Marina meletakkan kembali ponselnya di atas meja rias. Orang tuanya pasti tetap pada larangan agar dirinya tidak boleh ikut suaminya. Sekarang bagaimana caranya agar Andra bisa pindah sesuai kemauannya. Kata-kata Lia tadi masih terngiang jelas di telinganya. Dia mengingat-ingat apa yang janggal pada Andra akhir-akhir ini. Ya, Andra tak lagi getol mengajaknya pindah. Kecuali kemarin, masih sempat bilang kalau misalnya Andra bisa pindah, apakah dirinya mau tinggal di rumah mereka?

💐💐💐

Inaya membuka bekalnya dari rumah. Tati pun sama, hari ini dia juga membawa bekal. Wanita itu memperhatikan wajah sahabatnya yang muram, padahal Andra sudah pulang. "Kamu kenapa?" tanya Tati.

"Nggak ada apa-apa."

"Nggak usah bohong. Wajahmu itu nggak bisa menipuku, Naya. Kita tuh berteman sejak lahir ke dunia. Aku paham kamu tuh bagaimana. Kamu ada masalah sama Mas Andra?"

"Nggak ada. Ayo, makanlah dulu. Nanti aku cerita." Inaya mulai menyuap nasinya. Pun begitu dengan Tati. Mereka tidak makan di kantin, tapi di dekat gudang belakang. Di sana juga ada beberapa pekerja yang sedang makan siang. Hanya saja duduk mereka berjarak. Mencari tempat nyaman masing-masing.

Setelah meneguk air putih di botol, Inaya menceritakan rencana kedatangan mama dari suaminya. Tentang kemarahan wanita itu pada putranya, juga keinginan untuk bertemu langsung dengan Inaya.

"Kamu takut?"

"Aku siap kok bertemu beliau. Apapun itu, aku tetap harus menghadapinya."

"Ya, kamu memang harus siap. Seorang ibu pasti kecewa anaknya menikah lagi diam-diam. Tapi jangan khawatir, meski aku dulu menentang keras keputusanmu menikah dengan Mas Andra, tapi aku selalu ada untukmu. Kamu jangan takut sendirian."

Inaya tersenyum dan terbaru. "Terima kasih, Ta," kata Inaya sambil memandang teman yang duduk berhadapan di tikar dengannya. Dia ingat saat Tati marah bahkan tidak menegurnya hampir sebulan gara-gara Inaya memutuskan menikah dengan Andra.

Dia teringat kata-kata sahabatnya itu. "Kamu masih muda, cantik, dan pintar. Menikahlah dengan pria yang masih single. Bukan menikah diam-diam dengan pria beristri, meski alasan kalian karena cinta setengah mati." Inaya juga teringat saat orang tuanya menentang keras, tapi ... sudahlah, tak perlu lagi mengingat hal itu. Sekarang yang harus di pikirkan adalah menghadapi badai yang siap menerjang. Sekarang mamanya Andra yang tahu, esok atau lusa bisa saja Marina dan keluarga besarnya yang tahu.

Bahkan dia harus siap ditinggalkan saat suaminya lebih memilih istri pertama dan anak-anaknya. Antara dirinya dan Andra hanya menikah siri, tak ada kekuatan hukum yang bisa membelanya. Inaya menarik napas dalam-dalam. Semua itu tidak luput dari perhatian Tati yang pura-pura sibuk menyimak ponselnya. Sungguh, dia iba dengan Inaya. Sahabatnya itu berhak bahagia dengan menjadi satu-satunya ratu di hati pria yang menikahinya. Bukan menjadi perempuan simpanan begini.

Penyesalan memang selalu datang belakangan. Walaupun mereka saling mencintai, tapi tidak bisa menjamin kalau mereka akan kekal bersama-sama.

"Naya, ayo kita sekalian Salat Zhuhur dulu. Masih ada waktu ini," ajak Tati sambil menepuk bahu sahabatnya. Inaya mengangguk dan mereka melangkah menuju mushola.

Next ....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Uci Jauhari
trnyta aq g kuat baca ny. bagi q wanita kedua ttp salah apapun alasan nya.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status