Share

Part 5

"Mas tidak pernah melarangmu untuk hamil, Naya. Setiap perempuan mengimpikan untuk menjadi seorang ibu. Mas akan berusaha adil untuk anak kita dan anak-anak Mas sebelumnya."

Inaya diam, dia memperhatikan jalanan yang diguyur hujan. Setahun mengenal Andra dan setahun menjadi istrinya, Inaya cukup mengenal lelaki itu bagaimana. Dia pria yang berusaha selalu bertanggung jawab dengan pasangannya.

Mobil berhenti di depan sebuah apotek. Inaya berlari kecil menerobos hujan. Kebetulan apotek dalam keadaan sepi, jadi dirinya langsung bisa dilayani.

Sesampainya di rumah, Andra membantu Inaya memasukkan belanjaan ke dalam kulkas. Kemudian mereka salat Isya berjamaah. Selesai salat, Inaya ganti baju. Seperti yang selalu di minta Andra, baju seksi itu yang dipakainya. Wanita itu termangu di depan meja rias, bimbang antara mau minum pil kontrasepsi itu atau tidak. Belum sempat membuat keputusan, Andra sudah mengangkat tubuhnya ke pembaringan mereka.

Hujan menjadi saksi menyatunya dua raga yang memendam rindu dan cinta. Inaya totalitas menjalankan perannya, dia tahu bagaimana membuat pasangannya bahagia. Walaupun mungkin sudah dipuaskan dengan yang di sana. Inaya menepis pikirannya, dia hanya menjalankan tugas sebagai istri. Membayar rindu yang terpendam seminggu ini.

Ucapan terima kasih dari Andra terdengar lembut di telinga Inaya. Membuat wanita dengan tubuh yang sudah terbalut selimut itu tersenyum.

Mereka tengadah memandang langit-langit kamar. Andra mulai menceritakan tentang pertemuannya dengan sang mama. Tentang kekecewaan wanita itu padanya. Kali ini Andra harus jujur, biar Inaya tidak kaget ketika nanti mamanya datang dan mengajak Inaya bicara.

Nyali wanita yang tangannya di genggam Andra mulai ciut. Mungkin selama ini dia siap di maki Marina, tapi rasanya belum siap dibenci oleh wanita yang telah melahirkan pria yang sangat dicintainya. Salah. Inaya mengaku salah.

"Kamu jangan takut. Mama adalah wanita yang sangat bijaksana." Andra mencoba menenangkan. Sebab dia tahu kalau Inaya gentar kali ini.

"Mas tidak akan membiarkan orang menyalahkan kamu saja. Karena ini juga kesalahan Mas. Mas yang mendesakmu kala itu. Mas yang akan bertanggung jawab." Andra membawa Inaya ke dalam dekapannya.

💐💐💐

Pagi yang dingin. Suara hairdryer menggema dalam kamar. Andra membantu istrinya mengeringkan rambutnya yang panjang itu. Sesekali terdengar tawa mereka. Hingga dentang jam yang menunjukkan tepat pukul lima membuat Inaya segera berdiri. "Sudah Mas. Tinggal dikit, nanti pasti kering sendiri. Aku harus masak sekarang." Tanpa menunggu jawaban suaminya, Inaya bergegas ke dapur.

Andra meraih ponsel yang baru saja bergetar. Ada pesan masuk dari Marina.

[Syukurlah kalau udah sampai, Mas. Jangan lupa nanti bicara dengan Pak Yusa. Papa juga nunggu keputusan, Mas.] Pesan kemarin baru di balas.

Ponsel kembali diletakkan di tempatnya. Harusnya kalau mau membicarakan ini, pas ketemuan kemarin di kantor pusat. Tapi Andra sendiri yakin, jika big bos tidak akan memberikan izin pindah.

Andra mengambil laptop yang ada di bufet ruang tengah. Sambil menikmati sedapnya aroma masakan Inaya, di bukanya laptop dan memeriksa beberapa laporan yang dikirimkan oleh asistennya lewat email.

Jam enam lebih lima belas menit, Andra mengambil ponsel dan menelepon Marina.

"Halo, Mas."

"Anak-anak sudah bangun?"

"Sudah, lagi dipakein seragam sama Bibik. Pagi ini aku mau keluar sama Mama."

"Ke mana?"

"Ada deh." Jawaban penuh tanda tanya. Jika di desak pun, Marina kadang tidak memberitahu. Terkadang hanya bilang nemani mama shoping.

"Biar Mas bicara sama anak-anak sebentar."

Terdengar Marina berteriak-teriak memanggil dua anaknya. Tak lama kemudian Andra mendengar suara Amel dan Kiki di seberang.

Inaya yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan hanya menatap sekilas pada suami yang sedang menelepon di ruang tengah. Wanita itu duduk dan sabar menunggu seperti biasanya, hingga Andra selesai bicara pada mereka.

"Maaf, nunggu lama, ya?" ucap Andra sambil duduk berhadapan dengan istrinya.

"Nggak apa-apa." Inaya menyendokkan nasi ke piring suaminya. Mengambilkan ikan gabus goreng dan tumis kangkung.

"Nanti berangkat kerja bareng Mas saja."

"Nggak usah, Mas. Aku naik motor saja. Aku kan bisa langsung pulang nggak usah nunggu. Kadang Mas telat keluar dari kantor."

Bersamaan Inara selesai bicara, ponsel Andra kembali berdering. Pria itu melangkah ke ruang tengah. Kali ini Mamanya yang menghubungi. Inaya tidak menunggu suaminya lagi, dia segera menyelesaikan sarapannya. Kemudian menyiapkan bekal untuk makan siangnya nanti. Kalau Andra biasanya akan makan di luar. Sesekali saja minta dibawakan bekal juga. Sebab Andra sering lunch dengan beberapa relasi.

"Dihabisin dulu sarapannya, Mas," kata Inaya saat Andra kembali ke meja makan.

Pria itu duduk dan mengabiskan sarapannya. "Mama yang barusan nelepon. Ngasih kabar kalau Amy udah melahirkan jam satu malam tadi."

"Oh ya, Alhamdulillah. Berarti maju dari perkiraan dokter, ya?"

"Iya."

"Anaknya cewek apa cowok?"

"Cewek."

"Alhamdulillah, habis cowok terus cewek."

Andra mengangguk. Nasi di piring tandas dengan cepat, karena dia harus bersiap ke kantor juga. Setelah selesai mencuci piring, Inaya menyusul suaminya ke kamar. Dengan cekatan Inaya berganti seragam kerja. Kemudian masih sempat membantu suaminya mengancingkan kemeja dan memakaikan jam tangan.

"Mama bilang dua atau tiga hari lagi akan berangkat ke sini." Perkataan Andra membuat Inaya mendongak. Menatap wajah berahang kokoh itu.

Andra membingkai wajah istrinya. "Mas bersama kamu. Apapun yang terjadi, mari kita hadapi dan selesaikan."

Inaya mengangguk. Kemudian melepaskan tangan suaminya dan bergegas mengambil tas. Memasukkan ponsel ke dalamnya. Seperti biasa, Andra akan mengawal istrinya yang naik motor hingga wanita itu berbelok ke tempat kerjanya. Cepat atau lambat, semua memang harus di hadapi.

Next ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status