"Mas tidak pernah melarangmu untuk hamil, Naya. Setiap perempuan mengimpikan untuk menjadi seorang ibu. Mas akan berusaha adil untuk anak kita dan anak-anak Mas sebelumnya."
Inaya diam, dia memperhatikan jalanan yang diguyur hujan. Setahun mengenal Andra dan setahun menjadi istrinya, Inaya cukup mengenal lelaki itu bagaimana. Dia pria yang berusaha selalu bertanggung jawab dengan pasangannya.Mobil berhenti di depan sebuah apotek. Inaya berlari kecil menerobos hujan. Kebetulan apotek dalam keadaan sepi, jadi dirinya langsung bisa dilayani.Sesampainya di rumah, Andra membantu Inaya memasukkan belanjaan ke dalam kulkas. Kemudian mereka salat Isya berjamaah. Selesai salat, Inaya ganti baju. Seperti yang selalu di minta Andra, baju seksi itu yang dipakainya. Wanita itu termangu di depan meja rias, bimbang antara mau minum pil kontrasepsi itu atau tidak. Belum sempat membuat keputusan, Andra sudah mengangkat tubuhnya ke pembaringan mereka.Hujan menjadi saksi menyatunya dua raga yang memendam rindu dan cinta. Inaya totalitas menjalankan perannya, dia tahu bagaimana membuat pasangannya bahagia. Walaupun mungkin sudah dipuaskan dengan yang di sana. Inaya menepis pikirannya, dia hanya menjalankan tugas sebagai istri. Membayar rindu yang terpendam seminggu ini.Ucapan terima kasih dari Andra terdengar lembut di telinga Inaya. Membuat wanita dengan tubuh yang sudah terbalut selimut itu tersenyum.Mereka tengadah memandang langit-langit kamar. Andra mulai menceritakan tentang pertemuannya dengan sang mama. Tentang kekecewaan wanita itu padanya. Kali ini Andra harus jujur, biar Inaya tidak kaget ketika nanti mamanya datang dan mengajak Inaya bicara.Nyali wanita yang tangannya di genggam Andra mulai ciut. Mungkin selama ini dia siap di maki Marina, tapi rasanya belum siap dibenci oleh wanita yang telah melahirkan pria yang sangat dicintainya. Salah. Inaya mengaku salah."Kamu jangan takut. Mama adalah wanita yang sangat bijaksana." Andra mencoba menenangkan. Sebab dia tahu kalau Inaya gentar kali ini."Mas tidak akan membiarkan orang menyalahkan kamu saja. Karena ini juga kesalahan Mas. Mas yang mendesakmu kala itu. Mas yang akan bertanggung jawab." Andra membawa Inaya ke dalam dekapannya.💐💐💐Pagi yang dingin. Suara hairdryer menggema dalam kamar. Andra membantu istrinya mengeringkan rambutnya yang panjang itu. Sesekali terdengar tawa mereka. Hingga dentang jam yang menunjukkan tepat pukul lima membuat Inaya segera berdiri. "Sudah Mas. Tinggal dikit, nanti pasti kering sendiri. Aku harus masak sekarang." Tanpa menunggu jawaban suaminya, Inaya bergegas ke dapur.Andra meraih ponsel yang baru saja bergetar. Ada pesan masuk dari Marina.[Syukurlah kalau udah sampai, Mas. Jangan lupa nanti bicara dengan Pak Yusa. Papa juga nunggu keputusan, Mas.] Pesan kemarin baru di balas.Ponsel kembali diletakkan di tempatnya. Harusnya kalau mau membicarakan ini, pas ketemuan kemarin di kantor pusat. Tapi Andra sendiri yakin, jika big bos tidak akan memberikan izin pindah.Andra mengambil laptop yang ada di bufet ruang tengah. Sambil menikmati sedapnya aroma masakan Inaya, di bukanya laptop dan memeriksa beberapa laporan yang dikirimkan oleh asistennya lewat email.Jam enam lebih lima belas menit, Andra mengambil ponsel dan menelepon Marina."Halo, Mas.""Anak-anak sudah bangun?""Sudah, lagi dipakein seragam sama Bibik. Pagi ini aku mau keluar sama Mama.""Ke mana?""Ada deh." Jawaban penuh tanda tanya. Jika di desak pun, Marina kadang tidak memberitahu. Terkadang hanya bilang nemani mama shoping."Biar Mas bicara sama anak-anak sebentar."Terdengar Marina berteriak-teriak memanggil dua anaknya. Tak lama kemudian Andra mendengar suara Amel dan Kiki di seberang.Inaya yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan hanya menatap sekilas pada suami yang sedang menelepon di ruang tengah. Wanita itu duduk dan sabar menunggu seperti biasanya, hingga Andra selesai bicara pada mereka."Maaf, nunggu lama, ya?" ucap Andra sambil duduk berhadapan dengan istrinya."Nggak apa-apa." Inaya menyendokkan nasi ke piring suaminya. Mengambilkan ikan gabus goreng dan tumis kangkung."Nanti berangkat kerja bareng Mas saja.""Nggak usah, Mas. Aku naik motor saja. Aku kan bisa langsung pulang nggak usah nunggu. Kadang Mas telat keluar dari kantor."Bersamaan Inara selesai bicara, ponsel Andra kembali berdering. Pria itu melangkah ke ruang tengah. Kali ini Mamanya yang menghubungi. Inaya tidak menunggu suaminya lagi, dia segera menyelesaikan sarapannya. Kemudian menyiapkan bekal untuk makan siangnya nanti. Kalau Andra biasanya akan makan di luar. Sesekali saja minta dibawakan bekal juga. Sebab Andra sering lunch dengan beberapa relasi."Dihabisin dulu sarapannya, Mas," kata Inaya saat Andra kembali ke meja makan.Pria itu duduk dan mengabiskan sarapannya. "Mama yang barusan nelepon. Ngasih kabar kalau Amy udah melahirkan jam satu malam tadi.""Oh ya, Alhamdulillah. Berarti maju dari perkiraan dokter, ya?""Iya.""Anaknya cewek apa cowok?""Cewek.""Alhamdulillah, habis cowok terus cewek."Andra mengangguk. Nasi di piring tandas dengan cepat, karena dia harus bersiap ke kantor juga. Setelah selesai mencuci piring, Inaya menyusul suaminya ke kamar. Dengan cekatan Inaya berganti seragam kerja. Kemudian masih sempat membantu suaminya mengancingkan kemeja dan memakaikan jam tangan."Mama bilang dua atau tiga hari lagi akan berangkat ke sini." Perkataan Andra membuat Inaya mendongak. Menatap wajah berahang kokoh itu.Andra membingkai wajah istrinya. "Mas bersama kamu. Apapun yang terjadi, mari kita hadapi dan selesaikan."Inaya mengangguk. Kemudian melepaskan tangan suaminya dan bergegas mengambil tas. Memasukkan ponsel ke dalamnya. Seperti biasa, Andra akan mengawal istrinya yang naik motor hingga wanita itu berbelok ke tempat kerjanya. Cepat atau lambat, semua memang harus di hadapi.Next ....Malam itu langit bertabur bintang. Berkelipan di angkasa yang membentang luas. Cuaca agak gerah, khas hawa ibukota karena kepadatan penduduknya. Andra mengajak Inaya dan Amel makan malam di luar. Di sebuah restoran pinggiran kota yang menjadikan nasi liwet sebagai menu khasnya.Mereka menikmati makan malam dengan lahap. Nasi liwet berlaukkan sambal balado, pindang ikan kembung goreng, dan cumi asin petai. Amel sudah mulai bisa beradaptasi dan nyaman tinggal serumah dengan ibu tirinya yang sekarang di panggilnya dengan sebutan bunda. Wanita itu bisa menjadi pendengar yang baik bagi Amel. Inaya juga sangat berhati-hati bicara dan bersikap dengan putri tirinya, bagaimanapun juga mereka baru sekarang ini tinggal serumah. Dan tidak kesulitan buat wanita itu untuk dekat dengan Amel.Senyaman-nyamannya tinggal dengan ibu tiri, sudah pasti lebih nyaman tinggal dengan ibu kandung. Namun kehadiran putri dari Om Haris yang membuat Amel tidak selesa dan lebih memilih tinggal dengan sang papa. Wa
Malam merangkak naik. Rintik hujan mewarnai malam yang kian hening. Suara detak jam dinding mengiringi setiap embus napas dua insan yang sedang menciptakan nikmat yang bertahun-tahun tak pernah lagi di kecap. Sensasi luar biasa menjalar di seluruh aliran darah, menyatu dengan rasa yang tertumpah. Delapan tahun lalu, tubuh itu menjadi miliknya. Hanya Andra yang menyentuhnya. Ternyata masih juga terjaga hingga kembali di miliki."I love you," bisik Andra di tengah aktivitas mereka. Kalimat yang baru kali ini di ucapkan pria itu untuk Inaya. Kebersamaannya di pernikahan dulu, tak pernah pria itu mengumbar kalimat romantis untuknya. Justru di hadapannya, Andra sering menelepon Marina dengan ucapan mesra.Bahkan dirinya pernah sempat berpikir kalau hanya jadi sampingan saat Andra jauh dari istri pertamanya, jadi pelampiasan seks ketika sedang dibutuhkan. Namun tak pernah dia memprotesnya. Sejak memutuskan mau dinikahi, dia menempatkan diri menjadi orang ketiga yang harus nerimo.Inaya men
Angin semribit menjelang sore menyambut rombongan pengantin pria saat turun dari kendaraan. Suasana rumah Pak Redjo lumayan ramai dengan kehadiran kerabat mereka dan para warga desa. Satu tenda ukuran besar berdiri megah di halaman rumah. Debar dada Andra makin terasa saat berpasang-pasang mata memandang ke arahnya. Disertai kasak-kusuk, entah bicara apa. Pasti tentang perjalanan hidupnya dengan Inaya. Biar saja, semua orang berhak berkomentar sesuai penilaiannya.Mereka di jamu masuk ke ruang tamu yang sudah di sulap dengan dekorasi yang sederhana. Karpet warna hijau terbentang dengan meja kecil di tengahnya. Andra menyalami petugas KUA yang sudah menunggunya dan siap melaksanakan tugasnya.Anak-anak berkumpul jadi satu di salah satu sudut ruangan setelah menyalami dan mencium tangan Pak Redjo dan Bu Siti. Amel, Kiki, dan Amir berangkulan penuh haru. Kemudian duduk bersama dengan sepupu dan anak-anaknya Tony.Seluruh perhatian yang hadir tertuju pada Inaya yang muncul dari ruang dala
Amelia Side's StoryAmel berbaring menatap langit-langit kamarnya. Air mata haru mengalir dari sudut netra ingat saat di kabari kalau papanya akan menikah lagi.Tidak ada anak yang menginginkan orang tuanya berpisah. Tapi jika semuanya sudah terjadi, dia sebagai anak hanya bisa ridho menerima. Tidak ada anak yang ingin memiliki ayah tiri atau ibu tiri, tapi dia juga sadar, selain sebagai orang tua bagi anak-anaknya, mereka adalah manusia dewasa dan individu yang memiliki keinginan personal yang tidak bisa diberikan oleh seorang anak pada orang tuanya.Dia yang paling besar di antara kedua saudaranya, ketika perceraian papa dan mamanya terjadi. Jadi dia yang paling mengerti meski umurnya saat itu baru menginjak usia dua belas tahun.Apakah dia harus membenci papanya karena telah mendua, atau membenci mamanya dengan sikap egoisnya, atau membenci Inaya yang masuk menjadi orang ketiga? Jika terus mengingat peristiwa bertahun-tahun lalu itu hanya membuat pusaran dendam tak ada habisnya dal
"Saya calon suaminya," sahut Andra cepat. Tidak peduli para karyawan dan beberapa pengunjung fokus memandangnya. Dahi Pak Halim mengernyit antara heran dan tidak percaya. Inaya juga tak kalah kagetnya. "Benar dia calon suamimu?" Inaya menjawabnya dengan semyum samar. Kemudian membantu pelayan memasukkan kaos ke dalam paper bag. "Maaf, Pak Halim. Saya harus pergi!" Jujur saja Inaya sebenarnya lebih was-was berhadapan dengan laki-laki berwajah timur tengah itu daripada berhadapan dengan pria lain yang berusaha mendekatinya. Pak Halim ini karakternya suka memaksa dan tak peduli dengan situasi di sekitarnya. Inaya bicara sejenak dengan karyawannya kemudian meraih tali tas yang di letakkannya di kursi, lantas bergegas menghampiri Andra.Pria itu paham dengan raut cemas yang ditunjukkan mantan istrinya. Andra bergegas membuka pintu kaca dan mereka keluar toko. Mobil melaju di tengah keramaian kota. Cuaca begitu cepat berubah, siang tadi mendung tapi sore ini langit lumayan cerah. "Laki-la
Pagi itu Andra memesan kopi hitam pahit dan kental pada room service untuk mengusir rasa kantuknya. Sebab semalaman dia hanya bisa tidur beberapa jam saja. Entah pukul berapa dia mengirimkan pesan pada Inaya, tapi hanya di jawab, "Kita bicarakan besok saja, Mas." Padahal dirinya sudah tidak sabar menunggu esok hari.Sepiring nasi goreng di atas meja kamar hanya di makan sebagian. Ada bimbang yang melanda dalam dada. Sekarang Inaya sudah sukses secara finansial, tokonya berkembang, usaha konveksi ibunya juga berjalan baik. Tentunya dia sudah sangat nyaman dengan kondisinya. Apa mungkin kembali bersedia mengarungi hidup bersamanya? Bersama mantan yang dulu gagal membahagiakannya.Andra ingat perkataan mamanya tadi malam ketika ia di perjalanan pulang. Pria itu memberitahu kalau akan melamar kembali Inaya. Suara wanita di seberang terdengar bahagia, ketika sang putra mau kembali berumah tangga meski rujuk dengan mantan istrinya. "Kamu memang harus memikirkan perasaan anak-anak, tapi kamu