Share

Part 7

Matahari sudah tergelincir ke barat saat Andra keluar dari ruang meeting. Banyak yang harus di cover setelah ditinggal hampir sepuluh hari. Satu asistennya sedang sakit pula, membuatnya harus meng-handle pekerjaan dobel.

Di ambilnya ponsel dari saku celana. Ada pesan dari Inaya yang menanyakan apakah dirinya sudah makan siang? Andra melihat arlojinya, sudah pukul dua. Pasti istrinya itu sudah kembali masuk kerja. Di balasnya pesan itu, bahwa dia tadi break makan bersama-sama dengan peserta meeting.

Andra masuk ke ruangannya. Membuka lagi laptop dan hasil evaluasi meeting tadi. Sebagai Chief Engineer sudah semestinya dia melakukan kerjasama dengan bagian Engineering, Quantity Surveyor dan Bar Bending Schedule untuk dapat mencapai sasaran dan target proyek yang sedang dikerjakan. Dan itu sangat menguras pikiran. Belum lagi membicarakan lagi program kerja dengan beberapa asistennya, membuat perencanaan kegiatan operasional, dan membuat dokumen kontrak.

Sementara ini dia tidak ingin memikirkan bagaimana bisa pindah seperti permintaan keluarga istrinya. Yang terpenting adalah melaksanakan tanggung jawab besar pada perusahaan yang harus dilakukan dengan totalitas kerjanya.

Andra sadar, dia telah melakukan kesalahan yang mungkin saja tidak akan di maafkan Marina. Namun dia juga kenal bagaimana istrinya itu, jika semua terbongkar bukan tidak mungkin kalau Marina yang menuntut Andra menceraikan Inaya.

Napas di tariknya dalam-dalam. Berat rasanya harus berpisah dengan wanita itu. Perempuan yang selalu ada saat dia mengadukan segala rasa penatnya. Sementara dengan Marina, waktu sepuluh tahun bersama juga tidak ingin berakhir sia-sia. Mereka punya anak yang tidak ingin menjadi korban broken home.

Andra mengetik sebuah pesan pada seseorang. Sahabat yang tahu banyak tentang dirinya. Laki-laki itu salah satu engineering yang jadi asistennya. Dulu mereka memang berangkat bersama-sama ke cabang perusahaan itu. Tidak lama kemudian masuklah seorang pria seumuran dengan Andra.

"Ada apa memanggilku? Pasti lagi kalut." Laki-laki bernama Tony duduk di kursi depan Andra.

"Tunda saja kepulanganmu minggu ini. Lagi banyak kerjaan yang harus kita selesaikan." Andra menunjukkan perencanaan kerja di laptopnya pada Tony. Dahi pria itu mengernyit. Jadwal mereka memang padat. Padahal sejak dulu mereka akan bergantian untuk pulang cuti.

"Hmm, okelah. Padahal anakku dah seneng banget mau diajak nyambangi neneknya."

"Bilang ke istri dan anakmu kalau di tunda. Setidaknya dua minggu lagi."

"Baiklah." Keduanya lantas membahas pekerjaan. Andra mengamati Tony yang sedang memperhatikan dokumen kontrak di laptop.

Gaji Tony tidak sebesar dirinya, tapi ke mana pun Tony pindah tugas, istrinya selalu ikut. Suami istri itu juga yang menjadi saksi pernikahannya dengan Inaya. Tony pernah memberinya saran agar Andra memaksa Marina untuk ikut, tapi kenyataannya tetap tidak mau. "Ya udah, nikah aja, Bro. Daripada kamu jajan di luar. Marina ngamuk ya hadapi saja," kata Tony yang merasa usaha Andra untuk mengajak istrinya selalu sia-sia.

"Ton, mamaku mau datang." Andra berkata setelah beberapa saat terdiam.

"Tante mau datang? Sama istrimu?"

"Tidak, Mama datang sendirian. Malah Marina minta aku pindah ke kantor pusat lagi." Andra mengulas juga tentang permintaan keluarga istrinya.

"Karirmu sendiri sudah bagus. Ngapain jadi boneka mereka. Tahu nggak adik dari istrinya Mario, cuman dijadikan alat saja kerja sama mereka. Kalau menurutku yang satu itu nggak usah kamu turuti. Pak Yusa aja nggak pernah manfaatin kamu, walaupun beliau banyak berjasa pada keluarga kamu." Tony berapi-api memberi saran pada sahabatnya. Sebab dia tahu bagaimana keluarga Marina.

"Mama marah banget, Ton, dengan pernikahan diam-diamku. Kelak Marina pun pasti akan tahu hal ini. Aku kepikiran sama mereka, Marina dan anak-anak. Sudah sepuluh tahun aku nikah, tak mungkin akan kubiarkan hancur begitu saja. Tapi memang Marina harus tahu juga mengenai Inaya."

"Kamu siap?"

"Harus siap?"

💐💐💐

Sepulang kerja Inaya langsung beres-beres rumah. Hari ini dia minta pulang lebih awal. Dia mengganti seprai yang ada di kamar depan. Kamar yang akan di tempati mamanya Andra. Seluruh ruangan di sapu dan di pel. Taplak meja dan sarung bantal sofa di ganti juga. Barang-barang yang tidak perlu, seperti koran dan majalah di taruh di gudang belakang.

Besok mamanya Andra akan sampai sekitar jam sepuluh pagi. Dia dan suaminya sudah sepakat untuk mengambil cuti kerja.

Andra mencium aroma pewangi ruangan dan obat pel harum lavender memenuhi penciumannya saat turun dari mobil dan hendak masuk rumah. "Mas sudah boleh, masuk?" tanya Andra pada Inara yang sedang menyusun bunga di vas.

"Iya Mas, masuk saja. Sudah kering kok lantainya."

Andra duduk di sebelah istrinya. Bibirnya mencium tangan suaminya dengan cara menundukkan badan. "Maaf, tanganku kotor." Inaya menunjukkan kedua tangannya yang kotor karena habis memotong bunga mawar dan lili di depan untuk di taruh di jambangan.

"Kamu pulang jam berapa, jam segini sudah rapi semua?" tanya Andra sambil memperhatikan sekeliling ruangan.

"Aku minta pulang lebih awal agar bisa beres-beres dan nyuci."

Pria itu mengecup kening istrinya. "Terima kasih."

Inaya hanya tersenyum kemudian kembali fokus memasukkan tiga tangkai mawar putih. Lantas meletakkan jambangan bunga di meja bulat pojok ruang tamu. "Aku buatkan minum dulu, Mas."

"Tidak usah. Mas minum air putih saja nanti." Andra menarik tangan Inaya agar mau kembali duduk. Dari sorot mata keduanya, mereka tampak gelisah. Pria itu melihat resah yang tersembunyi di balik senyum istrinya. "Setelah ini, semua tak akan lagi mudah, Naya."

"Ya, aku tahu, Mas," jawab pelan Inaya. Andra merangkul pundak istrinya. Membiarkan wanita itu rebah di dada kirinya. Mereka memandang lurus ke luar. Menatap rintik hujan yang kembali turun sore itu.

💐💐💐

Bau aroma masakan tercium dan membangunkan Andra. Suara spatula yang beradu dengan penggorengan terdengar hingga ke kamar. Pria itu segera duduk, sinar matahari sudah menyorot masuk melalui celah jendela. Dia ketiduran setelah salat subuh tadi. Segera di matikannya pendingin ruangan dan membuka jendela kamar.

Semalaman dia tidak cukup tidur karena Inaya tidak bisa tidur. Ada ucapan Inaya yang amat mengguris hati Andra. "Jika kita memang harus berpisah, aku nggak apa-apa, Mas. Mas juga harus ikhlas ngelepasin aku. Setahun ini kita membuat kesalahan dengan menikah diam-diam. Setahun ini adalah kenangan yang nggak mungkin bisa aku lupakan begitu saja. Tapi aku nggak apa-apa jika harus pergi."

Andra menunduk dalam-dalam. Ada luka yang mengangga meski belum ada yang menggoresnya. Pria itu merasakan dadanya yang kian sesak. Inaya sangat cemas, padahal menurut Andra, Mamanya adalah wanita yang sangat bijaksana. Tentu tidak akan menyerang Inaya begitu saja.

"Mas," panggil Inaya yang mengintip dari balik pintu kamar dan membuat Andra terkejut dan menoleh.

"Ayo, sarapan dulu!" Inaya berkata lagi sambil tersenyum. Andra berdiri dan menyusul istrinya ke belakang. Di meja makan sudah ada beberapa menu masakan yang dibuat istrinya. Dengan cekatan wanita itu menyiapkan piring dan meladeni suaminya. Tatapan Andra tidak lepas dari wajah yang matanya menghindari berpandangan dengannya.

"Jam delapan Mas harus berangkat ke bandara daripada nanti mamanya Mas yang nunggu di sana." Inaya menuang air putih di gelas suaminya.

Sampai sarapan selesai, Inaya lebih banyak menunduk. Berusaha menikmati makanannya, walaupun terlihat sekali kalau dia susah menelan. Andra memperhatikan itu.

Next ....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Idadalia Mutiara79
memang sudah seharusnya seorang istri itu ikut kemana pun suami nya... kecuali jika tmpt nya berdinas tdk memungkinkan istri nya untuk turut serta...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status