Matahari sudah tergelincir ke barat saat Andra keluar dari ruang meeting. Banyak yang harus di cover setelah ditinggal hampir sepuluh hari. Satu asistennya sedang sakit pula, membuatnya harus meng-handle pekerjaan dobel.
Di ambilnya ponsel dari saku celana. Ada pesan dari Inaya yang menanyakan apakah dirinya sudah makan siang? Andra melihat arlojinya, sudah pukul dua. Pasti istrinya itu sudah kembali masuk kerja. Di balasnya pesan itu, bahwa dia tadi break makan bersama-sama dengan peserta meeting.Andra masuk ke ruangannya. Membuka lagi laptop dan hasil evaluasi meeting tadi. Sebagai Chief Engineer sudah semestinya dia melakukan kerjasama dengan bagian Engineering, Quantity Surveyor dan Bar Bending Schedule untuk dapat mencapai sasaran dan target proyek yang sedang dikerjakan. Dan itu sangat menguras pikiran. Belum lagi membicarakan lagi program kerja dengan beberapa asistennya, membuat perencanaan kegiatan operasional, dan membuat dokumen kontrak.Sementara ini dia tidak ingin memikirkan bagaimana bisa pindah seperti permintaan keluarga istrinya. Yang terpenting adalah melaksanakan tanggung jawab besar pada perusahaan yang harus dilakukan dengan totalitas kerjanya.Andra sadar, dia telah melakukan kesalahan yang mungkin saja tidak akan di maafkan Marina. Namun dia juga kenal bagaimana istrinya itu, jika semua terbongkar bukan tidak mungkin kalau Marina yang menuntut Andra menceraikan Inaya.Napas di tariknya dalam-dalam. Berat rasanya harus berpisah dengan wanita itu. Perempuan yang selalu ada saat dia mengadukan segala rasa penatnya. Sementara dengan Marina, waktu sepuluh tahun bersama juga tidak ingin berakhir sia-sia. Mereka punya anak yang tidak ingin menjadi korban broken home.Andra mengetik sebuah pesan pada seseorang. Sahabat yang tahu banyak tentang dirinya. Laki-laki itu salah satu engineering yang jadi asistennya. Dulu mereka memang berangkat bersama-sama ke cabang perusahaan itu. Tidak lama kemudian masuklah seorang pria seumuran dengan Andra."Ada apa memanggilku? Pasti lagi kalut." Laki-laki bernama Tony duduk di kursi depan Andra."Tunda saja kepulanganmu minggu ini. Lagi banyak kerjaan yang harus kita selesaikan." Andra menunjukkan perencanaan kerja di laptopnya pada Tony. Dahi pria itu mengernyit. Jadwal mereka memang padat. Padahal sejak dulu mereka akan bergantian untuk pulang cuti."Hmm, okelah. Padahal anakku dah seneng banget mau diajak nyambangi neneknya.""Bilang ke istri dan anakmu kalau di tunda. Setidaknya dua minggu lagi.""Baiklah." Keduanya lantas membahas pekerjaan. Andra mengamati Tony yang sedang memperhatikan dokumen kontrak di laptop.Gaji Tony tidak sebesar dirinya, tapi ke mana pun Tony pindah tugas, istrinya selalu ikut. Suami istri itu juga yang menjadi saksi pernikahannya dengan Inaya. Tony pernah memberinya saran agar Andra memaksa Marina untuk ikut, tapi kenyataannya tetap tidak mau. "Ya udah, nikah aja, Bro. Daripada kamu jajan di luar. Marina ngamuk ya hadapi saja," kata Tony yang merasa usaha Andra untuk mengajak istrinya selalu sia-sia."Ton, mamaku mau datang." Andra berkata setelah beberapa saat terdiam."Tante mau datang? Sama istrimu?""Tidak, Mama datang sendirian. Malah Marina minta aku pindah ke kantor pusat lagi." Andra mengulas juga tentang permintaan keluarga istrinya."Karirmu sendiri sudah bagus. Ngapain jadi boneka mereka. Tahu nggak adik dari istrinya Mario, cuman dijadikan alat saja kerja sama mereka. Kalau menurutku yang satu itu nggak usah kamu turuti. Pak Yusa aja nggak pernah manfaatin kamu, walaupun beliau banyak berjasa pada keluarga kamu." Tony berapi-api memberi saran pada sahabatnya. Sebab dia tahu bagaimana keluarga Marina."Mama marah banget, Ton, dengan pernikahan diam-diamku. Kelak Marina pun pasti akan tahu hal ini. Aku kepikiran sama mereka, Marina dan anak-anak. Sudah sepuluh tahun aku nikah, tak mungkin akan kubiarkan hancur begitu saja. Tapi memang Marina harus tahu juga mengenai Inaya.""Kamu siap?""Harus siap?"💐💐💐Sepulang kerja Inaya langsung beres-beres rumah. Hari ini dia minta pulang lebih awal. Dia mengganti seprai yang ada di kamar depan. Kamar yang akan di tempati mamanya Andra. Seluruh ruangan di sapu dan di pel. Taplak meja dan sarung bantal sofa di ganti juga. Barang-barang yang tidak perlu, seperti koran dan majalah di taruh di gudang belakang.Besok mamanya Andra akan sampai sekitar jam sepuluh pagi. Dia dan suaminya sudah sepakat untuk mengambil cuti kerja.Andra mencium aroma pewangi ruangan dan obat pel harum lavender memenuhi penciumannya saat turun dari mobil dan hendak masuk rumah. "Mas sudah boleh, masuk?" tanya Andra pada Inara yang sedang menyusun bunga di vas."Iya Mas, masuk saja. Sudah kering kok lantainya."Andra duduk di sebelah istrinya. Bibirnya mencium tangan suaminya dengan cara menundukkan badan. "Maaf, tanganku kotor." Inaya menunjukkan kedua tangannya yang kotor karena habis memotong bunga mawar dan lili di depan untuk di taruh di jambangan."Kamu pulang jam berapa, jam segini sudah rapi semua?" tanya Andra sambil memperhatikan sekeliling ruangan."Aku minta pulang lebih awal agar bisa beres-beres dan nyuci."Pria itu mengecup kening istrinya. "Terima kasih."Inaya hanya tersenyum kemudian kembali fokus memasukkan tiga tangkai mawar putih. Lantas meletakkan jambangan bunga di meja bulat pojok ruang tamu. "Aku buatkan minum dulu, Mas.""Tidak usah. Mas minum air putih saja nanti." Andra menarik tangan Inaya agar mau kembali duduk. Dari sorot mata keduanya, mereka tampak gelisah. Pria itu melihat resah yang tersembunyi di balik senyum istrinya. "Setelah ini, semua tak akan lagi mudah, Naya.""Ya, aku tahu, Mas," jawab pelan Inaya. Andra merangkul pundak istrinya. Membiarkan wanita itu rebah di dada kirinya. Mereka memandang lurus ke luar. Menatap rintik hujan yang kembali turun sore itu.💐💐💐Bau aroma masakan tercium dan membangunkan Andra. Suara spatula yang beradu dengan penggorengan terdengar hingga ke kamar. Pria itu segera duduk, sinar matahari sudah menyorot masuk melalui celah jendela. Dia ketiduran setelah salat subuh tadi. Segera di matikannya pendingin ruangan dan membuka jendela kamar.Semalaman dia tidak cukup tidur karena Inaya tidak bisa tidur. Ada ucapan Inaya yang amat mengguris hati Andra. "Jika kita memang harus berpisah, aku nggak apa-apa, Mas. Mas juga harus ikhlas ngelepasin aku. Setahun ini kita membuat kesalahan dengan menikah diam-diam. Setahun ini adalah kenangan yang nggak mungkin bisa aku lupakan begitu saja. Tapi aku nggak apa-apa jika harus pergi."Andra menunduk dalam-dalam. Ada luka yang mengangga meski belum ada yang menggoresnya. Pria itu merasakan dadanya yang kian sesak. Inaya sangat cemas, padahal menurut Andra, Mamanya adalah wanita yang sangat bijaksana. Tentu tidak akan menyerang Inaya begitu saja."Mas," panggil Inaya yang mengintip dari balik pintu kamar dan membuat Andra terkejut dan menoleh."Ayo, sarapan dulu!" Inaya berkata lagi sambil tersenyum. Andra berdiri dan menyusul istrinya ke belakang. Di meja makan sudah ada beberapa menu masakan yang dibuat istrinya. Dengan cekatan wanita itu menyiapkan piring dan meladeni suaminya. Tatapan Andra tidak lepas dari wajah yang matanya menghindari berpandangan dengannya."Jam delapan Mas harus berangkat ke bandara daripada nanti mamanya Mas yang nunggu di sana." Inaya menuang air putih di gelas suaminya.Sampai sarapan selesai, Inaya lebih banyak menunduk. Berusaha menikmati makanannya, walaupun terlihat sekali kalau dia susah menelan. Andra memperhatikan itu.Next ....Andra gelisah duduk di ruang tunggu. Pesawat mamanya delay tiga puluh menit dari jadwal semula. Hari ini dia juga mendapatkan kabar kalau Amel juara tiga lomba lari di sekolahnya. Gadis kecilnya sangat antusias memberitahunya saat Andra masih di perjalanan tadi. Dia juga mengirimkan pesan pada Inaya kalau akan telat sampai di rumah. Sambil menunggu, Andra memantau perkerjaannya dengan menelepon Tony. Dengan begini rasa cemasnya sedikit teralihkan. Padahal kalau cuti tidak perlu ngurusi pekerjaan di kantor, bukankah ada asistennya yang di percaya?"Andra," panggilan itu membuat Andra kaget dan mendongak. Wanita berjilbab lebar warna cokelat itu tersenyum padanya."Mama. Aduh sorry, Ma. Andra tidak tahu Mama sudah datang." Pria itu tidak menyadari kalau waktu sangat pantas berlalu karena dia terlalu asyik dengan ponselnya. Di salami dan diciumnya tangan Bu Safitri. Kemudian meraih travel bag mini dari tangan sang mama."Kalau mama tinggal begini, siapa yang jagain Amy, Ma?" tanya Andr
"Waktu Mas tinggal tadi apa Mama memarahimu?" tanya Andra pada Inaya yang tidur di lengannya malam itu."Nggak, Mas. Ibu sangat baik, beliau hanya menasehatiku.""Mama bilang apa?""Wanita yang akan selalu dirugikan dalam sebuah pernikahan bawah tangan."Andra merapatkan dekapan. Mencium aroma wangi rambut tebal Inaya. Dia yang telah membawa Inaya dalam hidupnya, maka dari itu dia akan bertanggung jawab sepenuhnya."Ibu benar, Mas. Kita harus jujur pada Mbak Marina. Aku akan meminta maaf, walaupun mungkin nggak akan pernah dimaafkan. Kita cari waktu yang tepat, ya." Inaya berkata sambil mendongak, memandang wajah suaminya. Andra mengangguk kemudian mendekap lagi. Dia sangat paham apa yang bakalan terjadi setelah ini. Hanya satu yang ditakutkan Andra, papanya Marina bisa menempuh banyak cara untuk menyingkirkan Inaya.Pria itu ingat bagaimana rapinya orang suruhannya saat menyingkirkan saingan bisnisnya. Juga menyingkirkan jauh-jauh perempuan simpanannya sebelum di ketahui mamanya Mari
Andra baru saja berdiskusi dengan Tony siang itu. Dia merasa tidak enak hati kalau harus izin pulang lagi di hari ulang tahunnya Amel, sedangkan itu jatahnya Tony untuk cuti. Namun rupanya lelaki itu telah sepakat dengan istrinya kalau tidak akan pulang kali ini. Nanti saja pas sekalian anaknya sudah libur sekolah. "Kamu tinggal pulang saja nggak apa-apa, Ndra. Pasti Amel kecewa kalau kamu nggak pulang," saran Tony tadi.Setelah ulang tahun putrinya, dia juga harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kemarahan Marina dan segala kemungkinan buruk yang bakal terjadi saat dia jujur nanti. Bahkan berhadapan dengan mertua yang bisa nekat berbuat apa saja.Di raihnya ponsel di atas meja. Ada pesan dari Inaya yang menawarinya makan siang. Tidak ada pesan masuk dari Marina. Dia hanya menghubunginya jika sedang butuh membicarakan sesuatu. Kalau Andra tak memulai, Marina tidak akan berinisiatif untuk mengirimkan pesan lebih dulu.Di sentuhnya nomer Marina. Cukup lama menunggu agar panggilannya
Pintu rumah kembali di buka. Mereka masuk. Inaya cepat-cepat masuk kamar dan mandi, agar tidak ketinggalan waktu salat Maghrib. Sementara Andra ke dapur untuk membuatkan teh untuk istrinya."Mas, nggak usah repot-repot. Lain kali biar aku buat sendiri," protes Inaya sambil duduk di ruang keluarga, di samping suaminya. Setelah menyesap teh, Inaya berdiri. "Akan ku siapkan makan malam dulu, Mas."Andra mengekori istrinya ke belakang. Inaya mengeluarkan lauk dari lemari kaca. Ada kare ayam dan kering tempe. Mereka langsung makan malam tanpa menghangatkan lauk terlebih dahulu. Andra tidak suka lauk yang dipanaskan. "Mas, makan sedikit banget. Mau kutambahi." Inaya mengambil centong nasi dan hendak membuka magic jar. Namun Arya mencegahnya. "Tidak usah, Naya. Perut Mas lagi tak enak.""Nah, pasti gara-gara Mas telat makan. Sebentar aku ambilkan obat." Inaya bergegas ke kotak P3K yang menempel di dinding dekat kulkas. Dia sudah hafal kebiasaan Andra. Kalau banyak pikiran dan telat makan, m
Ponsel di dasbor berdering, segera Andra menyambarnya. Berharap ada kabar mengenai Inaya. Rupanya Tony yang sedang menelepon."Halo.""Kamu di mana? Inaya nggak ada di rumah sakit. Kutanyakan pada petugas, mereka bilang sudah di bawa pulang keluarganya?""Ya, aku sudah tahu. Tapi di rumahnya juga nggak ada. Aku mau nemui temannya dulu, barangkali dia tahu.""Pulang saja dulu, urusi Marina. Biar kucarikan kabar mengenai Inaya. Aku yakin orang tuanya punya alasan yang kuat untuk membawa Inaya pergi. Padahal dia dalam keadaan butuh perawatan.""Ton, kamu yang ngabari orang tua Inaya tadi?""Bukan. Mesi panik dan menghubungi Tita. Kurasa Tita yang ngabari bapak dan ibunya Naya. Sudahlah kamu pulang dulu. Biar aku cari info di mana Inaya. Tenangkan dulu Marina, dia bisa nekat berbuat apa saja.""Ya, aku harus tahu kalau Inaya baik-baik saja. Kata perawat Inaya sedang hamil.""Memangnya kamu belum tahu?""Inaya belum memberitahuku.""Kemungkinan dia baru hamil sekitar sebulan, kata dokter y
Kembali ditariknya napas panjang, lantas melanjutkan bicara. "Kamu pikir aku hanya butuh urusan ranjang saja? Aku butuh teman bicara, aku butuh ada orang yang bisa mendampingiku di sini. Kita pernah duduk berdua membahas ini dua tahun yang lalu. Bahkan sejak dulu aku sering mengajakmu bicara untuk mencari solusi agar kita tak lagi satu atap dengan orang tuamu. Tapi kamu selalu menjawab 'gampang.' Sepuluh tahun kita bersama. Ini pencapaian yang luar biasa dalam pernikahan kita yang selalu beriak. Kita pernah sangat bahagia saat lahir anak-anak kita. Aku pernah bilang, jika pulang kerja ingin bertemu anak-anak dan bercanda dengan kalian. Saat kupinta kalian tinggal di kota ini, apa jawabanmu. 'Kamu bisa nelepon kan, Mas'. Kamu tidak berusaha memahami bagaimana perasaanku. Apakah ini yang di namakan cinta?"Mereka saling pandang. "Maafkan aku. Aku memang salah, Rin. Tapi dari cara yang salah ini aku bisa merasakan bagaimana menjadi suami yang dihargai dan di butuhkan." Andra tidak lagi m
Andra menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu berplitur cokelat, dengan permukaan berukiran klasik. Pintu ruang kerja setinggi tiga meter dengan pegangan kuning keemasan. Dua kali ketukan, terdengar papa mertua menyuruhnya masuk.Pintu terdorong, di kursi kebesarannya lelaki berusia enam puluh lima tahun itu duduk dengan angkuhnya. Andra melangkah dengan tenang menghampiri mertuanya."Duduklah!" perintah lelaki yang di kenal dengan nama Cakra Kusuma. Andra menarik kursi dan duduk."Bagaimana pekerjaanmu?""Alhamdulillah, lancar, Pa.""Kapan rencana pindah ke kantor pusat?""Saya tidak tahu."Pak Cakra manggut-manggut. Lebih baik Andra menahan diri agar tidak banyak bicara. Dengan begitu dia bisa membaca gelagat mertuanya. Dia juga tidak ingin berurusan dengan hal yang rumit dengan mertua. Terlebih jika akan berakhibat fatal pada Inaya."Apa dulu antara kamu dan Pak Yusa nggak ada perjanjian mengenai tugas kamu di sana? Misalnya hanya beberapa tahun saja gitu.""Tidak ada, Pa.
Anak-anak sangat riang diajak jalan-jalan dan membeli apa yang mereka mau. Andra sangat bahagia mereka bisa seceria itu. Sedangkan di lengan kirinya, Marina bergelayut manja. Andra melangkah di sepanjang koridor dengan perasaan hampa. Tadi sempat menelepon Tati sewaktu pulang dari kantor Pak Yusa, tapi jawaban perempuan itu sama seperti jawaban Tony. Kantor tempat mereka bekerja juga tidak menerima surat izin dari Inaya. Dan keberadaan perempuan bermata bening itu jadi bahan pertanyaan bagi rekan-rekan yang mengenalnya.Kiki ngotot ingin masuk kids zone. Amel sebenarnya tidak mau, tapi akhirnya harus mengalah demi sang adik. Andra dan Marina duduk menunggu di bangku besi depan tempat bermain itu."Apakah pertemuan Mas dengan Pak Yusa tadi untuk membicarakan kepindahan Mas kembali ke sini?" tanya Marina setelah diam cukup lama."Kami bicara mengenai pekerjaan.""Itu saja?""Ya."Marina kecewa. Ternyata laki-laki yang beberapa waktu lalu di temui papanya tidak mengindahkan permintaan sa