"Maaf kalian siapa ya?" tanya Ardan dengan raut wajah kebingungan. Ia khawatir jika dua lelaki itu ada hubungannya dengan kakaknya. Karena untuk acara ulang tahun kemarin belum sempat mereka bayar.
"Kami ke sini untuk menyerahkan ini." Lelaki itu menyerahkan map berwarna biru. Dengan raut wajah bingung Ardan menerima map tersebut, lalu membuka dan membacanya. "Maaf, ini maksudnya apa ya?" tanya Ardan yang benar-benar tidak tahu dengan isi map tersebut. Karena di dalam map berisi tentang surat tagihan, tetapi Ardan merasa tidak memiliki utang. "Ini adalah surat tagihan utang yang, ibu Mita lakukan." Lelaki itu menjelaskan, jika surat tersebut merupakan surat tagihan utang yang kakaknya sendiri lakukan."Dimohon, Bapak segera melunasinya hari ini juga," ucap lelaki itu. Seketika Ardan memijit pelipisnya, masalahnya uang yang tersisa tidak cukup untuk membayarnya. Jika saja Resty jadi meminjamkan uang pasti keadaannya tidak akan separah ini. "Apa tidak bisa .... ""Tidak, Pak. Hari ini juga harus lunas." Lelaki itu memotong ucapan Ardan. Seketika Ardan tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menurut dan melunasi utang tersebut. "Sebentar ya, Pak." Ardan beranjak masuk ke dalam untuk mengambil uang. Setibanya di kamar Ardan bingung harus mencari uang ke mana. Di ATM hanya ada beberapa, dan tidak cukup untuk melunasinya. "Sebentar, perhiasan yang pernah aku belikan untuk Resty dibawa apa nggak ya." Ardan membuka lemari tempat istrinya itu menyimpan perhiasan. Setelah terbuka, Ardan terkejut saat kotak perhiasan sudah tidak ada, itu artinya dibawa oleh Resty. "Sial, semua perhiasan dibawa sama Resty." Ardan menggerutu, kini ia harus memutar otak untuk mencari jalan keluarnya. Tiba-tiba saja ponselnya berdering, dengan segera Ardan mengambil benda pipih miliknya lalu menggeser tombol berwarna hijau. [Halo, Dan kamu di mana. Ibu nyariin kamu][Maaf, ini siapa ya][Sorry, ini aku Serly. Tadi aku nengokin ibu kamu, dia nyariin kamu][Iya, sebentar lagi aku ke sana, thanks ya]"Ibu ada-ada saja," ujarnya, setelah itu Ardan turun ke bawah untuk menemui dua lelaki itu. Ardan akan meminta waktu untuk mencari uang, ia berencana untuk meminjam pada temannya. "Maaf, tolong beri saya waktu sampai nanti sore bagaimana," ujar Ardan. "Baik, ini nomor telepon kami. Kamu bisa menghubunginya jika uangnya sudah ada," sahutnya seraya menyerahkan nomor telepon. Setelah itu, dua lelaki berkemeja hitam itu beranjak meninggalkan rumah Ardan. Setelah itu Ardan kembali meluncur ke rumah sakit, niat hati ingin mencari keberadaan istri serta anaknya Ardan urungkan. Karena baginya saat ini yang terpenting adalah ibunya, untuk Resty dan Zara bisa ia cari nanti. ***Setibanya di rumah sakit, Ardan langsung menuju kamar rawat ibunya. Di sana terlihat ibunya sedang ngobrol dengan Serly, sedangkan kedua kakaknya tidak terlihat. Biasanya mereka sibuk mengurus anak-anak, setelah itu Ardan bergegas masuk ke dalam. "Gimana, Bu. Udah lama, Ser." Ardan berjalan menghampiri ibunya dan juga Serly. Wanita berambut pirang itu sempat terdiam saat melihat Ardan. Ketampanannya memang tidak pernah pudar. "Lumayan, gimana kabar kamu, Dan." Serly melontarkan pertanyaan, Hesti yang mendengar itu tersenyum. Berharap ia bisa menjodohkan Ardan dengan Serly. "Alhamdulillah baik, kamu sendiri." Ardan balik bertanya. "Ya seperti yang kamu lihat," sahut Serly, sementara itu Ardan hanya mengangguk, lalu berjalan menghampiri ibunya. "Ibu senang lihat kalian berdua akrab seperti itu, semoga Serly bisa menjadi istri kamu," ujar Hesti, mendengar itu Ardan menoleh ke arah ibunya. Jujur, walaupun pernikahannya dengan Resty sedang ada masalah. Namun Ardan tidak pernah ada niat untuk menikah lagi. "Ibu, Ardan kan udah nikah. Udah punya anak juga," ujar Serly. "Tapi ibu kepengen kamu yang menjadi istri Ardan, menantu ibu," sahut Hesti. "Sudah, Bu. Yang penting, Ibu sehat dulu, jangan kebanyakan pikiran," ujar Ardan yang memang sedikit tidak suka dengan pembicaraan ibunya itu. "Lagi pula, sekarang Ardan sedang bingung, Bu. Biaya ulang tahun Lala kemarin belum lunas, sedangkan Resty pergi entah ke mana," ungkap Ardan, seketika Hesti terdiam mendengar kabar tersebut. "Untuk masalah istrimu ibu tidak peduli, tapi untuk urusan ulang tahun Lala. Serly pasti bisa membantunya," sahut Hesti. Mendengar itu Ardan terdiam, memang tidak ada pilihan lain, selain meminta bantuan pada Serly. Di lain tempat, saat ini Resty sudah tiba di sebuah restoran tempat ia melamar pekerjaan. Berharap Resty dapat diterima, dengan begitu ia bisa kembali bekerja dan bisa menghasilkan uang untuk biaya hidupnya bersama dengan ibu dan anaknya. "Resty, kamu ngapain di sini?" tanya seorang wanita yang tak lain adalah Rena, kakak iparnya. Resty nampak terkejut saat mendapati kakak iparnya tiba-tiba ada di tempat yang sama. "Kamu kenal dengan dia?" tanya seorang lelaki yang diketahui pemilik restoran tersebut. "Kenal, memangnya dia di sini ngapain?" tanya Rena. Entah kebetulan atau apa, Rena memang kenal dengan pemilik restoran itu, dan sepertinya mereka adalah teman. "Dia melamar kerja di sini, dan hari ini .... ""Apa, dia, ngelamar kerja di sini. Ya ampun, Res adikku itu kurang apa sih. Kamu itu istri seorang bos, tapi dengan sengaja kamu melamar pekerjaan sebagai pelayanan restoran. Kalau Ardan tahu ... ini itu sama saja kamu membuat malu suamimu sendiri," ungkap Rena. Mendengar itu, Resty cukup terkejut, sepertinya kakak iparnya memang sengaja mengatakan siapa dia sebenarnya. "Apa benar, jika kamu itu istri, pak Ardan?" tanya Reno, pemilik restoran sekaligus teman Rena. "Benar, tapi saya melakukan ini karena memang saya tidak dihargai sebagai seorang istri. Mas Ardan memang bos, tapi untuk uang bulanan istrinya, dia hanya memberi lima ratus ribu sebulan. Dan itu sudah termasuk untuk membeli susu serta pampers. Kalau saya dihargai sebagai seorang istri, saya tidak akan mencari uang sendiri." Resty menjelaskan. Seketika wajah Rena pucat pasi. "Dan untuk kamu kakak iparku yang terhormat, jangan pernah menutupi kebusukan keluargamu. Karena sebuah bangkai akan tercium juga, meski sudah ditutup dengan rapat," ujar Resty, seketika Rena menatap adik iparnya itu dengan tatapan yang tajam. "Oh ya, satu lagi. Aku punya bukti perselingkuhan kamu dengan seorang pengusaha. Jika suami dan keluargamu tahu, reaksi mereka akan seperti apa," ujarnya lagi. Detik itu juga mata Rena melotot, ia pikir Resty adalah wanita kampung yang polos. Tetapi justru yang diam seperti itu lebih berbahaya mematikan.Waktu berjalan begitu cepat, keesokan harinya tepatnya pukul sepuluh siang Resty sudah diperbolehkan pulang. Sejujurnya Resty meminta pulang sedari tujuh pagi tadi, tapi dokter belum mengizinkan. Setelah kondisinya benar-benar sudah pulih, baru dokter mengijinkannya untuk pulang."Dafian nggak rewel kan, Mas?" tanya Resty, memang Dian membawa pulang cucunya terlebih dahulu, itupun atas saran dokter. "Nggak kok, kata mama anteng," jawab Dony. Mendengar itu, hati serta pikiran Resty menjadi tenang. "Lalu bagaimana dengan Zara." Resty kembali bertanya."Zara juga nggak rewel kok, malah kata mama seneng banget," sahut Dony."Syukurlah, auh." Resty hampir saja terjatuh jika Dony tidak sigap. "Sayang kamu baik-baik saja kan?" tanya Dony dengan raut wajah khawatir. "Aku nggak apa-apa kok, Mas. Cuma tadi rasanya tiba-tiba sedikit pusing," jawab Resty sembari memijit pelipisnya. "Kita kembali ke .... ""Enggak apa-apa kok, Mas. Aku mau pulang, aku ingin melihat putra kita." Resty memotong
Dua jam telah berlalu, kini Ardan sudah dibawa ke rumah sakit jiwa. Awalnya polisi akan membawanya ke kantor polisi, tetapi setelah diperiksa. Kondisi kejiwaan Ardan terganggu, itu sebabnya polisi membawanya ke rumah sakit jiwa.Sementara itu, saat ini rumah Rena banyak pelayat yang datang saat mendengar kabar Serly meninggal dunia. Bahkan Haris yang mendengar kabar tersebut ikut hadir bersama dengan keluarganya. Mengingat jika Serly juga pernah menjadi bagian dari keluarganya.Setelah pemakaman selesai, Hesti meminta Haris dan sekeluarga untuk mampir lagi ke rumah. Hesti ingin meminta maaf pada mereka, terutama pada Resty, mantan menantunya yang pernah ia sia-siakan. Hesti juga ingin meminta maaf pada Dony."Resty, tolong maafkan semua kesalahan ibu dan sekeluarga. Tolong maafkan kesalahan Ardan juga, mungkin apa yang kami alami adalah karma. Karena kami sering menghina kamu dan juga menyia-nyiakan kamu," ungkap Hesti dengan penuh penyesalan. Bahkan air matanya tak berhenti menetes,
Setelah menanda tangani surat persetujuan, kini mereka tengah menunggu di depan ruangan operasi. Ardan dan Rena hanya bisa berharap agar operasi berjalan dengan lancar. Tiba-tiba saja Rena teringat akan Mita yang sampai saat ini mereka belum tahu keadaannya."Kenapa, Kak?" tanya Ardan yang melihat kakaknya tiba-tiba gelisah. "Kita belum tahu bagaimana dengan keadaan Mita," jawab Rena. Mendengar itu Ardan hanya menghela napas. "Nunggu operasi ibu selesai operasi, setelah itu kita tanyakan kondisi Mita," lanjutnya. Sementara itu Ardan hanya mengangguk, setelah itu ia menyenderkan kepalanya di sandaran kursi."Kenapa semenjak aku menyia-nyiakan Resty dan juga Zara masalah selalu datang. Terlebih setelah Resty mengetahui rahasia yang selama ini aku simpan." Ardan membatin, jujur ia merasa bersalah atas perbuatannya pada Resty serta putrinya dulu."Apa ini karma untukku dan juga keluargaku. Selama ini kami selalu berbuat jahat pada Resty." Ardan kembali membatin, lalu mengusap wajahnya d
Resty tersenyum. "Itu tidak akan pernah terjadi, kamu pikir aku akan luluh dengan ancamanmu itu. Dengar ya, Mas. Aku bersedia memaafkan semua kesalahan kamu dan juga keluargamu. Tapi tolong, jangan pernah usik hidupku lagi, aku sudah bahagia bersama dengan mas Dony."Ardan menggeleng. "Aku tidak percaya, kamu tidak bahagia, kamu hanya akan bahagia hidup bersamaku. Resty, Sayang kembalilah padaku, aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan kamu seperti dulu. Aku berjanji."Ardan bangkit dan hendak menyentuh pipi mulus mantan istrinya. Dengan cepat Resty menepisnya dengan kasar. Bahkan dua bodyguard yang sedang berjaga langsung menghampiri majikannya untuk melindunginya."Nyonya cepat masuk," titah Jony, salah satu bodyguard yang bertugas untuk menjaga rumah. Dengan segera Resty bangkit dan berlari masuk ke dalam. Sementara itu, Ardan yang hendak mengejarnya, dengan kasar Jony mendorongnya hingga jatuh."Cepat pergi dari sini, jika masih sayang pada nyawamu," ujar Beni, bodyguard yang ikut
Hari telah berganti, pagi ini Hesti tengah pusing dengan masalah yang menimpa anak-anaknya. Mulai dari anak pertamanya hingga anak ketiganya, yaitu Ardan. Kepala Hesti rasanya ingin meledak saat memikirkan berbagai masalah mereka."Jadi kak Rena semalam nggak pulang, Bu?" tanya Ardan. Saat ini mereka tengah menikmati sarapan bersama, tetapi hanya Hesti dan kedua anaknya. Karena Rena tidak pulang, entah ke mana anak itu."Iya, Rena benar-benar membuat ibu pusing. Anak itu biang masalah yang terjadi di keluarga kita," keluhnya. Karena semenjak ketahuan selingkuh, Rena benar-benar berubah. Wanita itu sering pergi pagi dan pulang larut malam, bahkan terkadang tidak pulang seperti semalam."Udah coba, Ibu telpon." Mita menimpali."Nomornya nggak aktif," sahut Hesti. Wanita itu memijit pelipisnya yang tiba-tiba sangat sakit. Hesti tidak tahu harus berbuat apa lagi, karena setelah Rena dan Dion resmi bercerai, mereka harus mengembalikan uang yang pernah Rena pinjam dulu."Ibu sudah pernah me
"Ya sudah, kalau begitu kami pamit dulu. Ingat ya, kalau kamu tidak mengembalikan uang itu, saya akan menuntut kamu," ucap Mira, seketika Rena dan yang lainnya terkejut mendengar hal tersebut. Terlebih Rena, wanita itu pusing harus mencari uang sebanyak itu ke mana.Setelah urusan mereka selesai, kedua orang tua Dion bergegas untuk pulang. Kini Ardan dan ibunya tengah bingung, bagaimana caranya untuk mengembalikan uang itu. Andai saja Rena tidak berbuat ulah, mungkin Dion tidak akan menceraikannya. Karena bagi Hesti, menantunya itu sumber uang, tapi dasar Rena saja yang tidak bisa memanfaatkan."Coba saja kamu tidak berbuat ulah, Dion pasti tak akan menceraikan kamu. Kalau sudah begini siapa yang rugi," ungkap Hesti. Beruntung jantungnya tidak kumat saat mendengar kabar tersebut."Mas Dion itu terlalu sibuk sama pekerjaan, dia nggak ada waktu untuk Rena," belanya. Sesungguhnya bukan masalah itu saja yang membuat Rena berpaling, tetapi Rena yang memang matre membuatnya mencari kesenang