Share

Memilih Untuk Pergi

Acara ulang tahun yang seharusnya meriah dan juga mewah kini menjadi panas dan berantakan. Terlebih saat ini Hesti jatuh pingsan lantaran masalah yang menimpa keluarganya. Ardan yang khawatir dengan keadaan ibunya, dengan segera membawanya ke rumah sakit.

Setibanya di rumah sakit, dokter langsung memeriksa kondisi ibu Hesti. Sementara itu, Ardan dan kedua kakaknya menunggu di luar, sedangkan kakak ipar Ardan berada di rumah bersama dengan anak-anak, karena tidak baik juga membawa anak kecil ke rumah sakit.

Selang beberapa menit, pintu ruangan terbuka, melihat dokter yang menangani ibunya keluar, dengan segera mereka bertiga beranjak menghampirinya. Baik Ardan serta kedua kakaknya rasanya tidak sabar ingin mengetahui bagaimana kondisi ibu mereka saat ini.

"Bagaimana keadaan ibu kami, Dok?" tanya Ardan serta kedua kakaknya. Rasa khawatir jelas terlihat pada mereka bertiga.

"Untuk saat ini kondisi, ibu Hesti masih lemah. Tolong dijaga kesehatannya ya, tadi hanya kelelahan dan syok saja. Kalau begitu saya permisi." Setelah menjelaskan kondisi ibu Hesti, dokter tersebut beranjak pergi. Sementara Ardan dan kedua kakaknya bergegas masuk ke dalam.

Di dalam terlihat ibu Hesti terbaring lemah di atas brangkar, jujur melihat itu Ardan merasa tidak tega, begitu juga dengan Mita dan Rena. Kini mereka bertiga berjalan menghampiri ibu Hesti, Ardan berdiri di sebelah kanan, sementara kedua kakaknya di sebelah kiri.

"Gimana keadaan, Ibu?" tanya Ardan.

"Seperti yang kamu lihat, istrimu benar-benar keterlaluan," ujar Hesti. Ia benar-benar kesal dengan ulah menantunya itu. Ingin rasanya Hesti meminta putranya untuk menceraikan Resty.

"Ibu jangan banyak pikiran dulu, biar cepat sembuh," ujar Rena. Kakak tertua Ardan.

"Kalau kalian ingin lihat ibu cepat sembuh, bujuk adik kalian untuk menikah dengan Serly," ujar Hesti, mendengar itu Ardan terkejut. Rupanya ibunya masih ingat dengan wanita yang pernah dekat dengannya dulu.

"Kamu dengar sendiri kan, Dan. Permintaan ibu itu mudah, tapi kamu nggak pernah mau nurutin," timpal Mita, ia juga setuju dengan keinginan ibunya. Yang meminta Ardan untuk menikah dengan Serly.

Ardan menghela napas. "Ardan kan udah nikah, udah punya anak juga. Coba aja dulu Serly nggak pergi, pasti Ardan nikahin."

"Kamu itu laki-laki, nggak apa-apa punya dua istri. Lagi pula kamu nggak malu kalau jalan bareng sama Resty yang kampungan itu," ungkap Rena. Walaupun ia terkesan lebih diam dari Mita, tapi ia juga tidak setuju dengan pernikahan adiknya itu.

"Sudah, sudah, jangan ribut sendiri, biarkan ibu istirahat. Ardan kamu yang nemenin ibu ya, kakak mau pulang, takut Lala sama Alfan rewel," ujar Mita.

"Iya, kakak juga mau pulang. Bu kami pulang dulu ya, Ibu istirahat saja. Ardan yang akan nemenin, Ibu di sini." Setelah berpamitan, Mita serta Rena beranjak pergi. Alhasil Ardan lah yang mengalah untuk menemani ibu mereka.

"Sekarang, Ibu istirahat saja," ujar Ardan seraya menjatuhkan bobotnya di kursi. Setelah itu Hesti berusaha untuk memejamkan matanya.

***

Pagi menyapa, pukul enam Resty sudah siap untuk pergi dari rumah suaminya itu. Resty ingin memberi pelajaran untuk Ardan, apakah lelaki itu sanggup hidup tanpanya atau tidak. Setelah semuanya siap, kini Resty bergegas untuk turun ke lantai bawah. Berharap Ardan jangan dulu pulang sebelum ia keluar dari rumah tersebut.

"Sayang jangan rewel ya, sekarang kita pergi ke rumah nenek. Kita akan tinggal di sana," ujar Resty seraya menggendong putrinya, setelah itu ia bergegas pergi meninggalkan rumah suaminya.

Kini Resty sudah dalam perjalanan, keputusannya untuk pergi dari rumah suaminya sudah bulat. Berharap Ardan bisa sadar dengan perbuatannya. Beruntung lamaran untuk bekerja sudah diterima, dan senin besok Resty harus datang untuk interview.

Sementara itu, pukul delapan Ardan baru saja tiba di rumah. Setelah memarkirkan mobilnya Ardan bergegas turun, setelah itu ia beranjak masuk ke dalam rumah. Setibanya di dalam, Ardan nampak bingung lantaran rumah begitu sepi.

"Zara, Sayang papa pulang. Zara, Resty kalian di mana." Ardan berjalan menuju ruang tengah, setibanya di sana kosong.

"Mereka ke mana sih, kok sepi begini, Resty kamu di mana." Ardan kembali berteriak memanggil istrinya, tetapi tidak ada sahutan. Setelah itu ia menuju dapur, di sana juga tidak ada.

"Di sini juga tidak ada, apa mungkin mereka di kamar." Setelah itu Ardan beranjak naik ke lantai atas, berharap istri dan anaknya berada di sana.

Setibanya di lantai atas, Ardan langsung masuk ke dalam kamar. Ia kembali terdiam saat melihat kamar sepi dan juga kosong. Lelaki berkemeja hitam itu melangkah masuk ke dalam, nampak ada yang janggal. Mainan putrinya yang biasanya menggantung di box sudah tidak ada.

"Ke mana mereka, kenapa di sini juga tidak ada," ujar Ardan seraya berjalan menuju ranjang. Tempat tidur nampak rapi, sedetik kemudian mata Ardan menangkap sebuah kertas yang tergeletak di atas meja rias. Dengan segera ia mengambilnya.

"Surat apa ini." Ardan mengambil kertas tersebut lalu membacanya.

'Assalamu'alaikum, mungkin saat kamu membaca surat ini aku sudah pergi. Maaf, karena aku pergi tanpa pamit atau izin terlebih dahulu. Tolong jangan mencariku dan putri kita.

Resty

Wasalamu'alaikum'

"Tidak mungkin, kenapa kamu pergi, kenapa kamu pergi tanpa memberitahuku." Ardan melempar kertas tersebut dan bergegas mengambil ponselnya untuk menghubungi nomor istrinya.

"Ayo dong diangkat." Ardan mondar-mandir seraya terus berusaha untuk menelpon nomor istrinya, tetapi hasilnya nihil.

Setelah itu Ardan bergegas turun ke bawah, ia berencana untuk mencari istrinya. Setibanya di lantai bawah, Ardan bergegas menuju ruang tamu. Saat membuka pintu utama, seketika Ardan terkejut saat melihat ada dua orang lelaki sudah berdiri di depan pintu.

Seketika Ardan terdiam, bingung dan juga panik yang kini ia rasakan. Berbagai pertanyaan pun melintas di benaknya, Ardan benar-benar tidak tahu siapa dua lelaki itu dan apa urusannya datang ke rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status