Share

Bab 0003

“Non Ara belum makan malam, Pak.”

Seorang wanita paruh baya menggunakan seragam Nanny memberitau.

“Ara mau makannya disuapin Mami.”

Isvara memeluk leher Aruna, seakan tidak ingin lepas dari gendongannya.

“Ara, jangan gitu donk … tantenya nanti cap—“

“Tante … tante … bukan tante … ini mami, Piiii.” Gadis kecil berusia lima tahun itu menjerit gemas menyela ucapan sang papi sampai wajahnya mengerut.

Aruna melirik Adrian, dengan tatap matanya meminta penjelasan kenapa Isvara sampai memanggilnya dengan sebutan mami.

Tapi Adrian sepertinya tidak memiliki jawaban, ia juga meringis dengan sorot mata meminta maaf.

“Mami … mami mau suapin Ara, kan?”

Isvara melonggarkan lingkaran tangannya di leher Aruna agar bisa menatap wanita yang ia anggap sebagai maminya.

Aruna mengerjap. “Heu?”

Tapi sepertinya Isvara adalah gadis pemaksa, jadi ia menunggu sampai Aruna menjawab ‘ya’.

“I-iya … boleh, ayo mam-mi ….” Aruna meringis, menyesal memanggil dirinya sendiri dengan sebutan mami.

Mau bagaimana lagi, Isvara duluan yang memanggilnya begitu.

“Suapin,” sambungnya menyanggupi, menghasilkan surakan penuh suka cita dari Isvara.

“Yeaaaayyy.”

Aruna tidak tega menghancurkan kebahagiaan Isvara yang tampak semang memanggilnya dengan sebutan mami.

Jadi ia berakting kalau dirinya memang maminya Isvara.

Aruna memperlihatkan wajah penuh penyesalan kepada Adrian ketika melewati pria itu untuk masuk lebih dulu ke dalam rumah dituntun sang Nanny.

Adrian tersenyum sangat tipis, sambil menundukan pandangan ketika Aruna lewat.

Apa arti dari senyum itu miskah?

Apakah Adrian tidak menyukai tindakan impulsif Aruna yang memanggil dirinya dengan sebutan mami tapi tidak bisa menegur Aruna juga di depan Isvara atau sebaliknya atau bagaimana?

Aruna tidak mengerti, semestinya Adrian menolongnya kalau dia tidak suka bila Aruna yang mengaku-ngaku sebagai maminya Isvara?

Jangan diam saja, Aruna ‘kan tidak tega apalagi dia tidak punya anak.

Aruna pernah sangat menginginkan anak sewaktu masih bersama mas Bian tapi Tuhan belum percaya menitipkan satu malaikat kecil untuknya.

“Mami … aku tadi dapet nilai A di sekolah,” celoteh Isvara begitu antusias.

Mereka sudah duduk di kursi meja makan, sang Nanny tengah menyiapkan piring untuk Isvara.

“Waw … pinter ya Ara.” Aruna mengusap puncak kepala Isvara lembut.

“Aku enggak usah, Mbak.” Aruna menolak ketika asisten rumah tangga menyimpan piring di depan Aruna.

“Mami kenapa enggak makan?” Isvara protes bertepatan dengan Adrian yang duduk di kursinya di ujung meja.

Aruna menatap Adrian kemudian beralih pada Isvara.

“Mami ‘kan mau suapin Ara dulu.”

Duh, Aruna sudah fasih sekali memanggil dirinya dengan sebutan Mami.

Dan jujur, rasanya menyenangkan.

Sang asisten rumah tangga memberikan piring kepada Adrian, pria itu lantas menuang sendiri nasi dan lauk-pauknya.

Sesekali melirik Aruna yang tengah menyuapi Isvara yang belum berhenti berceloteh menceritakan kegiatan di sekolah setiap kali selesai menelan makanan.

Aruna tersenyum, menanggapi celotehan Isvara meski ia harus terlihat bodoh lalu mereka tertawa bersama.

Tiba-tiba dada Adrian bergemuruh, ia belum pernah melihat Isvara sebahagia ini.

Adrian masih bertanya-tanya kenapa Isvara menganggap Aruna sebagai maminya sementara banyak wanita yang ia kenalkan pada Isvara malah diabaikan oleh sang putri.

“Mami … nanti aku mau tidurnya dikelonin mami.”

“Araaaa,” tegur Adrian yang sudah menyelesaikan makan malamnya.

“Kenapa?” Isvara menunjukkan ekspresi tidak terima.

“Ara ‘kan anak pintarnya papi, udah besar … udah bisa tidur sendiri,” bujuk Adrian dengan nada lebih lembut.

“Oh … Ara udah bisa tidur sendiri? Waaa hebat ya.” Aruna memuji sebagai penghargaan kepada Isvara yang katanya sudah bisa tidur sendiri.

“Iya Mami … Ara udah bisa bobo sendiri tapi sekarang Ara mau tidur dikelonin Mami, Ara kangen sama Mami … nanti, kalau Mami sama papi udah kasih Ara adik, baru Ara mau bobo sendiri.”

Adrian terbatuk karena tersedak kopi yang baru saja diminumnya.

“Ara … tante Aruna harus pulang, ini udah malem.”

“Piiii! Ini mami … bukan tante.”

Isvara membentak tapi matanya berkaca-kaca lalu menangis dengan membuka mulutnya lebar.

“Uuu, sayang ….” Aruna membawa Isvara ke atas pangkuannya.

“Araaa.” Adrian mengerang.

“Papi ja-haaat,” kata Isvara sambil menangis.

“Oke … Mami temenin Ara tidur ya, tapi setelah Ara tidur … mami pulang, gimana?”

Aruna memberi penawaran agar ketika Isvara bangun nanti dan dirinya tidak ada, gadis kecil itu tidak kecewa.

“Kenapa Mami enggak bobo sama papi?”

Isvara menghentikan tangisnya dan menunggu jawaban Aruna.

***

“Maaf … karena Ara kamu jadi harus pulang malem.”

Adrian mengantar Aruna ke depan teras.

Aruna berhasil menidurkan Isvara selagi Adrian menyelesaikan pekerjaannya di ruang kerja di samping kamar Isvara.

Sebelumnya Aruna harus mendongeng dulu dan meyakinkan Isvara kalau ia dan Adrian tidak bisa tidur bersama karena belum menikah.

Isvara banyak bertanya mungkin karena bingung dengan apa yang Aruna sampaikan juga kondisi yang terjadi sekarang.

Tapi akhirnya—mungkin karena kelelahan—Isvara tertidur pulas dan Aruna bisa pulang.

“Enggak apa-apa ….”

Padahal dalam hati Aruna kesal karena Adrian tidak membantunya sama sekali menjawab pertanyaan-tanyaan Isvara tentang hubungan mereka jadi Aruna sok tahu saja yang penting Isvara berhenti bertanya.

Biar nanti jadi urusan Adrian bila jawabannya memang tidak sesuai.

“Tapi, aku enggak enak tadi berani-berani ngaku jadi maminya Ara … aku enggak tega,” imbuh Aruna kemudian sambil mengerutkan wajahnya.

Adrian hanya tertawa kecil sebagai tanggapan.

Menyebalkan bukan?

“Apa Ara selalu seperti itu setiap ketemu wanita yang Mas bawa pulang?”

Adrian mengangkat kedua alisnya bingung.

Pertanyaan Aruna itu seperti sebuah tes.

“Eh … maksudnya, setiap ketemu wanita sebaya maminya … itu, tadi aku ‘kan ke sini sama Mas … terus … jadi ….” Aruna gelagapan membuat Adrian tertawa renyah dan membuatnya semakin … tampan.

“Iya … saya ngerti.”

Eh, ngerti apa nih?

“Ara enggak pernah melihat wajah maminya secara langsung, maminya meninggal ketika dia lahir … hanya ada satu foto maminya di ruang kerja saya, Ara sering menatapnya selama berjam-jam dan sepertinya harus saya pindahkan.”

Adrian menjelaskan sambil menuntun Aruna ke garasi.

“Ini mobilnya.” Adrian menunjuk sebuah sedan BMW warna putih.

Aruna tahu kalau mobil itu dipasarkan enam atau tujuh tahun lalu, ia juga bisa melihat dari angka kecil di plat nomornya.

“Mobil ini kadang digunakan mengantar Ara ke sekolah atau ke rumah omanya, kadang juga dipake asisten rumah tangga ke pasar dan kadang digunakan oleh saya sendiri … jadi, mobil ini masih berfungsi dengan baik.”

Adrian seolah mengerti apa yang Aruna pikirkan.

“Aku mikir apa sih? Ya jelas aja masih dipake, kalau enggak dipake pasti udah dijual.” Aruna mengumpati dirinya di dalam hati.

Tadi Aruna sempat berpikir, bisa jadi mobil itu mogok ketika ia kendarai di tengah jalan karena bertahun-tahun tidak digunakan oleh pemiliknya yang sudah meninggal.

“Ini kebagusan, Mas … aku enggak bisa terima, enggak apa-apa deh aku pake mobil aku aja, nanti-nanti lagi diperbaikinya.”

Adrian mengerjap, heran dengan sikap rendah hati Aruna.

Jaman sekarang bukannya wanita itu matrelialistis ya?

Semestinya Aruna senang mendapat mobil pengganti sementara yang bagus sehingga ia memiliki kesempatan flexing di depan teman-temannya.

“Aruna ….”

“Ya?” Langkah Aruna tertahan ketika hendak menghampiri Pak Malik yang berdiri tidak jauh dari mereka.

“Kalau begitu saya akan meminta Pak Malik untuk mengantar jemput kamu dari rumah ke tempat kerja kamu selama mobil kamu diperbaiki.”
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Lanjut .......
goodnovel comment avatar
yuli murdiana
pertama baca langsung suka dan pingin baca baca terus
goodnovel comment avatar
Ati Husni
suka ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status