Share

Bab 0006

“Lho … Mas Danu, ngapain di sini?”

Aruna terkejut tatkala mendapati Danu yang merupakan sahabat mendiang suaminya itu sedang duduk di pos satpam bersama Pak Yayat.

“Nungguin kamu.” Danu menjawab terang-terangan.

“Ada perlu apa, Mas?” Aruna mendekat sekalian meminta kunci mobil kepada pak Yayat.

“Kebetulan lagi ada disekitar sini, jadi mampir mau ngajak kamu pulang bareng.” Danu berdusta, padahal jarak dari gedung kantornya cukup jauh ke Dago.

“Aku bawa mobil.” Aruna mengangkat kunci mobil yang baru saja diberikan Pak Yayat seraya menunjukkan tampang menyesal.

Danu mengumpati dirinya yang lupa kalau Aruna mengemudikan sendiri mobilnya ke tempat kerja.

“Kalau makan malam gimana?” Danu bersikeras, mencari celah agar bisa mengobrol dengan Aruna.

Bisa dibilang kalau ini adalah ajakan Danu yang kesekian kali, ajakan sebelum-sebelumnya selalu ditolak Aruna karena ia benar-benar sibuk.

Dan sekarang Aruna tidak memiliki alasan untuk menolak Danu.

“Ya udah, mau makan di mana?” putus Aruna akhirnya menyanggupi.

“Noah’s Barn, gimana?”

Danu asal sebut saja nama Caffe resto sekitaran tempat kerja Aruna sebelum Aruna berubah pikiran.

“Oke,” sahut Aruna.

Keduanya masuk ke dalam mobil masing-masing lalu mengemudikannya ke Noah’s Barn.

Danu tiba lebih dulu, pria itu membukakan pintu mobil untuk Aruna setelah Aruna selesai memarkirkan mobilnya.

Dalam hati bertanya-tanya kenapa mobil Aruna bisa berganti menjadi mobil mewah keluaran Eropa?

Setau Danu, mobil Aruna adalah Honda Civic putih.

Aruna tersenyum sebagai bentuk rasa Terimakasih kepada Danu meski sikap Danu itu membuatnya risih.

Aruna tidak serta-merta menjadi over percaya diri ketika Danu intens mendekatinya.

Ia menganggap kalau Danu hanya kasihan kepadanya karena kini menjanda.

“Sebelah sini,” kata seorang pelayan menuntun jalan.

Mereka mendapat meja kecil yang hanya cukup untuk dua orang saja.

Pelayan memberikan dua buku menu dan Aruna dengan cepat memilih menu makan malam.

Setelah menyebut menu pesanan mereka, pelayan pun pergi meninggalkan Aruna dan Danu berdua saja di meja itu.

Danu tampak canggung tapi tidak dengan Aruna.

“Kamu baik-baik aja ‘kan?” Danu bertanya sambil menatap hangat pada Aruna.

“Aku baik, Mas ….” Aruna menjawab dengan senyum simpul di bibirnya.

Pria yang seumuran dengannya itu mengangguk-anggukan kepala.

“Beberapa minggu lalu Rika dan anaknya mas Bian datang ke rumah,” celetuk Aruna.

Entah kenapa ia ingin memancing Danu bicara tentang istri keduanya Bian.

Sebagai sahabat dekat Bian—Danu pasti tahu kelakuan bejat suaminya.

Dan benar saja, pupil mata Danu melebar terlihat jelas di wajah pria itu bila memang mengetahui tentang perselingkuhan Bian.

Sekali lagi Aruna harus menelan kecewa, bisa-bisanya Danu diam saja mengetahui perselingkuhan tersebut.

“Ri-Rika mendatangi kamu?” Danu tidak percaya dengan apa yang ditangkap indra pendengarannya.

Aruna menganggukan kepala, pandangannya tertunduk menatap kedua tangan yang sedang memainkan tissue di atas meja.

Terdengar helaan napas panjang keluar dari mulut Danu.

“Gi-gini Aruna ….”

Aruna mendongak menatap Danu tepat di mata. “Iya, gimana?”

Aruna ingin sekali mendengar tentang apa saja yang diceritakan Bian pada Danu hingga memutuskan berselingkuh darinya.

Tapi melihat bola mata Aruna yang teduh dan menyiratkan seribu luka di sana membuat Danu tidak tega mengatakan apapun tentang Bian karena semua tentang Bian adalah kemunafikan, kebrengsekan dan pengkhianatan.

Danu memutus tatapan dengan Aruna, matanya mengerjap dengan sering.

“Jadi kamu udah tahu semua?” Danu ingin memastikan apa saja yang sudah diketahui Aruna.

Aruna menganggukan kepala.

“Mereka menikah dua tahun lalu dan sekarang anaknya udah berusia dua tahun … tapi yang aku bingung, kenapa setelah setahun mas Bian meninggal—dia baru datang menemui aku? Dan … apa tujuannya dia menemui aku? Apa dia enggak puas udah merebut hati mas Bian lalu memiliki anak dari mas Bian? Kenapa dia harus datang sekarang?” Suara Aruna tercekat.

Hening membentang selama beberapa sekon.

“Dan ternyata dia menginginkan warisan mas Bian.” Aruna menjawab pertanyaannya sendiri.

Danu mendongak, kembali menatap Aruna.

“Dia enggak bisa menuntut itu dari kamu, pernikahan Bian dan Rika hanya pernikahan siri dan tidak tercatat, Rika dan anaknya enggak bisa mendapat warisan.” Danu jadi emosi, alisnya menukik tajam.

Terlihat sekali bila pria itu sangat kesal.

“Mas Danu tau ‘kan mama Tina? Dia enggak suka banget sama aku, karena aku belum bisa kasih keturunan buat dia … dan sebelum Rika mendatangi aku, dia datang lebih dulu ke mama Tina … mama Tina maksa aku untuk kasih rumah yang aku tempatin sekarang sama Rika dan anak mas Bian,” tutur Aruna menceritakan keresahannya.

“Jangan Aruna, kamu harus pertahankan rumah itu … itu milik kamu, itu hak kamu … kamu lebih berhak.”

Dan Danu mencoba meyakinkan.

“Tapi aku enggak punya anak dari mas Bian, perempuan itu yang punya.”

Satu tetes air mata Aruna lolos usai Aruna berkata demikian.

Danu mengembuskan napas panjang, percuma ia menjelaskan tentang aturan bila hati dan pikiran Aruna sudah di-block oleh kekurangannya yang belum bisa memberi keturunan untuk Bian.

Danu memberikan dua lembar tissue untuk Aruna.

“Aku minta maaf Aruna ….”

“Aku ngerti kok, mungkin karena mas Bian teman mas Danu … jadi mas Danu enggak bisa cerita tentang perselingkuhan mas Bian ke aku … iya, kan? Mas Danu minta maaf karena itu, kan?”

Danu menatap Aruna lama, membiarkan rasa bersalah menderanya setiap melihat wajah cantik nan malang itu.

Karena bukan hanya mengetahui tentang perselingkuhan Bian dengan Rika saja, Danu juga menjadi orang yang selalu membantu Bian membohongi Aruna untuk urusan alibi.

Sering kali Bian mengatakan kepada Aruna kalau pria itu sedang bersama Danu padahal sedang bersama Rika.

Pernah suatu hari Aruna bertanya tentang kabar Bian yang katanya sedang training di luar kota bersama Danu dan sulit dihubungi, padahal Bian mengambil cuti seminggu untuk bersama Rika yang ketika itu tinggal di Jakarta.

Danu harus berdusta kalau Bian baik-baik saja dan memang sedang bersamanya.

“Iya … aku minta maaf, aku terlalu pengecut untuk menceritakan perselingkuhan Bian sama kamu.” Danu tidak ingin perasaan bersalah menyiksanya terus menerus jadi lebih baik ia mengakui dan meminta maaf.

Bian tidak mungkin bangkit dari kubur kalau Danu mengkhianatinya, kan?

Suasana kembali hening, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing sampai pelayan datang mengantarkan makanan pesanan mereka.

Entah kenapa Danu jadi canggung, mungkin karena Aruna lebih banyak diam setelah membicarakan Bian.

Aruna sedang menata hatinya karena lagi-lagi ia mendapati dirinya begitu menyedihkan.

Selain Danu, siapa lagi yang mengetahui tentang pernikahan kedua suaminya?

Aruna memikirkan tanggapan orang-orang yang mengetahui pernikahan kedua Bian, pasti mereka memandang Aruna penuh iba.

“Mas … mereka itu ‘kan enggak mungkin langsung nikah ya, pasti ada pertemuan dan pacaran dulu sebelum nikah … yang aku bingung, kenapa mas Bian nikahin aku kalau memang dia udah mengenal Rika?” Satu kalimat pancingan lagi dan Danu dengan mudah terpedaya.

“Enggak begitu Aruna, Bian menikahi Rika setelah Rika mengandung … jadi sebetulnya bukan dua tahun yang lalu mereka nikah … saat itu Rika mengancam akan datang ke kantor dan membeberkan kehamilannya agar Bian dipecat kalau enggak bertanggung jawab … lalu akhirnya Bian menikahi Rika, jadi sebenarnya Rika hanya alat pemuas nafsu aja … Bian enggak benar-benar mencintai Rika.”

Danu meluruskan karena apa yang diketahui Aruna dari Rika tidak lah benar.

“Kenapa harus mencari pelampiasan di luar? Aku kurang apa?” Suara Aruna mengecil di akhir kalimat.

Aruna semakin tidak percaya diri.

Di dalam benak Aruna sekarang tertanam kalau ia adalah wanita jelek, tidak bisa memuaskan suaminya di ranjang juga tidak bisa memberikan anak.

“Enggak ada, Aruna … Bian selalu memuji kamu, menurut Bian kamu itu sempurna tapi buat Bian—kamu aja enggak cukup, dia selalu ingin memiliki dua.”

Tidak, Aruna tidak percaya semudah itu karena bila Bian merasa apa yang diberikannya tidak cukup—kenapa justru Aruna sendiri merasa kekurangan?

Bian jarang menyentuhnya, hanya awal-awal pernikahan saja mereka melakukan seks yang luar biasa tapi setelah setahun—mungkin ketika Bian baru bertemu Rika—Aruna tidak merasakan gairah Bian sebesar dulu kepadanya.

“Kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa hubungin aku … aku harap kamu bisa mempertahankan rumah itu,” imbuh Danu tanpa komentar apapun lagi dari Aruna.

Keduanya makan malam dalam hening, benak Aruna sibuk berpikir mengenai rumah peninggalan suaminya.

Aruna sempat berpikir untuk memberikan rumah itu kepada Rika tapi ternyata perempuan itu telah membohonginya dengan mengatakan sudah dua tahun menikah dengan Bian.

Padahal Aruna sempat percaya sewaktu Rika mengatakan kalau dia tidak mengetahui tentang Bian yang sudah menikah dan ikut prihatin ketika Rika mengklaim bahwa dirinya adalah korban dari keberengsekan Bian.

Sekarang Aruna tidak akan mempercayai semua yang dikatakan Rika lagi.

Dan sepertinya ia akan mempertahankan rumah itu, mempertahankan haknya.

Itu yang saat ini Aruna yakinkan pada hatinya karena semakin mendengar banyak tentang kecurangan Bian dan Rika maka semakin dirinya banyak terluka.
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Yane Kemal
Bagus, pertahankan
goodnovel comment avatar
Ria Wikantari
bagus ada nilai didik yg terselip dr novel ini. bahwa pernikahan siri g akn dpt apa*
goodnovel comment avatar
Ati Husni
bagus aruna, pertahankan hak mu aruna, jgn kasi utk pelakor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status