Share

Bab 0005

“Weiiiis … mobil baru euy,” celetuk Irma ketika langkah Aruna baru tiba di samping mejanya.

Aruna membuang napas panjang kemudian mendelik manja.

Kebetulan meja mereka berada di area outdoor dekat dengan parkiran jadi Irma dan Icha bisa melihat Aruna ketika turun dari dalam mobil.

“Sugar Daddy mana lagi yang ngejar-ngejar kamu sekarang?” Icha bertanya serius karena selama satu tahun menjanda, sudah lebih dari lima pria mendekati Aruna dan kebanyakan memiliki istri tapi berkantung tebal.

“Mobil aku ditabrak ….” Aruna mencoba menjelaskan.

“Terus kamu beli mobil baru, gitu?” serobot Irma menebak.

“Enggak lah, duit dari mana?” sanggah Aruna sambil mengerucutkan bibirnya.

“Silahkan menunya, Kak.” Seorang pelayan memberikan buku menu setelah tadi Icha memintanya menggunakan tangan sebagai kode.

Aruna meraih buku menu dan membaca sebentar lantas menyebutkan satu menu makan siang beserta minumnya kemudian memberikan menu itu kembali kepada pelayan.

“Terus, itu mobil siapa?” tanya Irma lagi.

Irma yang paling tua di antara mereka dan yang paling peka juga peduli dengan keadaan sahabatnya terutama Aruna yang sedang menjanda.

“Mobil punya yang nabraknya … dia bersedia ganti rugi benerin mobil aku sama pinjemin mobil pengganti sementara,” jawab Aruna yang sebenarnya.

“Pasti tajir ya yang nabrak mobil kamu itu? Mobilnya keren.” Irma berceloteh sambil mengamati mobil BMW putih yang terparkir tidak jauh dari mereka.

“Ganteng enggak?” Itu Icha yang bertanya.

“Siapa?” Aruna dan Irma kompak bertanya.

“Yang nabraknya laaaaah, masa kang parkir di sana.” Icha sewot, dagunya mengendik pada tukang parkir yang berdiri di samping mobil BMW putih.

“Oooh ….” Irma terkekeh.

“Ganteng banget … dan kalian tahu apa? Dia bosnya mas Bian.”

Irma dan Icha sontak saling menatap dengan mata membola.

Bukan pujian Aruna pada si penabrak yang membuat mereka terkejut melainkan kaitan si penabrak dengan mendiang suami Aruna.

“Kok bisa kebetulan?”

Aruna mengangkat bahu menanggapi pertanyaan Irma.

“Terus tahu enggak? Mas Adrian ini punya anak perempuan umur lima tahun—“

“Cieeee, manggilnya udah Mas,” sambar Icha menggoda.

“Adrian … dari namanya memang ganteng dan kayanya juga setia.” Irma bertingkah seperti cenayang.

Dua sahabatnya itu pantang menyerah dan tidak kenal lelah dalam berusaha agar Aruna menanggalkan status jandanya.

“Apaan sih … aku belum selesai cerita, dengerin ya … aku ‘kan ikut ke rumah mas Adrian buat ambil mobil BMW itu … terus masa, aku dipanggil mami sama anaknya mas Adrian.” Aruna melanjutkan ceritanya.

“Seriusan? Memangnya maminya enggak marah?” Icha mencondongkan tubuhnya, raut wajah wanita itu semakin serius saja.

“Maminya udah meninggal waktu melahirkan Ara ... anak itu namanya Ara.”

Refleks Irma dan Icha bertepuk tangan.

“Wah pas, Duda …,”kata Irma seraya menaik turunkan kedua alisnya.

“Bener … ini baru pas, jodoh ... janda sama duda.” Icha menimpali.

“Apaan sih … main pas-pas aja.” Aruna menatap malas kedua sahabatnya.

“Ya udah … tempel terus sampai dapet.” Icha memberi semangat.

Tapi wajah Aruna selalu tidak bersemangat setiap kali membicarakan pria.

Hatinya masih terluka dan sulit sekali untuk Aruna mempercayai seorang pria.

Aruna juga memblokir setiap pria yang mencoba masuk ke dalam hidupnya.

“Kamu mau sampe kapan kaya gini sih? Enggak semua laki-laki kaya mas Bian kamu itu, Aruna … masih banyak yang baik dan setia.” Irma menasihati.

“Iya … aku tahu, tapi biar hati aku sembuh dulu ya … masih sakit banget soalnya.” Aruna meminta pengertian.

“Eh … kamu udah balas chat dari temannya mas Ryan belum?” Icha penasaran dengan kelanjutan pendekatan antara Aruna dengan teman suaminya yang pernah ia kenalkan tempo hari.

Padahal baru saja Aruna meminta pengertian untuk menyembuhkan hatinya dulu.

“Apa? … Apa?” ujar Icha ketika mendapat sorot mata tajam yang dibuat-buat dari Aruna dan Irma.

Tapi persahabatan mereka sudah terjalin sejak bangku kuliah jadi Icha mengerti arti dari sorot mata tajam dua sahabatnya.

“Yaaa … siapa tahu kamu nyembuhin lukanya mau ditemenin sama temannya mas Ryan.” Icha berkilah.

Padahal dia begitu semangat sewaktu membicarakan Adrian.

Aruna terkekeh, jawaban Icha memang selalu absurd sedangkan Irma hanya memberikan tatapan malas.

Icha lah yang selalu membuat pertemuan mereka menjadi penuh tawa.

“Eh … terus, masalah chat dari ibu mertua kamu itu gimana? Kamu belum lanjutin lho ceritanya di grup chat.” Irma teringat cerita Aruna di grup chat tentang ibu mertua Aruna.

Ibunya Bian itu meminta rumah yang sedang ditempati Aruna sekarang untuk diberikan pada cucunya dari pernikahan Bian dengan wanita lain.

“Nah … itu, aku lagi galau … masa aku harus kasih rumah itu? Tapi ….” Aruna menjeda, menatap pada makanan di depannya yang baru saja disajikan oleh pelayan.

“Aku juga enggak punya anak dari mas Bian … apa aku kasih aja ya rumah itu?” sambung Aruna yang langsung mendapat respon penolakan dari kedua sahabatnya.

“Jangan!!” Irma dan Icha kompak berseru.

“Rumah itu adalah hak kamu … lagian anak itu cuma anak dari pernikahan siri.” Irma menentang keras.

“Iya … kamu harus mempertahankan hak kamu, Aruna.” Icha menimpali.

Seharusnya memang seperti itu tapi ibu mertua Aruna sangat cerewet dan menyebalkan, bila sudah memiliki keinginan harus diikuti.

Aruna langsung membalas chat mantan ibu mertuanya begitu beliau mengajukan permintaan rumah itu, ia mengatakan akan memikirkannya dulu tapi belum satu jam ibunya mas Bian mengirim chat kembali dan menanyakan apakah ia sudah selesai mempertimbangkan keinginannya.

Aruna tidak memberikan balasan tapi beberapa jam kemudian mantan kakak ipar Aruna mengirim chat berisi nasihat agar Aruna tidak menahan hak orang lain apalagi ini adalah anak yatim.

Mereka itu memang keluarga menyebalkan, andaikan boleh ingin sekali Aruna membenci mereka.

“Eh … Mas, itu yang punya caffe ini ya?” Tiba-tiba Icha menahan seorang pria dengan name tag Manager di dadanya.

“Oh betul, Bu.” Pria itu menjawab.

“Udah nikah belum? Ini saya punya janda … siapa tahu bosnya lagi cari jodoh ….”

“Ichaaaaaaa.” Aruna mengerang sambil memelototkan matanya.

***

“Halo Ara?” Adrian menjawab panggilan telepon yang masuk ke ponselnya.

“Papiii … aku mau mami.” Isvara merengek.

“Araaa, mami lagi sibuk … mami enggak bisa ketemu kamu.”

Adrian asal menjawab hanya agar Isvara berhenti merengek.

“Ara kangen mami, Pi … Ara ingin ketemu … Ara kangen, Ara udah dapet nilai A di sekolah … Ara mau pamer sama mami.”

Adrian melepaskan kekehan singkat.

“Nanti aja pamernya kalau mami udah enggak sibuk ya?” bujuk Adrian tapi tidak terdengar balasan selama beberapa detik dari ujung panggilan sana.

“Ar—“

Kalimat Adrian tertahan karena panggilan teleponnya diputus sepihak oleh Isvara.

Adrian mengembuskan napas panjang kemudian menyimpan kembali ponselnya ke atas meja bersamaan dengan suara interkom yang berbunyi.

Telunjuk Adrian menekan sebuah tombol di sana.

“Pak Adrian … ada Bu Trisha di bawah.” Selly-sekertaris Adrian memberitau.

“Suruh dia ke atas, Sel …,” titah Adrian kepada sang sekertaris.

“Baik Pak.”

Adrian melanjutkan menandatangani berkas yang masih tersisa sebelum Trisha tiba di ruangannya.

Ceklek.

Pintu terbuka memunculkan sosok molek Trisha yang kemudian berlenggak lenggok melangkah gemulai mendekati meja Adrian.

Tubuh Trisha yang ramping dengan lekukan di bagian pinggang terbalut pakaian kurang bahan, seolah pemilik tubuh itu ingin memamerkan keindahannya.

“Kamu ada waktu malam ini?” Trisha langsung bertanya demikian setelah duduk di atas pangkuan Adrian dan melingkarkan kedua tangan di lehernya.

“Mau ke mana?” Adrian bertanya lembut.

“Ada acara ulang tahun temen di Night Club … temenin aku ya?” Trisha memohon, mendekatkan wajahnya dengan wajah Adrian kemudian memberikan lumatan di bibirnya.

“Ara nungguin aku di rumah … kamu aja pergi sama teman-teman kamu ya.”

Adrian menolak secara halus usai Trisha menjauhkan wajahnya.

Trisha berdecak lidah lantas memberikan delikan sebelum bangkit dari atas pangkuan Adrian.

“Enggak bisa kamu kasih pengertian sama Ara sekaliiii aja, malam ini aja … aku tuh punya pacar tapi enggak kaya punya pacar … sebenarnya kamu itu niat enggak sih dijodohin sama aku?”

Trisha memajukan bibirnya lantas melipat kedua tangan di depan dada.

Wanita itu lantas menghempaskan bokong di single sofa.

Sama seperti Tyas-mami kandung Isvara, Trisha juga adalah produk hasil perjodohan keluarga Pramudya.

Trisha diperkenalkan oleh Om Bagja-kakak tertua dari mendiang papanya Adrian.

Saat itu Adrian memang sedang mencari ibu sambung untuk Isvara dan tidak menolak ketika Om Bagja memperkenalkan Trisha padanya.

Dan sekarang, Adrian sedang mencoba menjalin hubungan dengan wanita lagi setelah beberapa tahun hidup menjadi single parent.

“Kamu tahu ‘kan, Ara akan berulah kalau aku terlambat pulang … dia enggak punya mami jadi cari perhatian lebih sama aku.”

Adrian bangkit dari kursi kerjanya lantas duduk di sofa set yang berada di sudut ruangan tempat ia menerima tamu.

“Ya kalau gitu kapan kamu mau nikahin aku?”

Adrian bingung kalau ditanya seperti itu karena belum dapat ijin dari Isvara atau bisa dibilang Isvara tidak menyukai Trisha tapi malah menyukai Aruna.

“Dari pada kamu ke Night Club, gimana kalau malam ini kamu datang ke rumah … biar Ara lebih dekat sama kamu.”

Adrian memberikan sebuah ide agar ia bisa menjawab pertanyaan Trisha tentang kelanjutan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.

Karena bila Ara memberi ijin, maka ia tidak akan menunda-nunda lagi pernikahan dengan Trisha.

Trisha tampak menimbang tapi sebetulnya sudah tahu jawaban apa yang akan ia berikan kepada Adrian.

Tok …

Tok …

“Masuk,” titah Adrian meninggikan suaranya agar terdengar oleh seseorang di balik pintu.

“Maaf Pak Adrian, ini laporan yang Pak Adrian minta.”

Seorang pria masuk membawa berkas di tangannya kemudian memberikan berkas tersebut kepada Adrian.

Adrian membaca sekilas berkas itu dengan seksama menghasilkan rotasi mata jengah dari Trisha.

Trisha tidak suka diabaikan.

“Oke makasih ya, Pak Danu … oh ya, bisa tolong nanti di-compare sama laporan sampai tiga bulan ke belakang lalu kirim lewat email aja ke saya.” Adrian memberi instruksi.

“Sekarang Pak?” Danu berharap Adrian menjawab besok.

“Ya sekarang donk, Pak Danu … jam pulang kerja masih satu jam lagi, kan?” Kalimat itu terdengar sarkasme di telinga Danu.

“I-iya, Pak … baik.” Danu undur diri usai menyanggupi permintaan Adrian.

Di luar sana Danu bertemu dengan Selly yang tengah memoles bibirnya dengan lipstik.

Wanita itu sepertinya hendak bersiap untuk pulang.

“Enggak usah kecentilan, jam pulang kerja masih satu jam lagi, kan?” Danu meniru kalimat Adrian sembari melewati meja Selly.

Selly menjulurkan lidah menantang Danu yang kemudian mendelik sebal ketika hendak berbelok di ujung lorong.

Padahal Danu ingin bertemu seseorang sepulang kerja, ia harus bergegas mengerjakan permintaan Adrian tadi sebelum jam kerja usai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status