"Neneeeekkk! Aku dirampok!" teriakku dengan scream-jerit mengundang semua orang untuk melihat ke luar rumah."Ada apa, Yan? Dirampok di mana?" tanyanya denga tergopoh, sambil menjinjing jarik usang yang memudar memudar Jika tika tidak dalam keadaan bersandiwara, pasti aku akan tertawa ngakak karena melihat ulah Nenek yang sangat lucu. Sayangnya sedang akting."Sudah, gak pa pa, Yang penting kamu selamat," ucap Nenek memelukku.Dalam hati, sempat terbersit untuk mengatakan keinginan ikut Yu Sari ke kota. Namun, melihat tubuh renta dan mata yang mulai merabun itu, aku jadi tidak tega.Sampai suatu siang, sebuan nomer tertera melakukan panggilan masuk ke handphoneku. Sebuah nomer tanpa nama, tetapi tetap kuangkat karena rasa penasaran yang mendominasi."Assalamu'alaikum....""Wa'alaikumsalam....""Apa yang benar dengan Yanti ini?""Ya benar, dari mana ya?" tanya dengan antusias."Hai Mbak, ini Ibu Panti Kasih Sayang.""Jadi gimana? Apa kamu jadi tinggal bersama kami?""I-iya, Bu. Mau sa
'Kamu dimana Yu?'Aku masih celingukan mencari Yu Sari. Barangkali saja dia repot di dalam, hingga tidak menyadari kalau aku sudah datang.Satu per satu kamar yang berjajar, membuatku melongokkan kepala ke dalam. Sekedar melihat, mungkin Yu Sari ada di dalam. Hingga sebuah suara mengagetkanku."Mbak ... dipanggil Ibu Mira ke depan."Aku menoleh ke asal suara itu, bocah laki cilik yang tadi memperhatikanku. Aku pun bergegas ke depan."Yanti, Ibu mau minta tolong belikan tas plastik kecil di warung sebelah," perintah Bu Mira sambil memberiku selembar uang lima ribuan. Aku pun memenuhi perintahnya. Kutengok kanan kiri untuk mencari keberadaan warung tersebut. Tak lama netraku menangkap warung bernuansa biru yang terletak di sebelah kanan, empat rumah dari panti.Aku melangkahkan kaki menuju warung tersebut. Ketika sampai di warung itu, sang pemilik mengawasiku dengan seksama."Mau beli apa?" tanya Ibu pemilik warung."Plastik kecil putih, Bu.""Kamu anak panti baru ya?" tanya Ibu tadi s
"Kok lemes gitu? Ada apa?" tanya Mas Alif begitu aku datang.Aku mencoba mengulas senyum mencoba mengalihkan, "sudah dapat plaris 'kah?""Sudah," jawabnya singkat, "ada masalah apa lagi?"Aku menarik napas dalam, menelaah kembali yang terjadi. Masalah datang begitu bertubi-tubi. Mengapa niat baik kami, malah jadi mencoreng muka kami sendiri. Ketulusan ini bahkan disalah gunakan oleh mereka yang masih terbilang bocah bau kencur."Dek, kok jadi melamun?" tanya Mas alif lagi."Di sekolah pun, Aira bikin masalah.""Soal apa itu?""Tadi Bu Diah tanpa sengaja menanyakan soal kebenaran tentang Yanti. Betul apa tidak dia keponakanku.""Lalu ...,""Ya aku jawab memang betul, sebab pas daftar dulu, Bu Diah kan gak tahu, makanya dia memastikan. Anehnya, malah Bu Diah menananyakan soal kekurangan uang pembangunan.""Kenapa dengan uang pembangunan, belum kamu bayar atau masih kurang?" cecar Mas Alif."Sudah terbayar sebagian, kurangannya aku janjikan satu bulan. Tetapi, sebelum jatuh tempo sudah k
Ternyata sampai di sana pun, tidak ada Yanti. Bahkan Bibinya Sari juga heran, bagaimana Yanti bisa ada di kota. Karena selama ini yang dia tahu, gadis tengil itu ada di rumah Neneknya. Wanita itu malah pesan sama Sari, untuk tetap tinggal bersamaku. Bila nanti Yanti ketemu, dia juga minta dikabari. Aku pun pamit dan segera meninggalkan tempat tersebut. Sambil melajukan motor, aku berpikir hendak mencari kemana lagi. Perasaanku mengatakan, gadis tengil itu belum pergi jauh dari rumah. Tiba-tiba saja, aku kepikiran mencari di Ibu angkat Sari yang selama ini memperkerjakan Sari tanpa gaji.Memasuki gang kecil tempat tinggal Ibu angkat Sari, entah emosiku memuncak. Motor sengaja kulajukan perlahan. Tepat sebelum rumahnya, aku sudah berhenti. Kuparkir motor agak jauh dari rumahnya. Lalu aku berjalan menuju ke sana.Sepasang sandal japit merah gambar hello kitty milik Firda ada di teras Kumala Ibu angkat Sari. Aku masuk ke teras rumah yang tanpa pagar itu, bayangan dari kaca depan mempe
Aira bagiku adalah wanita istimewah. Dia tidak hanya Ibu bagi anak-anakku. Tetapi dia juga Ibu dan kakak, bagi adik-adikku. Sikapnya yang penuh perhatian dan belas kasih, membuat siapa aja menyayanginya.Satu hal yang membuatku kadang heran. Baik Abang maupun adik-adikku begitu dekatnya. Meminta makanan maupun baju tanpa ada rasa sungkan sekalipun. Aira juga tidak pernah mengeluhkan tentang saudara-saudaraku yang meminta ini dan itu. Tak sekalipun dia meminta ganti uang padaku, karena telah membelanjakan permintaan Abang sama adek-adekku.Hingga Bang Hendro sakit pun, orang yang pertama dikasih tahu adalah Aira, istriku. Sayangnya, Bang Hendro tidak sempat tertolong waktu itu. Setelah Bang Hendro meninggal, aku dan istriku memutuskan untuk mencari anak-anak dari pernikahan pertamanya dengan Aminah.Hingga salah satu kubawa mereka pulang dari panti asuhan, Yanti. Sedang Sari si Sulung, belum kami ketemukan. Baru setelah Yanti kami jemput, Sari datang menyusul ke rumah. Gadis itu akhirn
"Arrgghh benar-benar tidak tahu diri kamu! Maumu apa sebenarnya?!" tantangku kecewa pada Yanti.Dia mendongak .... "Sekarang maumu gimana?!"Sikapnya sudah benar-benar kelewatan. Menguras habis kesabaran, untung saja dia bukan anak kandungku. Kalau iya, sudah jadi perkedel anak itu di tanganku."Jawab Yanti! Jangan diam saja! Itu lho Om-mu tanya." Kulihat Rudi pun terbawa emosi sama denganku. Lain dengan Kumala yang bersikap sebaliknya. Terlihat sekali jika Kumala melindungi gadis pengecut itu."Oke ... saya akan kasih kamu dua pilihan. Pertama, jika kamu tetap ingin tinggal di sini, maka sekolahmu harus berhenti sampai di sini ...."Yanti mendongak dengan raut wajah terkejut. Mungkin dia tidak pernah mengira, jika kami akan melakukan hal itu."Bukan hal itu saja ... saya sebagai pengganti wali dari orang tuamu, memutuskan pula untuk mengakhiri ikatan kita sebagai keluarga."Kali ini bukan hanya Yanti yang terhenyak, Sari, Kumala, Rudi bahkan Pak Wongso kaget begitu mendengar ucapank
Sampai di toko sudah hampir jam sepuluhan, dengan cekatan aku membuka dibantu oleh kedua anak buahku. Kalau hari Minggu begini, banyak orang jalan-jalan atau sekedar mencuci mata menghabiskan waktu luang.Tetapi ada pula yang sengaja datang dari luar kota, untuk mencari barang yang memang mau dijual lagi maupun untuk persiapan lebaran. Tentu saja, bagi yang ambil banyak akan dapat harga grosir, lain dengan yang eceran. Bagi pedagang seperti kami, jika pengambilan banyak, kami hanya main omzet saja. Beda ceritanya kalau eceran. Terkadang kami ambil laba sekitaran sepuluh ribu hingga lima belas ribu, karena adanya resiko mati ukuran dan warna.Tak terasa karena kesibukan yang tak henti-henti, waktu pun bergulir dengan cepat begitu saja. Suamiku tidak datang ke toko, karena masih menyelesaikan masalah Yanti. Aku juga sengaja tidak meneleponnya, takut saling mengganggu.Hari sudah hampir senja ketika aku tiba kembali di rumah. Kulihat Mbak Romlah sudah selesai dengan tugasnya. Makanan pu
"Ibu sudah sarapan?" "Sudah tadi, Nak. Kok tumben belum berangkat?"Pagi ini sengaja aku tidak berangkat bareng Mas Alif. Karena rencananya mau nunggu Uswatun dulu dari pasar. Sambil menunggu, aku menyiapkan bahan-bahan yang hendak kuracik."Yanti jadi tinggal ma siapa, Nduk?" tanya Ibuku hati-hati."Sama orang tua angkatnya Sari itu Buk, kenapa memangnya?"Kulihat Ibu mengerjapkan matanya. Pandangannya menerawang lalu berkaca-kaca. Sesaat kemudian terdengar beliau bicara lagi."Ibuk ini bukannya mau adu domba, tapi ... kalau tidak bilang, kasihan kamu.""Soal apa, Buk?"Aku mengalihkan perhatianku sejenak dari bumbu-bumbu yang hendak kuracik. Ingin tahu, perihal apa yang hendak dibicarakannya."Gak sekali dua kali, si Yanti itu datang bawa teman. Bahkan temannya ada bilang. Owh, tua bangka ini ya Yan? Kasih racun saja biar cepat mati!" ucap temannya sinis pada Ibu."Astaghfirrullah ... Ibuk kenapa gak bilang sama aku?" "Nduk ... Nduk, kamu itu seharian kerja pontang-panting, masa d