Setelah mengucapkan terima kasih pada Mama Salsa atas informasi yang diberikan, aku semakin yakin bahwa Yanti benar-benar meminjam uang dari Bu Wati.
Ketika aku akhirnya masuk ke rumah, kulihat Yanti sedang asyik berbalas pesan sambil menonton tivi. Firda dan Sari nampaknya sudah naik ke atas untuk tidur.
"Nak, Mama mau ada perlu sama kamu."
Aku memang memanggilkan diriku Mama kepada mereka semua, agar tidak canggung. Yanti yang sebelumnya tidur-tiduran, bangkit duduk di dekatku. Aku mencoba menatapnya dengan pandangan kasih sayang.
"Kamu, apa ada yang ingin disampaikan kepada Mama?" tanyaku sebelum aku meminta penjelasan darinya.
"Tidak ada, Bu," jawabnya sambil sesekali berbalas pesan entah dengan siapa.
"Kamu itu kalau diajak orang tua bicara, perhatikan!" hardik suamiku yang sedari tadi terlihat diam di sampingku.
Yanti hanya mendongak sebentar, lalu menunduk lagi.
"Ayah tanya sama kamu. Betul kamu pinjam uang ke Bu Wati?"
"Iya," jawabnya singkat.
"Buat apa, Nak?" tanyaku.
"Itu Bu, buat bayar sepatu yang datang. Tapi tenang saja, Bu, minggu depan sudah dibayar, kok, sama orangnya," terangnya yakin.
"Lain kali itu bilang dulu sama Ibu. Jangan lancang kaya, gitu," ujar suamiku.
Yanti hanya mengangguk dengan mencebikkan bibirnya. Kalau anakku sendiri, sudah pasti aku tarik itu bibirnya. Astagfirullah ....
"Kamu waktu pinjam Bu Wati, apa sudah dikasih tahu soal bunganya?" tanyaku kali ini.
"Bukan bunga Bu, tapi denda kalau telat. Cuma lima puluh ribu, kok, Bu," jawabnya enteng.
"Kamu bilang cuma lima puluh ribu? Dapat dari mana kamu uang andai bukan Ibu, yang bayar, hah?!" Suamiku kembali emosi.
Jangankan suamiku, aku pun jadi tersulut emosi menghadapi bocah tengil satu ini.
"Ingat ya, Nak, pertama dan terakhir kalinya. Jangan pernah pinjam Bu Wati. Dia itu rentenir. Mama yang sudah tinggal di sini saja, tidak mau urusan sama dia. Kok, kamu bisa-bisanya urusan ma Bu Wati. Jangan diulang, ya," tekanku.
Gadis itu hanya menunduk, menekuri lantai. Entah menyesal dengan perbuatannya atau bagaimana aku tidak tahu. Yang jelas tak terucap kata ma'af sedikit pun dari bibirnya.
Kejadian itu sudah berlalu berminggu-minggu. Semua terlihat sudah normal kembali. Ibuku masih tinggal bersamaku. Karena memang beliau sudah menjanda.
Hingga tiba di suatu hari, selepas salat Magrib, semua anak-anak sedang mengaji di lantai atas. Aku dan suami asyik menemani si bungsu menonton You Tube di smart televisi kami. Sebuah notifikasi masuk ke salah satu ponsel anak-anak yang kebetulan di charger di samping meja tamu.
[Pengajuan pinjaman online Anda sebesar lima juta telah kami setujui]
Mataku sampai terbeliak lebar membaca pesan tersebut. Gegas kulepas ponsel dari colokan listriknya.
Kubolak-balik ponsel tersebut dengan gemetar. Berani sekali gadis itu sampai meminjam uang di aplikasi Pinjol. Antara geregetan dan marah membuncah jadi satu.
"Ada apa, Dek?" tanya suamiku.
"Ini! Baca sendiri," kataku sambil menyodorkan hp salah satu milik keponakanku.
Sesaat Mas Alif tampak terdiam setelah membaca pesan tersebut. Tarikan napasnya dipenuhi amarah, mimik mukanya memerah. Aku berkali-kali sampai harus menarik napas, karena menahan sesaknya perasaan ini.
Bagaimana dia yang masih sekolah, sampai berani melakukan pinjaman online tanpa sepengetahuan kami selaku orang tua angkatnya.
Tak lama azan Isya pun terdengar, Ustad Karim turun dan pamit kepada kami.
Anak-anak ikut turun di belakangnya. Vian tampak langsung pamit ke masjid. Sementara ketiga gadis itu meletakkan bokongnya di karpet yang biasa digelar di ruang keluarga.
"Yanti! Apa maksud kamu sampai berani melakukan pinjam uang di Pinjol?" tanya suamiku.
Ketiga gadis itu, termasuk sulungku Firda ikut terpaku mendengar pertanyaan ayahnya. Sementara Yanti dengan gugup dan tubuh bergetar, berusaha untuk mencari alasan.
"I-itu, Yah, eh Om, aku ga pinjam, kok. Itu, temenku asal-asalan masukkan aja kok, waktu itu," jelasnya dengan terbata-bata.
"Tapi di situ, ada keterangan pengajuanmu disetujui! Masih mengelak kamu?!" sarkas suamiku.
"I-iya, tapi saya tidak pinjam, kok," elaknya lagi.
"Jangan sampai kamu terlibat lagi urusan utang-utangan! Apa uang saku yang diberikan Ibu kurang? Transport juga sudah diantar jemput. Iuran dan beli buku pun, Ibu kasih beda ke kamu. Jangan kamu kira Ayah ini diam, terus kamu anggap tidak tahu apa-apa!"
"Kamu itu memang sulit dinasihatin, Yan. Padahal aku sudah bilang jangan bikin ulah yang aneh-aneh," sela Sari.
Yanti tetap tertunduk, lagi jarinya asyik memelintir ujung bajunya. Bahkan mimik mukanya tidak menyiratkan kekhawatiran atau ketakutan yang berarti.
"Kalau sudah disetujui, berarti dana sudah masuk atau bagaimana, Mas? tanyaku.
"Harusnya ya sudah masuk Dek, tapi anak ini bilang cuma asal-asalan yang masukin data."
Lalu suamiku memberi isyarat agar aku tidak membahas itu di depan anak-anak. Akupun mengiyakan, ke dapur sebentar mengambil cemilan. Terus balik lagi lagi ikut duduk bersama mereka.
"Buat apa kamu pinjam di pinjol?" tanya suamiku dengan kalem kali ini pada Yanti.
"Iseng saja, kok, Yah. Aku, ga,ada niat."
"Kalau gak ada niat, kok, pakai ngajuin pinjaman?"
Yanti terdiam cukup lama, sampai semua mata tertuju ke arahnya. Akan tetapi dalam diamnya itu, Yanti masih bisa tersenyum-senyum gak jelas. Membuat aku yang melihatnya jadi geram. Sampai Sari pun, menyenggol bahu Yanti, agar terlihat gak cengengesan.
"Itu Yah, sebenarnya buat nambah modal jualan. Biar tambah banyak itemnya. Jadi, aku pinjam pinjol," jelasnya dengan tetap cengengesan.
"Ya Allah Nak, kenapa sampai harus begitu. Apa Mama tidak mengingatkan? Cukup jadi reseller saja. Kamu itu masih sekolah, bukan pelaku bisnis. Sekolah dulu yang benar, itu saja yang harus kamu lakukan untuk saat ini," tegas suamiku pada Yanti.
"Terus ... gimana itu sepatu kuning yang lalu? Sudah diambil sama pemesannya? Uangnya apa sudah dikembalikan ke Mama?" tanya suamiku bertubi-tubi.
Yanti terlihat semakin gelagapan, aku juga baru ingat, kalau dia belum mengganti uang yang aku buat bayarin bu Wati lebih dulu. Anak ini benar-benar kelewatan sudah kataku.
'Apa jangan-jangan, uangnya sudah habis buat foya-foya sama temannya?'
'Bisa juga uangnya untuk membeli ... ah pikiranku jadi ke mana-mana jadinya.'
"Ayo jawab! Gimana kabar uang sepatu itu? Itu uang Mama. Uang halal dari seharian meninggalkan kalian anak-anaknya di rumah. Sampai akhirnya malah kamu salah gunakan," cecar suamiku.
Yanti tetap bergeming tak menjawab, dia terlihat pura-pura sibuk dengan androidnya. Aku semakin mengelus dada melihat kelakuannya. Suamiku pun terlihat sudah sangat kesal karena ulahnya.
"Yanti! Jangan semakin kurang ajar kamu!" bentak suamiku dengan kasar.
"Ayo Mbak, kita makan dulu yuuuuk ...," ajak Vian yang tiba-tiba muncul dengan secobek rujak manis yang dibelinya dari tetangga.
Sari dan Firda mengikuti adiknya makan rujak. Yanti terlihat hendak ikut bangun mendekati ketiga saudaranya.
"Duduk kembali kamu di tempatmu!" hardik suamiku.
Yanti pun urung bangkit. Kembali dia sibuk menekuri androidnya.
Entah terbuat dari apa hati anak itu. Wajah cantik, tetapi tidak dibarengi dengan akhlak yang bagus. Sungguh membuat kepalaku berdenyut sebagai seorang Ibu.
Tak sengaja tanganku membuka status W* milik Yanti yang nongol di barisan paling atas. Isinya membuat kepalaku semakin puyeng.
[Dibuka arisan 50k per Minggu khusus 10 orang saja. Segera chat W* nomer ini]
Alamaaakk ini anak bau kencur, akal-akalan mau ngadain arisan.
'Bencana apalagi ya ... Allah?'
Dengan rasa tak sabar, aku pun berusaha mengontrol emosiku terlebih dahulu. Bagaimanapun, dia cuma anak-anak yang masih butuh bimbingan orang tua.Perlahan kudekati Yanti, suamiku tampak tidak senang. Bahkan kedua anak kandungku tampak merespon dengan wajah masam. Hanya Sari yang terlihat seperti orang berpikir keras."Lho Nak, kok kamu bikin status begitu? Siapa memang yang bikin arisan? Apa kamu jadi boreknya?" tanyaku dengan perlahan.Borek itu semacam pemimpin arisan yang tugasnya nanti, apabila ada yang tidak bayar, maka borek tadi yang jadi penanggung jawabnya. "Bukan Bu, teman saya. Cuma bantu promokan saja," alibinya."Kamu juga ikut?" tanyaku lagi.Yanti tampak mengangguk samar-samar. Bahkan ketika aku tekan di status ke-dua yang diunggahnya, ada lagi status yang sama dengan jumlah nominal yang berbeda beda. Ada hingga lima unggahan."Saya ikut tiga."Berani sekali dia ikut arisan, mataku sampai membulat lebar mendengar pengakuannya. Anak sekolah dengan uang saku 15 ribu. Ta
"Eh Yanti! Otakmu di taruhdimana sih?" sahut Sari yang sedari tadi diam memperhatikan."Ya di kepala, Yu! Masa didengkul?" sewotnya pada Sari."Kalau di kepala, gak mungkinloadingnya pentium satu. Bahkan kukira kamu taruh di kakimu. Ya, kaki yang baudan penuh kutu air," tangkis Sari."Awas kamu Yu! Jangan coba-cobangomporin Ibu!""Lho emangnya ngapain juga mestinomporin, Tante?" ucap Sari sambil membulatkan matanya. Keduanya jadi terlibat argumen panas, tanpa peduli aku dan Mas Alif masih ada di sana."Sudah! Sudah! Malah tambahberantem," lerai suamiku itu pada akhirnya."Kamu saya tanya sekali lagi.Masih mau sekolah atau gimana?" tanya suamiku dengan tatapan tajam ke arahYanti."Ya mau sekolah, Yah."Setelah menjawab, Yanti kembalimenunduk tak segarang ketika beradu mulut dengan Sari. Suamiku tampak masihmenatap ke arah Yanti."Kalau mau sekolah, yang benar!Jangan pake bikin acara yang aneh-aneh! Ingat itu ya, Nak?""Iya Yah, akan saya ingat."Yanti nampak beranjak dari d
Pagi ini aku menemui Bu Diah di YP. Islamic Modern tempatku dulu menimba ilmu. Sekaligus mengantar kue yang dipesan beliau beberapa hari lalu. Aku juga ingin sedikit melepas rasa rindu di sekolahku ini dulu. Mengenang masa-masa saat masih berseragam abu-abu.Sekitar pukul 09.30 aku sudah meluncur meluncur keramaian lalu lintas yang begitu padat. Tiba di sana sudah masuk jam istirahat, dengan gegas kuseret langkahku ke ruang guru."Ini Aira, ya?" tanya Pak Bandrio guru ekonomiku dulu di kelas 11. Aku menyalaminya dengan penuh rasa hormat."Kok masih ingat saya, Pak?" tanyaku dengan bangga."Ya pasti Bapak ingat kamu. Sekretaris Bapak yang paling pandai kamu itu," pujinya padaku. Aku merasa tersanjung dibuatnya."Terima kasih banyak, Pak. Berkat didikan Bapak, kini saya bisa seperti ini.""Jangan salah Pak, muridmu itu pengusaha sukses lho biarpun perempuan gitu. Wanita multitalenta," ujar Bu Diah sudah bergabung bersama kami di depan ruang kesiswaan. Aku pun menjawab salim kepada belia
"Panggil saja Bu, saya ingin dengar apa alasan anak itu. Takutnya kalau kita rencanakan malah dia berkelit lagi," selaku."Tapi tunggu bentar. Sekarang ada pelajaran Pak Hadi, khawatir ada ulangan di kelas Yanti," ujar Bu Kus selaku TU.Aku berdiri dengan tubuh gemetaran. Bukannya apa, aku takut tidak dapat menahan emosiku saja. Sebab dari tadi rasanya sudah ingin kugigit anak itu!Nampak beliau sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Sejenak kemudian terlihat sudah selesai."Aman, ga ada ulangan kok," terang Bu Kus.Bu Diah beranjak keluar ruangan. Aku diajak Bu Kus masuk ke ruang yang bersekatan dengan ruang depan."Kamu tunggu di sini, bentar. Nanti Ibu kasih kode buat keluar, ok?""Siap!" jawabku tidak sabar, sambil menghempaskan bokongku yang sudah terasa panas.Terdengar langkah orang datang masuk ke dalam ruangan. Aku yakin sekali jika itu Yanti. Sebab tak lama kemudian terdengar suara bu Kus yang sedang menginterogasi."Yanti, kapan yang mau bayar kurangan uang pembanguna
POV YANTIAku masih berusia dua tahun kala itu, Bunda meninggal karena seringnya mengkonsumsi obat pengurus badan. Saking pinginnya beliau langsing, hingga beliau berbuat demikian. Bunda mengambil jalan pintas tersebut.Ayahku yang sering bermain-main dengan perempuan cantik. Membuat Bundaku terobsesi untuk kurus. Sayangnya hal itu malah merenggut jiwanya. Begitu yang kudengar dari cerita orang-orang di sekitarku.Namaku Sri Damayanti sedang kakakku Sari Kusumaningrum, kami hanya dua bersaudara. Ketika Bunda meninggal usia Yu Sari sudah lima tahun. Dia mengingat betul paras Bunda yang tidak pernah aku kenali. Aku hanya dapat mengenali wanita itu, pada foto yang sudah memudar warnanya.Kata Yu Sari, Bunda sangat menyayangi kami berdua. Kami dimanjakan bak puteri dalam negeri dongeng. Semua yang kami inginkan diberikannya tanpa menunggu waktu yang lama.Setelah Bunda meninggal, kami berdua diboyong Nenek untuk dirawat di desa. Namun tak lama kemudian, Ayah menjemput Yu Sari turut bersam
"Neneeeekkk! Aku dirampok!" teriakku dengan scream-jerit mengundang semua orang untuk melihat ke luar rumah."Ada apa, Yan? Dirampok di mana?" tanyanya denga tergopoh, sambil menjinjing jarik usang yang memudar memudar Jika tika tidak dalam keadaan bersandiwara, pasti aku akan tertawa ngakak karena melihat ulah Nenek yang sangat lucu. Sayangnya sedang akting."Sudah, gak pa pa, Yang penting kamu selamat," ucap Nenek memelukku.Dalam hati, sempat terbersit untuk mengatakan keinginan ikut Yu Sari ke kota. Namun, melihat tubuh renta dan mata yang mulai merabun itu, aku jadi tidak tega.Sampai suatu siang, sebuan nomer tertera melakukan panggilan masuk ke handphoneku. Sebuah nomer tanpa nama, tetapi tetap kuangkat karena rasa penasaran yang mendominasi."Assalamu'alaikum....""Wa'alaikumsalam....""Apa yang benar dengan Yanti ini?""Ya benar, dari mana ya?" tanya dengan antusias."Hai Mbak, ini Ibu Panti Kasih Sayang.""Jadi gimana? Apa kamu jadi tinggal bersama kami?""I-iya, Bu. Mau sa
'Kamu dimana Yu?'Aku masih celingukan mencari Yu Sari. Barangkali saja dia repot di dalam, hingga tidak menyadari kalau aku sudah datang.Satu per satu kamar yang berjajar, membuatku melongokkan kepala ke dalam. Sekedar melihat, mungkin Yu Sari ada di dalam. Hingga sebuah suara mengagetkanku."Mbak ... dipanggil Ibu Mira ke depan."Aku menoleh ke asal suara itu, bocah laki cilik yang tadi memperhatikanku. Aku pun bergegas ke depan."Yanti, Ibu mau minta tolong belikan tas plastik kecil di warung sebelah," perintah Bu Mira sambil memberiku selembar uang lima ribuan. Aku pun memenuhi perintahnya. Kutengok kanan kiri untuk mencari keberadaan warung tersebut. Tak lama netraku menangkap warung bernuansa biru yang terletak di sebelah kanan, empat rumah dari panti.Aku melangkahkan kaki menuju warung tersebut. Ketika sampai di warung itu, sang pemilik mengawasiku dengan seksama."Mau beli apa?" tanya Ibu pemilik warung."Plastik kecil putih, Bu.""Kamu anak panti baru ya?" tanya Ibu tadi s
"Kok lemes gitu? Ada apa?" tanya Mas Alif begitu aku datang.Aku mencoba mengulas senyum mencoba mengalihkan, "sudah dapat plaris 'kah?""Sudah," jawabnya singkat, "ada masalah apa lagi?"Aku menarik napas dalam, menelaah kembali yang terjadi. Masalah datang begitu bertubi-tubi. Mengapa niat baik kami, malah jadi mencoreng muka kami sendiri. Ketulusan ini bahkan disalah gunakan oleh mereka yang masih terbilang bocah bau kencur."Dek, kok jadi melamun?" tanya Mas alif lagi."Di sekolah pun, Aira bikin masalah.""Soal apa itu?""Tadi Bu Diah tanpa sengaja menanyakan soal kebenaran tentang Yanti. Betul apa tidak dia keponakanku.""Lalu ...,""Ya aku jawab memang betul, sebab pas daftar dulu, Bu Diah kan gak tahu, makanya dia memastikan. Anehnya, malah Bu Diah menananyakan soal kekurangan uang pembangunan.""Kenapa dengan uang pembangunan, belum kamu bayar atau masih kurang?" cecar Mas Alif."Sudah terbayar sebagian, kurangannya aku janjikan satu bulan. Tetapi, sebelum jatuh tempo sudah k