Share

25. Langsung Tunangan

Author: desafrida
last update Last Updated: 2025-03-11 13:22:58
Livy bisa saja melupakan perasaannya pada Kay yang selama ini harus dikorbankannya. Dia bisa menyimpan semua kebenaran yang tak perlu lagi untuk Kay ketahui. Tapi bagaimana dengan Albern? Bisakah Livy melupakannya kelak? Bayi mungil itu sudah mengobati rasa kehilangannya pada Fabian. Lalu bagaimana jika Albern mendapatkan ibu pengganti yang tidak benar-benar tulus?

Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu… Sebentar lagi Albern akan genap berusia satu tahun. Albern tumbuh menjadi anak yang aktif, cerdas dan cepat berkembang. Dia bahkan sudah bisa menyebutkan ‘Papa’ dan ‘Mama’ dengan jelas.

Artinya tidak terasa pula, sudah sepuluh bulan Livy menjadi ibu susu Albern. Ia menjadi saksi perkembangan anak susunya tersebut. Dia yang paling tahu. Mulai dari awal MPASI, awal berbicara, tumbuh gigi, mampu berdiri, hingga hal terhebat yaitu mulai bisa melangkah.

Semua proses itu Livy nikmati walau sering membuatnya teringat pada Fabian. ‘Andai anakku masih ada, dia pasti sudah bisa berlari kecil
desafrida

Halo... Jika kamu suka novel ini, jangan lupa untuk dukung terus yaaa. Follow IG Author @desafrida untuk kenal lebih dekat :)

| 18
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Johriah Joh
ceritanya menarik...lanjut
goodnovel comment avatar
desafrida
Hehehe iya Kak ......
goodnovel comment avatar
Evi Erviani
duh si Kaka baru muncul di catatan.. setia baca dong
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   144. Kondisi yang Semakin Buruk

    Kay dan Livy langsung menghampiri Richard di kamarnya.“Pa?” Kay mengetuk pintu kamarnya pelan.Richard berpura-pura kalau dia baru saja terbangun dam membuka pintu kamarnya.“Ya?” sahutya. Sesekali dia masih batuk.Livy langsung ke dapur untuk mengambilkan air minum.“Papa tidak apa-apa?” tanya Kay, merangkul bahu Richard.“Ya, Papa baik-baik saja,” jawab Richard.Tak lama, Livy pun kembali. “Pa, minum dulu. Maaf aku lupa menyiapkan air minum di kamar Papa,” jelasnya.“Tidak apa-apa, Nak.” Richard, Kay dudukan di pinggirnya tempat tidurnya.“Batuk Papa semakin sering. Papa juga terlihat sesak napas,” jelas Kay.“Yaah maklumlah, sudah tua,” jawab Richard terkekeh. “Kalian kenapa belum tidur?” tanyanya pula mengalihkan.“Papa harus banyak istirahat,” ucap Livy.“Kami di ruang tengah Pa, sedang mengobrol. Sebentar lagi juga tidur. Tapi Papa… Papa yakin tidak apa-apa? Atau kita ke rumah sakit sekarang, Pa?” tawar Kay.“Ah… kamu berlebihan sekali, Kay. Papa tidak suka rumah sakit. Papa ti

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   143. Sepulang dari Pemakaman

    Setelah sore itu, keduanya pun berdamai. Selalu ada pelajaran untuk sama-sama instrospeksi diri dari sebuah masalah, keributan ataupun perang dingin.Kay tidak mendesak untuk memiliki anak lagi. Dia fokus pada apa yang harus dia syukurkan. Istrinya cantik, baik, perhatian, juga seksi. Dia patut puas dengan semua itu. Anaknya cerdas, tumbuh dengan baik, dia tidak perlu terburu-buru. Keluarganya bahagia dan saling perhatian. Lengkap sudah semuanya.Pagi itu sudah kembali seperti semula. Livy dipeluk erat oleh Kay. Saat dia mulai membuka mata, dia tersenyum melihat suaminya yang tidur tanpa kaos. Hangat!“Sayang… kamu ke kantor tidak hari ini?” tanya Livy.Kay mulai terbangun. Dia membuka mata perlahan dan mendengar pertanyaan Livy. Dia menarik napas panjang lalu membuangnya lega sambil memeluk Livy semakin erat, bahkan kakinya pun ikut merangkulnya.“Kay!” Livy tertawa. Mencoba melepas diri.“Menurutmu aku ke kantor atau tidak, Sayang?” tanyanya.“Hmmm, aku tidak tahu. Tapi, kalau tidak

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   142. Berakhir di Tempat Tidur

    Livy menoleh. Dia tidak bertanya dan tidak bersuara.Kay juga menatapnya, mencoba tersenyum lalu menganggap tidak terjadi apa-apa. Perlahan dia melepas tangan Livy saat ia harus menggenggam sendok dan garpu di atas meja.Livy masih terdiam. Ada rasa bingung. Namun, dia pun melihat dengan jelas kalau Kay tersenyum padanya. Karena canggung, dia pun menyelipkan beberapa helai rambutnya yang jatuh ke pipinya, ke belakang telinga.Kay meliriknya lagi. “Masih mengenai wajahmu?” tanyanya, bersiap ingin menjepit kembali rambut Livy.“Ah, tidak tidak. Sudah sudah,” jawab Livy canggung.“Oh oke,” jawab Kay lembut.Richard memperhatikan mereka. Dia ingin tersenyum tapi seperti paham keadaan dia tidak ingin meledek apapun hari ini. Dia hanya berharap kalau keduanya akan baik.“Oh ya Pa, aku rasa hari ini aaku tidak jadi ke kantor. Kalau Papa butuh apa-apa, beri tahu aku saja,” jelas Kay.Richard mengangguk. “Ohh ya, oke,” jawabnya ringan.Livy yang menatap piringnya terdiam sejenak. Ia heran, ken

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   141. Genggaman Erat di Bawah Meja

    Sebelum tiba di kamar Albern, Livy menyudahi tangisnya. Ia kembali mengatur ekspresi dan napasnya. Dia tidak ingin anaknya yang semakin cerdas dan peka, mempertanyakan kenapa dia terlihat bersedih. Apa yang akan Livy jawab? Apalagi yang membuatnya seperti itu adalah Kay, ayah Albern.“Halo anak Mama! Jagoan Mama sudah bangun! Selamat pagi!!!” sapa Livy semangat memasuki kamar Albern saat menyadari anaknya itu baru saja berbalik, mengulet dan membuka mata.“Mama… pagi…” sapa Albern. Seperti orang dewasa yang mengingat lekat, Albern pun bertnya tentang ayahnya. “Mana Papa Ma?” tanyanya, sambil meruncingkan mulut dan menguap.“Papa ada di kamar, Sayang. Hmmm mungkin sedang istirahat karena semalaman Papa sibuuk…” jelasnya lembut.Anak itu segera turun dari tempat tidur.“Ayo kita ke kamar mandi ya? Al mau pipis?” bujuk Livy, sebagaimana rutinitas mereka setiap pagi.Setelah Al selesai buang air dan cuci muka, Livy merapikan kamar tidur anaknya. Tanpa dia tahu kalau Kaay sedang menyusuln

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   140. Air Mata di Pagi Hari

    Matahari belum terlalu tinggi saat Livy kembali dari kamar Albern, setelah melihat anaknya itu masih tertidur. Dia juga ke kamar Richard untuk memeriksa kondisinya sekaligus menyiapkan obat untuk diminum setelah sarapan nanti.Wajah Livy masih letih. Semalam ia nyaris tak tidur, bukan hanya karena khawatir pada ayah mertuanya, tapi juga karena hatinya masih terasa sempit akibat pertengkaran dengan Kay.Ia kembali ke lantai atas dan masuk ke kamar untuk mengambil ponsel. Niatnya hanya satu, yaitu menghubungi Kay. Entah sekadar bertanya kabar, atau menanyakan apakah dia akan pulang pagi ini. Tapi, dia masih melamun. Mematung dengan handphone di tangan dan jarinya pun enggan bergerak. Mengingat tadi malam benar-benar emosi dan dingin.Di bawah, tidak ada yang tahu, pintu kamar terbuka perlahan.Kay berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan kerja yang sudah acak-acakan, wajahnya letih, rambutnya juga acak-acakan. Jelas ia juga terlihat tidak cukup tidur semalaman.Langkah Kay cepat mena

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   139. Kay Tidak Pulang, Kemana?

    “Pa… sudahlah. Papa jangan terlalu bawa pikiran ya? Ingat kondisi Papa. Kata dokter jangan berpikir yang berat-berat. Soal aku dan Kay, setiap rumah tangga pasti ada masalahnya kan?” lirih Livy, mencoba menguatkan diri.Richard malah tersenyum simpul. “Untuk kalian, Papa sama sekali tidak pernah merasa berat. Justru kalian lah obat untuk Papa. Kalian jangan lama-lama ya seperti ini?” bujuk Richard.Livy memang meresponsnya dengan anggukan, tapi di dalam hati, dia menyerahkan keadaan pada Kay. Harusnya, dia sebagai suami lebih peka lagi.Waktu berjalan. Udara sejuk sore itu perlahan berubah dingin, menambah nuansa sepi di dalam rumah besar yang biasanya hangat oleh tawa Albern dan suara Kay.Namun, sore itu berbeda. Mobil Kay belum juga terparkir di pelataran. Garasi kosong, membuat Livy diam-diam melirik ke arah jendela beberapa kali saat menemani Albern bermain balok kayu di ruang keluarga.“Papanya Al belum pu

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   138. Perang Dingin dan Pengabaian

    “Maksud kamu?” tanya Kay.“Aku lelah, Kay! Kamu terlalu terobsesi!” Livy langsung meninggalkan Kay begitu saja.“Livy! Livy!” panggil Kay dengan nada suara yang sedikit lebih keras.Livy sama sekali tidak menoleh. Ia pergi ke dapur untuk mengambilkan air minum untuk Richard.Samar-samar, Richard mendengar perdebatan mereka yang berada di depan kamarnya. Walaupun dia tidak dengar persis apa yang mereka bahas. Hal itu membuatnya merasa bersalah. Pikiran, apa mungkin dia terlalu menyusahkan hingga membuat masalah di antara mereka?Kay kembali masuk ke dalam kamar.“Pa, aku sudah telepon Dokter. Sebentar lagi dia pasti akan datang. Ap yang Papa rasakan?” tanya Kay, dengan perhatian.“Papa, baik-baik saja. Cuma mudah lelah saja,” jelasnya. Ia malah bergantian bertnya.“Ada masalah apa kaamu sama Livy?” tanyanya.“Ah itu… Pa…”

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   137. Tidak Ingin Hamil!

    Keesokan HarinyaPagi itu Livy terbangun. Dia menyadari Kay masih tertidur. Bahkan suaminya itu masih memeluk pinggangnya. Namun tak lama, Kay pun terbangun. Di menatap wajah istrinya. “Pagi Sayang…” ucapnya serak, khas suara bangun tidur.“Pagi Sayang…” Livy membelai pipi Kay.Kay malah langsung memeluknya. Dia mengusap lembut punggung Livy, membenamkan wajahnya di rambut sang istri sambil menciuminya pelan. Suasana begitu tenang, begitu hangat… rasanya sempurna.Livy tersenyum kecil, masih setengah mengantuk. Ia membiarkan Kay membelai pipinya, kemudian mencium sudut bibirnya. Dunia seperti hanya milik mereka berdua. Pembahasan kecil tadi malam, seakan berlalu dan menghilang ditelan malam.Namun, momen hangat itu pecah seketika saat Kay berbisik dengan nada menggoda namun mengandung dorongan halus yang tak bisa disangkal, “Sayang… sepertinya kamu belum datang bulan, kan? Kenapa nggak sekalian test pack hari ini?”Livy terdiam. Senyumnya langsung memudar. Ia menarik diri sedikit, men

  • Ketika Mantan Menjadi Ibu Susu   136. Satu Tahun Kemudian

    1 Tahun Kemudian.Waktu berlalu seperti malam dingin yang berubah menjadi pagi hangat yang cerah. Terasa begitu cepat. Rumah besar yang dahulu terasa sepi dan berat kini penuh canda tawa dan suara langkah kaki Albern yang berlarian, naik turun tangga.Albern, yang kini berusia dua setengah tahun, tumbuh menjadi anak yang aktif dan penuh rasa ingin tahu. Senyumnya mudah merekah, dan tawa kecilnya menjadi musik yang menyemarakkan hari-hari Kay dan Livy.Kay semakin sibuk dengan perusahaannya, namun ia selalu berusaha untuk pulang tepat di sore hari. Menemui istri yang selalu membuatnya rindu dan anaknya yang semakin hari semakin cerdas dan banyak tahu.Livy pun tetap setia berada di sisi anak itu, dengan kasih sayang yang tidak pernah berkurang sedikit pun sejak pertama kali Albern menyebutnya "Mama". Ia juga bahagia. Karena pria yang dicintainya untuk pertama kali sekarang benar-benar menjadi kehidupannya.Sementara Richard, mulai terlihat lebih sering duduk dan tertidur di kursi malas

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status