Livyna luntang-lantung mencari dana untuk operasi bayinya yang berusia 7 bulan. Satu-satunya kelebihan yang dia miliki adalah ASI-nya yang melimpah. Berawal dari brosur mencari Ibu Susu, Livy melamar dan diterima karena hanya dia yang cocok. Sayang, sebelum kontrak ditandatangani, seorang pria menjegalnya. Kay, mantan kekasih yang dia khianati. "Aku tidak mau anakku meminum ASI dari wanita murahan!” “Kay… aku mohon! Izinkan aku. Aku butuh pekerjaan ini. Aku mohon….” Bagaimana nasib Livy dan anaknya? Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu?
View More“Sabar ya Sayang… Mama akan berusaha mendapatkan uang segera. Kamu bertahan ya?”
Livyna mengusap jejak airmata ketika melihat kondisi anaknya kian hari kian parah. Bayi tujuh bulan itu didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus, penyempitan saluran di antara lambung dan usus dua belas jari. Hal itu membuat bayinya tidak bisa mencerna makanan dan minuman dengan baik. Dia hanya bisa meminum ASI, yang tentu saja sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan gizi hariannya. Kondisi bayinya bisa makin memburuk jika tidak segera ditangani. “Tuhan… aku harus mendapatkan uang dari mana?” batin Livy menangis. Dia tidak kuat melihat kondisi anaknya. Hidup yang dulunya kaya dan mentereng, kini miskin dan sebatang kara. Perusahaan keluarga bangkrut dan terlilit hutang. Kedua orang tuanya meninggal dalam jarak satu tahun. Setelah tiga bulan pasca melahirkan, suaminya pun pergi menghilang entah ke mana. Siang harinya, ketika Livy hendak membeli makan, tiba-tiba wanita cantik itu tidak sengaja menginjak brosur yang terbang ke arah kakinya. Cuaca di New York memang sedang berangin. ~Dicari seorang ibu susu untuk bayi berusia 1 bulan. Akan diberikan 1000 dolar untuk setiap bulannya. Dan akan terus mendapatkan gaji bulanan sampai bayi berhenti dari ASI.~ “Ya Tuhan, ini keajaiban!” Livy langsung memeluk brosur tersebut dengan penuh harap. Sejak Livy melahirkan, dia memang memiliki kelebihan yaitu air susunya yang melimpah. Ibu satu anak itu segera merogoh sakunya. Dengan harta benda yang satu-satunya dia miliki, handphone, Livy pun melamar pekerjaan tersebut. Livy menghela napas lega saat dia diperbolehkan untuk langsung datang ke alamat yang tertera di brosur. “Fabian… Mama akan usahakan apapun agar kamu segera bisa dioperasi!” ucap Livy dengan penuh harapan. Setelah memastikan sang anak sudah tertidur, Livy pun bergegas menuju alamat tersebut. Rumah mewah dengan pagar tinggi terpampang. Saat mencoba ingin menghubungi kembali contact person di brosur tersebut, tiba-tiba seseorang datang menghampirinya. “Saya ingin melamar menjadi Ibu Susu." Livy langsung menunjukkan brosur yang dia temukan. Pria paruh baya itu, melihatnya dari bawah hingga atas. “Sudah banyak yang mencoba tapi tidak ada satu pun yang cocok untuk Baby Albern.” “Bo- bolehkah saya mencoba?” tanya Livy, meyakinkan pria yang dia yakini adalah penjaga rumah megah itu. Dia melewati serangkaian pemeriksaan sebelum diperbolehkan mencoba menyusui bayi yang dimaksud. Ketika akhirnya dia dinyatakan sehat dan terbebas dari penyakit apa pun, Livy diizinkan menemui calon bayi susunya. ‘Semoga ASI-ku cocok untuknya,’ doa Livy tak henti sepanjang dia menanti pintu kamar Bayi bernama Albern dibuka. “Ini kamar Baby Albern.” Seorang asisten wanita, yang sekaligus perawat mengantarkan Livy ke sebuah kamar bayi dengan fasilitas lengkap. Dari apa yang disediakan untuk bayi Albern, Livy bisa mencerna… seberarti apa kehadiran sosok bayi ini untuk orang tua dan keluarganya. “Ibunya meninggal saat melahirkannya. Sampai hari ini sudah puluhan wanita yang datang untuk menyusuinya, namun belum ada yang cocok,” jelas si perawat lebih lanjut. Livy menganggukkan kepala, dalam hati berempati pada nasib bayi itu. “Suster ini akan mendampingi selama Ibu Livy mencoba menyusui Albern. Sekaligus, untuk memastikan keamanan dan hal-hal yang tidak diinginkan. Dia juga akan menilai kenyamanan Baby Albern, apakah menerima ASI Ibu atau tidak.” Dokter yang masih mendampingi memberikan tambahan penjelasan. Livy mengangguk paham pada penjelasan dokter. Dokter tersebut segera keluar. Pintu kamar segera ditutup, lalu Livy dibawa oleh perawat mendekati ranjang bayi yang juga sangat mewah. Setelah melihat bayi tersebut, hatinya menjadi iba. Anak itu terdengar merengek pelan dan gelisah. Ia tampak tidak nyaman dan merindukan sentuhan. Livy bisa menilai sebab anaknya pun akan seperti itu jika saat terbangun, dia tidak ada di sisinya. “Silakan,” ucap perawat mengangkat bayi itu dan memberikannya pada Livy. Di kursi yang juga sangat empuk dan nyaman, Livy berusaha rileks untuk menyusui. Matanya tidak berhenti menatap wajah bayi yang terasa tidak asing. “Sayang… kelak kamu pasti akan jadi anak yang hebat. Karena Ibu kamu akan meminta Tuhan secara langsung untuk menjaga kamu…” bisik Livy lembut. Karena sudah terbiasa melakukan perlekatan pada mulut bayi untuk menyusui, Livy berhasil menyusui bayi tersebut. Tidak ada tangis, rengekan atau penolakan. Bibir Livy tersenyum ketika merasakan Albern terlihat bisa menerimanya. Dia lega dan haru. “Berhasil!” ucapan perawat yang menjaga terdengar ketika melihat bagaimana Albern terlihat begitu nyaman di pelukan Livy. Bayi itu bahkan bisa tertidur nyenyak usai merasa kenyang. Livy meletakkan bayi kembali ke ranjang tidurnya. Lalu dia berjalan keluar kamar, di mana perawat sudah lebih dulu menjelaskan pada dokter. “Selamat Ibu Livy! Anda akan menyusui Baby Albern sampai berhenti. Kontrak kerja akan segera kami berikan. Ini sedikit uang untuk mengganti biaya transportasi Ibu.” “Terima kasih Dok, Sus…” Livy sangat bahagia. Namun, kebahagiaan Livy rupanya terganggu dengan kehadiran seseorang. Wanita yang baru akan berpamitan dari rumah bayi susunya itu nyaris menabrak pria tinggi tegap dengan pakaian rapi dan sorot mata yang tegas. “Ah, maaf, Tuan. Saya….” “Kau?” Livy mengangkat wajahnya. “Ka-kay?” Wajah wanita itu langsung pias melihat sosok pria dari masa lalunya. “A-apa yang…” Kata-kata Livy tertelan, ketika baru menyadari jika wajah Albern begitu mirip dengan Kay, mantan kekasihnya. Apa benar bayi yang baru saja disusui olehnya adalah anak Kay? “Untuk apa kau di sini?!” tanya Kay geram. “Ibu Livy ini melamar menjadi Ibu Susu untuk Baby Albern, Tuan.” Perawat menjelaskan. Mata Kay semakin menyala menatap Livy. “Tidak! Cari Ibu susu lain! Aku tidak mau anakku meminum ASI dari wanita murahan!” Wajah Livy, dokter dan suter yang tadi bersorak kini terlihat kaget bukan main. Susah payah mereka mencari kandidat terbaik yang cocok, Tuan mereka, Kay, justru menolak kehadiran Livy. “Tapi Tuan, hanya Ibu Livy yang—" “Aku tidak perduli! Cari ibu susu lain, dan usir dia segera dari rumah ini!” Bersambung…Matahari menyusup malu-malu di balik tirai kamar yang belum sepenuhnya terbuka. Udara pagi menyelinap dengan aroma embun dan bunga dari taman kecil di halaman belakang.Kay membuka matanya perlahan. Di sebelahnya, Livy masih terlelap. Tubuh seksi itu masih tertutup selimut, napasnya masih tenang. Kay tersenyum, menatap wajah istrinya yang begitu dekat. Dekat dalam jarak juga perasaan.Bukannya bangkit dan bangun, Kay malah lanjut tidur dan memeluk Livy semakin erat. Sampai pagi yang awalnya masih gelap kelabu sudah menjadi terang.Sementara itu di kamarnya, Albern sudah terbangun. Anak itu tidak menangis, hanya saja dia mencari ibunya, Livy. Untungnya ada Bibi Eden yang bisa menenangkannya.Richard yang sedang membaca berita pagi dengan secangkir teh, heran melihat cucunya yang mendatanginya ke ruang tengah.“Kamu cari Mam?” tanya Richard.Albern mengangguk.Richard tersenyum. Sekilas dia menatap ke lantai atas. Belum ada pergerakan dari dua orang yang sudah sah menjadi suami istri it
Mata mereka kembali bertemu. Hidung sudah bersentuhan. Perlahan, Kay memejamkan mata. Begitu juga dengan Livy.Kecupan yang begitu lembut dan lekat terjadi antara mereka. Berlangsung lama. Keduanya benar-benar menikmati.“Padahal… ini bukan kali pertama, Livy. Tapi, aku sangat grogi…” lirih Kay, saat menjeda aktivitas mereka tersebut.Livy tersenyum. Pipinya sudah sangat merah. Begitu pun bibirnya yang seakan habis dilahap Kay.“Kamu tidak mau mematikan lampu? Ini terlalu menyilaukan mata,” bisik Livy.Kay tersenyum. Ia tahu Livy lebih suka suasana temaram dan hangat. Ia pun beranjak dan mematikan lampu utama kamar. Menyisakan lampu kamar yang cahayanya hangat.Livy duduk di sisi ranjang, menunduk, jari-jarinya saling menggenggam. Helaan napasnya terdengar berat namun teratur, seperti sedang menenangkan badai kecil di dadanya.Kay juga mengunci pintu kamar, lalu berjalan mendekat tanpa suara. Ia duduk di samping Livy, menatap wajah istrinya yang kini tampak lebih tenang… namun gugup y
“Ha? Ti- tidak… Bu- bukan begitu. Aku turun karena khawatir pada Albern. Dari tadi waktunya sangat sedikit dengan kita karena kita sibuk menyambut tamu,” jelas Livy beralasan.Kay menahan senyum. Lalu mengangguk. “Ohhh…” ucapnya panjang.Waktu berjalan… Albern pun telah bangun. Livy mengurusnya seperti biasa. Memandikannya dan bersiap untuk makan malam.Makan malam pertama sebagai pasangan suami istri berlangsung dalam keheningan yang aneh. Agak canggung dan kaku. Padahal biasanya tidak seperti itu. Tidak ada kesalahan, tidak ada perdebatan. Tapi, diam dan kikuk.Kay dan Livy duduk berdampingan untuk pertama kalinya malam itu, bukan lagi berhadapan seperti sebelumnya. Jarak mereka dibatasi oleh Albern yang duduk di tengah. Tapi justru karena bersebelahan dan sama-sama menatap ke arah Albern, mata mereka malah sering bertemu.Kali ini kata-kata terasa tertahan di tenggorokan. Biasanya, mereka akan membahas Albern, membahas masakan yang disukai anak itu, atau sekadar berbagi tawa ringan
Tepat sebelum tangannya itu menyaantuh punggung Livy, Livy menoleh.“Ahm ya su- sudah…” ucap Kay gugup, langsung menyembunyikan tangannya ke belakang tubuhnya.“Aku… mandi dulu,” ucap Livy kemudian.Kay hanya mengangguk.Begitu Livy masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya, Kay duduk di sofa.Dia mengusap wajahnya. Ia menutup mulutnya dengan kepalan tangannya. ‘Kenapa rasanya sangat canggung?’ batinnya bingung. Padahal, mereka sudah pernah terlalu jauh. Tapi, kali ini terasa benar-benar berbeda. Jantungnya berdebar sangat cepat. Panas menjalar di sekujur tubuhnya.Sementara itu di dalam kamar mandi, Livy berdiri di balik pintu. Belum juga bergerak. Air hangat belum dinyalakan. Ia menatap wajahnya di cermin masih dalam kebisuan.‘Aku kenapa?’ batin Livy. Bukan karena dia baru pertama kali ke kamar mandi itu, tapi ia merasa ada yang tidak biasa di dalam hatinya. Canggung, gugup, padahal itu bukaan kali pertama.Tak lama, suara ketukan lembut terdengar dari luar. Malah membuat Livy menj
Hari yang ditunggu itu pun tiba.Livy dan Kay akan mengucap janji suci mereka.Tidak ada keramaian yang berlebihan, tidak ada hiruk-pikuk pesta besar. Hanya musik klasik yang mengalun lembut, tawa hangat keluarga, dan degup jantung dua orang yang telah memutuskan untuk saling menggenggam selamanya. Ya, selamanya. Setelah semua badai dan perpisahan yang mereka alami.Livy mengenakan gaun putih sederhana dengan lengan renda dan detail bunga di pinggangnya. Rambutnya ditata setengah sanggul, dihiasi jepit perak pemberian Richard.Richard menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kamu… cantik sekali, Livy. Sangat cantik!”Livy memeluk pria tua itu erat. “Terima kasih, Pa. Untuk semua yang Papa lakukan… yang membuat aku tetap kuat dan merasa hidup.”“Yah! Ayo… Papa antar kamu untuk Kay,” ucap Richard.Haru memenuhi hati Livy. “Hati Papa sebenarnya terbuat dari apa?” lirihnya.Richard hanya tersenyum.Kay sudah berdiri lebih dulu di altar yang berada di taman. Ia membalik badan saat Livy melang
“Hm…” jawab Livy.Kay tersenyum. “Ayolah, beri aku jawaban paling tulus.”“Ya…” jawab Livy.“Yaa...” ucap Albern pula seakan mengerti!Setelah masalah itu, keduanya pun serius untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Kay dan Livy mulai disibukkan kembali dengan persiapan pernikahan yang direncanakan dalam waktu dekat. Segalanya terasa mengalir dan indah.Namun, Livy mulai menyadari sesuatu yang lain di tengah kesibukan mereka. Apalagi Kay yang teramat sibuk karena membagi waktu ke perusahaan, pekerjaan dan persiapan pernikahan. Keanehan itu datang dari Albern.Tidak ada yang mempermasalahkan kedekatan Albern pada Livy, termasuk Kay ataupun Richard. Namun, Livy merasa janggal saat anak itu justru terlihat tidak mencari Kay lagi. Ketika Kay mencoba mengajaknya bermain, Albern kerap menolak. Ia malah memeluk Livy erat, atau pura-pura tidur saat Kay datang.Saat malam tiba, Livy memperhatikan Kay yang duduk termenung di ruang tengah. Dia menatap serius ke arah laptopnya.Livy datang memba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments