“Beri kami waktu lagi, Ma. Kami akan lebih berusaha,” ucapku sambil menatap Mas Faiz. Berharap dia menguatkan apa yang aku katakan.Alih-alih mengucapkan kata-kata, dia justru mengalihkan pandangan ke arah lain. Seakan menunjukkan kalau dia juga menyerah.“Mungkin ini takdir yang menempatkan kita harus mengambil keputusan yang kadang tidak sesuai harapan. Mama harap kamu mengerti posisi Mama dan memaklumi keputusan yang akan diambil.”Mata ini menatap mertuaku dengan tidak mengerti ujung dari ucapannya. Dia tidak melanjutkan ucapan, justru menekan dada yang terlihat kesulitan bernapas.“Mama istirahat saja, ya.”Aku menatap mereka dengan perasaan tidak percaya. Sadar akan apa yang dimaksud, setelah mencoba mencerna kata-katanya. Pengabdianku sebagai istri dan menantu seakan menguap begitu saja. Harga seorang wanita dimata mereka hanya sekedar pencetak anak, bukan seorang teman hidup.Suamiku yang sebagai sandaranku pun tidak disampingku lagi. Tanpa ada sepatah katapun untuk mempertaha
Dengan mata masih sembab, aku menghampiri ibu yang sedang memasak. Aku memeluknya dari belakang, hangat badannya membuatku nyaman. Teringat aku saat kecil, aku dan Mas Firman berebut untuk memeluk ibu. Bahagia rasanya. Hari ini, toko di marketplaceku aku off selama tiga hari. Aku akan ke percetakan merubah semua labelku, nomor telponnya aku hapus. Kejadian kemarin, membuatku berfikir bahwa kemungkinan yang tidak diharapkan bisa saja terjadi. Beberapa pesanan yang sudah masuk, bisa aku kirim dengan stok yang ada. "Ibu memasak Coto Makasar kesukaanmu. Ini bagus untuk menambah tenaga," ucap ibu sambil menaruhnya dimangkok kecil dan di tabur bawang goreng. "Ini di makan dulu. Ibu tidak mau kamu sakit! Ibu tidak sempat membuat buras, ini tadi belu lontong di tukang sayur" ucapnya ketika kami duduk di meja makan. Aroma gurihnya berpadu dengan aroma bawang goreng menguap menggodaku. Ditambah perasan jeruk nipis dan sambal. Hhmm .... Perpaduan rempah-rempah, kaldu daging dan kental
"A-aku sayang kepadamu," ucapnya dengan menggeser kursinya ke arahku.Hatiku yang sejak tadi berdebar semakin bedegup kencang. Ini anugrah atau cobaan?Cangkir Capucino yang sedari tadi aku pegang, aku letakkan di atas meja.Aku tersenyum kemudian tertawa terkekeh, bersamaan usahaku menekan desiran yang menyelusup begitu dalam. Memenangkan logika yang ada untuk menyingkirkan rasa yang mulai mencandui hati ini. Aku tidak mau terjebak dengan rasa picisan ini."Mas Ilham, sadar tidak ucapan yang baru saja. Jangan terkecoh dengan rasa sesaat. Itu hanya perasaanmu karena kebetulan sekarang hanya aku temanmu. Kita belum lama kenal, bahkan kita belum saling tahu. Iya, kan?" kataku berusaha meyakinkannya.Dia menggeleng tanpa menyurutkan tatapan yang meneduhkan ini. Aku menghela napas, berusaha menguatkan diri dan tidak terhanyut dengan romansa yang dia ciptakan."Maaf, saya wanita dewasa yang tidak mau terjebak dengan perasaan seperti itu. Atau bermain-main dengan perasaan hati seperti an
Hari mulai beranjak siang, kami meneruskan perjalanan ke percetakan. Seperti rencanaku semula, aku menghapus nomor ponselku pada label saus. Sebagai gantinya aku cantumkan alamat dan sosial media yang khusus aku buat untuk produk ini.Kami masih harus menunggu dua jam sampai label selesai dicetak. Sengaja aku belum mencetak dalam jumlah besar, masih ada yang harus aku perbaiki..Kami menunggu di tempat makan di seberang jalan percetakan."Kenapa kamu menghapus nomor telponmu? Karena mantan suami kamu menghubungimu? Bukankan lebih baik kamu ganti nomor pribadi saja? Jadi, nomor lama tetap untuk produk ini," tanya Mas Ilham."Tidak. Itu bukan alasan yang utama. Walaupun karena peristiwa kemarin yang mempercepat keputusanku," kataku. Kami berdiri antri untuk pesan makanan.Tempat makan ini seperti warteg, lauk dan sayur berjejer di estalase dan kita tinggal menunjuk apa saja yang kita mau."Aku pilihkan saja, deh," ujarnya di belakangku."Mas Ilham, aku tidak tahu selera kamu," kataku d
"Kartika .... Kartika."Suara memanggil terdengar samar. Aku buka mataku secara berlahan, wajah Mas Ilham yang tersenyum tepat di depan wajahku."Kamu tertidur," ujarnya kemudian duduk di sebelahku."Maaf," ucapku sambil duduk tegak merapikan baju dan rambutku. Tersadar, karena empuknya sofa dan dinginnya ruangan, aku sudah menyerah pada pelukan mimpi."Inilah ruang kerjaku. Aku sudah lama tidak singgah di sini!" teriaknya."Sebenarnya tidak terlalu jauh dari kampung. Kenapa sampai lama tidak singgah ke sini. Apa tidak pengaruh terhadap pekerjaan?" Aku lontarkan pertanyaanku yang sedari tadi bercokol di kepalaku "Karena aku keasikan di kampung. Nemenin kamu," jawabnya terkesan asal."Jangan ngaco, Mas. Kita baru kenal belum ada satu bulan, baru beberapa minggu. Nemenin yang lain, kalik!" ucapku sambil tertawa. Alasan yang lebih mirip dengan rayuan gombal.Dia menghela napas panjang dan menoleh ke arahku. "Aku lama di Kalimantan. Kamu cemburu?" "Tidak. Atas dasar apa aku harus cembur
Beberapa saat kami melebur rasa. Hati kami saling berbicara dalam keterdiaman. Rasa nyaman dalam dekapannya membuatku kalah. Sejenak, kami tertarik dunia lain yang hanya ada kami berdua. Berpagut rasa dan harapan."Kamu mau menerima tawaranku tadi, kan? Atau, kita jadian saja?" tanyanya setelah mengurai pelukannya."Bukannya kita sudah sepakat ketika di cafe tadi pagi?""E-iya, sih. Tetapi mendengarmu menyebut laki-laki lain, aku tidak suka. Aku batalkan pembicaraan yang di cafe tadi!" ucapnya dan dia beranjak dari sofa menuju meja kerjanya dan mengambil sesuatu di laci.Aku memandangnya yang menghampiriku. Dia tersenyum dan meraih tanganku."Sementara, aku ikat kamu pakai ini. Setelah kamu yakin kepadaku, aku akan membawa keluargaku ke rumahmu."Seperti terhipnotis akan pesonanya, aku hanya mampu terdiam dan memandangnya. Dia memakaikan gelang rantai berwarna silver dengan bandul-bandul kecil berbentuk hati dan bintang. Terlihat cantik.Aku memandang kepalanya yang menunduk. Hati i
Selama masa off jualanku di marketplace, aku fokus dengan projekku. Pastinya ada Mas Ilham yang menemaniku.Konsep yang aku rencanakan menampilkan dengan menampilkan keceriaan anak-anak. Hal ini sebagai simbol konsumen yang harus dilindungi akan kesehatannya. Kemudian kita tonjolkan lahan tomat dengan udara yang murni dan hasil yang segar. Dilanjutkan produksi saus sampai ke pengemasan. Eksekusinya, produk saus yang dinikmati.Huuft ... begitu banyak yang akan disampaikan, dan hanya dalam waktu enam puluh detik. Harus bekerja keras dan pintar "Konsepnya yang kamu jelaskan tadi. Kamu tidak usah kawatir dengan hasil video. Aku yang akan mengedit. Kita rekam-rekam saja," terang Mas Ilham.Pagi ini kami akan merekam tentang pertanian. Kami berangkat sangat pagi. Kata Mas Ilham, sinar matahari pagi yang masih menyorot miring dan kabut tipis akan menghasilkan video yang eksotik. Apalagi nanti ada iring-iringan petani yang menyusuri pematang dengan membawa tomat segar di keranjang.Set
"Tidak. Aku ingin jalan-jalan denganmu. Hari besuk aku seharian di depan komputer membuat video ini," terangnya dan sekarang mobil belok ke arah yang bertuliskan danau.Danau ini terletak di puncak bukit ujung kampung. Jalannya sudah bagus karena ini adalah jalan tembusan ke desa sebelah. Banyak mobil lalu lalang di sini, terutama pada hari libur. Danau ini termasuk tujuan wisata di daerah ini.Suasana masih alami dengan pemandangan alam sangat indah. Udara dingin menyeruak menyentuh kulitku ketika kami memasuki kawasan danau. Kabut tipis terlihat mengambang di permukaan danau. Ada beberapa penjual jagung bakar, baunya menyusup kontras dengan dinginnya udara disini.Kami duduk di pinggir danau, menikmati pemandangan sambil menikmati jagung bakar dan segelas kopi susu. Di sudut sana, beberapa sepeda motor terparkir. Beberapa remaja muda-mudi menggelar tikar disebelahnya. Mereka berbincang, bercanda begitu riang. Sesekali terdengar gelak tawa memecah heningnya suasana. Bercanda bersa