LOGINRaga, pria berusia 25 tahun, memilih hidup sederhana sebagai penjaga sebuah kos putri di pinggiran kota. Di mata orang lain, ia hanyalah pemuda biasa yang bekerja demi menyambung hidup. Tak ada yang tahu, Raga menyimpan masa lalu kelam yang membuatnya menyingkir dari kehidupan sebelumnya. Hari-harinya terlihat tenang, hingga kedatangan para penghuni baru mengubah segalanya. Gadis manja, janda muda, hingga wanita pekerja keras—semuanya tinggal di bawah atap yang sama, dengan rahasia dan gairah masing-masing. Godaan datang tanpa henti. Senyum samar, lirikan penuh arti, dan momen-momen intim yang tak sengaja tercipta membuat Raga harus berjuang menahan diri. Namun semakin ia menolak, semakin kuat tarikan yang menyeretnya ke dalam hubungan terlarang dengan para penghuni kos. Bisakah Raga bertahan menjaga batas, atau justru tenggelam dalam gairah liar yang siap membakar dirinya?
View MoreJam dinding menunjukkan pukul sebelas lewat sedikit. Kos putri berlantai dua itu sudah sunyi, hanya bunyi kipas angin yang berputar di ruang tengah. Semua pintu kamar tertutup rapat, seolah seluruh penghuni telah tenggelam dalam tidur.
Raga baru saja selesai mengepel lantai dapur dan membersihkan kamar mandi. Tangannya masih basah, aroma sabun pel masih menempel di hidungnya. Ia berencana mengecek keadaan mulai dari lantai bawah hingga ke lantai dua. Langkah kakinya tiba-tiba berhenti. Ada suara samar yang terdengar dari arah koridor lantai atas. Awalnya pelan, tapi cukup jelas untuk membuatnya menajamkan telinga. “Hmmm… jangan berhenti… Duh…” “Enak banget…” Suara desahan itu membuat dada Raga bergetar. Ia menoleh ke arah kamar nomor tiga. Itu kamar Maudy, mahasiswi dua puluh dua tahun yang baru sebulan lalu masuk kos. Ia berdiri terpaku di depan pintu, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Raga tahu itu suara Maudy, tapi ada keanehan di sana—suara benda bergesekan pelan, seirama dengan Rintihannya. “Duh… lebih cepat… Hmmm…” “Ya Tuhan… aku nggak kuat…” Jantung Raga berdetak semakin cepat. Ia sadar Maudy sedang memuaskan dirinya sendiri. Sebagai pria, dorongan untuk tetap mendengar terasa begitu kuat, meski pikirannya berteriak bahwa ini salah. Tangannya sempat menyentuh gagang pintu, namun segera ditarik kembali. Malam yang tenang berubah panas, menjeratnya dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan. Raga masih berdiri kaku di depan pintu itu. Napasnya berat, telinganya terus dipenuhi suara yang makin cepat dan panas. Setiap detik, tubuhnya terasa seperti ditarik lebih dekat. Rintihan Maudy semakin keras, terputus-putus di sela-sela helaan napasnya. Irama gesekan terdengar kian jelas, membuat imajinasi liar berkelebat di kepala Raga. Ia menutup mata, tapi justru bayangan itu semakin hidup. “… aku mau keluar… Hmmm… yaa…” “Astaga… rasanya… Duuuhh…” Raga menggigit bibirnya sendiri, mencoba menahan gelora yang mendesak dari dalam. Seandainya ada yang melihatnya sekarang, reputasinya sebagai penjaga kos bisa hancur seketika. Namun kakinya tak bisa bergerak meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba, suara dari dalam kamar terhenti. Sunyi mendadak menggantung di koridor, membuat jantung Raga berdegup semakin kencang. Ia menelan ludah, bingung harus tetap diam atau segera pergi. Lalu terdengar bunyi klik dari arah gagang pintu. Raga terbelalak, tubuhnya kaku seolah tertangkap basah di tengah malam. Suara gagang pintu Maudy berhenti berputar, meninggalkan hening yang membuat Raga semakin tegang. Ia masih berdiri di sana, menimbang apakah harus segera kabur dari depan kamar. Namun langkah kaki dari bawah tangga lebih dulu memecah situasi. Seorang perempuan muncul dengan sandal rumah, rambut panjangnya terurai berantakan. Wulan, mahasiswi 22 tahun yang kamarnya tepat di sebelah Maudy. Matanya menyipit begitu melihat Raga berdiri kaku di lorong itu. “Mas Raga? Ngapain malam-malam di sini?” Raga tersentak, buru-buru menggaruk tengkuknya. “Aku… lagi ngecek keadaan kos aja. Biasanya aku keliling sebelum tidur.” Wulan melangkah lebih dekat, ekspresinya penuh curiga. “Jam segini? Emang gak capek?” Raga berusaha tetap tenang, meski wajahnya terasa memanas. “Aku udah biasa kok.” Belum sempat Wulan membalas, suara pintu berderit terbuka dari kamar sebelah. Maudy muncul dengan wajah merah padam, keringat masih menempel di pelipisnya. Tatapannya langsung tertuju pada Raga. “Mas… Raga?” Raga membeku di tempatnya, sementara Wulan menoleh dengan alis terangkat tinggi. Lorong itu mendadak sesak oleh keheningan dan tatapan yang saling bertubrukan. Lorong lantai dua itu jadi semakin tegang. Raga belum sempat menjawab tatapan Maudy, sementara Wulan berdiri di sampingnya dengan wajah penuh tanda tanya. Pintu kamar yang terbuka membuat udara dingin malam semakin menusuk. Maudy merapikan rambutnya cepat-cepat, berusaha menutupi wajahnya yang masih memerah. Suaranya bergetar ketika ia melangkah keluar. “Mas Raga… Wulan… lagi ngapain berdua diem di sini?” Wulan langsung melipat tangan di dada. “Nah, itu juga yang aku mau tanya. Tadi aku ketemu Mas Raga di depan kamarmu.” Raga menelan ludah, bingung harus menjawab apa. “Aku cuma… ya, lagi keliling ngecek keadaan kos. Terus Wulan muncul tiba-tiba.” Maudy memandang mereka bergantian, sorot matanya sulit ditebak. Bibirnya tersenyum tipis, tapi ada getaran aneh dalam senyuman itu. “Jam segini kalian ngobrol di depan kamarku? Kalian berdua ini… aneh banget.” Suasana mendadak terasa panas meski malam begitu dingin. Raga berdiri di antara dua penghuni kos yang kini sama-sama menatapnya, menunggu jawaban yang tidak pernah ia siapkan. Tatapan Maudy bertahan beberapa detik sebelum akhirnya ia menarik napas panjang. Dengan cepat ia berbalik, masuk kembali ke kamarnya tanpa berkata apa-apa lagi. Pintu tertutup perlahan, meninggalkan keheningan di lorong itu. Raga berdiri kaku, perasaan campur aduk berputar dalam kepalanya. Wajahnya masih panas, jantungnya tak juga tenang. Ia mencoba menghela napas dalam, tapi suara bisikan tiba-tiba membuatnya menoleh. “Mas Raga,” suara Wulan terdengar pelan tapi tegas. “Kali ini kamu utang budi sama aku.” Raga mengernyit, berusaha menyembunyikan keterkejutannya. “Maksudmu apa, Wulan?” Wulan mendekat, senyumnya tipis penuh arti. “Aku tahu kamu tadi nguping di kamar Maudy. Aku bisa aja langsung bilang ke dia barusan.” Raga tercekat, tenggorokannya kering. “Aku… bukan maksudnya begitu, aku cuma—” “Tenang aja,” potong Wulan, matanya berkilat nakal. “Aku nggak bakal ngadu. Tapi inget, berarti kamu punya hutang sama aku.” Raga tak bisa membalas, hanya diam menahan rasa bersalah bercampur waspada. Ia tahu Wulan bukan tipe gadis yang bicara tanpa maksud. Malam itu, di lorong sepi, ancaman halus itu menjeratnya lebih erat daripada suara desahan Maudy sebelumnya. Wulan berbalik dengan langkah ringan menuju kamarnya. “Selamat malam, Mas Raga. Jangan lupa… aku bakal tagih kapan-kapan.” Pintu kamar Wulan menutup rapat. Raga berdiri sendirian, napasnya terengah pelan, sadar malam pertamanya di kos putri baru saja membuka pintu pada masalah yang jauh lebih besar.Pagi itu udara masih sejuk. Matahari belum terlalu tinggi, dan halaman kos baru saja selesai disapu. Raga menyandarkan sapu di pojok teras, lalu masuk ke dapur untuk membereskan gelas dan lap meja. Hari itu dia berencana balik ke rumah Tante Maya dulu, karena perlu mandi dan ambil pakaian bersih. Ketika Raga baru saja menutup lemari piring, suara langkah dari tangga terdengar pelan. Rani turun sambil merapikan rambutnya yang masih sedikit kusut. Rani berkata pelan, “Pagi, Mas Raga.” Raga menoleh dan tersenyum kecil. “Pagi juga.” Rani berjalan mendekat sedikit. “Abis beberes ya?” Raga mengangguk sambil mengambil sandal. “Iya. Mau balik sebentar ke rumah Tante Maya. Kamu mau kemana?” Rani menjawab santai, “Mau beli sarapan di luar.” Raga membuka pintu belakang rumah kos dan berjalan bersamaan dengan Rani sampai halaman depan. “Emang hari ini gak kuliah?" Rani menggeleng pelan. “Belum. Kuliah baru mulai besok. Hari ini masih libur.” Raga mengangguk paham. Beberapa detik
Malam itu kosan sunyi. Lampu lorong redup, cuma cukup buat lihat jalan. Raga selesai beberes area luar dan dapur, lalu berhenti sebentar di depan pintu kamar Gita. Di palanya cuma satu alasan: tugas bantu beresin kamar. Raga angkat tangan, ketuk pelan. Tok… tok… Beberapa detik kemudian, pintu terbuka setengah. “Mas Raga?” suara Gita terdengar santai, tapi ada nada… halus yang nggak ada semalam-semalam sebelumnya. “Masuk aja.” Raga refleks tarik napas kecil waktu pintunya kebuka lebih lebar. Gita pakai tanktop tipis warna hitam, jatuh longgar tapi tetap bentuk siluet bahunya kebayang jelas. Rambutnya digerai, ada sedikit basah kayak baru selesai mandi. Celana yang dia pakai bukan celana tidur panjang—tapi short pants kain lembut yang keliatan nyaman. Dan, entah disengaja atau tidak, dia berdiri dengan satu tangan di pinggul, satu bahu sedikit naik. Raga coba tetap datar. "Jadi ya, aku bersihin kamarmu." Gita sedikit menunduk sambil senyum tipis. “Iya Mas, sini. Aku tunggu di
Malam itu, warung kopi pinggir jalan terlihat ramai tapi tetap terasa santai. Lampu kuning redup, suara motor lewat sesekali, dan aroma kopi hitam pekat mengisi udara. Martin duduk paling pojok, tangannya menggenggam gelas kopi panas. Laura di sebelahnya sambil memainkan sendok kecil, sedangkan Raga duduk di seberangnya sambil menyeruput kopi. Raga buka pembicaraan duluan. “Tumben banget ngajak ngopi malem-malem gini, ada apa tuh?” katanya sambil melirik Martin. Martin nggak langsung jawab. Dia tarik napas kecil lalu menatap Raga dan Laura bergantian. “Laura udah cerita ke gue. Katanya Gita sama Rani udah balik kosan.” Raga mengangguk pelan. “Iya, mereka udah balik tadi pagi.” Martin ngelirik tajam, ekspresinya serius. “Menurut lu ada yang aneh nggak dari sikap mereka setelah balik?” Raga terdiam, menyandarkan punggung ke kursi sambil berpikir. Dia coba ingat momen ketemu Gita sore tadi—senyum, sikap, gaya bicara. Semuanya terasa normal, tapi ada sesuatu yang berbeda. Sayangn
Siang hari, suasana rumah Tante Maya terasa tenang. Di dapur, Laura sedang membantu menyiapkan makan siang. Tangannya sibuk memotong sayuran, sementara Tante Maya meracik bumbu di kompor. Beberapa detik kemudian, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Raga keluar sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Ia berjalan santai menuju dapur setelah mencium aroma masakan. “Wah… harum banget. Udah mau siap ya?” katanya sambil menarik kursi. Laura hanya nyengir kecil tanpa menoleh. Tante Maya menjawab singkat, “Sebentar lagi.” Tak lama, semua makanan sudah tersaji di meja makan. Mereka pun duduk bersama dan mulai makan dalam suasana santai. Awalnya obrolan ringan—cuaca, kegiatan hari ini, rencana sore—sampai akhirnya Tante Maya berhenti makan sebentar dan memasang ekspresi sedikit serius. “Kalian tau nggak…” katanya pelan, “Gita sama Rani kayaknya udah sampai kosan.” Seketika suasana berubah. Raga langsung berhenti mengunyah. Laura juga refleks menoleh. Keduanya j
Setelah cukup lama berkeliling, Raga dan Rahma akhirnya keluar dari mall. Langkah mereka pelan, seolah masih menikmati sisa waktu yang ada. Di area parkiran, Rahma merapikan ujung jilbabnya sementara Raga membuka kunci motor. “Aku tanya dulu,” kata Raga sambil menoleh pelan. “Abis ini mau langsung pulang? Atau masih mau jalan?” Rahma menaikkan alis, pura-pura mikir. “Hmmm…” dia menatap langit yang mulai berubah jingga. “Kayanya kalau pulang sekarang sayang banget deh. Jalan bentar ke taman kota yuk mas? Sekalian liat sunset.” Nada suaranya santai, tapi jelas ada harapan di dalamnya. Raga tersenyum kecil, mengangguk. “Yaudah. Ayo.” Mereka berdua memakai helm, lalu motor melaju pelan melewati jalanan kota sore itu. Angin sore menyapu wajah mereka, dan suasana jadi terasa tenang. Rahma sesekali menunjuk arah atau komentar hal kecil yang dilihatnya di jalan. Begitu sampai di taman kota, Raga mencari tempat parkir yang teduh. Setelah motor terkunci, mereka mulai berjalan
Sore itu suasana dapur kosan cukup tenang. Raga duduk santai sambil main ponsel dan sesekali menyeruput minumnya. Hembusan angin dari halaman belakang bikin suasana adem. Langkah kaki terdengar mendekat. Rahma muncul dari arah koridor, sudah rapi dengan tas kecil di bahu dan parfum yang cukup menyengat. “Mas Ragaa…” panggilnya sambil senyum. Raga menoleh. “Ya?” “Antarin aku yuk.” Suaranya manja tapi terdengar santai. Raga mengangkat alis. “Kemana Ma?” “Ke mall. Aku udah izin ke Tante Maya kok, dan katanya boleh.” Rahma menjawab sambil memeriksa rambutnya sendiri. “Oh gitu.” Raga bangkit dari kursinya. “Yaudah, aku siap-siap dulu sebentar.” Rahma mengangguk sambil senyum puas, lalu duduk di kursi dapur sambil memainkan ponselnya. Tidak lama kemudian, Raga muncul lagi dari arah luar setelah berganti pakaian. Kaos hitam polos, celana jeans rapi, dan sepatu bersih. Rahma berdiri dan menyerahkan kunci motor padanya. “Monggo driver,” goda Rahma. Raga cuma senyum keci
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments