Televisi yang ada di depan Pinto menyala. Layarnya memperlihatkan seorang pesohor bernama Feni Kinantya. Feni Kinantya bertutur bahwa dirinya sedang menekuni bisnis kuliner.
Pinto tercengang menonton tayangan bincang-bincang itu. Dia baru mengetahui bisnis kuliner Feni Kinantya. Feni Kinantya tidak pernah menceritakan bisnis kulinernya kepada Pinto.
Saat cengangan Pinto belum surut, ponselnya berceloteh. Dia meraih HP-nya. Mencermati bagian depan gawai tersebut. Ternyata, orang yang meneleponnya ialah Feni Kinantya.
“Halo, Mas Pinto. Apa kabar?” sapa Feni Kinantya hangat.
Pinto menyambar remote televisi. Dia mengurangi volume suaranya.
“Kabar saya baik,” ujar Pinto singkat. “Gimana kabar kamu?” dia balik bertanya.
“Baik dan sehat, Mas Pinto,” Feni Kinantya menyampaikan keadaannya.
Mereka berdua saling menanyakan kondisi kesehatan orang tua lawan bicaranya. Pinto menanyakan kondisi kesehatan orang tua Feni Kinantya. Begitu juga dengan Feni Kinantya, menanyakan kondisi kesehatan orang tua Pinto.
“Aku mau undang kamu ke acara grand opening kafe sekaligus bar aku. Waktunya hari Sabtu mingdep. Lokasinya di Pantai Indah Kapuk,” Feni Kinantya menerangkan tujuan utamanya. “Kamu bisa dateng, nggak?”
Jawaban Pinto tertahan. Terlebih dahulu ia membaca agenda kerjanya. Dan dia menemukan kesibukan yang bersamaan. Dia memiliki kegiatan pada hari grand opening kafe sekaligus bar Feni Kinantya. Pada hari itu, ia mengerjakan pekerjaannya di Kabupaten Tegal. Dua pilihan membimbangkannya .
“Gimana? Bisa dateng, nggak?” Feni Kinantya meminta kepastian jawaban Pinto.
Jalan tengah diambil oleh Pinto. Dia akan menyanggupi undangan Feni Kinantya. Di sisi lain, ia menunda pengerjaan pekerjaannya di Kabupaten Tegal. Dia akan bertolak menuju Kabupaten Tegal pada hari Minggu pekan depan.
“Saya bisa datang,” jawab Pinto lugas. “Surat undangannya mana?”
“Surat undangannya menyusul. Tiga atau empat hari lagi nyampe di rumah dinas kamu,” kata Feni Kinantya.
Pinto mematikan televisinya. Dia menggerakkan kaki ke kamar tidurnya. “Kamu hebat, Fen. Jadi businesswoman sekaligus foodpreneur,” pujinya terhadap profesi Feni Kinantya.
Muka Feni Kinantya berseri-seri. “Makasih atas sanjungannya, Mas. Sanjungan kamu bikin perasaan aku melayang-layang.”
“Waduh, sanjungan aku dahsyat sekali! Bisa bikin perasaan kamu melayang-layang,” Pinto berpura-pura takjub terhadap diri sendiri.
Feni Kinantya membenarkan perkataan Pinto. Dia lalu menerangkan ulang waktu dan lokasi grand opening kafe sekaligus bar miliknya. Juga mewanti-wanti Pinto supaya hadir tepat waktu.
Pinto berjanji bahwa dia akan datang sebelum acara mulai.
“Segitu aja telepon dari aku. Dadah Mas Pintooo …,” suara merdu Feni Kinantya menghendaki akhir pembicaraan.
“Dadah.”
Sambungan telepon terputus. Bergegas Pinto naik ke atas kasur. Ingin cepat-cepat memejamkan mata. Kantuknya enggan diajak kompromi.
*****
Di sekitar pintu masuk, terdapat pemandangan mencolok. Belasan karangan bunga berjejer indah. Papan informasi berdiri membusung. Mobil-mobil mandek selama beberapa detik untuk kemudahan penurunan penumpang. Dua lelaki berpakaian formal menyambut ramah para tamu undangan yang baru datang.
Di dalam ruangan, para tamu undangan mematuhi aturan acara. Mereka melakukan registrasi ulang on the spot. Sejurus kemudian mereka memasukkan kartu nama masing-masing ke wadah yang sudah disediakan. Setelahnya, mereka berbuat hal yang disukai. Sebagian dari mereka melihat-lihat segala penjuru ruangan. Sebagian lainnya mengobrol dengan kawannya. Ada di antara mereka yang berfoto di photo booth. Ada pula diantara mereka yang menikmati minuman khusus.
Salah satu tamu undangan yang meminumnya adalah Pinto. Pinto meneguknya sambil menonton atraksi racik minuman yang diperagakan seorang pramutama bar.
“Mas Pinto!” terdengar suara seseorang memanggil Pinto.
Suara yang amat dikenal oleh telinga Pinto. Suara siapa lagi kalau bukan suara Feni Kinantya. Indera penglihatan Pinto mencari si pemilik suara. Setelah menemukannya, Pinto berpindah ke sebelah perempuan berparas imut-imut itu. Keduanya saling berjabat tangan dan menempelkan pipi.
“Selamat atas grand opening kafe sekaligus bar kamu ini,” cetus Pinto. “Kafe sekaligus bar kamu ini bagus sekali! Semoga kafe sekaligus bar kamu ini sukses. Didatangi oleh banyak pengunjung,” pujian dan harapan untuk bisnis Feni Kinantya terlontar dari mulutnya.
Senyuman cerah tersungging di bibir Feni Kinantya. Lesung pipit terbentuk di pipi gembilnya. “Makasih Mas Pinto. Mudah-mudahan kamu suka sama kafe sekaligus bar aku ini.”
“Saya suka kok,” sambar Pinto. “Ada tiga objek di kafe ini yang saya suka.”
Air muka Feni Kinantya menyiratkan rasa keingintahuan.
Pinto merinci, “Pertama, desain interior modern industrial di kafe ini. Desain interior ini mirip dengan desain interior aset saya, yaitu gudang modern seluas 2000 meter persegi di New York City, Amerika Serikat. Kedua, deretan jendela kaca patri di kafe ini. Deretan jendela kaca ini mirip dengan deretan jendela kaca tempat saya salat malam dan berzikir, yaitu Masjid Sultan Ahmed di Istanbul, Turki. Ketiga, warna pastel di kafe ini. Warna ini mirip dengan warna bangunan-bangunan di kampung halaman saya, yaitu Venice, Italia.”
Tawa Feni Kinantya meletus. Dia melayangkan celetukan, “Omongan kamu ngelantur parah. Orang lain bakal nganggap kamu gila.”
Banyolan Pinto mengelaknya, “Saya nggak gila. Orang lain aja yang terlalu waras.”
Feni Kinantya terkekeh nyaring. Deretan gigi putihnya tampak jelas.
Mendadak arah mata Feni Kinantya bergeser. Pandangannya beralih pada presenter. Sang presenter menatap dirinya, disertai gerakan tangan secara vertikal.
“Mas, presenter manggil aku. Kayaknya, acaranya mau dimulai,” Feni Kinantya memberi tahu. “Aku tinggal sebentar, ya,” bisiknya.
“Iya, Fen.”
Selang lima menit sang presenter memanggil nama Feni Kinantya melalui mikrofon. Dia mempersilakan Feni Kinantya untuk pemotongan pita dan pemberian kata sambutan. Dengan gerak tubuh yang memamerkan keanggunan, ia melangsungkan kedua sesi tersebut.
*****
Pertunjukan band akustik tengah berlangsung. Pinto dan Feni Kinantya melewatkan aksi mereka. Pinto dan Feni Kinantya memilih percakapan dalam kenyamanan. Keduanya berbincang intim di area yang disesaki kumpulan perokok.
“Ngomong-ngomong, tipe cewek kamu yang kayak apa, sih?” selisik Feni Kinantya.
“Tipe perempuan saya berhubungan dengan kebutuhan saya,” ungkap Pinto.
Feni Kinantya menempelkan api pada ujung batang rokok. Ia mengisap bagian pangkalnya. “Kebutuhan kamu apa?” selisiknya lebih dalam.
“Saya butuh perempuan yang bisa memahami status saya. Yang bisa memaklumi dampak dari status saya. Yang sanggup bertahan dengan status saya. Yang mau menerima keterbatasan karena status saya. Yang siap dirugikan oleh status saya,” beber Pinto panjang lebar. Ia meneruskan, “Nggak semua perempuan memahami status saya.”
Pinto sebenarnya jemu membicarakan statusnya. Kejemuan yang ia rasakan kadang memuncak menjadi keengganan. Jika begitu, dia membuang jauh-jauh keengganan yang melanda. Tetap dia membincangkan statusnya. Sebab statusnya bukan semata-mata pembahasan, melainkan juga isu krusial dalam romantika hidupnya.
“Kamu butuh cewek yang kerja di dunia seni?” tanya Feni Kinantya seraya menyilangkan kaki.
“Yang saya butuhkan bukan pekerjaan perempuan, melainkan pemahaman perempuan,” tandas Pinto. “Perempuan yang kerja di dunia seni nggak masalah. Yang penting dia memahami status saya,” sambungnya sungguh-sungguh.
Kelegaan belum dirasakan oleh Feni Kinantya. Ada pokok yang mengganjal benaknya. “Misalkan, cewek yang kerja di dunia seni itu nggak bisa pahamin status kamu, gimana?” lidahnya kembali menetaskan pertanyaan.
Dengan diplomatis Pinto menjawab, “Dia harus berusaha jadi perempuan yang memahami status saya.”
“Aku bakal berusaha jadi cewek yang bisa mahamin status kamu,” Feni menyergah tanpa tedeng aling-aling. “Biar kamu butuh aku.”
“Boleh aja,” balas Pinto tenang. “Yang pasti, kebutuhan saya terhadap perempuan yang memahami status saya belum tentu membuat saya cinta terhadap perempuan tersebut. Sebab cinta berkaitan dengan hati.” Ia menyentuh dada. “Yang menyatakan cinta bukan mulut, melainkan hati.” Ia menyentuh dada lagi.
Pinto sadar, apa yang dia katakan menghindari kejelasan. Tiada kepastian di dalamnya. Arah ketetapannya kabur. Justru itulah kehendak Pinto. Pinto menghindari kejelasan agar Feni Kinantya tak terlalu mengharapkan dirinya.
Percuma jika Feni Kinantya terlalu mengharapkan diri Pinto. Pinto belum berprinsip. Kegoyahan masih mendera landasan percintaannya. Rute asmaranya saja acap berubah. Lebih baik Feni Kinantya bertumpu pada usahanya sendiri.
“Ternyata, kebutuhan kamu terhadap cewek beda sama cinta kamu terhadap cewek. Kayaknya, nggak ada cara buat mengubah kebutuhan kamu terhadap cewek jadi cinta kamu terhadap cewek. Aku—”
“Memang nggak ada caranya,” potong Pinto cepat. Setelah mengambil napas, dia meneruskan, “Yang ada cuma alur. Alurnya nggak bisa ditebak. Bisa cepat, bisa juga lambat. Bisa nggak terkendali, bisa juga perlahan-lahan. Bisa stop dulu di tengah jalan, bisa juga langsung sampai di tempat tujuan.”
Dahi Feni Kinantya berkerut-kerut. Berpikir cukup keras dan hasilnya sia-sia, “Aku sulit artiin cinta kamu. Cinta kamu mengandung kerahasiaan.”
Pinto mengayunkan gelengan penampikan. “Cinta semua orang juga mengandung kerahasiaan. Nggak ada yang tahu kepastiannya. Pada dasarnya, cinta adalah misteri.”
Musik klasik yang mengalun sejak tadi gagal menyegarkan pikiran Feni Kinantya. Pikirannya tetap terjebak di dalam kepenatan. Penat karena penerjemahan seluruh ucapan Pinto yang mengambang ke dalam penafsiran tunggal. Begitu sukarnya pemaknaan kalimat Pinto sampai-sampai Feni Kinantya termangu. Memenungkan kebahagiaan pada hari spesialnya yang berbalik menjadi kegetiran pada hari malangnya.
Ketika Pinto telah berlalu dari hadapannya, sebutir air mata Feni Kinantya mengalir. Ia meratapi jiwanya yang hampa, yang belum menggapai kepentingannya: petunjuk penguasaan kasih sayang Pinto.
Perjalanan untuk pengerjaan pekerjaan Pinto dimulai. Pinto, sopir pribadi Pinto, dan staf Pinto bersambang ke provinsi satu pulau. Ketiganya meninggalkan Jakarta yang masih terbungkus pagi buta. Melalui kaca jendela, Pinto mengamati perputaran empat roda di tol Cikampek. Cepat nian. Saat Pinto sedang bersandar, dia memandang pertokoan, kios, dan warung di jalur Pantura Kabupaten Cirebon. Amat menawan. Mata Pinto beristirahat. Terpejam. Ketika kondisi Pinto terjaga, indera penglihatannya menjumpai penjual-penjual bawang merah. Hamparan telur asin ada di pinggir jalan berikutnya. Pinto terlalu mengerti. Kabupaten Brebes tengah menyuguhkan keelokan. Mobil terus melaju. Tak terasa, Pinto, sopir pribadi Pinto, dan staf Pinto sudah berada di simpang Maya, Kota Tegal. Mereka bertiga singgah di gerai McDonald’s. Pengusiran kelelahan sekaligus penumpasan rasa lapar adalah tujuannya. Sewaktu mengganjal perut, Pinto dilirik oleh sejumlah pengunjung. Pinto menyadari tindakan mere
Ujung waktu menjemput Rapat Intern Komisi VI DPR. Pinto berpacu ke tempat awal. Ia membereskan berkas-berkas yang berserakan di ruang kerjanya. Alat tulis kantor tertata indah di atas meja kerja milik DPR. Tumpukan kertas tersusun rapi di dalam lemari yang dimiliki DPR. Komputer yang disediakan DPR sudah dalam keadaan mati. Agenda Pinto berikutnya adalah pertemuan dengan Wahid dan Bisma. Lokasi pertemuan dekat dari ruang kerja Pinto. "Selamat sore, Mas Pinto,” sapa Wahid kepada Pinto yang baru datang di ruang kerjanya. Dia memandangi baju batik yang menempel pada fisik Pinto. “Tumben, Mas Pinto pakai kemeja batik lengan panjang pada hari Senin. Biasanya, Mas Pinto pakai kemeja biasa lengan panjang.” "Ini bukan sembarang batik. Ini batik spesial. Saya beli ini di Dapil saya waktu menjalani masa reses," Pinto menerangkan. "Hai Mas Pinto! Apa kabar?" panggil Bisma disertai senyuman. Pandangan Pinto membelok ke paras campuran Bisma. "Kabar saya baik." Bi
Ruang Rapat Fraksi Kebijaksanaan Nasional (Kesan) berangsur senyap. Segala suara menguap. Para peserta rapat berganti kegiatan. Tak terkecuali Pinto, Wahid, dan Bisma. Bisma sibuk menggarap tugasnya. Pinto dan Wahid baru sampai di ruang kerja Wahid. “Saya sudah bertemu dengan dua peneliti sekaligus konsultan sosial yang nantinya akan menjadi TA tambahan Mas Pinto. Saya juga sudah mewawancarai mereka,” Wahid membuka pembicaraan. Sungguh Pinto tidak mengira begitu lekasnya bantuan Wahid. Tanpa sangsi, dia memuji setengah mati bantuan Wahid. Wahid merendah. Ia menolak anggapan Pinto. Bagi Wahid, bantuannya untuk Pinto tergolong biasa. Sekadar pertolongan untuk sahabat. “Mereka cocok untuk membantu Mas Pinto,” nilai Wahid serius. “Cocok bagaimana, Mas? Bisa dijelaskan, nggak?” “Mereka merupakan peneliti di sebuah lembaga riset sosiologi di Jakarta. Mereka bergelar PhD,” Wahid menyingkap latar belakang pekerjaan dan pendidikan dua calon TA tambahan Pinto.
Berdasarkan pesan W* yang Pinto baca, Mas Ondi dan Mas Gagan tengah bercengkerama di lobi Hotel Ritz Carlton. Mas Ondi mengenakan kemeja berwarna abu-abu. Mas Gagan menutupi tubuh bagian atasnya dengan kemeja batik berwarna cokelat tua. Di hotel yang sama, Pinto menebar pandangannya ke tiap sudut lobi. Ia menyapu para wanita. Memusatkan pria-pria berkemeja. Perhatiannya tertumbuk pada dua lelaki yang sedang berbincang lepas. Pinto yakin betul, merekalah manusia yang bersiap menyambut kedatangannya. Tanpa komando, Pinto berjalan menuju mereka. “Permisi … Nama Mas berdua, Mas Ondi sama Mas Gagan?” tanya Pinto hati-hati. Perbincangan mereka berdua terhenti. Kemudian, mengangguk bersamaan. Salah satu dari keduanya menyahut, “Anda pasti Pak Pinto.” Mulut Pinto melongo. Tidak mengira bahwa laki-laki itu mengetahui namanya. Pinto lantas menanyakan penyebab orang tersebut tahu namanya. “Seluruh warga Indonesia juga tahu nama Anda Pinto!” ceplos orang kedua.
Klausul kerja yang dirancang Staf Administrasi Pinto telah dipelajari oleh Mas Ondi dan Mas Gagan. Tiada satupun poin yang memberatkan. Semuanya adil bagi penerima kerja. Mereka menempelkan tanda tangan pada kontrak kerja yang dibuat Staf Adminstrasi Pinto. Duo sosiolog resmi berstatus TA tambahan Pinto. Sekarang, pukul delapan pagi hadir di sekitar Mas Ondi dan Mas Gagan. Mereka berdua bersiap siaga. Bercokol di ruang kerja Pinto. Keduanya tengah menanti Pinto. Hendak menjabarkan salah satu rencana pekerjaan kepada tuan bos baru. Saat sedang bertukar lisan, Mas Ondi dan Mas Gagan menangkap bunyi derap kaki. Semakin lama semakin terdengar jelas suara tersebut. Pandangan mereka serta-merta beralih ke luar ruangan. Dan mereka melihat Pinto berdiri di samping pintu. “Lho, Mas Ondi sama Mas Gagan ada di sini?” Pinto menanya. Terperanjat dia menatap keberadaan Mas Ondi dan Mas Gagan. Pinto lalu menyalami kedua TA tambahannya. “Kami ada keperluan penting yang harus di
Celotehan Monik Okky memuat kerinduannya terhadap Pinto. Ingin sekali ia menemui Pinto. Saling berbagi buah tutur. Bertukar cerita menarik. Namun sayang, Monik Okky tersandera oleh jadwal padat. Kerinduan Monik Okky simetris dengan hasrat Pinto. Pinto terlalu ingin berada di sisi Monik Okky. Menikmati laku agung Monik Okky tanpa penghalang. Secara langsung merasakan kilau aura Monik Okky. Pinto enggan mengungkapkan hasratnya. Apabila Pinto mengungkapkan hasratnya, niscaya sangkaan keliru Monik Okky muncul. Dijamin, Pinto dilanda oleh kerepotan. Dia wajib mencurahkan isi perasaan sejatinya. Sudah tentu merembesi penawar kepahitan di sanubari Monik Okky. "Aku ada schedule di lokasi biasa hari Sabtu sore," Monik Okky mengabarkan rutinitasnya. "Kalau Kak Pinto pengin dateng, dateng aja." Pinto memahami kalimat terakhir Monik Okky. Monik Okky mengirimkan kode tersirat kepadanya. Jari tengah Pinto menggosok jidat. "Di situ ada wartawan, nggak? Kalau ada, wartawa
Rooftop yang menyandang konsep kafe sekaligus rumah kaca tersebut berselimut kemewahan. Lantainya terbuat dari granit. Meja-meja di dalamnya mengandung marmer. Di setiap sisinya banyak terdapat kursi buatan Italia. Sebuah sofa panjang bernilai puluhan juta rupiah dikuasai oleh sepasang kekasih. “Perpolitikan sekarang makin bobrok,” Saroh mengomentari berita politik yang baru dia baca. Arung menoleh ke arah Saroh. “Bobrok gimana?” “Parah separah-parahnya!” koar Saroh ketus. “Sebagian anggota DPR makin jago sandiwaranya. Di depan rakyat, mereka mentingin rakyat dan religius. Di belakang rakyat, mereka saling berangkulan sembari bagi-bagi duit. Itu anggota DPR apa pemain teater?” kritiknya keras. Kritik Saroh sangat mengena. Bahkan keruncingannya menembus benak Arung. Benak Arung menyetujui kritik Saroh. Entah mengapa, lidah Arung gatal. Ingin sekali menghubungkan kritik Saroh dengan Khalim Mansyur. “Untung Papa kamu nggak pernah jadi anggota DPR,” tuka
Sebagaimana kebiasaannya, Saroh berangkat untuk pencarian nafkah ketika pagi masih menyatu dengan pukul delapan. Dia mengawalinya dengan gairah maksimum. Taksi online menjadi moda transportasinya. Satu-satunya aktivitas Saroh di kantornya ialah pengarahan singkat mengenai proyek penanggulangan bencana alam. Program yang digarap adalah perwujudan perlindungan sekolah dari bahaya bencana alam di Kota Bogor. Ia terlibat dalam pelaksanaan program tersebut. Sesudah pengarahan singkat berakhir, Saroh serta kolega-koleganya mengunjungi kantor BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kota Bogor. BPBD Kota Bogor merupakan mitra kerja dalam proyek tersebut. Saroh, kolega-koleganya, serta para pegawai BPBD Kota Bogor menggelar sebuah rapat. Hal yang dibahas adalah rancangan peraturan-peraturan yang terkait dengan proyek tersebut. Rapat berlangsung hingga jam makan siang. Sehabis bersantap siang, Saroh serta kolega-koleganya menghadiri seminar pendidikan di Kampus Institut Pertanian