Share

Kisah Asmara Saroh

     Sepuluh menit berselang. Sesosok perempuan bertubuh langsing mendekati keberadaan Pinto, Norma, dan Ardan. Tisu ada pada genggamannya.

     “Kamu habis dari mana, Sar?” tanya Pinto kepadanya secara serius.

     Saroh menduduki kursinya. “Dari toilet.”

     Langsung terembus napas kelegaan dari hidung Pinto. Degup jantungnya yang semula kencang, kini kembali normal. Dugaannya nyata-nyata keliru.

     “Biasa, Mas Pinto …,” Norma menyambar. “Saroh lagi ngadepin urusan cewek. Tempatnya di toilet,” selorohnya ringan.

     “Sis Saroh,” panggil Ardan pelan.

     Orang yang dipanggil Ardan menoleh ke arah Ardan.

     “Tadi, Bro Pinto minta Sis Saroh ceritain kisah asmara Sis Saroh,” Ardan mengingatkan Saroh.

     Saroh mengangguk mengerti. Dia masih ingat dengan permintaan Pinto. Seperempat menit dia berpikir. “Aku mau ceritain tuntutan papa aku.”

     Pikiran Pinto menajam. Diucapkannya sebuah kata yang menggugah keingintahuannya, “Tuntutan?”

     Saroh mengiakan sebuah kata tersebut. “Tuntutan papa aku adalah aku harus selektif cari suami. Aku nggak boleh sembarangan pilih suami. Papa aku pengin suami aku bisa jaga kehormatan sama kewibawaan dia. Bagi dia, kehormatan dan kewibawaan tetep nomor satu,” urainya lancar dan jernih.

     Uraian Saroh dipahami oleh Pinto. “Kamu nggak memprotes tuntutan papa kamu?” dia mengorek keterangan Saroh.

     “Sama sekali nggak. Aku selalu bisa dapetin cowok yang sesuai kriteria papa aku,” tegas Saroh percaya diri.

     “Pacar kamu sesuai kriteria papa kamu?” lagi, Pinto mengorek keterangan Saroh.

     “Arung udah dari dulu sesuai kriteria papa aku. Mama aku juga suka sama Arung,” tutur Saroh. Ia memasukkan irisan keik Tres Leches ke dalam mulut.

     “Berarti, profil sama kepribadian Arung bagus. Dia juga sukses mendapatkan restu papa mama kamu,” Pinto merangkum tuturan Saroh.

     Saroh menelan irisan keik Tres Leches di dalam mulut, lalu mengungkapkan, “Itu alasan aku pacaran sama Arung. Selain pintar secara akademis, Arung juga pintar dapetin restu papa mama aku.”

     “Bagus kalau gitu,” kata Pinto nyaring, ditambah manggut-manggut. Namun, ada kedukaan membersit di sanubarinya.

     “Aku rasa, bapak Mas Pinto sama kayak papa aku. Malah kayaknya lebih ekstrim bapak Mas Pinto ketimbang papa aku,” Saroh melisankan pemikirannya. Dia menganggap nasib Pinto serupa dengan nasib dirinya. “Bener, kan?” ia meminta pembenaran Pinto.

     Kepala Pinto menggeleng. Kondisi yang dirasakannya berbeda dengan keadaan yang dialami Saroh.

     “Mungkin bapak Mas Pinto belum punya tuntutan itu. Tapi suatu saat nanti, bapak Mas Pinto pasti punya tuntutan itu. Aku yakin banget,” Saroh mempertahankan pemikirannya kuat-kuat.

     Dalam kalbunya, Pinto meniupkan asa. Pinto berharap bahwa pemikiran Saroh hanya ada di logika Saroh. Pemikiran Saroh tidak menjadi kenyataan.

     Sekarang saja, Pinto dilanda kesusahan karena statusnya. Jika pemikiran Saroh menjadi kenyataan, kesusahannya tentu meningkat. Kehidupan percintaannya kian rumit. Ujung-ujungnya, kewarasannya mungkin tercabut. Dia dapat berperilaku janggal.

     Pinto lantas tenggelam di dalam perenungan. Seumpama terlahir kembali, dia akan memilih ketiadaan status yang menempel pada dirinya. Bukan karena memusuhi statusnya, melainkan karena menginginkan kelonggaran. Keleluasaan dalam tindakan adalah dambaannya.

     “Susah juga jadi anak orang gedean …,” Ardan berlagak berkomentar. Tangannya pura-pura menggaruk kepala.

     “Bebannya gede. Tugasnya sulit. Tekanannya kuat,” sebut Norma mendukung komentar Ardan. “Targetnya tinggiii lagi!” sambungnya dengan nada gemas yang dibuat-buat.

     Penglihatan Saroh bergeser ke muka Norma dan Ardan. Sorot matanya mengobarkan ketidaksetujuan. “Emang kalian bukan anak orang gedean? Emang beban kalian nggak gede? Emang tugas kalian nggak sulit? Emang tekanan buat kalian nggak kuat?”

     Norma dan Ardan tertawa pecah bersamaan. Cukup keras suara tawa mereka berdua. Bahkan Ardan sampai terpingkal-pingkal.

    Saroh geleng-geleng sendiri. Heran dengan tingkah mereka berdua. “Ketawanya dijaga, dong! Ini restoran, bukan pasar! Malu sama orang-orang,” dia memperingatkan Norma dan Ardan.

     Ardan mengurangi volume tawanya. “Maaf, Sis Saroh. Kita bakal jaga ketawa kita.”

     “Gua juga, Sar,” sahut Norma disertai pengurangan kecepatan tawa.

     Tawa Norma dan Ardan berangsur-angsur reda.

     “Lanjutin lagi kisah asmaranya, Sis Saroh,” pinta Ardan. Ternyata, cerita Saroh memikat ketertarikannya.

     Saroh kembali berpusat pada kisah asmaranya. Otaknya menyusuri seluruh bagian di dalam lika-liku kasihnya. Ingatannya meninjau setiap pengalaman cinta yang ada. Tiba-tiba mimiknya berubah. Mimiknya memancarkan kesenduan.

      Perubahan ekspresi Saroh dilihat oleh Ardan. Ardan merasa bersalah. “Sis Saroh nggak usah lanjutin kalo Sis Saroh keberatan. Jangan dipaksain.”

     Saroh tersenyum samar. Dia memastikan lanjutan ceritanya.

     Saroh menceritakan betapa galaunya dia menanti kelanjutan hubungan percintaannya. Hingga detik ini, Arung belum pernah menyampaikan rencana pernikahan kepada Saroh. Padahal, jalinan kasih mereka telah berlangsung lama.

     Kesabaran Saroh dalam penantian mahligai perkawinan masih ada. Di sisi lain, si pemilik kesabaran memikirkan lintasan percintaannya. Ia bisa menderita kekacauan hati bila rajutan asmaranya putus. Ia tak mengharapkan hal itu terjadi.

     Cerita Saroh bersambung pada kebencian. Dia menyingkapkan kebenciannya terhadap salah satu perilaku Arung. Arung termasuk orang yang gila kerja. Imbas kegilaan ini adalah waktu Arung. Waktu Arung untuk Saroh terlalu sedikit.

     Selaku pasangan, Saroh mencemaskan kondisi kesehatan Arung. Ia khawatir, kondisi kesehatan Arung memburuk apabila tetap gila kerja. Sudah berulang kali Saroh menyampaikan kekhawatirannya kepada Arung. Namun, Arung bergeming.

     “Kisah asmara Sis Saroh udah kelar belum?” Ardan menanya ketika cerita Saroh berhenti. “Kalau udah, kita cabut, yuk!” ajaknya. Tatapannya menyinggahi wajah Pinto, Saroh, dan Norma.

     “Kuy!” sambut Norma terhadap ajakan Ardan.

     “Bayar bill dulu,” sergah Saroh.

     “Saya yang bayar,” Ardan berucap lirih.

     Saroh terbelalak. Terkejut sekaligus bingung karena ucapan Ardan.

     “Saya yang bayar makanan dan minuman kalian semua,” Ardan menegaskan kemauannya.

     “Mas Ardan nggak usah bayarin kita,” cegah Saroh. “Kita bisa bayar sendiri, kok.”

     Norma terkekeh. “Lu sans aja. Bayarin orang udah jadi kerjaan Mas Ardan. He's very rich,” dia berupaya memupus kekikukan Saroh.

     Saroh berterima kasih kepada Ardan yang sedang mengambil kartu kredit dari dalam dompetnya.

     Ardan membalasnya dengan acungan jempol. Sekejap kemudian kakinya melangkah ke tempat kasir.

     Selepas Ardan beranjak, benak Pinto tertuju pada kendaraan yang digunakan Saroh. Pelan-pelan, Pinto mengirimkan pertanyaan kepada Saroh, “Saroh pulang naik apa?”

     “Naik taksi online,” jawab Saroh sambil mengoperasikan telepon selulernya.

     “Sama Mas Pinto aja. Rumah dinas Mas Pinto nggak begitu jauh dari rumah lu,” imbau Norma kepada Saroh. “Mas Pinto pasti mau nganter lu.”

     Sukma Pinto bergemuruh. Imbauan Norma serasa dukungan untuknya.

     “Sama Mas Pinto, ya,” Norma mendesak Saroh.

     “Nggak, Nor. Gua udah biasa naik taksi online,” tangkis Saroh terhadap desakan Norma.

     Kekecewaan Pinto timbul. Ada ketimpangan antara harapannya dan kenyataan Saroh.

     Terdengar langkah kaki lambat memarani Saroh. Ardan muncul dari sudut dinding kayu berhiaskan panel geometris.

     “Sis Saroh pulangnya nebeng mobil Bro Pinto, ya. Sekali ini aja. Habis itu, Sis Saroh nggak usah nebeng mobil Bro Pinto lagi,” mohon Ardan.

     Saroh mengernyitkan kening. Berusaha mengartikan permohonan Ardan.

     “Kasihan Bro Pinto. Udah bertahun-tahun nggak ada cewek yang nebeng mobil dia,” ujar Ardan dengan gaya memelas yang kocak.

     “Bahas nasib gua lagi, bahas nasib gua lagi. Mentang-mentang gua jomblo karatan. Nggak kreatif, lu!” Pinto menggerutu seraya menunjuk-nunjuk bibir tebal Ardan.

     Norma terkakak-kakak melihat tingkah Ardan dan Pinto. Di lain pihak, Saroh bereaksi serius. Ia menolak permohonan Arung. Alasannya ialah alat transportasi yang sudah dia pilih. Sesaat lagi, taksi online yang dipesannya datang.

     Gelak riuh Norma usai. “Berhubung Mas Ardan udah bayar bill, kita cabut sekarang. Jangan lupa, kita kudu temenin Saroh di luar sampe mobilnya dateng,” dia menyegerakan waktu kepulangan sekaligus menyuruh Pinto dan Ardan.

     “Pasti saya temani,” timpal Pinto. Ronanya berseri-seri.

     “Nggak usah deh,”—Saroh mengibaskan tangannya—“mobilnya udah dateng. Baru aja.”

     Cahaya muka Pinto meredup. Sesuatu yang keruh menyembul di wajahnya.

     “Oke. Kita langsung keluar aja. Let's go!” Norma bangkit dari kursi yang ia tempati.

     Pinto, Saroh, Norma, dan Ardan melenggang bersama-sama menuju pintu keluar. Saroh menyambung perjalanannya ke depan pintu gerbang. Pinto, Norma, dan Ardan masuk ke dalam kendaraan masing-masing.

     Di balik kemudi mobi listrik Tesla-nya, Pinto memikiri Saroh. Penilaiannya terhadap Saroh selama ini makin kuat. Saroh memang teramat istimewa. Pinto berkata di dalam batinnya. Saroh lebih istimewa daripada Caca Yunita. Apakah saya mampu menundukkan keistimewaan Saroh?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status