Share

Bab 4. Tanda Merah

"Narendra itu lelaki tampan dan mapan, Fiona! Mudah bagi dia untuk mencari istri yang bisa memanjakan matanya!"

Ucapan Ibu terus terngiang-ngiang di telingaku. Meskipun apa yang dikatakannya adalah fakta, namun hal itu terasa begitu sesak di dada.

Aku mengamati cermin yang ada di depanku. Cermin yang memantulkan bagaimana bentuk fisikku saat ini. Wajah yang berjerawat, kulit kusam, dan lingkaran hitam di sekeliling kedua netraku. Ditambah tubuh yang begitu kurus menambah kesan tak menarik lagi. 

Sungguh, aku sama sekali tak menyadari. Aku terlalu tenggelam pada masalah yang mendera, masalah yang belum sanggup kucari bagaimana kebenarannya. Kedatangan wanita itu benar-benar membuat perubahan pada diriku. Hidup tak tenang, makan pun tak berselera. 

"Fiona, aku mau ada acara makan malam. Siapkan pakaian terbaikku, ya." Suara Mas Narendra terdengar dan menyadarkan lamunanku. Aku menoleh, lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk putih yang ia lilitkan sebatas pinggang. Buliran-buliran air menetes dari rambutnya yang basah, lalu berseluncur di wajah tampannya.

"Makan malam? Sama siapa, Mas?" tanyaku sembari bangkit dari tempat duduk. Lalu aku melangkah mendekat ke arah lelaki yang baru saja mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang.

"Undangan dari kantor."

"Sendiri atau sama aku?" 

"Sendirilah, Fi." Ucapan Mas Narendra membuatku melipat kening. Tak biasanya Mas Narendra.

"Kok tumben, Mas? Biasanya kamu selalu ajak aku setiap ada acara." Terdengar decakan kesal yang keluar dari bibir itu. 

"Sudah, jangan banyak tanya, siapkan saja baju-bajuku. Setelah ini aku langsung berangkat," titah Mas Narendra. Dan tanpa menjawab lagi, gegas aku melangkah menuju lemari. Mengambil pakaian untuk suamiku. 

"Mas, tadi ibu kesini." Kuletakkan baju yang baru saja kupilih di samping Mas Narendra. 

"Aku tau." 

"Apa ibu juga bilang sama Mas soal ...."

"Soal hinaan yang ibu berikan ke kamu?" 

Aku mengangguk patah-patah. Kulihat lelakiku itu mulai mengambil baju lalu memakainya.

"Ya, setelah ini kuharap kamu sadar akan bentuk fisikmu, dan harusnya kamu sudah berpikir apa yang harus kamu lakukan agar tubuh dan wajahmu menarik lagi."

Sejenak aku memejamkan kedua netraku. Ucapan Ibu yang masih terus saja terngiang-ngiang di telingaku, kini ditambah perkataan Mas Narendra yang menambah rasa sesak di dada. 

"Harusnya kamu menyadari kenapa selama beberapa minggu ini aku tak lagi menyentuhmu. Tapi ternyata kamu malah nggak peka sama sekali, jadi ya mau tak mau aku meminta bantuan ibu untuk mengatakan soal ini padamu."

Deg!

Seketika jantung seperti berhenti berdegup kala mendengar ucapan Mas Narendra. 

"Wajar saja jika Narendra minta ibu menyadarkan kamu. Lah, ternyata bentukanmu sudah kayak gini! Wajar sih. Macam risoles yang baru diangkat dari penggorengan!" Ucapan ibu kembali terngiang-ngiang. 

Rasa sesak semakin menjadi, hingga ciptakan gemuruh di dalam dada yang terasa begitu membuncah.

"Mas, kamu mengatakan soal ini sama ibu? Kenapa nggak langsung bicara sama aku? Apa kamu nggak sadar kalau kamu telah mempermalukan aku?" Suaraku terdengar begitu serak seiring pandanganku yang mulai berkaca-kaca. Tak percaya, jika Mas Narendra mengatakan hal seperti ini pada Ibu. 

Mendengar ucapanku, tangan Mas Narendra berhenti mengaitkan kancing baju. Pandangan yang semula menunduk, kini langsung tertuju padaku. 

"Bukankah aku tadi sudah mengatakan alasannya? Seharusnya kamu berpikir kenapa aku enggan menyentuhmu, tapi ternyata? Ya jangan salahkan aku kalau aku membawa ibu ke dalam masalah ini." Mas Narendra berucap tanpa merasa bersalah. Lelaki itu lantas melangkah lalu berhenti tepat di depan cermin. Sekilas kulihat senyum sinisnya dari pantulan cermin. 

"Aku selalu jaga penampilanku, dan tentu saja aku berharap pasanganku juga demikian. Apa kata orang, Fi, lelaki sepertiku memiliki istri yang merawat tubuhnya saja tidak becus?! Dan sepertinya aku tidak perlu menjelaskan kenapa kali ini aku tidak mengajakmu untuk menghadiri acara." Lagi, ucapan Mas Narendra semakin menambah rasa sakit di dalam dada. 

"Ka–kamu malu?" Tergagap aku berbicara. 

"Ya," jawab Mas Narendra dengan singkat. 

Berikutnya, terlihat lelaki itu meraih kunci mobil yang tergeletak di atas nakas lalu melangkah pergi begitu saja. 

****

Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 12 malam, dan sudah selarut ini Mas Narendra tak kunjung pulang. Pikiran buruk terus saja bersarang, dan ucapan-ucapan yang berasal dari lidah tajam milik Ibu kembali terngiang-ngiang. 

"Asal kamu tau, Fi, di luar sana banyak sekali pelakor bertebaran. Dan ibu yakin, Narendra menjadi salah satu incaran mereka. Siapa sih yang nggak mau sama Narendra?" 

"Mudah bagi Narendra untuk mendepakmu dari hidupnya, terlebih kalian belum memiliki anak. Tinggal gugat cerai, beres. Selesai hubungan kalian!" 

Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan ibu mertua yang begitu menyakitkan. 

Aku berusaha memejamkan mata, namun masih saja terjaga. Hingga tak berselang lama kudengar suara deru mesin mobil memasuki halaman rumah. Gegas kusibak selimut lalu aku bangkit dari pembaringan. Setelahnya aku pun melangkah keluar kamar dan menuju ke arah depan. 

Sebelum aku membuka pintu, kubuka tirai jendela untuk melihat mobil siapa yang ada di depan. Sebab aku yakin, suara mobil itu bukan milik Mas Narendra. 

Hingga tak berselang lama dapat kulihat sebuah mobil berwarna merah berhenti, lalu sepersekian detik kemudian keluarlah Mas Narendra dari kursi depan bagian kiri. 

Wajah lelaki itu terlihat begitu berseri, seperti memancarkan sebuah kebahagiaan. 

Mas Narendra melangkah lalu berhenti di samping kemudi. Dan tak berselang lama, kaca mobil itu terbuka. Hingga menampilkan seorang wanita berambut panjang tergerai yang sepertinya memakai dress merah maroon tanpa lengan namun memiliki kerah yang melingkari lehernya. 

"Siapa dia?" tanyaku di dalam hati. Terlihat wanita itu melambaikan tangan ke arah Mas Narendra sembari menampilkan deretan-deretan giginya. 

Tak berselang lama, kendaraan roda empat itu kembali melaju keluar halaman. Dan ketika mobil itu tak terlihat lagi, Mas Narendra memutar tubuh lalu melangkah. 

Cepat, aku membuka pintu, hingga terlihatlah wajah Mas Narendra yang sepertinya terkejut. 

"Baru pulang, Mas? Diantar siapa tadi?" Aku bertanya dengan nada setenang mungkin. Begitu Mas Narendra sudah berada di hadapanku, bergegas kuraih tangannya lalu kucium punggung tangan lelaki itu seperti biasanya. 

"Temen kantor. Kan aku udah bilang kalau menghadiri acara kantor."

"Oh, lalu dimana mobil kamu, Mas? Bukankah tadi kamu naik mobil?" 

"Tadi waktu mau pulang mogok. Jadi kutinggal, numpang mobil temen." Mas Narendra merangsek masuk begitu saja. Meninggalkan aku yang masih berdiri di ambang pintu dengan segudang pertanyaan yang menggangu pikiranku. 

Kuhembuskan napas berat, bergegas aku mengikuti langkah Mas Narendra setelah menutup kembali pintu utama. 

Aku membuka pintu kamar bertepatan dengan Mas Narendra melepaskan bajunya. Hingga tertangkap pada kedua manik hitamku ada bekas merah di leher milik suamiku. 

Duniaku pun seketika ... hancur. 

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Izha Effendi
emang enak,mkanya perawatan itu perlu buat loe.
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
hmm jadi perempuan terlalu tolol dan oon, udah tau bukti suami selingkuh tapi malah diri sendiri gak diurus malah sibuk menerka² ajaa, perempuan tolol yg kek gituiu !!!
goodnovel comment avatar
Bu Iim
aku sih sebagai pembaca hanya bisa bilang.....Syukuriiinnn....rasaiiinn......dah ada bukti² perselingkuhan suamimu dg jelas masih tidak percaya....masih mempercayai suami brengsekmu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status