Share

Bab 5. Liburan ke Bali

Emosi yang sedari tadi kutahan, kini sudah berada di puncak ubun-ubun dan siap untuk diledakkan. Cepat, aku melangkah mendekat ke arah suamiku. Dan begitu sudah dekat, aroma keringat khas setelah melakukan olahraga ranjang pun menguar di indra penciumanku.

10 tahun kami berumah tangga, sudah cukup membuatku hapal dengan hal kecil seperti ini.

"Mas?!" pekikku dengan kedua tangan yang terkepal. Napasku begitu memburu seiring emosi yang semakin menguasai diriku.

"Bekas apa di lehermu itu, Mas?!" Aku menatap lekat ke arah Mas Narendra tanpa menyentuh bekas yang kurasa begitu menjijikkan. Masih aku berusaha menekan kuat-kuat rasa emosi

Mendengar ucapanku, Mas Narendra mendekatkan wajah ke cermin. Dan dengan ekspresi yang tak bisa kutebak, lelaki itu kembali menoleh ke arahku.

"Ini bekas lipstik, tadi ada tragedi. Temen kantor mau jatuh, aku tangkap. Terus mungkin tidak sengaja bibirnya menyentuh leherku."

"Oh ya? Bekas lipstik?"

"Ya. Memangnya apa lagi?"

Gegas aku mengambil tisu yang ada di atas meja rias, kutuangkan cairan pembersih lalu kuusap-usapkan pada bekas menjijikkan itu.

"Hey, apa-apaan kamu, Fi!"

"Bekas? Apa ini yang kamu maksud bekas lipstik?!" Semakin kutekankan usapanku, tak kepedulian Mas Narendra yang berusaha menepis tanganku.

"Ini yang kau bilang bekas lipstik, ha?! Mudah sekali nempel tapi sulit dihilangkan?!" Aku terus mengusap dengan menekannya. Hingga tiba-tiba ....

Brugh!

Lelaki itu mendorong tubuhku hingga terkapar di lantai. Rasa nyeri yang kurasa tak sebanding dengan rasa sakit dan rasa kecewa.

"Apa-apaan kamu ini?! Dasar gila!" Mas Narendra mengusap lehernya yang semakin memerah, mungkin karena usapanku terlalu kuat, hingga menimbulkan jejak-jejak di sana.

"Panas, Fi! Sakit! Sudah gila memang kamu!" hardik Mas Narendra dengan nada penuh penekanan.

Perlahan aku bangkit lalu kembali mendekat ke arah suamiku. Sorot mataku tak lepas dari wajah lelaki itu.

"Sakit kamu bilang?! Sakit mana dengan perasaanku, Mas?!" Aku menepuk-nepuk dadaku yang terasa sesak.

Ingin rasanya aku menangis, namun entah kenapa air mata enggan keluar.

"Bagaimana perasaanmu ketika melihat pasangan kamu berkhianat? Apa kau pikir aku anak kecil yang mudah sekali dibohongin? Kau pikir aku tidak bisa membedakan antara bekas merah karena noda atau kenikmatan?!"

Plak!

Satu tamparan keras mendarat sempurna di pipi kananku, hingga rasa panas menjalar di area kulit pipiku.

Untung saja aku langsung berpegang pada meja rias. Andai tidak, mungkin tubuhku sudah kembali terkapar karena tamparan Mas Narendra yang begitu kuat.

Aku menatap suamiku, tangan kanan yang ia gunakan menyakitiku masih mengambang di udara. Deru napasnya yang memburu dengan rahang wajah yang mengeras sebagai tanda kalau lelaki itu masih dikendalikan oleh emosi.

"Kamu berkhianat, Mas?! Kamu benar-benar mengkhianatiku? Coba katakan, seberapa hebat pelacurmu itu memuaskan hasratmu! Coba katakan berapa lama kau habiskan waktumu bersama jalangmu! Coba katakan!"

"Dasar gila!" hardik lelaki itu, sedetik kemudian diraihnya baju yang tadi sempat ditanggalkan lalu ia melangkah pergi begitu saja.

Brak!

Suara dentuman pintu dengan dinding kamar benar-benar memekakkan gendang telinga.

Setelah kepergian lelaki itu, tiba-tiba saja tubuhku melemas. Bahkan aku langsung mendudukkan tubuhku di kursi karena kurasa otot-otot di kedua tungkai kakiku terasa melemah dan seakan-akan tak bisa menahan lagi bobot tubuhku.

"Ternyata kamu benar-benar tega, Mas!" desisku.

Pandanganku mulai berkaca-kaca, lalu tak berselang lama air mata mulai mengalir dari kedua sudut mataku dan menyisakan jejak-jejak di kedua belah pipiku.

****

Suara dering ponsel yang sedari tadi kuletakkan di atas meja menyita perhatianku. Kututup novel yang sejak tadi kubaca, kuletakkan di atas pangkuanku lalu kuambil benda pipih yang layarnya tengah berpendar.

Ada panggilan masuk, dan begitu kulihat ternyata nomor ibu mertua terpampang sebagai pemanggilnya.

Gegas aku mengusap layar itu ke atas setelah meraup udara dalam-dalam, mempersiapkan diri jika mendapatkan hinaan yang begitu menyakitkan.

"Assalamualaikum, Bu." Aku bersuara begitu panggilan terhubung dan kedekatkan ponsel di telinga.

"Narendra mana? Ada yang ingin ibu bicarakan. Kenapa ponselnya mati? Kalau dia masih tertidur, coba bangunkan. Penting." Tanpa menjawab salamku, ibu langsung menodong dengan beberapa pertanyaan.

"Loh, bukannya semalam Mas Narendra pulang ke rumah ibu?" tanyaku penasaran. Kupikir setelah pertengkaran itu Mas Narendra pulang ke rumah ibunya–mengingat rumah kami yang jaraknya tak begitu jauh. 20 menit sudah sampai ditempuh menggunakan motor.

"Mana ada dia ke sini. Kalau Narendra di rumah ibu, ngapain ibu telepon dan tanya ke kamu," seru Ibu.

"Bentar, bentar, Fi. Maksud kamu apa bilang kalau Narendra kesini? Apa kalian bertengkar?"

Seketika aku bingung, jawaban apa yang harus aku katakan.

"Fi!"

"Eng–enggak, Bu. Kata Mas Narendra, sepulang acara makan malam dengan rekan kantornya, dia mau ke rumah ibu. Iya, Bu. Begitu."

"Oh, kirain bertengkar."

"Enggak kok, Bu. Kami baik-baik saja."

"Hm."

Panggilan tiba-tiba terputus begitu saja. Tentu ibulah yang mematikannya.

Kuletakkan kembali ponsel ke tempat semula, dan kusandarkan tubuhku di kepala sofa. Berkali-kali kuhela napas dalam-dalam lalu kukeluarkan secara perlahan.

****

Satu minggu telah berlalu, dan selama itu Mas Narendra sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya.

Ya, sejak malam pertengkaran itu dirinya tak pulang. Entah kemana perginya, aku tak tau. Saat aku mencoba menghubunginya, dengan sengaja dia menolak panggilan dariku.

Entah apa yang harus kulakukan. Berdiam diri atau mencoba mencari dimana keberadaan lelaki itu.

"Mungkinkah dia pulang ke rumah wanita yang kemarin itu mengantarkan Mas Narendra pulang?" Aku menerka-nerka.

"Atau ... di rumah Citra?"

Saat pikiranku sedang menerka-nerka, tiba-tiba ponsel berdering. Ada panggilan masuk. Dan nomor Mita– teman dekatku yang semenjak dia menikah dan menetap di Bali–terpampang sebagai pemanggilnya.

Aku tersenyum, berikutnya kuangkat panggilan itu. .

"Halo, Mita. Ada angin apa ini tumben sekali menelponku." Aku membuka obrolan, dan suara tawa khas sahabatku itu menyambut ucapanku.

"Ah, bisa saja. Btw gimana ini liburannya? Asyik?"

Aku mengernyit. Tak tau apa maksud dari ucapan Mita.

"Liburan? Liburan apa maksudnya?"

"Halah, jangan berlagak lupa deh. Kamu habis liburan ke Bali kan? Dih, mentang-mentang niatnya bulan madu, terus disuruh mampir gak mau!"

"Apa sih maksudnya? Aku nggak paham loh." Kali ini nada suaraku serius.

"Memang suamimu kemarin nggak bilang ke kamu soal dia yang ketemu aku?"

"Enggak."

"Aduh, gimana sih. Kemarin tuh ceritanya aku lagi makan di restoran sama suami dan anak-anakku, ketemu deh sama Narendra. Dia bilang katanya lagi liburan sama kamu, aku tanya dimana kamu. Katanya Fiona lagi di toilet. Mau nungguin kamu, tapi kami buru-buru, soalnya mau menghadiri acara pesta pernikahan. Alhasil aku nitip pesan ke suamimu, kalau ada waktu luang, mau kuajak ketemuan. Pantas saja kamu sama sekali tidak menghubungiku, ternyata suamimu nggak kasih tau," jelas Mita.

Kini aku bisa menarik kesimpulan. Ternyata di saat aku terpuruk karena pertengkaran itu, Mas Narendra malah liburan. Dan parahnya, tanpa mengajakku! Jangankan mengajakku, berpamitan pun tidak. Benar-benar keterlaluan!

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sri Gati
dasar perempuan bego di kasih bukti ggk percaya giliran ketahuan baru sadar, thor kow karakter perempuan nya gitu amat
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
perempuan dongok namanya ini , bukan menjaga diri tapi malah dikasih bukti suami selingkuh malah mikir yg gak ada guna,, parah perempuan kayak gini tolol amattt kamu bikin karakternya thor !!!!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status