แชร์

2. Mimpi yang Hancur

ผู้เขียน: MuhNaufal Monsong
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2023-11-02 03:08:09

Desahan penuh kenikmatan menggema di kamar itu. Tak ada ronta. Hanya dua tubuh polos bergumul saling menyebut nama. Reza hanya berdiri di ambang pintu, mengamati dengan wajah yang menunjukkan hati hancur.

 

Bungkusan kado terjatuh. Bunyinya cukup untuk membuat Una dan sang pria asing menoleh. Keduanya terkejut melihat Reza. Sang selingkuhan buru-buru keluar kamar, sedangkan Una segera menyembunyikan tubuh polosnya dengan selimut.

 

“Reza?” Una menyibak pinggir rambut pendeknya. “Kok kamu udah pulang?”

 

“Ceritanya panjang,” jawab Reza dengan tatapan hampa. “Tapi entahlah, Una. Bisa jadi punya selingkuhanmu lebih panjang lagi.”

 

“Apanya?” Una mulai gemetar.

 

“Penderitaannya.” Reza menunduk. “Kenapa, Una? Kenapa kamu setega ini?”

 

Untuk beberapa saat, kamar itu dikuasai keheningan. Tangan Reza mengepal. Namun, harinya sudah cukup buruk. Ia mengambil napas panjang, mengangkat kepala, berpikir untuk melanjutkan sisa hari dengan senyum tulus memaafkan.

 

“Ini semua salah kamu!” bentak Una, membuat Reza batal bicara.

 

Tangan Una mencengkeram selimut. Napasnya memburu. Wajahnya merah dengan tatapan penuh kebencian. “Andai saja ... andai saja kamu lebih kaya, Reza!”

 

Reza berkedip pelan. Lelaki berwajah oval itu mencoba tetap tenang dan mendekati sang istri, tapi ditepis. Bahkan Una melempar bantal padanya, berteriak mengusir Reza keluar kamar.

 

Pintu ditutup. Reza berjalan mundur hingga ke dapur. Ketika ia menoleh ke ruang keluarga, ia melihat si pria asing masih sementara memakai baju. Kontak mata terjadi antara Reza dan pria bertubuh atletis itu.

 

Situasi canggung tak berlangsung lama. Sebab Una segera muncul dari kamar dengan daster putih dan sebuah koper. Reza memandang heran. Sang istri lantas melempar koper itu padanya, lalu bergegas ke ruang keluarga untuk menggandeng lengan si pria asing.

 

“Una, apa-apaan kamu ini?!”

 

“Biar aku langsung ke intinya saja, Reza. Ini Mario. Pacar baruku. Dia mengelola perusahaan warisan ayahnya. Tidak seperti kamu yang cuma pegawai.”

 

“Kamu mencampakkanku demi orang ini? Orang yang lebih ganteng, lebih berotot, lebih kaya, lebih .... Buset, memang dia banyak lebihnya.”

 

Una mengangguk yakin. “Iya. Aku mencampakkanmu demi Mario. Tapi seperti yang kubilang, Reza. Aku sudah tidak tahan dengan kamu yang hidupnya begitu-begitu saja tanpa perubahan!”

 

Reza mendekat dengan wajah memelas. “Una, aku—”

 

“Hei, Bung,” tegur si selingkuhan sambil maju menahan Reza, “sudahlah.”

 

Reza menatap tajam mata pria perebut istri itu. “Celananya dipakai dulu.”

 

“Eh iya.” Si pria asing segera menunduk memakai celana.

 

Saat sang selingkuhan tengah memakai celana, Reza menggunakan kesempatan itu untuk mendekat ke Una. Gagal. Dengan cepat si pria asing selesai memasang celana, lalu mendorong Reza hingga terpental ke dekat pintu keluar.

 

Pintu dibuka. Reza didorong keluar, lalu sekali lagi dilempar dengan koper. Pria berwajah oval itu hanya bisa tertunduk, menatap lantai dengan perasaan terhina. Sementara Una dan pacarnya berdiri di ambang pintu dengan wajah angkuh.

 

“Mulai sekarang, kamu tidak usah pulang,” kata Una, “karena aku bukan tempat kembalimu lagi.”

 

“Pernikahan kita ... mimpi kita ....” Reza melirik ke dalam apartemen. “Bagaimana dengan itu semua?”

 

“Tidak perlu khawatir, Bung.” Si selingkuhan menyeringai. “Kamu sudah janji membawa Una ke Swiss, ‘kan? Biar aku yang urus.”

 

Reza masih tak bergeming ketika pintu dibanting. Cukup lama ia di tempat itu, sebelum akhirnya ia bangkit menuju lift dengan wajah putus asa. Reza lesu. Ketika sudah sampai lantai dasar, Reza hanya terus berjalan.

 

Langit yang tadinya cerah ternyata sudah diselubungi awan hitam. Air menitik. Satu per satu menyentuh bumi hingga akhirnya menjadi hujan deras. Namun, Reza yang sudah terlanjur dilahap kesedihan sama sekali tak peduli dirinya basah.

 

Reza terus melangkah. Ia hanya membawa kakinya tanpa peduli arah di bawah hujan. Nyaring suara gulir roda koper tak kunjung membuatnya sadar dari lamun. Sesekali ia mengusap wajah, entah mengusap air hujan atau air mata.

 

“Reza!” panggil seorang pria dari arah kiri.

 

Yang dipanggil perlahan menoleh. Ia terbeliak. Ada pria berwajah datar berdiri agak jauh sambil memegang payung dan kantongan hitam. Itu Heru, dan kini berjalan mendekati Reza.

 

“Kamu lupa kerupuk testis babinya,” ucap Heru sambil menunjukkan kantong.

 

Reza menatap Heru beberapa saat, lalu terkekeh. Kekeh berubah cengir. Cengir berganti tertawa menahan sakit hati di bawah hujan. Ia memegang pundak teman kantornya yang berwajah datar tapi turut bersimpati itu.

 

“Kamu memang teman terbaikku, Heru,” ucap Reza.

 

“Hei, setidaknya pulanglah ke rumah.”

 

Reza menggeleng. “Aku sudah tidak bisa pulang.”

 

Heru kian iba. “Kalau begitu, kamu boleh—”

 

DOR

 

Payung dan kantong tergeletak di trotoar. Heru tumbang. Reza tersentak tak sempat menahan tubuh teman baiknya sebelum jatuh. Ditambah lelaki berwajah oval itu masih harus memproses apa yang sedang terjadi.

 

“Heru!” Reza berjongkok memeriksa sang teman, dan menemukan darah di pundak belakang pria itu.

 

Tentu saja Reza ingin segera memberi bantuan. Namun, insting bahayanya bangkit. Ia menengok. Di halte seberang jalan, Reza melihat seorang pria berkacamata hitam memegang sebuah biola. Cara pegangnya mirip mengarahkan senjata, sehingga Reza bisa langsung tahu dia pelakunya.

 

“Ah ... meleset.” Si pemain biola lantas kembali membidik.

 

Segera Reza berlari. Tembakan nyaris mengenainya. Terpaksa ia meninggalkan Heru bersama koper. Reza melesat secepat mungkin dan berbelok di persimpangan. Sementara si pemain biola mengeluarkan payung, lalu mulai mengejar.

 

Jalan raya masih sibuk di tengah hujan. Macet. Reza menggunakan kesempatan itu untuk melewati sela-sela mobil. Klakson berbunyi. Si pemain biola mulai menyusul. Permainan kucing-tikus di jalanan Kota Jurajura berlangsung sengit.

 

Dari ruko ke ruko, trotoar ke trotoar, Reza terus berlari. Sesekali ia diteriaki karena nyaris menabrak orang lain. Pembunuh kian dekat. Reza mengambil helm salah satu motor terparkir, lalu melemparkannya ke si pemain biola.

 

“Maling helm!” teriak Reza.

 

Suara Reza mendapat respons. Parkiran motor itu adalah bagian belakang dari sebuah kafe, dan kini para pengunjung keluar memastikan helm yang dicuri bukan milik mereka. Pemain biola terkejut. Sialnya karena dialah yang menangkap helm itu.

 

Pelarian Reza baru berhenti ketika menggapai sebuah gang berdinding bata tanpa plester. Sepi. Reza mendongak mengatur napasnya, membiarkan sisa lelah tergerus air hujan. Ia kemudian melangkah pelan, tapi menemukan ujung gang itu buntu.

 

Reza meringkuk, bersandar di tembok bata. Ia sudah tak peduli air hujan yang semakin mengguyur. Tangisnya mengalir. Tangan Reza mengepal mengingat kejadian sejauh ini. Dipecat, dicampakkan, dan kini dikejar pembunuh.

 

“Kenapa ...,” ujar Reza, “kenapa nasibku seperti ini?”

 

Hujan masih saja membasahi tanpa ampun. Terdengar derap langkah tegas memecah genangan air. Reza menengok pelan. Saat itulah ia melihat siluet seorang pria berdiri di mulut gang.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Keturunan Terakhir Elite Global   52. Apa lagi artinya?

    Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl

  • Keturunan Terakhir Elite Global   51. Srategi Manusia Bertopeng

    Wanita itu geram. Sekalipun seorang tentara, ia tak mampu menandingi laju mobil sang elite global. Ia lalu menoleh ke saingannya, tentara pria berwajah Hispanik yang berjalan agak jauh di depan. Mereka pun bertukar kode lewat gerakan tubuh.[Aku tak sengaja melihat Hazerstein.][Apa kau yakin itu dia?][Ya. Dia barusan melintas dengan mobilnya. Aku bisa melihat wajahnya dari kaca mobil, sesuai deskripsi dari pembunuh legendaris.][Kalau kau mau mengikutinya, terserah. Aku akan tetap pada rencana.]Sementara mobil Reza masih terus melaju kencang. Pokoknya gas. Setelah kira-kira melewati lima persimpangan jalan raya, barulah Reza menyuruh sopir berhenti. Felix hampir terjungkal, tapi dengan sigap menyangga tubuh.“Ada apa, Tuan?” Felix bertanya dengan panik. “Apakah Anda melihat musuh?”Reza membeliak. “Tadi ada banner gambarnya martabak dengan tulisan 700 meter!”Sang pelayan diam sejenak, lalu menggeleng cepat dan mengernyit. “Ha?”“Martabak, Felix! Martabak!” Elite global itu memperl

  • Keturunan Terakhir Elite Global   51. Di Ujung Maut

    Dor! Letusan senapan menggema di hutan. Disusul teriakan si pria kekar. Tangannya hancur. Darah dan serpihan kulit terciprat mengenai jaket pria sopir jip. Kapak menabrak daun kering di tanah, membuat Isabelle sadar telah lolos dari maut. “Reza?” Isabelle segera menoleh, mencari sang penyelamat hidupnya. Sayang, yang hadir di antara kabut adalah si pelayan bermata bulat. Moncong senapan laras panjang masih mengacung gagah setelah muntah. Itu senapan si penjahat. Dan sekarang Felix yang menguasainya. “Aku sudah bilang, pakai senapan itu saja biar cepat!” pekik si sopir jip pada rekannya. Pria kekar masih merangkak, menangis memegangi pergelangan tangannya yang penuh darah. “Kau yang minta supaya eksekusinya tidak menghasilkan suara, psikopat keparat!” Isabelle mengambil kesempatan itu. Ia segera berlari. Sopir jip hampir menggapainya, tapi tercegah oleh letusan kedua dari senapan. Sepuluh detik, sang putri Vanlomraat pun berhasil berdiri di sebelah si pelayan setia. “No on

  • Keturunan Terakhir Elite Global   50. Pilihan Seorang Wanita

    Tak sampai sepuluh detik panggilan itu berlangsung. Tiba-tiba terputus. Tangan Isabelle gemetar mendengar ketidakpastian yang mendebarkan. Tekadnya membulat. Ia akan mencari orang tuanya.“Tunggu, Nyonya!” Felix mencegah, berusaha tetap tak berisik. “Ini bisa jadi jebakan.”“Tapi orang tuaku—”“Anda anggota keluarga Vanlomraat yang memilih jalan jadi seorang hacker. Anda lebih pintar dari ini.”Butuh beberapa saat, tapi akhirnya ucapan Felix masuk ke nalar sang putri Vanlomraat. Ketenangan tercapai. Isabelle meraih ponselnya kembali, lalu mulai mengutak-atik perangkat lunaknya. Layar pun menampilkan peta dengan satu titik biru.“Mereka di Belanda,” kata Isabelle. “Tapi kenapa? Sepanjang hidupku, aku gak pernah melihat mereka terlibat musuh.”“Paketnya dikirim ke sini. Satu-satunya alasan masuk akal adalah musuh sudah tahu bahwa Anda adalah istri seorang Hazerstein.”Isabelle segera mengantongi ponselnya. “Aku harus ke sana.”“Sendirian? Nyonya Isabelle, itu berbahaya! Lagi pula, saya m

  • Keturunan Terakhir Elite Global   49. Strategi Sekumpulan Musuh

    “Kalau kita tidak bisa menyakiti fisiknya ....” Pria bertopeng burung hantu menegakkan badan. “.... kita renggut saja apa yang dia punya.”Semua manusia bertopeng di dalam ruangan itu diam. Mereka saling melirik, menunggu orang memberi timbal balik gagasan si pria burung hantu. Nihil. Hingga akhirnya tawa Anderson pecah di balik topeng badut birunya.“Percuma! Bawahanku sudah cerita kejadian di Zurich. Hazerstein masih punya kuasa atas semua asetnya di muka bumi ini.”“Ya, aku tahu itu,” balas pria topeng burung hantu. “Tapi aku tidak sedang bicara soal asetnya. Aku bicara soal ... sesuatu yang jauh lebih berharga baginya.”Seketika rasa geli Anderson mereda. Ia membungkuk, mengumpulkan jemarinya di hidung topeng. “Menarik. Go on.”“Kalau memang informasinya adalah ‘masih ada’ Hazerstein yang tersisa, berarti seharusnya dia sedang mencari cara membangun dinastinya kembali. Dan untuk itu ....”“Dia butuh pasangan!” sambung wanita bertopeng babi.“Tapi bagaimana kita tahu siapa yang akan

  • Keturunan Terakhir Elite Global   48. Misi Penyelamatan

    Una mengucek matanya, memastikan ulang sosok di seberang jalan. Bukan. Itu bukan Reza. Namun, teori tujuh kembaran di muka bumi tampaknya juga kurang meyakinkan. Una mulai bertanya apakah berhalusinasi atau malah melihat hantu.Satu unit taksi online pun berhenti di sana, dan Reza masuk. Tak langsung jalan. Ternyata yang ditunggu adalah dua lelaki lain, yaitu Felix serta Heru yang baru saja keluar dari pagar apartemen.Tambah geramlah Una. Si wanita rambut pendek langsung bertitah untuk mengikuti mobil target. Dituruti. Persetan dengan empat kunyuk yang kesakitan di apartemen. Maka aksi buntut membuntuti pun terjadi.Sementara di taksi online, Heru masih mencoba mencerna semuanya. Ya. Tentu saja dengan wajah yang masih datar. Di kursi belakang itu, sesi tanya jawab terjadi antara Heru si budak korporat dengan Felix si pelayan keluarga elite.“Saya berterima kasih karena Anda sudah menyelamatkan saya, Pak Nacht. Tapi ini tetap saja bikin bingung. Dari mana Pak Nacht tahu saya dalam baha

  • Keturunan Terakhir Elite Global   47. Membantu Pihak Lemah

    Keberuntungan masih berpihak pada Heru. Ketika merasakan ada celah, ia langsung melepas bekap si penculik. Langkah seribu. Heru tak sengaja menjatuhkan tanda pengenalnya.Penculik juga tak mau kalah. Ia mendecak jengkel sembari melangkah pelan agar tak menimbulkan kecurigaan. Kode diberikan. Satu lagi pria misterius muncul bersiap membantu menjalankan tugas.Sementara Heru terus berlari. Wajahnya masih saja datar meski sedang dilanda teror. Staf lain terheran. Kala langkah Heru sudah lolos dari pintu belakang hotel, Heru tetap enggan meminta pertolongan orang sekitar.Namun, Heru baru ingat akan satu hal. Dia punya sepeda motor. Maka dengan kalap, si pria berwajah datar berlari menuju parkiran. Satu masalah. Kuncinya tercecer di suatu tempat.“Itu dia!” seru seorang pria.Heru terlonjak. Ia mempercepat larinya. Sayang, ia lemah fisik, dan lari 50 meter sudah menguras napasnya. Bahkan dalam engah, wajah Heru masih saja datar.“Tidak usah lari, Bro!” Pria asing tertawa.“Gak kok,” jawab

  • Keturunan Terakhir Elite Global   46. Budi Persahabatan

    Angin malam masih menguping pembicaraan dua insan di balkon itu. Tak ada kekhawatiran sebab volume suara yang tak akan menjangkau wilayah lain. Mario mengernyit. Sebuah permintaan yang tak biasa, meskipun itu cukup mudah.“Siapa lagi yang mau kamu singkirkan, Sayangku?” Mario membelai lembut pipi Una. “Bukannya sumber kesialan hidup kamu sudah tidak ada lagi?”“Aku memang sudah bebas dari Reza. Tapi aku merasa ada kutu busuk lain yang menghalangi kesenanganku, nih.”Mario mengalah. Ia pun meminta informasi tentang kutu busuk yang disebut sang pacar. Una pun tersenyum, lalu mengeluarkan smartphone-nya, memperlihatkan foto profil media sosial seorang pria berwajah datar.“Heru Kalis Novian? Ada apa dengan orang ini?”Mata Una berkedip pelan, lantas menyipit kala ingatannya mundur ke dua belas jam lalu.*** Dua belas jam sebelumnya ....“Aku pergi dulu, Una,” ucap Mario yang sudah rapi.“Tunggu, Mario!”Una melangkah cepat. Memberi satu kecupan panas pengantar kerja pada lelaki kaya yang

  • Keturunan Terakhir Elite Global   45. Elite : Tentara Lawan Konglomerat

    “Ah, si yakuza pirang!” Hangat senyum Reza disusul langkah bersiap menjabat tangan.“Tuan, mundur!” Felix mencegah sang majikan. Naluri bahayanya berfungsi melihat gelagat Bowen.Sementara sang sopir tak terlalu peduli dengan ketegangan itu dan fokus pada hidangan dalam kunyahannya. “I love Indonesia.”“Bahasa Inggris aksen Asia. Pelayan yang sigap.” Bowen manggut-manggut. “Ternyata benar kau Hazerstein.”Mendengar namanya disebut, barulah Reza menyadari ancaman yang datang menjemput. Ia berpikir cepat. Dengan senyum ramah palsu dan pura-pura mengucap salam perpisahan pada Bowen, Reza menarik Felix untuk menjauh.“Oh no, you won’t.” Bowen menyeringai.Tangan Bowen masuk ke saku jas. Felix melesatkan tendangan, melindungi sang majikan. Benar saja. Sebuah pistol terjatuh ke trotoar.Saatnya kabur. Giliran Felix menarik Reza beserta sopir yang baru saja menelan kunyahan martabak. Kurang dari 20 detik, tiga orang itu sudah sampai ke dalam mobil.“Jalan!” perintah Felix.Tak banyak tanya. S

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status