Beberapa hari sudah menghabiskan waktu dengan Indira, meminta wanita itu melakukan sesuai dengan apa yang diinginkan. Joe, masih menempati posisi Fajar dan tidak berubah sama sekali. Mencoba menganalisa tentang keberadaan Indira yang mampu membuat kepribadiannya menjadi terkendali, tidak mungkin wanita itu memiliki kemampuan menyembuhkan dirinya.
“Sayang,” ucap Mariska berjalan mendekati Fajar.
Hembusan nafas terdengar melihat tunangan Fajar. Jika bisa memilih lebih baik bersama Indira dibandingkan wanita satu ini. Mariska yang langsung duduk di pangkuan Fajar, membuat Joe terkejut hanya saja tidak bisa berbuat apapun. Ciuman lembut di bibir dengan belaian tangan Mariska membuat Joe masuk kedalam permainannya, gerakan lidah Mariska yang bermain dengan lidahnya didalam, semakin memperdalam ciuman mereka. Joe tidak tinggal diam dengan menarik Mariska menjadi dekat dengannya, meremas bukit kembar dengan perlahan membuat suara erangan terdengar.
Ciuman Joe beralih di sekitar lehernya memberikan beberapa jilatan dan gigitan kecil, erangan keluar dari bibir Mariska yang semakin membuat semangat melakukan hal lebih. Suara pintu terbuka membuat Joe melepaskan ciuman pada leher Mariska, menatap sang sumber yang berada dekat pintu dengan wajah pucatnya.
Joe melihat itu semua tersenyum kecil, ekspresi wajah Indira sangat menggemaskan baginya. Dapat merasakan pelukan Mariska yang erat pada lehernya dengan tatapannya mengarah pada Indira
“Apa kamu tidak tahu cara untuk mendatangi bos?” Joe membuka suara dengan berperan sebagai Fajar.
“Maaf, Pak. Pak Kunto tidak ada di tempatnya jadi mau tidak mau saya membuka pintu sendiri. Saya hanya memberikan surat perjanjian dengan salah satu perusahaan yang bapak datangi dengan Pak Rifan.” Indira menjelaskan panjang lebar dan meletakkan berkas diatas mejanya, “saya permisi.”
“Wanita gatal,” ucap Mariska dengan kesal.
Fajar mengangkat tubuh Mariska agar tidak berada di pangkuannya, menatap wanita itu tajam. Menggosok bibirnya dengan tangan, merapikan penampilannya dan kembali menatap tajam pada Mariska. Tatapan tajam Fajar tidak membuat Mariska takut dengan berusaha mendekatkan dirinya pada Fajar, melingkarkan tangannya pada leher Fajar yang langsung di dorongnya.
“Kamu bisa keluar! Aku banyak kerjaan.” Fajar menatap tajam pada Mariska setelah berhasil mendorong.
“Aku kira tadi kita akan menghabiskan waktu dengan hubungan ranjang. Apa karena pegawai jelekmu itu yang membuat kamu seperti ini?” Mariska menatap kesal pada Fajar.
“PERGI!” Teriak Fajar yang membuat Mariska terkejut.
Tatapan tajam yang diberikan membuat Mariska mundur perlahan, tidak melepaskan tatapan kearah Mariska sampai wanita itu benar-benar keluar dari ruangannya. Pintu tertutup membuat Fajar melepaskan kancing atas kemejanya, menghempaskan dirinya di kursi dengan menghembuskan nafas panjang.
“Ngapain tu cewek gila ada disini? Bibirku pasti sudah terkontaminasi ini.” Silvi menggosokkan bibir menggunakan tangannya berulang kali, “siapa tadi yang menerima ciuman wanita gila itu? Fajar pastinya tapi sepertinya bukan karena kalau dia sudah bertindak lebih, Joe jelas tidak mungkin. Bajingan Frans pastinya, dia mana pernah menolak cewek atau bahkan membuat cewek-cewek itu jatuh kedalam pelukannya. Pria bajingan dan menjijikkan.”
Berjalan kearah kamar mandi menatap penampilan depan cermin, membersihkan bibirnya kembali secara berulang kali, menghilangkan aroma wanita gila itu dari tubuhnya. Menatap kamar mandi memilih untuk membersihkan dirinya agar jejak wanita gila itu benar-benar menghilang. Silvi tidak tahu berada dalam kamar berapa lama, sampai terdengar suara ketukan di pintunya. Menggunakan pakaiannya dengan merapikannya terlebih dahulu, membuka pintu yang langsung membuat Silvi menatap dengan tatapan bahagia.
“Ada perlu apa datang kesini?” Silvi mencoba mengendalikan dirinya depan Rifan.
“Tadi Indira kasih berkas, sudah dibaca?” tanya Rifan menatap penuh selidik apa yang Fajar lakukan, “habis mandi?”
Silvi mengangguk, “wanita gila itu berusaha mencium dan memperkosaku.”
Rifan tertawa mendengar perkataan Fajar, “mana ada pria diperkosa? Lagian kalian sering melakukannya.”
“Kamu tidak percaya?” Silvi menatap kesal pada Rifan.
Rifan mengangkat tangannya, “baiklah aku percaya. Oh ya...tadi Indira kesini memberikan kerjasama dengan perusahaan yang kamu incar.”
Silvi memutar bola matanya malas, kepribadiannya yang gila kerja kalau bukan Fajar berarti Joe. Mengikuti langkah Rifan ke mejanya dan mengambil tempat biasanya Fajar duduk, Silvi bisa melihat berkas diatas meja hanya saja malas membacanya. Silvi tidak akan membaca biarkan Fajar atau Joe yang melakukannya, tatapannya mengarah pada Rifan yang seakan menunggu gerakan tangannya membuka berkas itu.
“Lagi tidak mood mengerjakan ini,” ucap Silvi malas membuat Rifan menatap tidak percaya, “karyawan yang bernama siapa tadi? Indi...siapa?”
“Indira.” Rifan memberitahu menahan kesal.
Silvi menjentikkan tangannya, “itu dia, bilang sama dia buat temani aku.”
“Kemana?” tanya Rifan penasaran.
“Urusan wanita. Sudah sana beritahu untuk ikut aku dan bersiap-siap.” Silvi mengusir Rifan.
“Ini jam kerja dan kamu nggak suka melanggar hal itu.” Rifan menolak perintah Silvi.
“Siapa bosnya disini? Aku atau kamu?” menatap tidak suka pada Rifan, “kalau kamu nggak mau bilang, aku saja yang bilang sama dia.”
“Urusan wanita? Kamu itu cowok, lebih baik bersama aku dengan begitu tidak menimbulkan pembicaraan karyawan lain. Indira itu karyawan kesayangan perusahaan kamu, jangan membuat imagenya jelek.” Rifan berkata dengan nada datar.
Silvi mengangkat sudut bibirnya melihat bagaimana Rifan berkata tentang Indira, “apa juga kesayangan kamu? Kamu menyukai dan mencintai dia?”
Silvi benar-benar tidak suka jika memang benar pria dihadapannya ini juga menyukai wanita itu, tidak ada yang boleh membuat pria dihadapannya ini menyukai orang lain. Cukup dirinya yang menjadi pusat perhatiannya, walaupun menggunakan tubuh Fajar setidaknya Silvi tidak terlalu jauh darinya.
“Dia anak buahku jadi sudah sewajarnya melindungi dari pria macam kamu.” Rifan menunjuk Fajar kesal, “kamu membuat dia kesulitan saat kerjasama kemarin.”
Silvi memutar bola matanya malas, “jangan mengalihkan pembicaraan. Kamu bisa beralasan ada urusan bisnis yang harus kami lakukan.”
“Cukup hari ini tidak untuk lain kali.” Rifan menatap tajam pada Fajar dengan beranjak dari tempat duduknya.
“Tentu.” Silvi mengangkat sudut bibirnya menatap Rifan dalam, “aku tunggu di lobby.”
Menatap punggung Rifan yang keluar dari ruangannya, membuat Silvi merapikan penampilannya sebelum benar-benar keluar dari ruangan. Tidak lupa membawa ponsel dan juga dompet Fajar, tersenyum kecil setidaknya bisa membuat mereka berbelanja kecil, Silvi ingin menghabiskan uang Fajar dengan berbelanja. Salah satu kebiasaan wanita adalah berbelanja dan sekarang waktunya, mendapatkan teman yang tampaknya menarik untuk diajak bersenang-senang.
Melangkah keluar menuju lobby, menunggu kedatangan Indira. Menghabiskan waktu dengan berbelanja, atau bisa menggunakan waktunya untuk merawat diri. Silvi bisa melihat dari kejauhan Indira berjalan kearahnya, menahan diri untuk tidak terlihat bahagia dengan berdiri. Silvi bertindak seperti Fajar biasanya bersikap, langkah Indira semakin mendekat dan Silvi langsung berjalan tanpa menunggunya dan membiarkan Indira mengikuti langkahnya.
“Maaf, Pak. Kita mau kemana?” tanya Indira membuka suara saat mereka sudah berada didalam mobil.
“Women time.” Silvi menjawab santai.
“Women time?” Indira mengulang perkataan Silvi ragu dan bingung bersamaan.
“Belanja.” Silvi mengoreksi kata-katanya yang membuat Indira mengangguk.
Tersenyum puas melihat wanita disampingnya tidak berkata apapun, isi kepala Silvi sudah merancang banyak hal. Salah satunya adalah menghabiskan uang Fajar yang tidak akan habis, Fajar termasuk orang yang menggunakan uangnya untuk investasi. Mobil berhenti tidak lama kemudian membuat mereka berdua keluar dan berjalan kedalam mall, berjalan berdampingan membuat Silvi mengambil tangan Indira untuk digenggamnya yang membuat sang pemilik terkejut.
“Anggap saja bukan apa-apa.”
Masalah yang selama ini menghantuinya telah hilang, meninggalnya mereka berdua membuat kehidupan Fajar menjadi tenang. Tidak ada yang datang secara tiba-tiba ke kantor untuk meminta uang dengan cara mengancam dan lain-lain, tidak ada lagi yang melakukan kekerasan tanpa sebab. Kehidupan baru sudah tampak didepan mata, membangun kehidupan baru bersama dengan Indira dan anak-anak mereka nantinya.“Sayang, ini Silvi kayaknya pipis.” Fajar yang menggendong Silvi mendatangi Indira.“Kamu belum bisa gantiin popok ya?” Fajar menggeleng kepala lemah.Indira mengambil Silvi setelah mencuci tangan terlebih dahulu, Fajar mengikutinya dari belakang. Melihat dan mendengar apa yang Indira katakan selama mengganti popok Silvi, menganggukkan kepalanya paham saat Indira selesai. Mengambil alih Silvi setelah selesai diganti popoknya, mencium wajahnya yang membuat Silvi tertawa.“Dia persis aku banget ya.” Fajar mengatakan tanpa menatap Indira.“Ya, aku cuman buat tempat penitipan.”Fajar memberikan tata
Malas, itu yang Fajar rasakan saat ini. Indira menyuruh untuk mengurus pemakaman mereka berdua, demi rasa cintanya Fajar akhirnya mendatangi pemakaman mereka dengan menggunakan kaca mata hitam yang ditemani oleh Rifan. Pemakaman mereka dilakukan secara bersamaan atas permintaan Fajar yang disampaikan oleh Dave ke temannya, Fajar tidak ingin muncul secara langsung saat proses.“Harusnya aku ada dirumah bukan membantumu.” Rifan mengatakan dengan nada kesalnya.“Aku nggak mungkin meminta Dave, dia harus menemani mereka berdua.” Fajar hanya datang dan tidak terlibat terlalu dalam dengan apa yang mereka semua lakukan, kepergian mereka tidak memberikan rasa sedih pada diri Fajar dimana hanya rasa lega yang lebih mendominasi. Mereka berdua tidak memiliki keluarga atau teman lagi, Fajar sendiri selama bersama dengan Mariska tidak pernah ada teman yang diajaknya keluar.“Mereka berdua sudah kaya belahan jiwa.” Rifan menggelengkan kepalanya “Aku sa
Kabar dari rumah sakit membuat Rifan dan Fajar langsung kesana, dalam pikiran Fajar terjadi sesuatu yang berhubungan dengan Mariska. Berjalan bersama dengan sedikit cepat saat mereka sampai di rumah sakit, menurut informasi Mariska sudah berada didalam ruang penanganan. Fajar tidak paham dengan maksud mereka yang membawa ke ruang penanganan, tidak lama dokter mendatangi mereka berdua.“Siapa keluarganya?” “Kami hanya teman, dia sudah tidak memiliki keluarga.” Rifan menjawab langsung sebelum Fajar membuka suaranya.“Saya harus bicara dengan keluarganya.” Dokter tetap dengan pendiriannya.“Suaminya berada di penjara, sudah tidak memiliki orang tua dan saudara. Anak-anaknya masih kecil, apa perlu kami bawa anak-anaknya dan dokter menjelaskan ke mereka?” tanya Rifan yang sudah tampak kesal.“Baiklah, Ibu Mariska sudah berada di stadium empat. Hidupnya sudah tidak bisa bertahan dalam waktu lama, kami juga tidak bisa melakukan sesuat
Melakukan perjanjian dengan Mariska, harapan Fajar hanya satu yaitu Mariska menerimanya. Mengingat semua sikap Mariska membuat harapannya sedikit hilang, wanita itu tidak terlalu pintar berbeda dengan Indira. Bisa saja Mariska pintar, tapi tampaknya kemampuannya itu benar-benar tidak bisa diharapkan sama sekali. Kemampuan Mariska hanya berada di ranjang, pantas saja memilih pekerjaan seperti itu.“Kamu ragu dia menerima itu?” suara Rifan membuyarkan lamunannya.“Sedikit, otak dia kadang tidak terlalu berfungsi.” Fajar mengatakan apa yang ada didalam pikirannya.“Apa yang aku lakukan benar, membuat tulisan nol dalam jumlah banyak.” Rifan mengatakan dengan nada bangga membuat Fajar memutar bola matanya dan mengalihkan pandangan kearah lain.Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka berdua, Rifan fokua menyetir dengan menatap kendaraan yang ada dihadapannya, tidak hanya itu beberapa kali jalanan tampak berhenti dalam waktu yang tidak sebenta
Kunto menyebutkan apa saja adegan Fajar satu hari ini, mendengarkan dengan memberikan tatapan datar, tangannya bergerak diatas meja dengan pelan. Fokusnya adalah apa yang dikatakan Kunto tentang kegiatannya pagi ini.“Mariska datang kesini tadi pagi?” Fajar mengulanginya untuk memastikan.“Ya, Pak.” Kunto menjawab ragu.“Kemana dia sekarang?” “Kita mengusirnya atas permintaan bapak dulu.”Fajar menganggukkan kepalanya, keputusan dirinya bertemu dengan Mariska ternyata sesuai dengan apa yang mereka semua katakan. Fajar tidak tahu bagaimana jika nanti bertemu dengan pamannya Budi, orang yang pernah menyakiti dan membuatnya mengalami masa sulit. Menatap bingung Kunto yang masih ada dihadapannya, mengerutkan keningnya tanda jika bertanya-tanya tentang maksud Kunto yang masih berada di ruangannya.“Apa lagi?” tanya Fajar datar.“Mariska tadi mengatakan akan tetap menunggu bapak sampai pulang.”Fajar
“GILA!” Rifan menggelengkan kepalanya saat Fajar mengatakan apa yang ingin dilakukannya, Dave menatap bingung melihat reaksi Rifan, mengalihkan pandangan kearah Fajar yang tampak tidak peduli, tatapan Dave beralih pada Indira yang fokus dengan ponselnya. Rifan yang melihat kebingungan Dave langsung menceritakan apa yang terjadi, pertemuannya dengan Mariska yang membuat Dave menatap horor pada Fajar.“Aku curiga dia udah sembuh, belum?” tanya Rifan menunjuk Fajar.“Buat apa bertemu dia?” tanya Budi tidak menghiraukan pertanyaan Rifan. “Aku bilang kalau kejiwaannya terganggu,” jawab Indira yang mendapatkan tatapan tajam dari Dave.“Kapan kamu ketemu dia?” tanya Fajar yang membuat Dave mengalihkan pandangan ke Fajar.“Waktu kesini, mungkin tiga kali kunjungan. Aku penasaran tentang kondisi dia, padahal seharusnya mendapatkan penanganan dari kejiwaan tapi tidak sama sekali.” Dave menjawab dengan jelas.“Kamu