Sesuai dengan rencana mereka bertiga, mendekati Indira karena ingin tahu reaksi dari mereka bertiga saat bersama dengannya. Frans sudah bisa memastikan tidak bisa jauh darinya, rasanya ingin memeluknya setiap saat, sedangkan dua kepribadian lainnya belum tahu melakukan apa dengan Indira. Mereka hanya takut nanti saat Fajar yang mengambil posisi tubuh ini, takut Indira akan diperlakukan kasar.
Menatap Indira yang menjelaskan mengenai perjanjian yang dibuat olehnya dengan perusahaan lain, Frans membenarkan perkataan Joe dimana Indira memang berbakat. Bukan hanya itu cara dia meyakinkan dan membuat orang nyaman patut diperhitungkan, terlalu asyik menatap Indira membuat Frans tidak menyadari jika sudah selesai presentasi yang dilakukan Indira.“Jadi bagaimana?” Frans menatap datar pada kliennya yang akan melakukan kerjasama, tatapan yang biasanya dilakukan Fajar.“Bukankah kita sudah sepakat jadi untuk apa dijelaskan kembali?” klien yang dihadapan FajarFrans tahu kalau apa yang dikatakannya pasti membuat Indira terkejut, berjalan mendekat kearahnya yang masih menatap tidak percaya. Menarik Indira lebih dekat, melingkarkan tangan di pinggang rampingnya sedangkan tangan yang lain merapikan rambutnya yang berantakan disekitar wajah.“Tempatmu nyaman, aku suka.” Menundukkan wajah dengan memegang dagu Indira, membuat wajahnya terangkat dengan segera mendekatkan bibirnya menyentuh bibir berwarna pink yang dari tadi ingin dirasakan lebih dalam. Ciuman lembut dilakukan Frans, tangan Indira sudah melingkar di leher Frans membuat ciuman mereka semakin dalam. Memasukkan lidahnya dan bermain didalam bibirnya, seakan mencari kepuasan masing-masing. Indira menarik diri dari ciuman mereka, membuat kening mereka bersentuhan satu sama lain.“Aku masak dulu.” Indira membuka suaranya.Frans mau tidak mau melepaskan Indira dalam pelukannya, menatap wanita itu berjalan kearah dapur. Tempat yang tidak terlal
Fajar menatap Indira yang menikmati makanan dihadapannya, menggelengkan kepala dan tersenyum kecil melihat bagaimana wanita dihadapannya makan seakan tidak peduli dengan penampilan sangat berbeda jauh dengan tunangannya, Mariska. Fajar mendadak berubah menjadi dingin mengingat Mariska dan apa yang diperbuatnya saat ini, tidak ingin menyakitkan Mariska tapi juga bermain dengan Indira. Tidak ingat kapan mulai dekat dengan karyawannya ini, Fajar hanya tahu kenangan terakhir mereka adalah melihat barang belanjaan dalam mobilnya, mengingat itu membuat Fajar tidak suka dan menatap tajam pada Indira.“Ada apa?” tanya Indira menatap Fajar bingung.“Pakaian yang kamu beli itu sudah kamu bawa? Coba pakai dihadapanku sekarang.” Fajar mengatakan dengan nada datar dan menahan emosi.“Baju?” Indira mencoba untuk mengingat pertanyaan Fajar, “aku nggak bawa masih ada dalam mobil.”Fajar menatap penuh selidik, mencoba mengingat keberadaan baju yang ada di
Memasuki rumahnya setelah bermalam di tempat Indira, menatap sekitar tidak ada perubahan pada rumahnya. Hembusan nafas lega dikeluarkannya saat melihat tidak ada yang aneh, keputusannya untuk pulang tidak lain karena agak aneh berada satu ruangan dengan wanita yang terlihat tubuhnya. Silvi bangun dengan Indira berada dalam pelukannya, sempat memaki mereka para pria yang bisa dengan mudah tidur dalam keadaan busana tipis.Jika nanti mereka bisa komunikasi, Silvi tidak akan menunggu untuk memaki Frans terutama. Pria itu tidak bisa menahan diri jika berdekatan dengan Indira, meskipun Silvi mengakui jika tubuh Indira sangat menggiurkan dan bisa membuat mereka tergoda. Bentuk tubuh Indira sangat berbeda dengan Mariska, Silvi sangat yakin semuanya pas berada di tangan dan milik mereka yang ada di balik celana.Masuk kedalam rumah, langsung disambut security. Saat berada depan pintu kamarnya, Silvi membeku mendengar suara kendaraan yang dikenalnya dengan sangat jelas
Silvi menatap malas berkas yang diberikan Kunto, sejak tadi hanya dilihat tanpa berniat membukanya. Pikirannya bukan pada berkas, meskipun pada kenyataan tetap saja Silvi tidak akan pernah paham dengan isi berkas. Dalam pikirannya saat ini adalah perkataan pamannya, Budi. Kata-katanya yang akan perkosa tunangan Fajar, Mariska. Menggelengkan kepalanya mendengar hal itu, padahal pemandangan yang dilihatnya melalui kamera sudah mengatakan lebih, bagaimana bisa otak mereka tidak sampai kesana.“Maaf, Pak. Bu Mariska langsung menerobos masuk kedalam.” Kunto menatap penuh penyesalan.“Biarkan saja, kamu bisa keluar.” Silvi mengusir Kunto dengan gerakan tangan.Silvi menatap tidak percaya dengan apa yang dilakukan Mariska saat ini, tatapan ketakutan yang seakan akan terjadi sesuatu yang buruk. Silvi mencoba bersikap seperti Fajar jika menghadapi masalah, hanya saja terkadang Fajar agak berlebihan jika berhubungan dengan wanita ular ini. Menghembuskan nafas
Hembusan nafas lega setelah kepergian Mariska, Silvi sama sekali tidak menyangka jika tunangan Fajar sangat-sangat licin dan benar-benar seperti ular. Suara pintu dibuka dan seketika membuat hatinya bahagia, Rifan datang dengan membawa berkas yang tidak tahu apa. Tatapan penuh pujaan diberikannya pada pria yang sudah seperti saudara itu, tidak lama menggelengkan kepalanya tanda bahwa dirinya harus serius.Rifan yang tidak tahu perubahan Fajar langsung mengajak berbicara mengenai perjanjian yang akan dilakukan dengan karyawan, staf HRD sudah memberikan nama-nama yang akan perpanjang kontrak dan tidak. Silvi hanya mendengarkan saja dan tidak paham sama sekali, tatapan memuja diberikannya pada Rifan yang sibuk menjelaskan.“Jadi itu yang harus anda lakukan, Pak.” Rifan mengakhiri pembicaraannya membuat Silvi langsung mengubah ekspresi wajahnya.“Baiklah, lakukan apa yang kamu anggap benar.” Silvi berkata dengan khas Fajar.“Tunangan anda tad
Perasaannya saat ini tidak nyaman, kedatangan Indira dihadapannya membuat Silvi sangat tidak nyaman. Dari tadi dirinya menghindar dari wanita yang ada dihadapannya ini, berusaha tidak bertemu dengan begitu dirinya tetap memegang alih tubuh Fajar, sekarang kehadiran Indira akan membuat kepribadian lain muncul.Indira datang bersama dengan satu orang wanita, Silvi tidak tahu siapa yang datang bersama dengan Indira. Tatapan wanita yang datang bersama Indira membuatnya tidak suka sama sekali, tatapan memuja yang biasa didapatnya saat memasuki kantor. Semua karyawan selalu memandang dirinya alias Fajar dengan tatapan memuja, seakan mereka berharap Fajar melirik kearahnya dan berbuat baik atau berinteraksi lebih. Silvi juga sangat tahu jika mereka tidak menyukai tunangan Fajar, Mariska. Suatu ketika pernah terjadi keributan kecil yang akhirnya membuat karyawan itu dipecat oleh Fajar, jika bukan karena Rifan nasib karyawan itu pasti benar-benar keluar dari perusahaan
Mobil, tempat Joe menarik Indira menjauh dari keramain. Tidak tahu akan membawa kemana lagi, Joe benar-benar tidak bisa berpikir dengan jernih setelah menarik Indira kedalam pelukan, lebih tepatnya adalah Joe tidak tahu sama sekali apa yang baru saja terjadi. Seharusnya mereka tetap terhubung, meskipun salah satu berada di tubuh ini kecuali Fajar tentunya, hanya Fajar yang tidak menyadari keberadaan mereka.“Kita mau kemana?” tanya Indira memecahkan keheningan diantara mereka.“Aku nggak tahu.” Joe menjawab apa adanya, dirinya memang tidak tahu akan membawa Indira kemana.“Tempat tinggalku?” tanya Indira membuat Joe terkejut.“Ngapain kesana? Lagian aku nggak tahu kamu tinggal dimana.” Joe menjawab langsung setelah menenangkan dirinya.Indira menatap bingung dengan semua perkataan Joe, “bukankah beberapa hari lalu kita menghabiskan waktu disana? Ah...mungkin karena tempatnya kecil jadinya kamu..
Joe saat ini benar-benar seperti perjaka yang tidur bersama dengan wanita, padahal pemilik tubuh ini sudah tidak perjaka lagi. Pernah melakukan dengan wanita, pastinya dengan tunangan tercintanya, Mariska. Joe, hanya dia yang belum pernah melakukan hal gila ini. Mariska bisa ditolaknya dengan berbagai alasan, pastinya tidak berhasil dan penuh drama. Sekarang, Joe tidak tahu harus melakukan apa dengan ide gila ini.Joe hanya diam saat Indira melepaskan pakaiannya dan berbaring santai di ranjang, hanya satu ranjang yang ada di ruangan ini dan itu bisa untuk mereka berdua, pastinya dengan Indira berada dalam pelukan Joe.“Mau sampai kapan disitu?” tanya Indira membuyarkan lamunan Fajar.“Apa harus melepaskan semua?” tanya Joe lagi yang diangguki Indira, “tapi...”“Kita sudah berjanji hanya tidur tidak melakukan hal gila itu.” Indira memotong perkataan Fajar.“Tapi kan bisa dengan menggunakan pakaia