Area balapan liar menjadi tempat dimana Fajar menghabiskan waktunya setiap apa yang dilakukan Budi, menatap datar pada keadaan sekitar membuat beberapa orang tidak berani mendatanginya. Melakukan kesalahan dengan tidak membawa Rifan bersama, hembusan nafas kasar terdengar ketika mengingat apa yang dilakukan Budi. Kepalan tangannya semakin memutih, keinginannya menghajar pria itu semakin besar.
“Disini lagi ternyata.” Fajar menatap suara pria yang berada dihadapannya, pria yang sama mengajaknya bertaruh. “Mau taruhan lagi? Apa kali ini yang kamu gunakan?” pria itu menatap belakang Fajar. “Motor terbaru ternyata.”
“Jangan macam-macam.” Fajar menatap tajam. “Pergi kalau tidak ingin aku hajar.”
Pria itu tertawa membuat Fajar semakin emosi. “Hajar saja, pria lemah seperti kamu tidak akan mampu menghajar orang,” ucapnya memandang rendah Fajar, “pimpinan model apa yang tidak pernah membuat karyawannya bahagia?” pria itu meludah disamping Fajar.
“KAU!” Fajar mengangkat tangannya untuk memukul pria dihadapannya.
“Dave, apa yang kamu lakukan?” gerakan Fajar terhenti saat melihat Indira mendekat ke arah mereka. “Pak Fajar,” ucap Indira dengan nada terkejut dan menatap tidak percaya. “Dave, jangan bilang kemarin kamu....” menatap Fajar dan Dave bergantian.
“Diem aja deh kalau nggak tahu apa-apa,” ucap pria yang menantang Fajar, Dave. “Kamu kenapa disini?” menatap Indira malas.
“Mama cari kamu, jadi mending kamu pulang.” Indira menatap malas pada Dave. “Satu lagi kembalikan sepeda Pak Fajar.”
“Aku dapatkan itu susah payah, Dira.” Dave menatap tajam. “Dia jadiin kamu taruhan.”
Indira membelalakkan matanya mendengar alibi yang Dave keluarkan, “dia nggak akan terpancing kalau kamu nggak mancing, lagian apa bagusnya sih motor itu.”
Fajar terdiam menatap apa yang terjadi di hadapannya saat ini, karyawan yang bersama dengannya seharian dan juga pria yang mengajaknya taruhan semalam. Pria ini membuat harinya sial, bersama dengan karyawannya itu dan juga kedatangan pamannya yang bajingan itu.
“Apa drama kalian masih berlanjut?” Fajar membuka suara membuat mereka menghentikan pertengkaran atau apapun itu. “Sekarang kamu bisa jelaskan ke saya, apa yang terjadi.” Fajar menunjuk Indira dan seketika ekspresi wajahnya terkejut.
“Kenapa saya? Saya nggak ada hubungannya dengan ini.” Indira menatap tidak percaya dengan apa yang Fajar katakan. “Aku pulang, Dave. Ingat balikin motornya dan segera pulang sebelum mama kamu hubungi aku lagi. Apapun alasan kamu semua sudah nggak benar.”
Fajar menatap kepergian Indira, menatap tidak percaya dengan apa yang dilakukan wanita satu itu. Pandangannya beralih pada pria yang menantangnya, sekali lagi Fajar tidak peduli namanya. Pria itu menatap Fajar penuh selidik, Fajar mencibir apa yang dilakukan pria dihadapannya.
“Takut sama cewek? Sangat tidak cocok dengan apa yang dilakukan kemarin.” Fajar memberikan tatapan meremehkan, “sesuai dengan perkataan cewek tadi lebih baik kembalikan motornya.”
“Taruhan tetap taruhan.” Dave berkata tegas. “Kita lanjutkan besok.”
Fajar menatap kepergian pria itu dengan senyum meremehkan, memilih meninggalkan area balapan. Tidak ada keinginan Fajar untuk melakukan balapan, kedatangan pria kemarin dan karyawannya membuat hari Fajar semakin kesal. Memasangkan helm dan tiba-tiba sakit kepalanya kembali menyerang, Fajar memegang kepalanya dengan keras. Memejamkan matanya agar tidak merasakan kesakitan, keinginan meremas rambutnya semakin terasa.
“Ahh....” Fajar teriak tertahan atas apa yang terjadi.
“Pak Fajar...bapak nggak papa? Pak Fajar.” Fajar menatap sumber suara lagi-lagi Indira berada di hadapannya. “Bapak sakit?”
“PERGI!” Teriak Fajar membuat Indira melangkah mundur dengan mengangkat kedua tangannya keatas.
Fajar berdiri perlahan, tidak berlangsung lama ketika secara tiba-tiba kembali terjatuh. Fajar bisa merasakan tangan Indira memegang lengannya agar tidak terjatuh, rasanya ingin menyingkirkan tangan itu dari lengannya hanya saja tidak bisa dilakukan sama sekali.
“Bapak tidak papa?” tanya Indira dengan nada khawatirnya. “TOLONG!”
“Bisakah kamu diam?” Fajar berkata lirih, “kamu BERISIK.” Fajar bisa merasakan pegangan tangan Indira hampir terlepas dan membuatnya hampir saja jatuh, jika saja Indira tidak memegangnya kembali.
“Saya akan antar bapak pulang.” Indira berkata dengan nada suara malas.
Fajar bisa merasakan tangan Indira meletakkan tangan Fajar di pundaknya, tidak berapa lama merasakan gerakan. Fajar hanya bisa menatap dalam diam apa yang Indira lakukan, tidak lama pria yang menantangnya kemarin datang. Fajar tahu ada perdebatan kecil, sampai akhirnya merasakan bukan Indira yang memegangnya melainkan beberapa pria. Fajar dimasukkan kedalam mobil kecil dan tidak lupa memasang sabuk pengamannya. Memilih memejamkan matanya, rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, tidak lama kemudian menatap sekitar seakan semuanya baik-baik saja.
Fajar merasakan pintu disampingnya terbuka, Indira masuk kedalam memandang Fajar dengan tatapan cemas. Pintu ditutupnya tidak lama kemudian, memastikan keadaan Fajar dengan memegang keningnya, menatap apa yang Indira lakukan membuat Fajar mengerutkan keningnya.
“Saya sudah baik-baik saja, jadi kamu bisa pulang.” Fajar membuka suara membuat mereka saling menatap satu sama lain. “Kamu bisa pulang.”
Indira memegang lengan Fajar saat akan membuka sabuk pengamannya dan seketika menyadari kesalahan saat melihat tatapan pada lengannya.
“Maafkan saya, Pak.” Indira langsung mengucapkannya menatap penuh penyesalan. “Kondisi anda tidak baik-baik saja, jadi lebih baik jika anda pulang bersama dengan saya.”
Fajar mengangkat alisnya mendengar perkataan Indira, “kamu tidak sedang menggodaku?”
Indira membelalakkan matanya mendengar kata-kata Fajar. “Bagian mana kata-kata saya menggoda anda? Tadi anda tidak baik-baik saja, terlihat beberapa kali meremas rambutnya dan tadi bukan pertama kali anda bertindak seperti itu.”
Fajar membelalakkan matanya mendengar pengakuan Indira, sebelumnya sudah mengalami hal tadi. Fajar mencoba mengingat, tapi semuanya kosong. Fajar benar-benar tidak mengingat kejadian yang baru saja terjadi, menatap Indira yang masih setia memandangnya penuh selidik. Melihat itu semua membuat Fajar menelan saliva kasar, Indira memiliki tatapan perhatian dan ingin tahu yang besar. Tatapan Indira pastinya berbeda dengan Mariska, kekasih Fajar satu itu tidak akan perhatian dengan keadaannya.
“Saya baik-baik saja, jangan khawatir.” Fajar mencoba tersenyum pada Indira seakan meyakinkan dirinya baik-baik saja.
“Bisa saja saya tidak peduli pada anda, anggap saja orang luar tak dikenal. Sayangnya saya mengenal anda dengan sangat baik, jika saya meninggalkan anda dalam keadaan tidak baik-baik saja, besok pagi akan headline news tentang anda.” Indira menatap malas pada Fajar. “Sekali saja mendengarkan orang yang perhatian pada anda.”
Fajar membeku mendengar kata-kata Indira, perhatian tidak pernah dirasakannya sama sekali. Fajar tumbuh menjadi pribadi yang tidak dikenal orang lain, pribadi yang tidak akan tersentuh oleh siapapun. Tersenyum kecil, seketika membuat Indira menatap tidak percaya dengan senyuman yang Fajar berikan. Fajar seketika tersadar apa yang dilakukannya salah, mengembalikan eskpresi wajahnya seakan tidak terjadi apapun. Fajar yang asli tidak akan tersenyum kecuali dihadapan Mariska, mengingat wanita itu membuatnya bergidik ngeri.
“Anda tampaknya demam.” Indira memegang kening Fajar, sekali lagi hanya bisa membeku atas apa yang Indira lakukan. “Suka tidak suka anda akan pulang dengan saya.”
“KAMU!” Fajar terhenti saat melihat tatapan cemas pada kedua mata Indira.
Masalah yang selama ini menghantuinya telah hilang, meninggalnya mereka berdua membuat kehidupan Fajar menjadi tenang. Tidak ada yang datang secara tiba-tiba ke kantor untuk meminta uang dengan cara mengancam dan lain-lain, tidak ada lagi yang melakukan kekerasan tanpa sebab. Kehidupan baru sudah tampak didepan mata, membangun kehidupan baru bersama dengan Indira dan anak-anak mereka nantinya.“Sayang, ini Silvi kayaknya pipis.” Fajar yang menggendong Silvi mendatangi Indira.“Kamu belum bisa gantiin popok ya?” Fajar menggeleng kepala lemah.Indira mengambil Silvi setelah mencuci tangan terlebih dahulu, Fajar mengikutinya dari belakang. Melihat dan mendengar apa yang Indira katakan selama mengganti popok Silvi, menganggukkan kepalanya paham saat Indira selesai. Mengambil alih Silvi setelah selesai diganti popoknya, mencium wajahnya yang membuat Silvi tertawa.“Dia persis aku banget ya.” Fajar mengatakan tanpa menatap Indira.“Ya, aku cuman buat tempat penitipan.”Fajar memberikan tata
Malas, itu yang Fajar rasakan saat ini. Indira menyuruh untuk mengurus pemakaman mereka berdua, demi rasa cintanya Fajar akhirnya mendatangi pemakaman mereka dengan menggunakan kaca mata hitam yang ditemani oleh Rifan. Pemakaman mereka dilakukan secara bersamaan atas permintaan Fajar yang disampaikan oleh Dave ke temannya, Fajar tidak ingin muncul secara langsung saat proses.“Harusnya aku ada dirumah bukan membantumu.” Rifan mengatakan dengan nada kesalnya.“Aku nggak mungkin meminta Dave, dia harus menemani mereka berdua.” Fajar hanya datang dan tidak terlibat terlalu dalam dengan apa yang mereka semua lakukan, kepergian mereka tidak memberikan rasa sedih pada diri Fajar dimana hanya rasa lega yang lebih mendominasi. Mereka berdua tidak memiliki keluarga atau teman lagi, Fajar sendiri selama bersama dengan Mariska tidak pernah ada teman yang diajaknya keluar.“Mereka berdua sudah kaya belahan jiwa.” Rifan menggelengkan kepalanya “Aku sa
Kabar dari rumah sakit membuat Rifan dan Fajar langsung kesana, dalam pikiran Fajar terjadi sesuatu yang berhubungan dengan Mariska. Berjalan bersama dengan sedikit cepat saat mereka sampai di rumah sakit, menurut informasi Mariska sudah berada didalam ruang penanganan. Fajar tidak paham dengan maksud mereka yang membawa ke ruang penanganan, tidak lama dokter mendatangi mereka berdua.“Siapa keluarganya?” “Kami hanya teman, dia sudah tidak memiliki keluarga.” Rifan menjawab langsung sebelum Fajar membuka suaranya.“Saya harus bicara dengan keluarganya.” Dokter tetap dengan pendiriannya.“Suaminya berada di penjara, sudah tidak memiliki orang tua dan saudara. Anak-anaknya masih kecil, apa perlu kami bawa anak-anaknya dan dokter menjelaskan ke mereka?” tanya Rifan yang sudah tampak kesal.“Baiklah, Ibu Mariska sudah berada di stadium empat. Hidupnya sudah tidak bisa bertahan dalam waktu lama, kami juga tidak bisa melakukan sesuat
Melakukan perjanjian dengan Mariska, harapan Fajar hanya satu yaitu Mariska menerimanya. Mengingat semua sikap Mariska membuat harapannya sedikit hilang, wanita itu tidak terlalu pintar berbeda dengan Indira. Bisa saja Mariska pintar, tapi tampaknya kemampuannya itu benar-benar tidak bisa diharapkan sama sekali. Kemampuan Mariska hanya berada di ranjang, pantas saja memilih pekerjaan seperti itu.“Kamu ragu dia menerima itu?” suara Rifan membuyarkan lamunannya.“Sedikit, otak dia kadang tidak terlalu berfungsi.” Fajar mengatakan apa yang ada didalam pikirannya.“Apa yang aku lakukan benar, membuat tulisan nol dalam jumlah banyak.” Rifan mengatakan dengan nada bangga membuat Fajar memutar bola matanya dan mengalihkan pandangan kearah lain.Tidak ada lagi pembicaraan diantara mereka berdua, Rifan fokua menyetir dengan menatap kendaraan yang ada dihadapannya, tidak hanya itu beberapa kali jalanan tampak berhenti dalam waktu yang tidak sebenta
Kunto menyebutkan apa saja adegan Fajar satu hari ini, mendengarkan dengan memberikan tatapan datar, tangannya bergerak diatas meja dengan pelan. Fokusnya adalah apa yang dikatakan Kunto tentang kegiatannya pagi ini.“Mariska datang kesini tadi pagi?” Fajar mengulanginya untuk memastikan.“Ya, Pak.” Kunto menjawab ragu.“Kemana dia sekarang?” “Kita mengusirnya atas permintaan bapak dulu.”Fajar menganggukkan kepalanya, keputusan dirinya bertemu dengan Mariska ternyata sesuai dengan apa yang mereka semua katakan. Fajar tidak tahu bagaimana jika nanti bertemu dengan pamannya Budi, orang yang pernah menyakiti dan membuatnya mengalami masa sulit. Menatap bingung Kunto yang masih ada dihadapannya, mengerutkan keningnya tanda jika bertanya-tanya tentang maksud Kunto yang masih berada di ruangannya.“Apa lagi?” tanya Fajar datar.“Mariska tadi mengatakan akan tetap menunggu bapak sampai pulang.”Fajar
“GILA!” Rifan menggelengkan kepalanya saat Fajar mengatakan apa yang ingin dilakukannya, Dave menatap bingung melihat reaksi Rifan, mengalihkan pandangan kearah Fajar yang tampak tidak peduli, tatapan Dave beralih pada Indira yang fokus dengan ponselnya. Rifan yang melihat kebingungan Dave langsung menceritakan apa yang terjadi, pertemuannya dengan Mariska yang membuat Dave menatap horor pada Fajar.“Aku curiga dia udah sembuh, belum?” tanya Rifan menunjuk Fajar.“Buat apa bertemu dia?” tanya Budi tidak menghiraukan pertanyaan Rifan. “Aku bilang kalau kejiwaannya terganggu,” jawab Indira yang mendapatkan tatapan tajam dari Dave.“Kapan kamu ketemu dia?” tanya Fajar yang membuat Dave mengalihkan pandangan ke Fajar.“Waktu kesini, mungkin tiga kali kunjungan. Aku penasaran tentang kondisi dia, padahal seharusnya mendapatkan penanganan dari kejiwaan tapi tidak sama sekali.” Dave menjawab dengan jelas.“Kamu