Share

7. Menjemput Renata

Jaket kulit cokelat yang warnanya sudah pudar, celana jeans belel yang robek-robek di bagian lutut dan paha, dan kaus putih yang sudah berganti warna menjadi kekuningan. Dengan penampilan yang sama, Bandit kembali ke club itu.

Dan ia mesti mendapati tatapan meremehkan si bartender bernama Andi kemarin malam. Laki-laki rapi yang berwajah seperti orang Jepang itu menyapukan pandangannya pada penampilan Bandit yang tidak berubah, lalu mendengus bosan.

"Buat apa lagi kau ke sini? Kurasa bukan untuk memesan minuman dan berjoget seperti orang gila di lantai dansa."

Bandit hanya berdiri, sama sekali tak menyentuh kursi tinggi di sampingnya. Ia menatap lurus ke dalam mata Andi, seolah ingin mencongkel alat penglihatan lelaki berkulit putih itu.

"Renata."

Mendapati tatapan yang teramat tajam dari laki-laki berpenampilan urakan dan seram seperti Bandit, Andi akhirnya menunduk. Lututnya tiba-tiba gemetar dan jantungnya berdegup lebih cepat.

"Sialan. Akan kupanggilkan, puas?!" Satu entakan napas kasar meluncur dari mulut Andi. "Leon!! Panggilkan Serina!"

Bandit mengernyit saat nama asing itu terdengar. Serina bukan nama yang buruk, tapi rasanya sangat asing. Siapa yang memberikan nama itu padanya?

Saat Leon melihatnya, laki-laki kurus dan tinggi itu menghela napas. "Serina bilang dia tidak ingin bertemu denganmu. Dia punya banyak pelanggan."

Kernyitan di dahi Bandit kian melebar. Banyak pelanggan. Maksudnya laki-laki hidung belang?

Selesai menyadari fakta itu, wajah Bandit mengeras. Kedua tangannya terkepal dan Leon mesti mundur dua langkah karena ia tahu lelaki bertubuh lebih besar dari para pengawal di club ini siap untuk meledak.

"Aku bisa memanggilnya sebagai wanita penghibur untukmu, tentunya dengan bayaran seharusnya."

Wanita penghibur.

Kepalan tangan Bandit kian menjadi. Tak pernah sekalipun dia membayangkan Renata akan menyandang gelar itu. Dia terlalu lugu. Terlalu murni. Terlalu manis untuk menjadi wanita penghibur yang menemani laki-laki asing setiap malam.

"Hey, Bung. Tidak usah marah begitu. Di sini tidak ada Renata, yang ada hanya Serina si bunga club yang selalu diincar oleh laki-laki berduit. Renata-mu itu sudah mati, jadi tidak usah datang setiap malam ke tempat ini dan membuat orang-orang tidak nyaman."

Saat ucapan Andi berakhir, urat-urat di pelipis dan rahang Bandit sudah menyembul keluar. Entakan napasnya kian kasar dan sedikit lagi dia akan menerjang Andi ketika Leon menginterupsinya.

"Akan kupanggilkan. Ini yang terakhir. Jangan datang lagi dan membuat ulah."

Serina si Bunga club datang dengan raut wajah yang tidak menyenangkan. Kulit bersihnya berkeringat dan tali tipis di bahunya sedikit longgar.

"Aku sedang bekerja dan kau langsung memanggilku secara darurat. Sudah kubilang aku tidak ingin bertemu dengan orang ini lagi!"

Bandit tahu betul 'sedang bekerja' yang dimaksud Renata. 

Rasa bersalah menggerogoti hatinya. Pada akhirnya dia tak mampu melindungi gadis ini. Dia hanya memberikan luka baru dan pergi begitu saja.

"Dia akan mencari gara-gara."

"Apa kau tak punya pengawal? Atau pengawal-pengawal di sini cuma sebagai pajangan?" Decakan keras mengalun dari bibir merah yang merekah itu.

"Ini yang terakhir. Urus dia. Aku tak ingin ada keributan di sini."

Renata mengalihkan perhatian kepada Bandit setelah Leon melenggang pergi. Sangat jelas ada ketidaksukaan dari sorot matanya.

"Ikut aku."

Renata mengambil tangan Bandit dan membawanya membelah lautan orang yang tengah berdansa dengan dentuman musik yang menggila. Tangan Renata terasa halus dan hangat, mengingatkan Bandit saat dulu dia yang menggandeng sang adik ke mana-mana.

Renata masuk ke sebuah ruangan yang dipenuhi dengan loker—mungkin ruang ganti.

Ia lalu bersedekap sambil menghadap Bandit. Ada kekalutan tersirat dalam gurat-gurat keningnya yang tengah mengernyit.

"Sudah kubilang jangan mencariku lagi. Kita tak ada hubungan apa-apa lagi!"

"Aku ingin menjemputmu. Tinggalkan tempat ini."

"Lalu ikut bersamamu! Tinggal denganmu? Apa yang kau punya sekarang? Apa yang bisa kau berikan padaku?!"

Ucapan-ucapan bernada tinggi itu seolah menusuk dada Bandit. Renata benar. Dia tak punya apa-apa untuk gadis ini. 

"Kau bisa tinggal di mana saja asal jangan di sini."

Renata mendengus. Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyum nanar. "Sejak awal harusnya Ibu tak menikah dengan laki-laki bajingan itu. Seharusnya setelah dipukul sekali dia kabur dan tak kembali lagi, bukannya malah minggat ke neraka dan meninggalkanku. Sekarang ayah keparatnu itu sudah mati. Aku bebas. Apalagi yang kau inginkan dariku? Kembali terjerat dengan kehidupanmu yang busuk itu?"

Bandit memalingkan wajah, bulu-bulu kasar di rahangnya tak sepenuhnya menutupi betapa tegangnya wajah lelaki itu. Di matanya ada pergolakan batin, antara membenarkan perkataan Renata dan tetap pada pendiriannya untuk membawa wanita ini pergi. Ada rasa bersalah yang bisa ditangkap dengan jelas oleh Renata.

"Rena, jangan melakukan ini karena membenci masa lalumu dan aku. Hiduplah lebih baik dari yang dulu. Jangan hidup begini."

"Bagaimana pun hidupku, akan selalu baik jika kau dan ayahmu tak menggangguku lagi."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status