Share

6. Izora yang Palsu

Izora keluar dari gudang yang teramat gelap itu. Sama sekali tak ada getaran pada tubuhnya sekalipun ia hampir saja mati di tangan beruang besar yang sangat buas.

Gaun yang mencetak lekuk tubuhnya dengan pas itu makin mengukuhkan bagaimana tangguhnya wanita itu. Ia berjalan angkuh menuju mobilnya, tak takut sedikit pun meskipun lelaki besar bernama Bandit itu bisa saja berlari menghampirinya dan kembali mencekiknya dengan brutal.

Izora menyentuh lehernya sesaat setelah memasuki mobil. Lumayan perih dan ia yakin akan ada bekas di sana. 

Ia menyalakan mesin mobilnya sambil menelepon Ronald melalui speaker. "Kau yakin dia seahli itu?"

"Maksudmu Bandit?"

"Hm."

"Sejak remaja dia sudah mendalami profesi itu. Tak sembarang orang bisa menyewa jasanya. Terakhir yang kutahu salah satu anggota inti DPR berhasil membujuknya. Lalu tak ada kabar lagi, karena tahu-tahu dia sudah berada di penjara."

Izora mengernyit. Pegangannya pada setir kemudi sedikit mengerat. "Jadi maksudmu dia tak menerima sembarang orang? Karena itu dia mencoba membunuhku?"

"Apa? Dia mencoba membunuhmu?"

Izora mendengus muak. Tinggal dalam gudang yang tak layak dan baru saja keluar dari penjara. Angkuh sekali si beruang buas itu. 

"Jadi dia berhasil membunuhmu?"

"Apa sekarang yang meneleponmu adalah arwahku?"

"Maksudku kau lolos? Bagaimana dengan penawaranmu, kau berhasil membujuknya?"

"Aku tak membujuk, Ronald. Dia akan datang sendiri kepadaku."

"Kenapa kau seyakin itu?" 

Izora menyeringai. Alih-alih menjawab pertanyaan Ronald, ia malah menutup telepon secara sepihak. Memandang lurus ke arah jalanan. Sorot matanya tak mampu ditebak.

Waktu itu gelap dan dia tak benar-benar melihat seperti apa wajah sang pembunuh bayaran eksklusif itu. Tapi Izora teramat tahu bahwa Bandit sedang berada pada fase terburuknya. 

Tak sulit jika masalah lelaki itu berhubungan dengan uang.

***

Izora baru saja memasuki rumah ketika Darius keluar dari kamarnya dengan menenteng tablet. Kacamatanya sedikit melorot. Satu tangannya tenggelam di dalam saku celana santainya.

"Dari mana?" Kedua alis Darius tampak tegang, matanya menyorot Izora menghakimi.

Sedangkan Izora berkedip santai. "Ke rumah teman."

"Sampai tengah malam begini?"

"Ya."

"Dengan baju pendek itu?" Darius menurunkan sedikit kacamatanya untuk menatap penampilan Izora yang cocok untuk pergi ke club. Gaun hitam pendek yang hanya menutupi sepertiga pahanya, berkerah kotak yang lebar sehingga dadanya yang indah terekspos.

"Pergaulan di kelas atas tidak sesederhana itu untuk memakai baju yang biasa saja. Teman hanya sebagai kedok." Dagu Izora terangkat angkuh, matanya berpendar dingin, menatap langsung ke mata Darius meski jarak mereka cukup jauh.

Dan Izora tidak cukup lugu untuk tahu arti pandangan jijik Darius. Di dalam benaknya, sudah pasti Darius akan membandingkan watak Izora dengan Marina. 

Marina yang selalu bersahaja. Sosok istri yang mengayomi. Hangat, lembut dan bijaksana. Tapi tidak dengan Izora. Jika Marina adalah putih, maka Izora adalah hitam. Tak ada yang patut dibanggakan dari Izora.

Dan ia sudah tahu itu.

"Seharusnya kau meminta izin, Izora. Aku suamimu."

"Maafkan aku." Kendati ia merendahkan ego untuk meminta maaf, binar dalam mata biru keabuannya masih tetap dingin.

"Masuk ke kamarmu. Barang yang kau minta sudah ada di sana."

Kening Izora mengernyit alih-alih senang. "Siapa yang menaruhnya di sana?"

"Pelayan."

Izora menarik napas kasar. "Aku sudah bilang tak ada yang boleh memasuki kamarku, Darius. Itu ruang yang sangat pribadi untukku."

"Termasuk aku?"

Tak butuh waktu lama untuk Izora menjawab, "Ya."

Ada ketegangan yang tercipta di antara mereka, seperti lapisan es tipis di atas lautan. Izora tahu bahwa saat ini lebih daripada rasa kesalnya, rasa marah Darius-lah yang paling besar. Lelaki itu tak suka dibantah.

"Tak ada satu pun yang boleh memasuki kamarku."Meski begitu, Izora masih mempertahankan ketegasan pada nada suaranya.

Darius menyentakkan napas kasar. Pegangannya pada benda elektronik di tangannya semakin kuat.

"Kembali ke kamarmu. Bersiaplah besok malam. Kita akan berada di hotel sampai pagi." Pandangan lelaki itu berapi-api, menghunjam Izora seperti akan mengulitinya sampai mati.

Dan Izora tahu betul apa yang dimaksud lelaki itu. Saat dirinya membantah atau memperlihatkan kelakuan yang tidak sesuai dengan keinginan Darius, maka lelaki itu akan membawanya ke hotel, menidurinya sampai pagi dengan dalih memberikan hukuman, dan mengukuhkan posisi Izora yang tak lebih dari alat pemuas hasratnya.

Izora menyeret langkahnya menaiki tangga. Dengan ekspresi yang arogan dan memperlihatkan segala 'perbedaannya' dengan Marina.

Gelap yang pekat seketika menyambutnya saat ia membuka pintu kamar. Ia bergerak menyalakan lampu kecil di atas nakas dan ruangan yang tak begitu luas itu kini dipenuhi dengan cahaya remang-remang.

Dibukanya seluruh pakaiannya, menyisakan hanya pakaian dalam. Ia bergerak ke lemari dan mengambil Russo Baltique Vodka-nya dari dalam sana.

Dengan langkah yang mengalun perlahan, Izora membuka tutup botol berdesain emas murni itu dan duduk di tepi ranjangnya. 

Tanpa gelas, ia meminum langsung minuman mewah itu. Menenggaknya dengan gerakan yang pelan. Matanya berkilat, seolah di hadapannya ada sesuatu yang akan ia bunuh hanya dengan sekilas tatapan mata.

Menumpukan kedua tangan di atas ranjang, menyilang kaki dan mendongak, melepaskan segala penat dan sesak yang menyiksanya selama hampir tiga tahun ini. 

Rasa Vodka itu mengalir dengan deras ke tenggorokannya bersamaan dengan rasa panas yang membakar sampai ke perutnya. 

Haruskah ia sebut ini sebagai perayaan atas kemenangannya yang akan terjadi besok malam ataukah sebagai pelaksanaan rutinitas yang sudah dilakukannya selama tiga tahun ini seperti ritual?

Napasnya yang beraroma manis dan menyengat dia embuskan secara perlahan. Lalu seuntai senyum bertakhta di bibir mungilnya yang kemerahan. Senyum yang menyiratkan rasa muak kendati kelopak mata indahnya berkedip pedih.

Izora yang palsu. 

Segala yang ada dalam dirinya telah lenyap, berganti dengan Izora yang mengerikan. Jika orang-orang akan menatapnya takut atau jijik, maka dia tidak ingin melihat dirinya sendiri dalam pantulan cermin manapun atau bahkan ia tak mau melirik bayangannya sendiri.

Izora yang telah menjelma menjadi manusia asing itu memaku kakinya di depan meja. Pada laptop yang terbuka, alat tulis dan kertas yang berserakan dan buku-buku yang berhamburan. 

Dibukanya laci paling bawah, dikeluarkannya satu buku dari sana. Lalu disentuhnya buku bersampul biru langit dengan gambar pelangi yang hampir memenuhi sampul.

Buku bertuliskan Anak Abadi itu ia pandangi dengan lekat. Ada secercah pilu di dalam mata yang dalam itu bersamaan dengan kerjapannya yang berat. 

Di bagian atas sampul tertulis nama sang penulis. Rachel Agam. Kedua nama yang ia gabungkan menjadi satu.

Nama yang selalu menjadi dorongan baginya untuk memupuk dendam. 

Bahwa suatu saat nanti, dia akan bisa menyingkirkan Darius dari hatinya, dari hidupnya dan dari dunia ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status