Harrison berdiri beberapa saat setelah Kinari dan Kael menghilang dari ruang — lama, seperti orang yang menimbang kaca di hadapannya supaya retaknya tak terlihat. Jendela ruang rapat memantulkan wajahnya berkali-kali; setiap pantulan mengulangi ekspresi yang hampir sama: tenang, tegas, penuh perhitungan. Di luar, kota terus bernapas dengan getaran biasa: pedal, langkah, bisik, klakson—musik yang selama ini ia arahkan agar bernada cocok. Ia menyentuh meja kayu yang semalam hancur oleh pergulatan mereka; bekas goresan itu menjadi peta kecil yang mengingatkannya akan tarikan cerita. Mereka lupa satu hal mendasar: orang seperti Harrison tak pernah benar-benar bertarung dari tempat yang paling keras. Mereka bertarung dari ruang-ruang lunak — kata-kata, bisnis, janji. Ia hanya tersenyum pendek, lalu berkata lirih, hampir seperti berbisik pada kamus nasib: “Menyedihkan.” Perintahnya keluar tanpa gelombang emosi. Ia memanggil dua pengawal ke sisinya — bukan untuk mengeksekusi, tapi unt
Malam berikutnya, mereka bertiga—Kinari, Kael, Lucia—berkumpul di lantai dua gedung kecil itu, di ruangan yang dulu mungkin kantor administrasi. Map bertumpuk seperti tembok, tali rami mengikat berkas, dan di atas meja besi tua, cangkir-cangkir teh memantulkan lampu. “Kau harus tahu lintasan ayahku,” kata Lucia. “Ini bukan pengantar kebencian; ini peta.” Ia bentangkan kertas besar: garis waktu kasar hidup Harrison. Tanda-tanda kecil dilingkari merah—tanggal lelang besar, pertemuan dengan donatur, momen-momen publik yang memotong nasib kota. Di beberapa titik, Lucia menempelkan potret kecil: Harrison bersama anak-anak panti, Harrison menggunting pita, Harrison di atas panggung debat. Di sampingnya, Lucia menulis: pergeseran. “Awalnya, retakan menolongnya menyetel emosi massa,” katanya. “Mengubah marah menjadi letih, letih menjadi ‘ya sudahlah’. Lalu retakan mulai memengaruhi benda: lampu padam di saat yang membuatnya tiba tepat waktu, mikrofon pesaingnya rusak dengan alasan tek
Selepas forum di taman, perempuan berambut gelombang itu menunggu di bawah lampu jalan yang muram. “Namaku Lucia,” katanya, suaranya bening seperti gelas yang baru dicuci. “Ikutlah. Ada sesuatu yang mesti kalian lihat.” Ia menuntun mereka menyusuri gang sempit yang ditumbuhi lumut, melewati kios kopi yang sudah menutup tirai besi, hingga berhenti pada sebuah gedung kecil tiga lantai. Fasadnya kusam, catnya terkelupas, jendelanya dipasangi tirai kain kasar. Kontras sekali dengan elegansi Lucia; seolah-olah ia membawa aroma istana ke rumah singgah para pengungsi. “Ini bukan markas,” katanya, menatap Kinari dan Kael bergantian. “Ini tempat yang aman... Setidaknya untuk sementara.” Di dalam, lampu neon memantulkan cahaya pucat. Tikar gulung difungsikan jadi ranjang; kotak-kotak arsip disusun seperti dinding sementara. Beberapa orang berdiri ketika Lucia masuk. Ada lelaki berjas lusuh yang memegang map berembos lambang kota; ada perempuan paruh baya dengan anak kecil tertidu
Untuk menautkan semua simpul itu, komunitas cosplay menyelenggarakan sebuah forum terbuka di taman—di tempat yang kini sudah jadi pangkalan aman kecil mereka. Di rerumputan mereka menata kursi lipat, kabel kecil menghubungkan proyektor sederhana, dan spanduk bertuliskan “Suara Valis — Untuk Keadilan” berkibar pelan. Kinari dan Kael duduk di salah satu baris paling depan, menenggelam dalam kerumunan yang campur aduk: warga, pengamen, penjual kopi, aktivis, dan banyak dari para cosplayer. Pembicaraan bermula seperti rintik hujan: cerita-cerita kecil tentang janji-janji yang tak ditepati, tentang proyek-proyek yang ‘dibersihkan’ dari daftar, tentang lampu jalan yang rusak namun tak pernah diperbaiki. Namun forum bukan hanya tangisan; ia juga ruang bagi hati untuk memberi makna. Seorang guru membacakan berkas yang mengonfirmasi pemotongan dana sekolah, seorang penjual kain menunjuk ke bukti transfer yang tak pernah masuk, dan seorang pegawai kota yang melepaskan masker menunjukkan ko
Mereka mundur sebelum fajar benar-benar padam. Langit kota masih menyisakan garis-garis jingga, tetapi di dada Kinari ada dingin yang bukan berasal dari malam—sebuah kesadaran baru bahwa Bumi menyimpan makhluk-makhluk yang bukan sekadar kelalaian atau korupsi biasa. Harrison bukan sekadar kepala daerah yang licik; keberadaannya menempel pada realitas seperti jamur pada akar pohon, merusak pola-pola halus di bawah kulit kota. Di apartemen kecil yang kini terasa lebih sempit setelah benturan di ruang rapat itu, mereka duduk menatap peta kota yang ditumpuk dengan catatan—titik-titik tempat rift muncul, foto-foto yang berhasil dikumpulkan komunitas cosplay, video-video yang direkam secara sembunyi. El’Thyren di dada Kinari berdenyut tak menentu, menandakan bahwa retakan masih terasa namun tidak terlokalisasi; denyut itu seperti napas tak beraturan, memberi tahu bahwa terdapat retakan yang tak terhitung, dan satu tangan besar sedang menggerakkan benang-benang itu. “Kita belum tahu b
Kael menahan napas. “Kau merusak kepercayaan dasar,” katanya singkat. “Demi apa? Stabilitas palsu?” Harrison tertawa, lalu, tanpa transisi, mengangkat tangan kanannya. Udara di sekeliling Kael tiba-tiba mengerut seperti kain yang ditarik. Ada tarikan halus, magnetik — tidak tampak, namun terasa menekan paru, menekan suara. Kael menggertak, ia mencoba mengambil napas, namun tangannya kaku. Matanya melebar, rona darah biru memudar di bibir, lalu wajahnya berubah pucat biru eter. Harrison menatap, tidak mengangkat sedikit pun otot wajah. “Pertanyaan yang bagus,” katanya lembut. Kemudian tenaga itu menjadi kekerasan: lengan Kael terangkat tanpa ia kehendaki, tubuhnya ditarik ke depan seperti boneka benang. Harrison mendekat, jarak hanya beberapa jengkal. Tali-tali halus energi, seperti benang hitam berkabut, melilit di leher Kael. Sesuatu meremas, tegas. Kael tercekik. Matanya membulat, suaranya hanya bisik yang tertahan: “R-Ratu…” Kinari melesat. Aetheryn muncul