Share

Seonggok Benda Oranye Di Trotoar

"Stefany, aku pulang duluan ya. Jangan lupa matikan lampu kalau kau sudah selesai bekerja!" pamit Gwen kepada rekannya yang terkenal paling rajin di Houston Public Library.

Gadis berkaca mata bening berbentuk bulan separuh itu pun melambaikan tangan kanannya seraya berseru, "Hati-hati di jalan yoo, Bestie!"

Gwen memang bekerja di bagian yang berbeda dari Stefany sehingga dia bisa pulang tepat waktu ketika jam kerja berakhir. Sedangkan, pustakawati yang rajin itu harus menghabiskan lebih banyak waktunya mengembalikan buku-buku yang telah ditinggalkan pengunjung perpustakaan di meja baca ke rak asalnya lagi. 

"I'm dreaming of a white Christmas. Just like the one I used to know. Dumm ... dumm ... dumm!" Senandung lagu itu terdengar merdu dan bergema di ruangan yang telah sepi pengunjung di petang hari. 

Dengan langkah-langkah kaki lincahnya, Stefany menata buku-buku tebal terbitan Elsivier Publishing ke rak empat susun. "William MacGriffin, hmm dia banyak sekali menulis buku-buku tebal!" gumam gadis itu sembari meletakkan tiga buah buku berjejer di lajur rak kedua dari bawah.

Setelah tiga troli penuh berisi buku-buku berhasil dia rapikan kembali ke rak, Stefany pun mengambil tas ransel merahnya di loker karyawan Houston Public Library lalu mematikan semua lampu kecuali lampu penerang wajib yang memang harus menyala di malam hari hingga pagi. Dia pun melangkah keluar sembari mengenakan mantel tebalnya, musim dingin telah tiba jelang akhir tahun.

"Bernie, aku pulang sekarang. Sampai jumpa besok!" pamit Stefany dengan riang sambil melambaikan tangannya kepada petugas sekuriti perpustakaan yang berjaga malam di tempat kerjanya.

"Kerja yang bagus, Stefy. Jaga kondisimu, jangan sampai kau sakit, okay? Berhati-hatilah di jalan, ini sudah gelap!" balas Bernard Akon kepada gadis remaja berambut hitam sepunggung seperti bulu gagak tersebut.

Stefany menanggapinya dengan tawa ringan, dia lalu mulai berjalan cepat dengan sepatu bot cokelatnya melewati trotoar yang basah. Serpihan bulir salju putih jatuh perlahan dari angkasa malam yang gelap. Hidungnya terasa dingin membeku, dia menyembunyikan sebagian wajahnya di balik syal dari bahan kain flanel warna merah bermotif garis kuning dan hitam.

"Aku lapar sekali, semoga ibu menyiapkan makan malam yang lezat di rumah!" gumam Stefany sembari mempercepat langkahnya ketika menyeberangi zebra cross perempatan besar menuju ke arah rumahnya. 

Dia berangkat dan pulang kerja dengan berjalan kaki karena rumahnya hanya berjarak sekitar lima belas menit dari perpustakaan. Menurutnya berjalan kaki jarak dekat lebih sehat dibanding naik kendaraan bermotor, lagi pula dia telah seharian duduk menjaga di perpustakaan.

Ketika hampir sampai di rumahnya, Stefany melihat sebuah benda berwarna oranye teronggok di trotoar. "Hey, apa itu? Kuharap bukan kotoran berbau busuk!" serunya sedikit curiga sambil perlahan mendekati bentukan di tengah jalan itu.

"Ohh ... poor kitty, apa dia pingsan?" ucap Stefany menyentuh perlahan seekor kucing berbulu oranye yang tertelungkup dengan bulu setengah basah oleh salju yang turun. Dia mencoba menggoyang-goyang punggung kucing itu untuk memastikan kondisinya. "Hmm ... nampaknya aku harus membawa kucing ini pulang, kasihan sekali kalau kutinggalkan di jalanan. Dia bisa mati karena hipotermia!" ujar Stefany lalu menggendong kucing oranye yang pingsan itu di depan perutnya.

"Kau pasti lapar dan sakit ya sampai pingsan begini, Little Kitty?" tanya Stefany sekalipun dia tahu yang diajak berbicara pasti tak bisa menjawabnya. 

Setelah berjalan dua puluh meter, gadis remaja dan kucing oranye itu sampai di sebuah rumah berwarna hijau tua dan berpagar kayu yang lampu terasnya menyala. Pintu depan terkunci jadi Stefany menekan bel agar dibukakan oleh ibunya.

"Yes, coming!" sahut suara wanita dari dalam rumah dan tak lama pintu kayu berpelitur cokelat tua itu mengayun terbuka. Kening ibunya berkerut melihat benda yang dipeluk oleh Stefany. "Kau membawa pulang seekor kucing liar, Sayang. Apa dia tidak menggigit?" tanya Nyonya Victoria Rowland kuatir.

"Setidaknya belum untuk saat ini, Bu. Mungkin nanti akan kubawa ke dokter hewan untuk divaksin rabies bila perlu. Sekarang aku akan merawatnya hingga kucing ini sadar, kasihan sekali dia pingsan di jalanan. Umm ... kuharap dia baik-baik saja setelah kuhangatkan!" jawab Stefany sembari mengambil keranjang rotan di gudang lalu melapisi alasnya dengan handuk. Dia menaruh kucing oranye itu di situ dan menyelimutinya agar hangat.

Akhirnya Nyonya Victoria pun membiarkan saja kucing itu tinggal sementara di rumahnya, dia bukan pecinta binatang, tetapi dia juga tidak alergi bulu hewan. Kemudian wanita itu menyiapkan makan malam di meja makan dapur untuk mereka berdua dan menunggu Stefany selesai mandi sebentar.

Menu makan malam kali ini adalah steak ikan Salmon kesukaan puterinya dengan tumis asparagus dan kentang tumbuk. Aroma ikan yang sedap menguar di dalam rumah dan membangunkan spesies pecinta ikan yang bertamu di rumah ibu dan anak itu.

"Meeooonggg!" 

"Aaaaahh!" teriak nyaring Nyonya Victoria Rowland menanggapi kucing yang terbangun itu.

Paduka Raja Edward Forester yang baru saja terbangun dalam bentuk transfigurasi seekor kucing pun tertegun menatap wanita tua yang histeris menatap ke arahnya. 'Siapa dia? Apa ketampananku luntur sehingga dia ketakutan dan berteriak 'aaaa' begitu tadi?!' ucapnya dalam hati, sedikit tersinggung.

"Ibu, ada apa? Apa ada kecoak lagi di dapur?" tanya Stefany menuruni tangga yang mengarah ke lantai dapur dari lantai dua di mana kamarnya berada.

"Kucing itu sudah bangun. Akan kau apa 'kan dia sekarang? Atau lepaskan saja dia ke jalan, Stefy!" ujar Nyonya Victoria tak nyaman sambil memperhatikan si kucing bergelung dalam keranjang rotan.

Namun, Stefany berjongkok di dekat kursi tempat keranjang rotan berisi kucing oranye itu lalu menyapanya, "Hello Kitty, sudah bangun rupanya. Apa kamu lapar? Kita bisa berbagi makan malam, semoga kau baik-baik saja dan tidak sakit atau besok aku harus membawamu ke dokter hewan untuk diperiksa!"

'Hah? Apa? Kitty, siapa? Aku?' batin Raja Edward masih kebingungan dan tak mengerti penampilan barunya hingga Stefany mengangkat tubuhnya dengan mudah lalu memangkunya ke meja makan.

"Meeoooongg!" serunya terkejut karena diangkat tiba-tiba dan dibawa berpindah tempat oleh manusia yang berukuran besar di pandangan matanya. 'Apa aku di negeri raksasa? Ohh tidak!' batinnya heboh sendiri.

"Kamu harus makan supaya tidak sakit, Kucing Manis. Ikan? Kamu pasti suka ini!" Stefany menyisihkan potongan steak ikan Salmon ke piring kosong lalu menaruhnya di hadapan si kucing yang dia pangku.

Nyonya Victoria pun segera menegurnya, "Stefy, kau terlalu memanjakannya. Masa dia berbagi steak lezat itu denganmu? Ibu membuatnya spesial untukmu!"

Namun, Raja Edward sangat kelaparan setelah melintasi pusaran lorong waktu. Dia menyantap saja hidangan istimewa di hadapannya tanpa mengindahkan wanita tua yang memprotes tindakan gadis yang dipanggil Stefy itu. Dia pun membatin, 'Okay, kau puteri cantik yang baik hati. Aku menyukaimu, tetapi apa dia ibu tirimu, menyebalkan sekali!' 

Stefany pun tertegun dan menatap ke wajah kucing yang dia pangku. Dia bisa mendengar perkataan Raja Edward baru saja dan menjawab dalam hatinya, 'Hey, siapa kamu? Apa kucing bisa bicara bahasa manusia?'

'Kucing? Siapa yang kucing?' sahut Raja Edward masih tak mengerti dirinya memang berbentuk kucing saat ini.

'Siapa lagi? Kau tentunya, ayo kita bercermin sebentar sebelum aku makan malam dengan sisa steak yang tadi kau santap, okay?' ujar Stefany lalu bangkit dari kursi menuju ke cermin lemari pajang hiasan keramik di ruang tengah. Dia berdiri di seberang cermin menggendong kucing oranye itu. 'Lihatlah siapa yang kucing di sini!' batinnya geli.

"MEEOOOOONGG!" teriak histeris Raja Edward atau lebih tepatnya si raja kucing saat menatap pantulan bayangan dirinya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Endah Spy
ough jadi stefy bisa mendengar kalo edward bicara yaa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status